It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@callme_DIAZ
@masbadudd
@permana21
@ramadhani_rizky
@jony94
@hananta
@trisastra
@mustaja84465148
@haha5
@masbaddud
@angelsndemonds
@waisamru
@enykim
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@abrakadabra
@Farrosmuh
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@Rimasta
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@rez_1
@YANS FILAN
@adinu
@beepe
@Donxxx69
@fad31
@MikeAurellio
@brianbear_89
@Shishunki
@PohanRizky
@3ll0
@ruki
@agova
@jamesfernand084
@venussalacca
@Gabriel_Valiant
@putra_prima
@Qwertyy
@fansnya_dionwiyoko
@Beepe
@danielsastrawidjaya
@nakashima
@leviostorm
@kimo_chie
@Bonanza
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@agung_dlover
@greysakura
@bi_men
@asik69
@mahardhyka
@just_Pj
@SanChan
@sickk86
@Monic
@yeltz
@ularuskasurius
@danielsastrawidjaya
@chibibmahu
@angga_Rafael
@AwanSiwon
@Dhika_smg
@arieat
@joenior68
@treezz
@Rivaldo_Nugroho
@an_d1ka
@Djohnzon1980
@darkrealm
@boljugg
@siapacoba
@kevin_ok26
@excargotenak
@Edmun_shreek
@The_jack19
@adhiyasa
@dundileo
@WYATB
@juki_cakep
@nes16
@tazbodhy
@woonma
@dua_ribu
@Daramdhan_3OH3
@anakmami
@blackorchid
@andyVanity
@mpranata013
@Brands
@tigerGAYa
@OlliE
@ananda1
@noveri_saja
@tjah_ja
@gyme_sant
@nest16
@anan_jaya
@trace_tri
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@elul
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@admmx01
@joenior68
@Yudist
@langmuscle
@Kenwood
@adhilla
@yunjaedaughter
@odik07
@Monster26
@Cowoq_Calm
@21botty
@TULEP_ORIGIN
@iamalone89
@toby001
@raqucha
@BudiPamRah
@eswetod
@radio_dept
@Splusr
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@rez_1
@rasya_s
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@Imednasty
@doel7
@eizanki
@Fruitacinno
@ncholaees
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
Bogor 1999
Sebenarnya selain Adit, Yasmine, dan Kak Gia yang kutaksir, masih ada satu orang lagi yang aku suka saat aku mulai memasuki SMP. Dia adalah Makbul teman satu sekolahnya Fery, Fitri, Gina, Ule, dan Meta saat SD di SDN Panaragan. Makbul satu kelas dengan Teguh di kelas 1-D. Dia juga satu regu dengan kami di ekskul PRAMUKA. Meski diam-diam aku menyukainya, terkadang aku sering geregetan dan kesal padanya. Sebab bila bertemu dengannya, dia kerap sekali membuatku marah dan beradu mulut dengannya.
Masa SMP memang masa-masa meningkatnya pubertas yang kualami. Aku mulai sering berfantasi menikmati percintaan dengan orang-orang yang kukagumi. Di sisi lain aku juga sedang berusaha melupakan Ary karena setiap aku mengingatnya hanya akan membuatku menangis. Setiap malam, aku selalu menulis catatan dalam buku agenda harianku akan kerinduanku kepada Ary. Kendati demikian apa yang kulakukan itu tak bisa membuat Ary kembali.
Makbul adalah orang yang paling sering kubayangkan dalam fantasi percintaanku. Sosoknya yang sama tinggi denganku memiliki tubuh proporsional dan sangat gagah. Rambutnya lebat dan sedikit bergelombang. Awal mula bertemu dengannya hubungan kami sangat baik. Kami sering saling mengunjungi kelas kami satu sama lain. Tapi semenjak kejadian di malam perkemahan PRAMUKA pada catur wulan pertama, Makbul jadi berubah sentimen padaku setiap kali kami bertemu.
FLASHBACK Oktober 1998
(Catur wulan pertama kelas 1 SMP)
Malam itu kami sedang melakukan kemah PERSAMI di lapangan sekolah. Cuaca yang tadinya cerah tiba-tiba berubah jadi mendung. Hujan pun melanda kota tercinta kami begitu lebatnya. Lapangan menjadi basah dan tidak memungkinkan untuk melanjutkan perkemahan di luar. Akhirnya para kakak pembina mengungsikan kami untuk bermalam di dalam kelas berdasarkan regunya masing-masing.
Aku, Fery, dan Teguh mengangkat tampah berisi nasi tumpeng buatan mama. Regu kami telah kalah dalam pertandingan pembuatan nasi tumpeng karena ketahuan oleh panitia kalau nasi tumpeng regu kami bukan hasil buatan sendiri. Gara-gara hal ini Makbul menjadi kesal padaku.
"Sudah kubilang kan, kita bikin sendiri saja nasi tumpengnya! Mau enak atau tidak enak kan jerih payah sendiri!" Kata Makbul mengomeliku.
"Iya, sebetulnya aku juga mau bikin sendiri. Tapi kan teman-teman yang lain tidak setuju! Mereka lebih suka iuran daripada harus memasak," Kataku membela diri.
"Betul itu! Memasak kan kebiasaan cewek!" Imbuh Adit membela perkataanku.
"Kita ini PRAMUKA! Seharusnya kita bersikap jujur dalam berlomba! Apa tadi kata Kak Andrew pelatih kita? Dia terlihat sangat marah kan pada kita karena merasa regu binaannya telah dipermalukan oleh panitia?" Cecar Makbul tak kunjung henti.
"Sudahlah, gak usah dibahas lagi! Sekarang kita nikmati saja nasi tumpeng ini!" Tutur Ule sambil makan dengan lahapnya.
"Iya, palingan nanti pun Kak Andrew reda sendiri marahnya!" Celetuk Teguh yang turut berebut daging dengan Ule.
Baru saja dibicarakan, Kak Andrew pun datang menendang pintu.
BRAAK!
"Semua yang ada di ruangan ini segera keluar menuju lapangan!" Hardiknya sangat marah.
Kami semua terdiam memandangnya. Hari sudah malam, dan hujan masih deras mengguyur bumi.
"CEPAT!" Perintahnya sekali lagi.
Namun tak satupun dari kami yang bergerak mengikuti instruksi yang diberikannya. Kami saling melempar pandangan satu sama lain.
"Tuh kan, apa tadi kubilang!" Lirikan Makbul seolah berkata demikian padaku.
Tiba-tiba Adit dan Hasan angkat bicara, "Kak yang benar saja kami disuruh keluar hujan-hujan begini?"
"Kakak mau bikin kami sakit? Terus kalau kami sakit siapa yang bertanggung-jawab?"
"Itu sih resiko kalian. Kenapa kalian mau ikut PRAMUKA? Belum tahu ya, kalau PRAMUKA itu semi militer!" Sela Kak Andrew tidak mau tahu.
"Kalau seandainya kami mati karena Kakak sudah membuat kami sakit, Kakak mau dijebloskan ke penjara?" Hasan terus merongrong.
Sebenarnya tujuan Hasan adalah agar hukuman kami diperingan.
"Itu..." Kak Andrew kehabisan kata-kata.
Kemudian ia menghela napas panjang. "Baiklah, kalian tidak akan Kakak suruh keluar. Tapi sekarang juga Kakak minta segera tanggalkan kemeja PRAMUKA kalian, cukup memakai celana dan kaus singlet saja! Dan lakukan push up sebanyak 40 kali!" Ucapnya tegas.
"Ayo cepat!" Kak Andrew menendang-nendang kaki meja.
Mau tidak mau kami pun langsung mengambil posisi tengkurap di lantai. Aku, Makbul, Fery, Adit, Teguh, Ule, Hasan, Priyadi, dan Ichsan berjajar di lantai.
"Coba ikrarkan Dasa Dharma!" Tegas Kak Andrew.
"Dasa Dharma PRAMUKA..." Teriak kami lantang.
"Kurang kompak! Ulangi lagi!" Seru Kak Andrew.
"Dasa Dharma PRAMUKA! PRAMUKA itu : 1. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia..." Ucap kami bersamaan.
"Kurang lantang! Kurang tegas! Kalian ini laki-laki apa bencong sih?" Bentak Kak Andrew keras.
Baru satu kali hitungan push up kami terus dimaki-maki oleh senior kami yang galak itu. Setelah 40 kali hitungan dan 10 kali mengulang Dasa Dharma, akhirnya kami diperbolehkan beristirahat. Namun kami tidak diperbolehkan mengenakan seragam kami kembali ataupun kami berganti pakaian memakai pakaian bebas.
"Hukuman tetap hukuman!" Ucap Kak Andrew sangar.
"Awas berani melanggar perintah, sanksinya akan Kakak tambah! Nanti malam Kakak akan kembali berpatroli mengawasi kalian!" Ancam Kak Andrew sambil berlalu meninggalkan kami dan menutup pintu dari luar.
"Puas kamu, sudah membuat kita dihukum sama Kak Andrew?" Makbul kembali menyolot padaku.
"Huh, kenapa aku terus yang kena sasaran Makbul, sih?" Rutukku dalam hati.
"Iya, maaf ya Bul?" Ucapku penuh sesal.
"Gie, nanti nasinya keburu habis lho!" Panggil Teguh kembali menikmati nasi tumpeng di tampah.
"Kalian gak usah ribut lagi kenapa sih? Kesalahan bersama kita tanggung bersama!" Celetuk Ichsan mencoba bersikap bijak.
Kusiduk nasi jatahku yang dipisahkan oleh Teguh. Lalu kuberikan nasiku kepada Makbul sebagai permintaan maaf.
"Ini! Kamu cepatlah makan! Kalau kamu tidak makan nanti kamu sakit!" Kusodorkan piringku kepada Makbul.
Sebentar kemudian ia menyorongkan kembali piring itu padaku.
"Makanlah Bul! Jangan sampai kamu sakit!" Bujukku penuh kesabaran.
"Aku tidak mau makan. Kamu saja yang makan!" Makbul kemudian merebahkan diri di atas meja yang telah kami susun menjadi ranjang.
Matanya terpejam namun ia masih berbicara, "Seumur hidupku baru kali ini aku berlaku tidak jujur!"
Kelihatannya Makbul sangat menyesali atas keputusan regu kami yang enggan memasak nasi tumpeng sendiri. Kurebahkan tubuhku di sampingnya. Tak lama Makbul sudah terlelap dalam tidurnya.
"Benar-benar mengagumkan!" Ucapku dalam hati memuji wataknya.
Malam yang menusuk membuat tubuhku menggigil kedinginan. Aku terjaga dari tidurku karena hembusan angin yang merasuki tubuhku sampai ke tulang. Aku tak terbiasa tidur tanpa mengenakan selimut. Lampu ruangan telah dipadamkan, hanya cahaya dari luar yang menerangi ruangan melalui kaca jendela yang terbuka. Aku tidur di antara Makbul dan Teguh. Ternyata Fery tidur di paling ujung. Disusul oleh Makbul, aku, Teguh, Adit, Hasan, Priyadi, Ule, dan Ichsan.
"Brrrr..." Tubuhku menggigil.
Karena posisi tubuhku miring ke arah Makbul, secara refleks tanganku menyusup memeluk tubuhnya. Sepertinya Makbul tersadar karena merasakan pelukanku di lingkar tubuhnya. Namun anehnya secara sekilas lalu antara sadar dan tidak, kurasakan Makbul berbalik menghadapku dan memeluk tubuhku.
"Kamu kedinginan ya?" Terdengar suara bisikannya di telingaku sangat lembut.
Aku masih dapat merasakan pelukannya yang hangat hingga subuh menjelang sebelum Kak Andrew membangunkan kami. Akan tetapi anehnya sikap Makbul kembali judes padaku setelah kami semua terbangun.
"Kamu ngapain peluk-peluk aku tadi malam?" Tanyanya ketus.
"Lho, kamu juga peluk aku kan tadi malam?" Balasku sengit.
"Enak aja! Kamu tuh tadi malam maen peluk badanku segala!" Gerutunya kesal.
"Ups maaf ya kalau gitu, kayanya tanganku refleks deh! Habis udara tadi malam dingin banget sih, jadinya tanpa sadar aku peluk kamu deh!" Cerocosku geram.
"Kenapa harus sama aku? Kan bisa peluk si Teguh yang ada di sebelah kiri kamu!" Makbul terus mengomel.
"Kayanya tadi malam gue mimpi dipeluk sama Celine Dion. Tapi punya gue kok enggak ngejendol ya?" Teguh mengamati selangkangannya.
"Apaan sih?" Sikutku ke dadanya pelan.
Teguh pun tergelak. "Kalian ini kaya kucing dan anjing! Kagak pernah bisa akur!" Ujarnya seraya bangkit menyambar handuk dan bergegas menuju kamar mandi.
End of Flashback...
Itulah awal mengapa hubungan aku dan Makbul tak pernah rukun selama SMP. Rasanya pertengkaran kecil seperti itu menjadi warna tersendiri dalam hubungan kami berdua.
Sejauh ini aku mulai merasa kebahagiaanku telah kembali kepadaku meskipun belum seutuhnya karena entah mengapa aku tak pernah berhasil mengenyahkan Ary Wibowo dari benak pikiranku. Puluhan puisi telah kugoreskan dan akan kuberikan padanya bila dia suatu saat datang kembali padaku. "Merpati saja tahu jalan pulang ke rumah! Suatu saat nanti, Ary pasti kembali!" Aku terus menyemangati diriku sendiri.
Kehidupan terus berjalan. Sachi terus melakukan pendekatan. Fitri masih terus mengharapkan. Yasmine sudah tidak lagi menjadi gebetan. Adit masih tetap menjadi teman. Dan Makbul tak pernah berhenti memberiku omelan. Semua ini kuanggap sebagai liku-liku kehidupan. Dan aku menjalaninya penuh dengan senyuman.
Kebahagiaan yang tak pernah sempurna itupun lagi-lagi harus tersita oleh sebuah kesedihan. Masih kuingat dengan jelas dalam ingatan, hari di mana tragedi itu terjadi. Sebuah kejadian terburuk yang pernah keluargaku alami.
Juli 1999
Di tengah-tengah liburan panjang kenaikan kelas seperti ini seharusnya aku dan keluargaku menikmati liburan jalan-jalan ke Singapura seperti yang telah papa janjikan sebelumnya. Pasalnya, aku berhasil meraih peringkat ke-3 pada catur wulan terakhir menjelang kenaikan kelas kemarin. Padahal aku mati-matian berusaha untuk bisa menembus the big 3. Sebab persaingan yang kualami sangat ketat. Aku harus bersaing dengan 47 orang siswa di kelasku. Hasan yang keturunan Arab benar-benar sangat sulit dikalahkan. Selama 3 catur wulan berturut-turut Hasan selalu meraih gelar sang juara kelas. Kecerdasan yang dimilikinya bahkan sepadan dengan Dewi, sainganku saat di SD. Sedangkan gelar runner up di kelasku jatuh kepada Siti dan Nia, dua orang penggemar berat Adit yang selalu menempati peringkat ke-2 silih berganti.
Sudah 2 minggu ini papa tidak pulang ke rumah. Dulu saat Dyah adikku belum lahir, papa hanya pulang seminggu atau dua minggu sekali. Tetapi semenjak Dyah lahir dan kami menempati rumah baru, papa jadi lebih sering pulang ke rumah. Bisa seminggu 3 kali, 4 kali, bahkan setiap hari. Entah mengapa akhir-akhir ini feeling mama merasa tidak enak mengenai keadaan papa.
"Gie, sepertinya papa nggak akan pulang lagi hari ini. Minggu yang lalu papa telpon, katanya sakit jantungnya kambuh," mama berkata dengan lesu.
"Lantas bagaimana dengan uang belanja mama? Masak kita harus ngutang belanjaan ke warung Mbak Tati?" aku tertunduk murung.
Rasanya sedih sekali sudah 2 minggu ini papa tak pulang ke rumah kami. Kasihan Dyah adikku merasa rindu pada papa. Hampir tiap hari Dyah menanyakan papa. Dua bulan lalu Dyah baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-4. Bahkan yang paling membuatku menyesal adalah bulan lalu aku tidak ikut berekreasi bersama papa, mama, dan Dyah keliling Pulau Jawa. Waktu itu aku memutuskan untuk tidak ikut karena sebentar lagi aku akan menghadapi ujian kenaikan kelas. Papa berjanji padaku, seumpama aku mendapat peringkat 3 besar, papa akan membawaku terbang ke Singapura. Aku benar-benar bersemangat ingin meraihnya. Sampai akhirnya aku berhasil meraih peringkat ke-3 dan secara otomatis aku langsung naik dan masuk ke kelas 2-A, satu-satunya kelas unggulan di mana para juara 5 besar dari setiap kelas dikumpulkan menjadi satu. Huhu... Betapa bangganya mama dan papa padaku
"Papa sempat bilang dan menanyakan kamu, katanya kalau papa pulang nanti, papa mau membelikan kamu sepatu baru!" jawab mama sendu.
Aku tersenyum simpul, papa orangnya terlalu baik, dalam keadaan sakit pun masih memikirkan keperluan kami. Padahal sebenarnya papa hanya ayah tiriku. Sejak lahir aku memang tak pernah melihat ayah kandungku sendiri. Namun posisi itu tergantikan oleh papa, ayah dari Dyah, adik serahimku. Kebaikan hati papa selalu tulus kepada semua orang, dan hal ini pulalah yang menyebabkan tetangga kami sering datang ke rumah untuk meminta pertolongan, entah meminta pekerjaan pada papa, atau meminta sumbangan moril maupun materiil. Karena di lingkup perumahan kami tinggal, kami dihitung sebagai keluarga terpandang oleh masyarakat. Papa adalah seorang pengusaha bengkel las bubut yang membuat pagar besi untuk perumahan elite di Ciputat, Jakarta.
Tetangga menganggap keluarga kami sebagai keluarga
terkaya di RT kami, cuma keluarga kamilah yang memiliki mobil Mercy termewah dan rumah gedong bertingkat seperti kastil atau villa bila dilihat dari atas bukit kampung seberang.
"Feeling mama sangat buruk Gie, coba kamu ajak Dyah main di luar!" mama memandang ke buku telepon. Hendak menelpon ke kantor papa, namun terlihat ragu.
"Kalau gitu Ugie ajak Dyah ke rumah Indra ya, Ma! Ugie mau belajar sepeda di sana," pamitku.
Sejak kecil aku mengalami ketidakseimbangan tubuh, yang menyebabkan aku sering terjatuh ke sebelah kanan. Sebenarnya secara fisik aku terlahir normal. Tetapi ketidakseimbangan tubuhku itu akan tampak jelas terlihat saat aku mengendarai sepeda. Sejak aku kecelakaan sepeda di masa kecil aku mengalami traumatis teramat dahsyat. Karena itulah aku baru mau menyentuh sepeda kembali di kelas 1 SMP.
"Jangan lama-lama ya, Gie!" ujar mama.
Aku pun bergegas menuntun Dyah, dan membawanya keluar rumah.
###
"Horreee....akhirnya aku bisa mengendarai sepeda lagi!" Teriakku pada Indra.
Aku lebih sering berkunjung ke rumahnya daripada dia yang berkunjung ke rumahku. Meskipun rumahnya hanya sebuah gubuk reot, aku tak pernah merendahkan keluarganya. Indra juga tidak pernah minder akan keadaan keluarganya yang miskin. Ia memiliki 5 orang kakak dan 3 orang adik. Keempat kakaknya telah berkeluarga dan dua kakak perempuannya telah ikut tinggal bersama suami mereka. Sedangkan 2 kakak laki-lakinya yang telah berkeluarga masih hidup menumpang di gubuk reot itu. Hanya satu orang kakak yang belum menikah, karena juga masih bersekolah. Bahkan dia baru saja lulus dari SLTPN 4. Dan rencananya akan melanjutkan ke SMAN 6 yang terletak tidak jauh dari sekolah kami. Kakak terakhir Indra ini ternyata selalu satu kelas dengan Kak Gia.
Dyah berteriak, "Aa, Dyah naik donk!" pintanya.
Ia ingin dibonceng olehku. Indra hanya tersenyum di kulum. Tiba-tiba dari kejauhan, Mang Ega pamanku tampak berlari ngos-ngosan.
"Gie, disuruh pulang oleh Mama! Kita kedatangan tamu," Kata Mang Ega dengan napas tersengal-sengal.
"Siapa Mang? Papa ya?" Tanyaku penuh selidik.
Kupikir Mang Ega bermaksud bercanda dengan menyebut papa sebagai tamu.
"Bukan! Tapi temannya papa!" Jawab Mang Ega.
Aku kemudian pamit permisi pulang pada Indra. Kami pulang dengan langkah tergesa-gesa, dalam perjalanan
kutanyai Mang Ega, namun dia hanya diam membisu. Menimbulkan rasa penasaran dalam batinku.
"Ada apa sebenarnya ini?" Tanyaku dalam hati.
Setibaku di depan pintu pagar rumah kudengar suara mama menangis meraung-raung, setengah mengamuk.
"Ini tidak mungkin Pak Edy! Ini tidak mungkin!" Mama menangis sesenggukan.
Tatkala aku tiba di muka pintu, mama memeluk Dyah, dan berkata padaku, "Gie, papa meninggal...papa
meninggal!" Dengan nada tersendat-sendat mama mencoba menjelaskan kepada kami.
Di samping mama, kulihat Om Edy sahabat baik papa bersama istrinya mencoba menenangkan mama, sambil
memberikan segelas air bening pada mama yang sebenarnya mama suguhkan untuk mereka saat mereka datang.
"Ibu yang sabar ya! Ibu harus tegar! Serahkan semua ini kepada Yang Maha Kuasa dengan ikhlas!" Ucap istri Om Edy mengusap-usap bahu mama.
Pandanganku berputar-putar, antara percaya dan tidak, sedangkan kami melihat jenazah papa pun tidak. Tahu-tahu setelah 5 hari berlalu, dan jenazah papa sudah dimakamkan, baru keluarga kami diberitahukan. Ini tidak adil rasanya!
Papa meninggal dunia karena serangan jantung saat pulang ke rumah istri pertamanya. Ketika sedang mandi, tanpa sengaja sabun yang papa pakai terjatuh dan membuat papa terpeleset. Saat itu kondisi papa masih bisa berjalan. Namun setelah beberapa hari diopname di rumah sakit, Tuhan berkehendak lain. Papa dipanggil oleh-Nya dalam keadaan tenang dan damai.
Air mataku jatuh bercucuran. Meskipun papa bukan ayah kandungku, namun beliau selalu menuruti keinginanku. Selalu mengabulkan apapun yang kuminta. Walau terkadang mama mencegah agar papa jangan terlalu memanjakanku, papa tetap berkeras ingin selalu membahagiakanku. Di matanya tidak ada istilah anak tiri! Inilah yang membuat aku merasa bangga pada papa. Dan aku selalu berusaha untuk bisa membuat papa bangga padaku. Terbukti prestasi di sekolah aku tak pernah absen dari peringkat 3 besar. Dan setiap catur wulan selalu ada hadiah dari papa menyambut prestasiku.
Seminggu yang lalu aku dan mama seperti mendapat firasat. Seekor burung walet masuk ke dalam rumah dan merasa dirinya terperangkap tak menemukan jalan keluar untuk melarikan diri. Aku dan mama berusaha untuk menangkapnya yang terus terbang mengitari langit-langit rumah kami. Tapi kemudian mama menyuruhku untuk mengarahkannya menuju pintu ke luar. Burung wallet yang kelelahan itu akhirnya berhasil menemukan dunia luas kembali. Pada malam harinya aku bermimpi gigi atasku tanggal, saat aku terjaga di tengah keheningan malam, aku mendengar suara burung gagak yang tak hentinya berkoak.
"Sebulan yang lalu Gie, papa bersikap aneh! Dia mengajak Mama untuk melihat-lihat sekeliling rumah. Setelah merasa keadaan rumah kita cukup baik, papa menarik napas lega. Bahkan sempat-sempatnya papa memperbaiki knob pintu depan yang rusak, dan kran air yang mampet. Padahal biasanya kan papa manggil tukang servis!" Kenang mama getir.
Umi Wati datang melihat keadaan mama yang shock atas berita meninggalnya papa. Namun karena Umi Wati pun tak melihat jenazah papa, Umi Wati hanya dapat terdiam mematung.
Seminggu setelah berkabungnya keluarga kami, mama mengajakku dan Dyah untuk berkunjung ke Ciputat guna menemui keluarga istri pertama papa dan kami bermaksud melihat makam papa. Sepanjang perjalanan aku sangat cemas dan takut. Aku teringat ucapan mama saat aku kecil dulu, kata mama kalau papa meninggal dunia, mungkin aku dan mama akan diusir dari rumah kami oleh keluarga istri pertama papa. Lalu kami akan tinggal di mana? Pikiranku benar-benar kalut. Tak kuduga setibanya kami di sana, semua keluarga papa bersikap baik dan hangat kepada kami. Istri pertama papa memeluk mama erat seraya menangis berbagi kesedihan dengan mama. Aku sangat terharu melihatnya. Bahkan istri pertama papa memohon pada mama agar kami tinggal bersama mereka. Mereka sangat berkeinginan untuk merawat Dyah di rumah mereka. Namun mama menolak tawaran tersebut secara halus dengan alasan mama tak bisa meninggalkan keluarga kami di Bogor.
Kak Bambang anak bungsu papa mengatakan bahwa sebelum meninggal, papa telah meninggalkan sejumlah deposito atas nama Dyah. Deposito tersebut hanya dapat dicairkan bila Dyah telah dianggap berusia dewasa. Mama sangat berterima kasih akan hal itu. Tak hanya itu Kak Bambang pun mendapat amanat dari mendiang papa agar setiap bulan Dyah mendapatkan jatah uang bulanan dari hasil bengkel papa yang kemudian dikelola oleh Kak Bambang.
Keluarga papa ternyata keluarga yang sangat kaya raya. Kak Lani anak pertama papa memiliki sebuah usaha pabrik roti dan kue lapis legit yang sangat ternama : Laurena Bakery, dan Mariza Lapis Legit. Usaha tersebut turut dikembangkan oleh suaminya.
Kehidupan beragama dalam keluarga papa sangat beragam. Istri pertama papa memeluk agama Kong Hu Chu, Kak Lani dan keluarga kecilnya menganut agama Buddha, sedangkan Kak Bambang dan keluarga kecilnya meyakini agama Kristen. Meski penuh perbedaan semua hidup dengan rukun dan tenteram. Aku dan mama sangat kaget, saat kami bertiga diantar ke lokasi makam papa, ternyata papa dimakamkan secara Kong Hu Chu. Padahal saat menikahi mama dulu, pernikahan papa dan mama dilangsungkan secara Islam. Pada batu nisan papa terlihat jelas sebuah foto papa dengan tulisan di bawahnya Law Kim Tjoan nama China papa. Aku tidak pernah mengetahui kalau papa seorang Jawa-China. Sebab mata papa sama sekali tidak terlihat sipit. Lagi-lagi aku dan mama menangis di samping makam papa. Kami bimbang, kami bingung harus berbuat apa. Hanya doa yang dapat kami panjatkan, semoga papa tenang di peristirahatannya. Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosanya, dan menerima semua amal baiknya selama hidupnya di dunia. Amin. Amin ya rabbal alamin.
--Good Bye Papa, We all love you forever--
____________________________________________
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Peluk hangat untuk teman-teman semua
HidingPrince
Well, for next update story your name has been already deleted from my mention list. Any problem anyway?
Wahh keluarga yg harmonis ya papanye