BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepanjang Hidupku

1383941434464

Comments

  • #14

    〒仝〒Sayounara Sachi dan Novan!〒仝〒


    Bogor, April 2001

    “Gie, janji ya SMA nanti kita satu sekolah lagi! Kalau bisa sampai perguruan tinggi kita satu kampus terus. Gue gak mau jauh-jauh dari elu!” ucap Ary memegang tanganku saat kami belajar bersama untuk persiapan EBTANAS.

    Aku gamang hanya bisa diam tak menjawab pertanyaannya. Kemarin mama sudah memastikan bahwa kami tidak memiliki uang untuk melanjutkan pendidikanku ke jenjang yang lebih tinggi. Tahun ini adikku Dyah juga akan mendaftar masuk ke SD mengingat usianya yang sebentar lagi genap memasuki 6 tahun. Mama tentu saja memerlukan uang yang tidak sedikit untuk membiayai keperluan sekolah Dyah. Kusunggingkan senyuman kepada Ary yang masih menunggu jawaban dariku.    ( ・´ω・`)

    "Lu kok kelihatan gelisah?" Ary memiringkan badannya menghadap ke arahku.

    Malam ini seperti biasanya sepulang mengantarku siaran di RRI, ia menginap di rumahku dengan alasan sekalian ingin belajar untuk persiapan menghadapi EBTANAS. Malah aku yang tidak pernah menginap di rumahnya.

    "Senyum elu itu kaya dipaksain banget!" Tembaknya dengan tepat.

    "Ah, enggak!" Elakku.

    "Apa lu masih kepikiran soal si Ryan? Sorry ya, gue gagal ngebujuk dia buat temenan lagi sama lu," Ary menghela napasnya sesaat.

    "Kagak apa-apa kok kalau dia emang gak mau lagi temenan sama gue. Gue bisa maklum, pasti gue bakal banyak nyusahin dia karena gue orang miskin. Dia kan cuma mau temenan sama orang kaya," Kupandangi langit-langit kamarku.

    "Lu enggak miskin! Justru elu itu kaya. Kaya akan hati, kaya akan ilmu, kaya akan kebaikan, kaya akan kedewasaan dan kemandirian, kaya akan segala-galanya yang enggak gue miliki!" Sela Ary menarik pandanganku agar aku menghadapnya.

    "Ry, jangan ngesupport gue kaya gitu!"

    "Gue ngomong realita!"

    "Lu berlebihan!"

    "Hey, lu punya apa yang gue dan Ryan nggak punya. Itu yang bikin gue suka sama lu!" Katanya menegaskan.

    "GOMBAL!" Cibirku.

    "Serius tahu!"

    "Emang dari kapan lu suka sama gue?"

    Sejak elu nyium gue di Taman Satin 3 tahun lalu!"

    DEGH!

    Mataku sukses dibuatnya terbelalak. Jadi sejak aku menciumnya di Taman Satin dulu, Ary sudah mulai menyukaiku? Bodohnya aku tidak menunggu jawaban darinya pada hari itu. Aku malah pergi meninggalkannya seorang diri setelah aku merasa malu atas insiden ciuman yang kulakukan terhadapnya.

    "Waktu gue kelas 2 SD, gue pernah ngeliat cowok ciuman sama cowok di Filipina. Mereka kakak kelas gue di sekolah yang udah pada SMA. Kebetulan sekolah gue satu kompleks mulai dari SD, SMP, sampai SMA. Awalnya gue ngerasa aneh pas ngeliat mereka berciuman di toilet sekolah. Tapi setelah gue ngerasain ciuman sama elu di Taman Satin 3 tahun lalu, gue jadi ngerasa gak aneh lagi. Terjawab sudah rasa penasaran gue!" Katanya sambil menekuk kakinya di atas kasur.

    Wow, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah Ary lontarkan padaku.

    "Ciuman itu begitu manis!" Muka Ary memerah tersipu-sipu.

    "Ary..." Kupandangi wajahnya dalam.

    "Waktu kita terakhir ketemu sehari sebelum gue berangkat ke Filipina lagi, gue pengen banget ngucapin salam perpisahan ke elu. Tapi gue ngerasa grogi buat ngucapinnya. Malahan gue juga takut ngucapin kata-kata perpisahan sama elu, sebab gue nggak mau kehilangan elu!" Ditiupnya riak rambut yang menutupi keningnya.

    "Gue tahu kok! Waktu elu natap gue hari itu, gue ngerasa ada sesuatu yang mau elu sampein ke gue. Sesuatu semacam kata-kata perpisahan. Meskipun mulut elu nggak bilang, tapi tatapan elu kaya ngasih isyarat perpisahan ke gue!" Kurebahkan kepalaku di bahunya.

    Ary tertegun mendengarkan penuturanku.

    "Gie, gue sayang sama elu!" Ungkapnya penuh perasaan.

    "Gue juga sayang banget sama elu, Ry!" Dibelainya bahuku oleh sebelah tangannya.

    "Eh Ry, lu mau dengar rekaman suara lu dulu gak waktu di Taman Satin? Gue masih nyimpen lho!" Seruku menyerahkan walkman Aiwa kesayanganku.

    Lalu Ary menyambutnya dengan suka cita. Ia berbagi headset denganku sebelah-sebelah. Kami tidur berebah di pembaringan. Kulabuhkan kepalaku di atas dadanya sambil kulingkarkan tanganku di atas perutnya.

    "Haha... Suara gue waktu kecil lucu banget ya?" Ary tertawa renyah melirik wajahku.

    Kubalas tawanya dengan mencolek hidungnya yang pas-pasan. Sebelah tangannya membelai-belai punggungku penuh kehangatan. Kutarik selimut dengan ujung kaki untuk menutupi tubuh kami. Angin malam berhembus semilir mengantarkan kami menuju peraduan hingga kami saling terlelap dalam dunia mimpi kami masing-masing.

    Ketika pagi hari kuterbangun, aku mendengar suara kicauan burung gereja di atap rumah bersahut-sahutan dan suara seruling nan syahdu menyayat hati. Aku teringat permainan seruling yang biasa dimainkan oleh Mang Ega sejak beliau SMP. Iramanya begitu lirih dan sedih. Entah lagu apa yang dimainkan namun aku sangat trenyuh menghayati lantunan melodinya.

    "Lu udah bangun?" Ary menghentikan permainan serulingnya.

    Ia sudah berpakaian seragam lengkap sangat rapi dan rambutnya disisir kelimis.

    "Gue kirain Mang Ega yang maen," kataku seraya bangkit dan duduk di tepi ranjang. Aku baru sadar Mang Ega kan sudah tidak tinggal bersama keluargaku lagi.

    "Gue emang suka permainan paman lu itu, makanya gue coba, eh ternyata bisa!" Decaknya riang.

    "Mahal kita!" Ary mengecup keningku.

    "Apaan yang mahal, Ry?" Tanyaku tak mengerti.

    "Itu Bahasa Tagalog yang gue pake selama di Filipina!" Katanya menjelaskan.

    "Kok kedengarannya kaya bahasa kita ya?" Kukerutkan keningku sedikit bingung.

    "Sebenarnya masih rumpun Bahasa Melayu juga sih, makanya mirip!"

    "Oh, yang tadi lu sebutin kalimatnya apaan? Terus artinya apa?" Aku mulai tertarik.

    "Nanti aja deh, gue pinjemin buku tata bahasanya. Tapi penjelasannya pake Bahasa Inggris!" Urainya menjawab pertanyaanku.

    "Hmm, ya udah. Astaga jam berapa ini? Gue sampai gak sempat shalat subuh!" Pekikku melihat jam weker di atas bufet kecil di samping ranjangku. Jarum jam telah menunjukkan hampir pukul setengah enam pagi.

    "Masih sempat kayanya, kan mataharinya belum nongol!" Ary cengengesan garing.

    Buru-buru aku melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu dan menunaikan ibadah shalat subuh. Mama paling tidak suka aku meninggalkan shalat lima waktu, apalagi shalat subuh. Kata mama waktu yang paling baik untuk meminta kepada Allah agar dimudahkan rezeki adalah pada waktu subuh. Sekali aku malas menunaikan shalat subuh, mama biasanya akan menarik tanganku dan menyeretku ke kamar mandi, kemudian disiramlah sekujur tubuhku hingga basah kuyup.

    Mestinya adzan subuh terdengar nyaring olehku, sebab mushala Al Munir tempat biasa kumengaji semasa kecil terletak persis di belakang rumahku. Letaknya agak ke bawah, karena posisi tanah surau tersebut berada di bawah tebing belakang rumahku. Kadang-kadang bila sedang tidak malas aku mengumandangkan adzan subuh di sana. Tapi hari ini aku pasti terlalu larut dalam mimpi yang sama sekali tidak dapat kuingat telah memimpikan apa semalam. Mungkin saja Pangeran Ary telah hadir dalam mimpiku tadi malam sehingga aku terbuai dan bangun kesiangan.

    "Lu mimpi jorok ya?" Seloroh Ary cengar-cengir tidak jelas.

    "Apaan sih?" Mataku melotot.

    Kulipat sarung dan sejadah bekas aku shalat lalu kuletakkan di atas kursi.

    "Lu mimpi ngapain sama gue?" Gayanya sungguh narsis.

    "Ngapain gue mimpiin elu? Mending gue mimpiin si Novan!" Sengitku mencebik jaga gengsi.

    "Oh, jadi elu suka sama si Novan, nih? Pantesan akhir-akhir ini lu makin dekat sama anak kelas neraka itu!" Goda Ary tak kalah sengit. "Ya udah, gue mau deketin Anton ya?" Pancing Ary lagi.

    "Iya deh, gue cuma suka sama elu aja! Novan mah cuma best friend!" Kuacungkan dua jari tanda perdamaian seraya nyengir kuda.

    "Eng... Setahu gue kayanya Anton gak bakal mau sama elu deh! Soalnya dia kan cuma sayang sama gue! Wee..." Tandasku menjulurkan lidah padanya.

    "Udah cepet sana mandi, entar gue tinggalin lho!" Didorongnya tubuhku ke dalam kamar mandi seperti seorang ibu yang memaksa anaknya untuk mandi.

    "Awas lho, jangan macam-macam selama mandi!" Ancamnya garang.

    "Emangnya ngapain?" Tanyaku geregetan.

    Mata Ary membulat besar, "Kali aja lu mainin sabun buat pelicin!"

    "Sialan lu!" Umpatku geram.

    Kugeser pintu kamar mandiku yang bergaya ala pintu Jepang, namun Ary sengaja menahannya dengan ujung kakinya agar pintu tidak bergeser.

    "Awasin kaki lu! Masak gue mandi terbuka?"

    "Udah buka aja napa sih? Cuma ada gue ini!" Katanya menarik kembali pintu kamar mandi agar tetap terbuka.

    "Gila lu, lu mau ngeliatin gue mandi?" Ujarku sedikit kesal.

    "Gue cuma mastiin kalo lu gak ngelakuin macem-macem selain mandi di kamar mandi!" Timpalnya lugas.

    "Negative thinking mulu lu dari tadi. Entar gue ciprat lho!" Ancamku menyepak kakinya agar tidak mengganjal pintu kamar mandi lagi.

    CRET! CRET!

    Kucipratkan sedikit air ke arahnya. "Sini lu, mandi lagi sama gue!"

    "Enak aja! Entar seragam gue basah nih!" Ary pun menghindar.

    "Dah ya, gue mau boker dulu! Kalo mau ikut, sini gue pangku di kloset!" Himbauku padanya diiringi senyuman yang sangat lebar.

    Buru-buru Ary menutup hidungnya rapat-rapat, "Pantesan aja dari tadi gue nyium bau yang nggak enak. Pasti lu habis kentut!" Celetuknya sambil keluar dari kamarku.

    Dalam hati aku tertawa tergelitik melihat kelakuan Ary yang sangat lucu. Dia pasti cemburu saat aku menyebutkan nama Novan kepadanya. Ada-ada saja tingkah Ary itu, dipikirnya aku akan melakukan masturbasi di dalam kamar mandi dengan menggunakan sabun. Padahal seumur-umur aku belum pernah melakukan hal seperti itu sesuai dugaannya. Ia tidak tahu kalau aku lebih sering berfantasi di atas ranjang tanpa menggunakan pelumas apapun.

    ♔♕♔

    Belakangan ini Novan sangat sering mengajakku berkunjung ke rumahnya. Dia memintaku untuk mengajarinya Matematika, Fisika dan Geografi yang tidak disukainya. Dia bilang, meskipun saat ini dia tergabung dalam kelas 3-G yang dijuluki sebagai kelas neraka, di mana gudangnya anak bandel di sekolahku ditempatkan, Novan sangat ingin bisa lulus EBTANAS dengan hasil yang tidak mengecewakan. Bagiku tidak ada ruginya memenuhi permintaannya. Jujur, sebelum Ary pulang dari Filipina aku memang jatuh cinta kepada lelaki jangkung satu ini. Tetapi aku sangat menyesal mengapa hubungan kami (aku dan Novan) semakin dekat di saat aku dan Ary telah resmi menyatu. Aku menjadi dilema antara harus memilih salah satu di antara keduanya. Namun tetap saja pada akhirnya aku memilih Ary, karena Ary adalah lelaki yang selama ini aku tunggu.

    "Wah, capek juga nih nulis terus!" Novan melemaskan pergelangan tangannya.

    Duduk bersebelahan dengannya seperti ini nyaris membuat pikiranku buyar ke mana-mana. Baru kusadari aroma parfum yang dipakai Novan ternyata sama persis dengan parfum yang digunakan oleh Ary. Dan akupun ikut memakainya. Parfum Polo Sport Ralph Laurent yang biasa kubeli di Shangrila tidak jauh dari lokasi sekolahku.

    "Gie, kok bengong?" Novan mengibaskan telapak tangannya di depan wajahku.

    "Parfum elo Van, wangi banget!" Kataku berterus terang.

    Kuhirup dalam-dalam aroma tersebut sambil menutup mata.

    "Oh, suka ya sama parfum gue? Nih, ciumin sampai puas!"

    Tiba-tiba saja Novan merapatkan tubuhnya tepat ke arah hidungku. Kepalaku nyaris terbenam di depan dadanya. Saat itu, ingin rasanya kupegangi tubuh Novan sekuat mungkin dan kuciumi sekujur tubuhnya yang wangi sampai puas. Namun sayangnya suasana ini sangat tidak memungkinkan bagiku.

    "Ehem!" Terdengar suara Ary berdeham. "Acara belajarnya udah beres kan? Yuk kita pulang!" Ajaknya kemudian.

    Ke manapun aku pergi, Ary memang senantiasa menemani. Termasuk bila aku diajak pergi oleh Novan entah untuk belajar bersama di rumahnya ataupun jalan-jalan sekedar untuk melepas kejenuhan karena padatnya persiapan ujian kelulusan sekolah kami, Ary pasti selalu mengikuti. Dia seolah menjadi bodyguard khusus yang sengaja mengawalku.

    "Buru-buru amat sih, Ry? Nih, jagung rebus belum dimakan!" Tawar Novan kembali ke posisi duduknya semula.

    Mata Ary memberi isyarat kepadaku, "Kita harus cepat pulang!"

    Kubalas isyarat tatapannya dengan menggelengkan kepala, "Bentar makan jagung rebus dulu!"

    "Cepetan jangan lama-lama!"

    Santai aja napa sih?"

    "Gua gak tahan!"

    "Gak tahan kenape? Lu kebelet pipis? Besok-besok pake Pampers!"

    Mata Ary semakin menatapku tidak suka.

    "Habisin cuy, jagungnya!" Titah Novan kalem dan santai.

    "Yoi!" Sahutku pelan.

    "Lu mau maen PS, Ry?" Tawar Novan kepada Ary.

    "Males ah! Ajakin si Ugie aja tuh!" Ary berdecak jengkel.

    Novan menatap Ary heran, "Ugie mana mau maen PS! Dia gak demen maen game, iya kan Gie?" Pandangannya beralih padaku.

    Ary terkesima, "Lu kok tau banyak ya soal Ugie?"

    "Gue kan sobatnya yang paling spesial gitu lho!" Timpal Novan dengan PD-nya membuat Ary semakin dongkol mendengarnya.

    "Hemmm," mata Ary berputar-putar terlihat kesal.

    "Lho, majalah apaan nih?" Pandangan mata Ary tiba-tiba tertuju pada sebuah majalah di kolong meja.

    "Haha... Baca aja! Gua jamin lu pasti suka!" Novan memutar channel TV yang baru saja dinyalakannya.

    "Gila lu! Dapat dari mana lu majalah ginian?" Seloroh Ary penasaran.

    "Itu punya kakak gua, Bang Adnan. Dulu dia bawa pas balik dari Amrik," Jawab Novan tak mengalihkan pandangannya.

    Mata Ary melotot memperhatikan gambar-gambar yang terdapat dalam majalah.

    "Ini Madona kan?" Gumamnya pelan.

    "Yup! Biasalah negara liberal emang kaya gitu adatnya!" Sahut Novan santai.

    "Majalah apaan sih? Lihat donk!" Kutarik majalah yang sedang dibaca oleh Ary namun Ary berhasil merebutnya kembali. Sekilas aku sempat melihat foto-foto porno para artis barat yang sering kulihat di layar kaca.

    "Majalah ini gak pantes dibaca sama anak alim!" Omel Ary sok menasihatiku.

    "Haha... Itu yang bikin gue suka temenan sama Ugie dari dulu!" Terang Novan blak-blakan kemudian tertawa mengakak.

    "Kenapa sama anak ini?" Ary fokus membuka halaman demi halaman pada majalah.

    "Benar kata elu cuy, Ugie itu anaknya alim dan polos! Gue kasih komik hentai aja sampe melongo!" Novan masih saja terus terpingkal.

    "Hah? Elu ngasih dia komik hentai? Dia entuh sukanya komik Doraemon sama Crayon Shinchan, cuy!" Respon Ary sok melucu.

    "Sialan lu, Ry! Gue dah berhenti baca komik Doraemon sejak SD kali!" Rutukku sewot.

    "Kalo Detektif Conan masih suka kan?" Novan mencandaiku.

    "Ya sukalah! Orang itu komik belum tamat-tamat kok, ya penasaranlah!" Tukasku senewen.

    "Nih ya, koleksi komik gue di rumah antara lain : Dragon Ballz, Kungfu Boy, Detectif Conan, Detektif Kindaichi, The Pitcher, Slam Dunk, sama Crayon Shinchan! Lu mau pinjem?" Beberku lagi menambahkan.

    "Dasar komik maniak!" Timpal Ary setengah bergurau.

    "Huh, lu sendiri juga suka baca di kamar gue sampe berjam-jam kan?" Kulemparkan bantalan kursi ke arahnya.

    "Udah, jangan pada berantem! Kalian ini kaya orang pacaran aja, dikit-dikit mesra, dikit-dikit ribut!" Sela Novan menengahi kami.

    "Lu nggak tahu ya, Novan? Kita kan emang pacaran! Kalo lu mau, lu bisa jadi madu!" Ucapku dalam hati.

    "Ngomong-ngomong, setelah lulus nanti kalian berdua mau ngelanjutin ke mana?" Tanyanya kemudian.

    "Kita mau ngelanjutin ke SMUN 5!" Jawab Ary sekenanya. "Iya kan?" Liriknya padaku.

    "Wah, berarti kalian nanti bakal ketemu Bang Adnan donk. Itu kan sekolah kakak gue!" Seru Novan riang.

    "Sekolah kakak elu?" Mata Ary mendelik sinis.

    "Maksud gue, tempat kakak gue bersekolah!" Tegas Novan memperjelas kalimat yang telah diucapkannya.

    "Oh, Bang Adnan sekolah di situ? Boleh deh entar jadi temen band gue!" Cerocos Ary asal.

    Aku hanya diam menyimak pembicaraan mereka berdua. Terus terang, aku masih sedikit pesimis karena tidak bisa melanjutkan sekolah. Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk masuk SMA? Honorku dari siaran ESP di RRI tidak seberapa besar. Hanya cukup untuk uang saku sehari-hari di sekolah. Uang hasil mengajar les di rumah kuberikan sepenuhnya kepada mama untuk membiayai keperluan kami sehari-hari. Meminta tolong kepada Mang Ega rasanya sungkan karena beliau belum begitu bisa memanage keuangan dari hasil pekerjaannya di pabrik bahan kimia terkemuka di Kota Tangerang. Meminta tolong kepada keluarga yang lain pun rasanya tidak enak. Sebisa mungkin aku tidak ingin merepotkan mereka karena merekapun pastinya memiliki kepentingan pribadi yang mungkin lebih urgent daripada kepentinganku.

    "Gie, lu kok dari tadi bengong? Lu sakit?" Novan menyentuh keningku.

    "Eng... Enggak kok!" Aku menggeleng. "Eh, elu belum cerita mau lanjut ke mana habis lulus nanti?"

    "Gue... Nenek-kakek gue minta gue buat nemenin mereka di Medan," ungkap Novan sedikit lesu.

    "Apa? Jadi, lu setelah lulus nanti pindah ke Medan?" Tanyaku tak percaya.

    Entah mengapa tiba-tiba saja tubuhku mendadak lemas. Hati kecilku berteriak, "Jangan Novan! Lu jangan pindah! Entar gue gak bisa ketemu sama cowok seganteng elu lagi!"

    "Ugie lagi sakit, Ry! Tuh, bengong terus kan!" Novan menyenggol lenganku.

    "Yah, gue bakal kehilangan elu donk!" Keluhku pada Novan.

    "Napa? Lu nggak mau pisah sama gue ya? Aku gak rela! Gak rela!" Goda Novan menirukan slogan iklan yang populer di era 1990-an.

    "Ikut gue ke Medan, yuk!" Novan mengedipkan sebelah matanya padaku membuat hatiku melting seketika.

    "Ke Medan asyik banget kali ya? Bisa jalan-jalan ke Danau Toba sama ngeliat Istana Maimun," ungkapku sangat terpukau.

    "Jagungnya dah habis kan? Udah yuk, kita balik!" Ajak Ary padaku.

    "Boy, majalahnya gue pinjem dulu ya! Besok gue balikin. Oya HORAS bah, buat keluarga kau di Medan!" Tiba-tiba saja logat bicara Ary berubah menjadi kebatak-batakan.

    Akhirnya kami berpamitan kepada Novan dan keluarganya. Kami pulang diantar oleh supir pribadi yang biasa mengantar-jemput Novan sekolah. Sepanjang perjalanan aku hanya diam termenung memikirkan masa depanku bercampur dengan kepergian Novan selepas kelulusan nanti.

    "Andai EBTANAS itu tidak pernah ada mungkin aku takkan begini," risauku dalam kegamangan pikiranku.

    "Gie, lu kenapa? Lu kepikiran soal Novan, ya?" Ary menggenggam tanganku erat.

    Kusunggingkan senyumku pada lelaki pujaanku itu. Kuangkat genggaman tangannya itu merapat ke pipiku.

    "Ry, janji ya, lu akan selalu ada buat gue!" Kataku sedikit lemah.

    Ary hanya mengangguk mencoba meyakinkanku bahwa dia takkan pernah pergi jauh dariku seperti dulu ia meninggalkanku karena mengikuti tugas dinas ayahnya.

    ♣♣♣

  • ♬♪♬♠♣♦♣♠♬♪♬♧♢♡♢♧♬♪♬


    "Ton, kenapa sih tiap lu jalan sama Ary dan Ryan, lu nggak pernah ngajak gue?" Tanyaku pada Anton suatu ketika aku berkunjung ke rumahnya.

    "Lu kan sibuk," Anton membidik burung-burung gereja di dahan pohon jambu air depan rumahnya.

    "Belakangan ini gue dah gak terlalu sibuk kok!" Selaku padanya.

    Anton sama sekali tak mempedulikanku. Dia terlalu asyik mengarahkan senapan anginnya ke arah mangsa incarannya.

    "Lu kan sibuk nyiapin EBTANAS. Gue gak mau ganggu, daripada hasil ujian lu jeblok. Gimana?" Ia menghampiriku setelah burung-burung gereja incarannya berhasil melarikan diri.

    "Apa bedanya sama mereka? Ary sama Ryan juga kan mau EBTANAS!" Protesku.

    "Elu sama mereka kan beda. Mereka mana pernah sih mau belajar?" Dihempaskannya tubuhnya di atas kursi yang ada di teras rumahnya.

    Teras rumah Anton sangat redup terhalang oleh pepohonan di pekarangan rumahnya. Anton menarik napas panjang. Kemudian ia tercenung seperti sedang memikirkan sesuatu.

    "Gue ngerasa ada yang aneh dari gelagat lu!" Kataku mencelanya.

    "Akhir-akhir ini lu kaya ngehindar dari gue. Ini bukan karena lu udah punya pacar kan? Dulu pas elu SMP walaupun elu punya gebetan, sikap lu biasa-biasa aja ke gue. Lu tetap baek dan manis ke gue. Tapi sekarang, setelah lu SMA dan udah punya pacar, lu makin jauh dari gue," keluhku membelakanginya.

    "Perasaan lu aja paling," Anton memejamkan matanya. Tangannya tampak sibuk menguruti keningnya. "Aduh, kepala gue pening!"

    Kudekati Anton dan kupijat-pijat keningnya, "Ini bukan karena gue sama Ary udah dekat juga kan?"

    Anton membuka kelopak matanya dan menatapku lekat. Ditariknya kepalaku untuk bersandar di bahunya.

    "Dah lama ya, kita gak kaya gini," Anton mengusap-usap sebelah lenganku.

    Aku tersenyum. Dulu kami sering berduaan seperti ini. Saling menyayangi, mendekap dan membelai satu sama lain. Tetapi kami tidak pernah jadian walau kami saling suka. Anton tahu hatiku terbagi dua untuknya dan Ary ketika aku masih kelas 6 dulu. Lantas Anton mengalah agar kami tidak perlu berpacaran sebab ia tahu perasaanku lebih berat kepada Ary, laki-laki yang telah mencuri ciuman pertamaku.

    "Hubungan lu sama Ary baek-baek aja kan?" Tanyanya masih mendekap kepalaku di sandarannya.

    "Please deh, jangan mengalihkan pembicaraan!" Sahutku sedikit sebal.

    "Gue nggak enak ngomongnya sama elu," akunya ragu.

    "Ngomong ajalah, Nton! Kita kan dah kenal lama," ucapku memintanya berbicara terus terang.

    Anton kembali berpikir. Setelah beberapa saat dan aku mulai jenuh menanti kata-kata yang akan dilontarkannya segera aku bangkit dan berjalan meninggalkannya. Anton pun beranjak menegakkan posisi duduknya.

    "Ryan ngelarang gue ngajak elu, tiap kali kami mau jalan!" Ungkapnya saat aku selesai memakai sandal.

    Kutolehkan pandanganku ke arahnya di belakangku. Kuhembuskan napas dari mulutku perlahan.

    "Sudah gue duga!"

    "Sorry ya, Gie!"

    "Gue emang orang miskin. Gak pantes temenan sama kalian."

    "Gie, lu marah ya?"

    "Gue gak marah kok. Gue nyadar diri aja."

    "Maafin gue ya, Gie!"

    "Ngapain mesti minta maaf? Gak ada yang salah kok! Kenapa juga ya gue berharap banget kita bisa kaya waktu kecil dulu, maen sama-sama. Buat gue, masa kecil itu adalah masa-masa yang paling indah!"

    "Setiap orang ada kalanya pasti berubah, Gie!"

    "Anton, gue gak bisa berubah! Selamanya gue bakal tetap jadi Ugie seperti yang elo kenal!"

    "Gue harap gitu!"

    "Gue bakal tetap sayang sama elu, Ton. Meskipun suatu saat nanti kita terpisah jauh. Lu abang terbaik yang pernah gue punya!"

    "Gue juga, Gie. Lu adek gue yang manis. Kapan aja lu butuh gue, gue bakal selalu ada buat elu!"

    Kubalikkan tubuhku menghadapnya. Kurengkuh pinggangnya erat. Entah mengapa aku merasa seperti akan kehilangan Anton untuk selamanya. Semoga saja firasatku kali ini salah. Tanpa sadar aku menangis dalam pelukannya. Air mataku mengalir deras di kedua belah pipiku.

    "Gue pulang dulu, Ton!" Pamitku menyeka air mata dengan punggung tanganku.

    "Entar deh, gue coba bujuk Ryan supaya elu sama dia bisa temenan lagi kaya dulu. Gue juga enggak enak hubungan kalian jadi renggang gini!"

    "Gak usah, Ton! Itu hak dia mau temenan sama siapa aja. Mau sama orang kaya kek, mau sama orang miskin kek, terserah dia!" Kataku mengakhiri pertemuan kami.

    Sejak papa meninggal, aku merasa minder untuk bergaul di luar rumah maupun di sekolah. Bahkan dengan Teguh yang simpati pada kesusahanku sekalipun aku jarang bergaul lagi dengannya. Perlu momen khusus agar kami dapat berkumpul bersama. Di sekolah aku tidak terlalu memiliki banyak teman. Cukup mengenal teman dari kelas lain tetapi tidak terlalu akrab. Hanya Novan, Sachi, dan Ary teman akrabku di sekolah. Sementara bila di rumah aku lebih banyak bermain bersama Indra, anak satpam BALITRO yang kehidupan keluarganya sangat sederhana. Atau kadang-kadang juga bermain bersama Asep, si ganteng yang tinggal di RT3. Itupun bila Asep sedang berada di rumah. Untung saja Asep bukan tipikal teman seperti Ryan yang cenderung pandang bulu dalam berteman.

    Hampir setiap hari Minggu pagi aku mengunjungi Indra di lapangan tenis BALITRO. Ia kerap menjadi penjaga bola di sana. Untuk itu ia diberi upah oleh para Om pegawai BALITRO yang bermain di sana. Biasanya Indra mendapat upah Rp10.000,00-Rp25.000,00 perhari. Upah yang tidak banyak memang, namun Indra selalu mensyukurinya. Uang itu ia gunakan untuk uang sakunya sehari-hari. Baginya dengan jumlah sekianpun sudah lebih dari cukup. Karena jumlah pemain tenis setiap minggu cukup banyak, Indra sering memintaku membantunya menjaga bola di lapangan sebelahnya. Kebetulan di BALITRO terdapat beberapa lapangan tenis yang sangat baik di kota kami. Awalnya aku sendiri tidak bisa bermain tenis yang notabene adalah olahraga kalangan menengah atas. Ironisnya aku justru diajarkan oleh Indra bagaimana cara bermain tenis. Indra memang hebat, katanya tak seorangpun yang mengajarinya bermain tenis. Cukup hanya memperhatikan permainan orang saja, dia langsung menguasai permainan tersebut.

    Mrs. Rara guru Bahasa Inggris di sekolah kami cukup sering juga bermain tenis di tempat kami. Padahal rumahnya sangat jauh di Ciomas. Beliau senantiasa mendampingi suaminya yang kebetulan pegawai BALITRO. Meskipun beliau guru Bahasa Inggris di sekolah, akan tetapi beliau tidak pernah mengajar di kelasku. Tahun pertamaku di SMP, guru Bahasa Inggrisku adalah Miss Ika yang bertubuh ramping seperti Barbie. Sedangkan tahun kedua dan ketigaku di SMP, 2 tahun berturut-turut aku diajar Bahasa Inggris oleh Mrs. Neneng yang berwajah khas Arab. Padahal aku sangat berharap di tahun ketiga ini agar kelasku diajar oleh Pak Jefri yang berparas tampan mempesona. Namanya mengingatkanku pada Jefri temanku yang nakal saat aku SD. Meski sudah berkeluarga, Pak Jefri terlihat masih seperti layaknya seorang perjaka. Mungkin karena tampangnya yang terlihat sangat muda sehingga orang mengira beliau belum menikah. Sayangnya Pak Jefri hanya mengajar kelas 3A hingga 3-D.

    "Come on Sugih, I will beat you!" (Ayo Sugih, aku akan mengalahkanmu!) Mrs. Rara menantangku duel tenis setelah suaminya selesai bermain.

    "No fear!" (Tidak takut!) Jawabku segera memantulkan bola ke lantai dan menangkisnya dengan tangkas.

    Mrs. Rara berhasil menangkis balik ke arahku. Buru-buru aku menyerangnya lagi.

    "Bagaimana siaranmu di RRI? Semakin menyenangkan? Ibu perhatikan jumlah pendengar kita semakin banyak! Terbukti semakin banyak penelepon yang ingin memberi opini mereka terhadap topik yang kamu berikan," tegur Mrs. Rara dalam Bahasa Inggris.

    Mrs. Rara benar-benar enerjik, beliau sanggup mematahkan seranganku berkali-kali dengan sangat cepat.

    "Semua berkat promosi yang gencar kita lakukan. Ibu juga selalu mempromosikan acara kita kepada murid-murid Ibu saat mengajar di kelas, kan?" Kataku menimpali perkataan beliau.

    "Ya, murid-murid Ibu senang mendengarkan siaranmu. Mereka tak menyangka kalau kakak kelas mereka ada yang menjadi penyiar. Tampaknya mereka ngefans sama kamu lho!" Terang Mrs. Rara.

    "Ibu berlebihan. Semua ini berkat Ibu. Ibu kan yang selama ini telah merekomendasikan saya kepada Mrs. Mery di RRI?" Tukasku sopan.

    "Yes, because I see a big potency in you!" (Ya, karena saya melihat sebuah potensi besar dalam dirimu!) Puji Mrs. Rara lagi.

    "So many thanks, Mrs. Rara. You are so helpful!" (Terima kasih banyak Bu Rara. Anda sangat membantu!) Balasku.

    Mungkin karena aku masih pemula. Mrs. Rara berhasil mengalahkanku dalam 3 putaran sekaligus.


    ♥♥♥



    "OK listeners, let's hear this song, special from me wherever you are! Westlife, Season in the Sun!" (Oke pemirsa, mari kita dengar lagu ini, spesial dari saya di manapun kalian berada! Westlife, Season in the Sun!) Kulepaskan headphone dari kepalaku.

    "Fiuh! Lega ya, Gie!" Mbak Dian mengibas-ngibaskan tangannya depan dada.

    "Kenapa Mbak?" Responku padanya.

    "Berjam-jam siaran di sini membuat telinga Mbak nyaris budek! Mana AC-nya lagi rusak, ruangan jadi terasa panas!" Celetuknya berkeluh-kesah.

    Aku tak menimpalinya lagi. Kufokuskan perhatianku pada buku Fisika yang sengaja kubawa dari rumah. Malam ini Ary tidak mengantarku. Tadi sore ia pergi jalan-jalan bersama Anton dan Ryan. Seperti biasanya mereka bertiga tidak pernah mengajakku pergi bersama. Sejak Anton diperbolehkan membawa mobil sendiri oleh papanya, Anton kerap membawa Ary dan Ryan jalan-jalan mengunjungi rumah teman mereka. Aku tahu akhir-akhir ini Ryan terus menghasut Ary dan Anton agar mereka tidak dekat-dekat lagi denganku. Namun aku tak peduli dengan apa yang dilakukan oleh Ryan, karena aku yakin Anton dan Ary tidak akan pernah terpengaruh oleh hasutannya.

    "Oya Gie, Mbak perhatikan beberapa hari ini kamu kok banyak merenung. Apa kamu sedang ada masalah?" Selidik Mbak Dian mencuri perhatian dariku.

    Ditariknya buku Fisika yang sedang kubaca agar aku beralih memandangnya.

    "Apa ada masalah dengan Ary? Malam ini kok dia tidak mengantarmu?" Tegurnya.

    Kugelengkan kepalaku menyalahkan pertanyaannya. "Dia sedang ada acara dengan teman-temannya."

    "Tapi kamu kok murung? Jujurlah Gie, kamu kan sudah Mbak anggap adik sendiri!" Katanya tulus. "Pancaran mata kamu tidak bisa berbohong lho!"

    "Aku cuma bingung, Mbak!" Ungkapku berterus terang.

    "Bingung kenapa?" Mbak Dian begitu antusias. "Cerita dong!" Desaknya.

    "Mbak, pekerjaan apa yang dapat kulakukan agar aku dapat melanjutkan sekolah ke SMA? Aku tidak punya uang, Mbak!" Ucapku lirih.

    Sedikit-banyak Mbak Dian sudah mengenal latar belakang keluargaku. Tak jarang aku bercerita perihal keluargaku padanya. Demikian pula sebaliknya, aku cukup mengenal keluarga Mbak Dian dengan baik termasuk pacar dan teman-teman genknya di kampus.

    "O, jadi gitu?" Mbak Dian berpikir keras, terlihat sangat jelas ia sangat ingin membantuku.

    "Kamu jangan sedih! Mbak akan coba mencari solusi untuk masalah kamu. Kamu yang sabar ya! Di balik kesulitan pasti ada kemudahan!" Katanya menenangkan perasaanku.

    "Terima kasih Mbak, atas supportnya!" Kusunggingkan senyuman padanya.

    Mbak Dian membalas senyumanku dengan menggenggam tanganku hangat. Tanpa terasa lagu yang kami putar telah selesai. Kami pun kembali bersiaran menyapa para pendengar.

    Hari-hari terus berlalu begitu cepat. Setiap hari kuisi kegiatanku dengan belajar bersama Novan di rumahnya. Banyak sekali kenangan yang telah Novan berikan untukku menjelang detik-detik perpisahan kami. Sampai akhirnya EBTANAS pun usai. Setelah beberapa minggu berlalu, hasil kelulusanpun diumumkan. Aku berhasil meraih NEM tertinggi di kelasku. Sementara Fitri menjadi runner up di bawahku. Nia dan Meta yang selama ini selalu iri kepadaku hanya bisa menggigit jari. Anehnya Adit justru merasa bangga kepadaku begitu Bu Hasanah wali kelas kami membacakan urutan NEM tertinggi di kelas kami. Ia melonjak girang saat Bu Hasanah menyebutkan kalau akulah peraih NEM tertinggi di kelas.

    "Selamat! Selamat ya, Gie! Gue sama Ule udah nebak kalo elu yang bakalan meraih NEM tertinggi di kelas," Adit menyalamiku dan memelukku hangat.

    Berkali-kali tangannya menepuk punggungku. Wajah Adit tersenyum sumringah memamerkan gigi-gigi taringnya yang membuatnya terlihat seperti vampir. Vampir ganteng tentunya.

    "Ayo friends, kita angkat bintang kelas kita!" Seru Adit kepada teman-teman lelaki sekelas kami.

    "Ayo! Ayo!" Sahut mereka kompak.

    Wow! Benar-benar momen yang membahagiakan. Tubuhku diangkat beramai-ramai oleh teman-teman sekelasku, kemudian dilemparkan ke udara berkali-kali. Rasanya membuat hatiku melambung tinggi di angkasa.

    "Jangan lupa, perpisahan sekolah kita dilaksanakan di aula serba guna Atang Senjaya Semplak hari Sabtu besok! Untuk laki-laki diharuskan memakai kemeja, dasi, dan jas rapi. Sedangkan untuk perempuan wajib memakai kebaya dan kain!" Bu Hasanah mengingatkan kami.

    "Baik, Bu!" Sahut kami serempak.

    "Sugih dan Fitri, kalian akan tampil menjadi pager ayu bersama para juara dari kelas lain. Nanti sore kalian latihan ya di Semplak!" Tambah Bu Hasanah lagi.

    Aku dan Fitri mengangguk bersamaan.

    "Yuuuhuuu!" Sekali lagi teman-temanku mengangkat tubuhku ke udara.

    Ada perasaan senang sekilas, namun ada juga perasaan sedikit resah. Dress code acara perpisahan kami memakai jas dan dasi, dari mana aku mendapatkannya? Menyewa di salon pasti mahal, apalagi membelinya.

    "Gih, kamu kok muram begitu. Ada masalah ya?" Tegur Indra pada suatu sore ia berkunjung ke rumahku.

    "Ndra, kamu sudah dapat jas dan dasi untuk perpisahan nanti?" Aku balik bertanya.

    "Ada!" Jawabnya singkat.

    "Aku barusan dari rumah Anton, katanya punya dia dipinjam sama Ryan. Buat acara perpisahan juga di sekolahnya."

    "Oh, kalau kamu mau, di rumah masih ada satu lagi punya Aa Wawan. Bekas pernikahannya dulu. Kayanya pas sama badan kamu!" Tutur Indra menawarkan.

    "Serius Ndra?" Mataku berbinar. "Aku pinjam ya?"

    "Pakai aja! Aa Wawan juga sudah tidak memakainya lagi!"

    "Terima kasih ya, Ndra!" Aku melonjak senang.

    Benar kata orang, jangan pernah meremehkan orang kecil. Karena belum tentu orang kecil itu menyusahkan orang besar. Pada kenyataannya banyak juga orang besar yang bergantung pada orang kecil.

    Berkat bantuan Indra akhirnya aku bisa mengikuti acara perpisahan dengan baik. Kami pergi berdua menaiki angkot menuju Semplak. Setibanya di aula Atang Sanjaya, kami berbaur dengan teman-teman lain untuk menikmati momen kenangan terakhir bersama. Semua teman laki-laki terlihat gagah, keren dan elegan dengan tubuh dibalut kemeja berdasi dan berjas. Mereka semua tampak seperti para eksekutif muda dan pengusaha sukses. Sementara para perempuan terlihat sangat cantik dan dewasa dengan pakaian kebaya yang mereka kenakan.

    Aku dan Fitri berbaris bersama para juara kelas lain di tengah-tengah gedung. Kami berjalan berpasang-pasangan bak parade pangeran dan putri dari berbagai kerajaan. Red carpet pun kami tapaki secara perlahan dan teratur menuju pentas untuk menerima penyerahan ijazah secara simbolis. Fitri menggandeng tanganku dengan perasaan malu-malu. Akupun sedikit canggung dibuatnya. Banyak teman yang menggunjing kami berdua saat kami melintas di hadapan mereka.

    "Coba pas kelas satu dulu si Ugie dan Fitri itu beneran jadian ya?" Komentar Gina, sahabat Fitri yang dulu pernah menegurku gara-gara aku berduaan dengan Sachi dan membuat Fitri menangis.

    "Ah, mana mungkin si Ugie mau sama Fitri!" Balas Tresya yang akhir-akhir ini sering berkelahi dengan Meta.

    "Emang kenapa? Sok imut amat si Ugie!" Timpal Gina ketus.

    "Bukan gitu. Lu gak bakal ngerti deh kaya apa si Ugie itu!" Cela Tresya membelaku.

    "Cie... Cie... Gie, jangan grogi dong!" Teriak Adit di kejauhan. Berkali-kali ia bersiul menyorakiku. Tak ketinggalan Ule, Ichsan, Makbul, dan Teguh di belakangnya.

    Sesampainya aku dan Fitri di atas pentas, Bapak Kepala Sekolah segera menyerahkan map ijazah kepada kami satu-persatu secara simbolis. Kami duduk berlutut dan memberikan salam persembahan saat menerima map tersebut.

    Begitu aku turun dari pentas, Sachi menarik tanganku ke luar gedung. Dia meminta sepupunya untuk memotret kami berdua sampai berkali-kali.

    "Di situ! Di situ!" Tunjuk Sachi setelah beberapa kali pemotretan.

    Kuikuti langkah Sachi yang terlihat kaku karena memakai kain. Agak lucu juga melihat orang Jepang memakai kebaya. Rambut Sachi disanggul bak stupa dan genta di Candi Borobudur. Mata sipitnya dihiasi maskara dan eyeshadow biru.

    "Sachiko, sudah hampir satu gulung rol film ini kamu pakai dengan laki-laki ini. Apa kamu tidak ingin berfoto dengan teman-teman yang lain?" Tegur sepupu Sachi menunjukkan meteran volume foto pada kamera yang dipakainya. Bahasa Indonesia yang diucapkannya terdengar sangat kaku dan patah-patah.

    "Tak apalah!" Sahut Sachi santai. "Masih banyak juga filmnya!"

    "Sebentar ya, aku mau ke toilet dulu!" Pamit Sachi sambil memegangi kain batiknya.

    "Kamu orang Jepang ya?" Kataku menyapa sepupu Sachi.

    "Ya begitulah. Namaku Daichi Takagi. Kamu pacarnya Sachiko ya?" Tebaknya mengangkat sebelah alisnya.

    Aku mengernyitkan kening, "Bu... Bukan! Aku cuma temannya!"

    "Oya namaku Sugih!" Kusodorkan tanganku pada lelaki seumuranku itu.

    Tampangnya benar-benar keren. Sejauh ini aku belum pernah melihat orang Jepang berwajah jelek. Gara-gara Sachi sering menemuiku di sela-sela jam istirahat sekolah, aku jadi gemar menonton dorama Jepang yang kerap ditayangkan Indosiar setiap Sabtu jam 5 sore. Kadang pula aku menonton film-film superhero made in Japan yang sepatutnya ditonton oleh anak-anak semisal : Jetman, Maskman, Ultraman, dan lain sebagainya. Menurutku para tokoh jagoan Jepang itu parasnya keren-keren, persis seperti laki-laki yang sekarang berada di hadapanku.

    "Kenapa kamu tidak menyatakan perasaan kepada Sachiko?" Tanyanya membuatku jengah.

    "Ah, bercanda kamu!" Aku tertawa kecil tergelitik.

    "Kalian saling suka?" Tanyanya lagi.

    "Mana mungkin Sachi menyukaiku. Aku kan jelek. Tidak seperti kamu!" Jawabku.

    "Kamu itu orangnya polos ya? Jangan-jangan orang yang pernah Sachi ceritakan padaku itu adalah kamu!" Daichi memutar-mutar bola matanya seperti sedang mengingat-ingat.

    "Memangnya Sachi pernah bercerita apa?" Giliranku yang menjadi penasaran.

    "Sudahlah. Tidak terlalu penting juga!" Daichi mengibaskan tangannya ke hadapanku.

    "Hmm... Orang Jepang memang introverted! Sulit sekali berterus terang," Batinku.

    "Tapi apa kamu tidak menyesal? Beberapa hari lagi Sachiko akan ikut bersama kami ke Jepang. Dia akan melanjutkan sekolahnya di sana. Di negara kami!" Tegasnya kemudian.

    "Mengapa harus menyesal?" Aku bingung sendiri.

    "Maaf, sudah menunggu lama!" Sachi sudah berada di hadapan kami lagi.

    "Tidak juga!" Kataku kepadanya santai.

    "Gie, bisa ke mari sebentar?" Tiba-tiba saja Sachi menarik tanganku ke tempat parkir yang sangat sepi.

    Sempat kulihat Daichi memberi isyarat kepada Sachi, telunjuk dan jempol yang melingkar seperti huruf O.

    "Ada apa?" Tanyaku begitu setelah kami menjauh dari Daichi.

    "Menurutmu aku ini orangnya seperti apa?" Tanyanya malu-malu.

    "Kamu orangnya sangat baik dan cantik. Memangnya kenapa?" Aku semakin bingung.

    "Hanya itu saja?" Sachi menatapku dengan mata berkaca-kaca.

    Kuanggukkan kepalaku seraya tersenyum hangat.

    "Dua atau tiga hari lagi aku pulang ke Jepang. Sebenarnya aku sangat ingin bisa melanjutkan sekolah di sini. Apalagi kalau satu sekolah lagi dengan Ugie-kun. Banyak sekali kenangan kita selama 3 tahun ini. Aku harap Ugie-kun tidak akan pernah melupakanku!"

    "Sachi, mana mungkin aku akan melupakanmu. Kamu sangat baik kepadaku selama ini. Terima kasih ya, atas segalanya dan kenangan indah yang pernah kita buat selama ini!" Kupandangi wajahnya yang memerah merona.

    "Ugie-kun, maaf mungkin ini tabu. Tapi bolehkah aku memelukmu untuk pertama dan terakhir kalinya?" Sachi menundukkan kepala.

    "E'em!" Kuanggukkan kepalaku tanda setuju.

    Serta-merta Sachi langsung melingkarkan tangannya di pinggangku. Tubuhnya yang agak rendah dariku membuat kepalanya berlabuh di dadaku. Kurasakan tetesan air menempel pada jas yang kupakai. Sachi menangis dalam diam heningnya kebersamaan kami. Cukup lama ia menangis dalam pelukanku.

    "Sudah. Tak ada gunanya menangis. Bila Tuhan mengehendaki suatu saat nanti kita pasti dipertemukan kembali!" Kataku menyerahkan selembar tisu dari saku jasku padanya.

    "Ini mungkin pertemuan terakhir kita. Kuharap kamu mau menerimanya!" Sachi menyerahkan sebuah bingkisan kecil berbungkus biru.

    "Kamu suka warna biru kan?" Ia tersenyum merekah.

    "Hem... Terima kasih banyak, ya. Maaf aku tak bisa memberimu apa-apa."

    "Foto berdua denganmu, juga memelukmu di hari terakhir pertemuan kita ini sudah lebih dari cukup sebagai hadiah darimu!" Sachi membalikkan badan membelakangiku.

    "Kita masuk yuk!" Ajaknya lagi melangkah pelan.

    Setibanya di dalam gedung kami pun terpisah. Ia berbaur dengan sepupunya tadi dan juga keluarganya. Sempat kulihat ayah Sachi turut berkumpul bersama mereka. Wajahnya benar-benar tampan dan masih muda. Segera aku berbaur dengan Novan yang sedang berbincang-bincang dengan Pak Yusuf guru Matematika kami.

    "Gie, sini!" Panggil Novan.

    Aku berjalan mendekat.

    "Kalian sudah seperti orang sukses!" Komentar Pak Yusuf melihat penampilan kami.

    "Amin," timpalku dan Novan berbarengan.

    "Pak, kami ingin berfoto bersama Bapak. Boleh ya?" Pinta Novan memohon izin.

    "Tadi Pak Yusuf cerita, katanya murid kesayangan beliau di angkatan kita itu ternyata elo!" Bisik Novan di telingaku.

    "Apaan sih!" Elakku padanya.

    "Sumpah!" Desisnya pelan.

    "Siap ya!" Devan teman akrab Novan memberi kode kepada kami.

    Kami pun berpose ala kadarnya. "Satu... Dua... Ti... Ga!"

    KLIK!

    Devanpun berhasil memotret kami dengan kamera polaroid yang dipakainya. Hasilnya lumayan memuaskan. Kami berfoto sampai 5 kali, agar kami sama-sama mendapatkan bagian.

    "Gie, anter gue ke toilet, yuk! Pengen kencing nih!" Novan menarik tanganku tanpa menunggu persetujuan dariku.

    "Eeh..." Langkahku terseret-seret olehnya.

    Begitu kami tiba di toilet, ruangan tampak sepi hampir tidak ada orang. Sepertinya semua orang sedang menikmati suasana perpisahan di dalam gedung.

    CEKLEK!

    Novan berhasil membawaku masuk ke dalam WC satu ruangan dengannya. Pintupun telah berhasil dikuncinya.

    "Gie, tadi gue lihat si Leisya cantik banget! Kagak tahan gue," tutur Novan membuka resleting celananya.

    "Eits, lu mau ngocok di sini? Gila lu!" Aku memekik pelan.

    Novan membungkam mulutku. Aroma parfumnya berhasil membiusku untuk diam.

    "Please Gie, ini terakhir kalinya kita ketemu. Setelah ijazah dibagikan, gue langsung tancap terbang ke Medan, dan mungkin gue bakal lanjut kuliah di sana setelah tamat SMA nanti. Jadi kita bakal susah buat ketemu lagi!" Pinta Novan memandangku penuh harap.

    "Gue gak mau, Van. Entar pakaian gue kotor. Ini bukan jas gue. Gue dapat minjam dari kakaknya Indra!" Cegahku berusaha keluar dari WC.

    "Ayolah, Gie! Cuma elo sahabat gue satu-satunya yang bisa gue ajakin ginian!" Novan terus memaksa.

    "Edan lu! Ajakin si Devan aja napa sih?" Tukasku sok jaim.

    "Devan gak doyan ngocok, cuy! Dia mah doyannya ngedrugs!"

    Dalam hati sebenarnya aku sangat senang diajaknya berbuat hal-hal yang diinginkannya. Namun amat disayangkan waktu dan tempatnya tidak sesuai untuk melakukannya. Seharusnya Novan lebih bisa mengontrol diri terutama menahan gejolak nafsunya yang bergelora.

    "Novan, Leisya itu sekarang sudah jadi pacarnya sahabat gue si Anton. Lu lupain aja si Leisya itu, siapa tahu di Medan nanti lu bakal dapat cewek yang jauh lebih cantik dari dia!" Kataku menasihatinya.

    "Masak bodoh! Gue nggak ngarepin buat jadi pacarnya. Yang penting gue puas ngebayanginnya!" Balas Novan cuek. Tangannya menahan tanganku agar aku tidak keluar meninggalkannya.

    "Lu kocokin punya gue, gue kocokin punya elu. Ya, elu mau kan?" Bisik Novan lagi lembut.

    Aku benar-benar terbuai oleh parfum Polo Sport yang dipakainya. Pikiranku terbius untuk memenuhi keinginan Novan. Segera kami melepas jas kami dan menggantungnya di gantungan pakaian yang terpalang di pintu. Novan menggulung lengan kemejanya, pun begitu pula denganku. Kami sama-sama melonggarkan dasi yang kami pakai. Dan kuturunkan resleting celanaku menyamai keadaan Novan.

    Novan memejamkan matanya dan menggumamkan nama Leisya pelan. Kukocok batang kemaluannya yang kuning langsat sama seperti warna kulit pada tubuhnya secara menyeluruh.

    "Leisya... Leisya... Aah!" Desis Novan pelan.

    "Gie, terus Gie yang lembut megangnya!" Pinta Novan lagi.

    Aku sangat tergiur ingin bersetubuh dengannya. Namun aku tak berani melakukan apa-apa selain memegangi kemaluannya saja. Ini bukan kali pertama aku dan Novan melakukan hal ini. Beberapa kali sebelumnya pernah kami lakukan di rumahnya saat kami belajar bersama dan kebetulan Ary sedang tidak ada bersamaku.

    Tidak menunggu lama kurasakan batang kemaluan Novan bergetar. Aliran dari dalam menekan ke luar dengan sangat kencang dan deras.

    "Ah Novan, tangan gue basah nih!" Omelku padanya setengah berbisik.

    Sesuai kesepakatan, Novan akan mengocok batang kemaluanku. Tangannya telah melekat pada batang kemaluanku, dan bergerak memberiku rangsangan-rangsangan yang begitu dahsyatnya. Aku tidak perlu membayangkan orang lain sebagai fantasiku. Aku cukup menatap Novan dalam-dalam karena aku sedang terangsang olehnya. Kucengkeram kuat-kuat lengannya segenap tenaga. Novan terus mencoba membuatku terstimulasi. Hasilnya setelah berapa lama pun akhirnya spermaku pun berhasil kukeluarkan.

    "Gila lu, lama banget keluarnya!" Serunya nyaris kencang.

    Kami pun tertawa tergelak bersama. Untung saja persedian tisuku masih banyak. Jadi aku bisa berbagi tisu dengannya untuk membersihkan diri.

    "Van, gue pengen meluk elu, gak apa-apa kan?" Aku meminta izin sebelum kami memakai jas kami kembali.

    "Ng... Lu kan sahabat gue. Ngapain mesti kagak boleh? Ini kan perpisahan kita!"

    Yes! Hatiku bersorak girang.

    "Tapi, gue masih kepengen sekali lagi. Lu mau kan?" Ujarnya dengan kedipan mata yang nakal.

    Astaga! Maniak seks juga si Novan ini. Untung saja dia berparas ganteng, kalau tidak, sudah kutinggalkan dari tadi. Buru-buru kupeluk tubuhnya erat. Kuhirup dalam-dalam parfum yang dipakainya hingga mencapai lehernya.

    "Gie, gue terangsang nih!" Katanya memberi isyarat.

    Kubalikkan tubuhnya dan kupeluk dari belakang.

    "Lu perlu sensasi baru. Izinin gue ngerangsang sekujur tubuh elu ya!" Bisikku di telinganya.

    Novan hanya mengangguk patuh. Kuraba-raba tubuh Novan dari bawah hingga ke atas, mulai dari perut, pinggang, hingga ke dadanya. Dan kumainkan putingnya di sana. Novan mendesah. Kunyalakan kran air sekencang mungkin agar erangan Novan tak terdengar oleh siapapun. Kumainkan batang kemaluannya, kukecup tengkuknya. Mata Novan terpejam menikmati segala permainanku.

    "Novan, boleh gue jujur?" Kataku sedikit ragu.

    "Lu mau ngaku apa?" Tanyanya membalas ucapanku.

    "Lu gak marah gue berbuat gini?" Tanyaku lagi.

    "Dulu yang ngajarin lu kaya gini kan gue. Ngapain mesti marah?" Ujarnya santai.

    "Ah, enak Gie!" Erangnya lagi.

    "Dulu gue pikir anak alim kaya elu pasti susah diajakin kaya ginian. Ternyata elu itu jinak-jinak merpati!" Katanya tergelitik.

    "Hah, gue alim?" Mataku terbelalak. "Van, terserah kalo elu mau marah sama gue. Jujur, gue suka banget sama elu!"

    Novan membuka kelopak matanya menatapku. "Lu homo, Gie?"

    Aku mengangguk lesu. Aku yakin Novan pasti akan marah setelah mendengar pengakuanku. Mungkin dia akan menghajarku. Namun aku yakin Novan tidak akan sampai hati mengadukanku kepada siapapun. Karena pada dasarnya Novan bukan tipe cowok comel bermulut ember. Dia cenderung menjaga rahasia orang lain yang diketahuinya.

    "Tapi lu gak usah takut, sebab gue gak bakal minta elu jadi pacar gue. Dan gue juga gak mau selingkuh dari pacar gue. Lagipula elu juga mau pindah ke Medan. Gak mungkin kan kalo gue minta pacaran sama elu dan kita berhubungan jarak jauh?" Ungkapku mencoba membuatnya tenang.

    Novan menarik napas panjang. "Jadi benar ya hubungan lu sama Ary? Kalian berdua pacaran kan?"

    JLEGER!

    Rasanya bagai mendengar petir di siang bolong. Dari siapa Novan tahu kalau aku dan Ary berpacaran? Seingatku hanya Tresya, satu-satunya teman di sekolah yang mengetahui hubunganku dengan Ary. Apa mungkin Tresya telah bercerita dan membeberkan hubungan kami kepada semua orang?

    "Satu bulan yang lalu Ary pernah nyamperin gue. Katanya gue gak boleh deketin elu. Terus gue tanya apa alasannya. Dia cuma jawab dia gak akan ngebiarin gue terus dekat sama elu apalagi kalau gue jadian sama elu!" Ungkap Novan menerawang.

    "Hah? Ary ngomong gitu ke elu?" Aku tertegun terkejut bukan main.

    Benar dugaanku selama ini Ary telah cemburu kepada Novan seperti ia cemburu kepada Anton.

    "Kami emang pacaran, Van! Dia orang yang selama ini gue tunggu sejak kepergiannya ke Filipina pas kami lulus SD," ungkapku tak mau menutup-nutupi lagi.

    "Lu benci ya sama gue? Tapi terus terang, gue juga bisa suka sama cewek kok!" Aku takut Novan salah menilaiku.

    "Kenapa gue harus benci? Gue tahu kok lu juga suka sama cewek! Kalo enggak, ngapain tadi elu pelukan sama si Sachi di tempat parkir?" Sela Novan mengangkat daguku agar aku lurus memandangnya.

    Aku benar-benar terkesima penuh haru, "Lu ngintip ya tadi? Jadi elu gak benci gue?"

    "Asal lu tahu, pas gue kelas 2 SMP ada teman SD gue yang nembak gue di acara reuni SD gue. Dia itu cowok, dia ngajakin gue mojok dan berani blak-blakan sama gue. Emangnya tampang gue cakep ya, sampai homo kaya kalian bisa naksir sama gue?" Kata-katanya membuatku terperangah.

    Aku pikir aku adalah lelaki pertama yang mengungkapkan perasaan sukaku kepada Novan. Ternyata aku sudah kecolongan duluan.

    "Terus lu terima cinta teman lu itu?" Aku penasaran.

    "Kagaklah! Gue sukanya sama cewek atuh!" Novan bergaya sok cool.

    "Tapi kenapa lu nggak marah atau benci sama gue?" Aku menuntut kejelasan darinya.

    "Well, lu tahu kakak gue kan, Bang Adnan?" Ujarnya sedikit ragu. "Dia sama kaya lu!"

    Lagi-lagi aku berhasil dibuatnya terkejut. "Serius Van? Kakak lu yang ganteng itu? Dia juga homo?" Aku tak percaya.

    "Bukan homo! Tapi bisex!" Tegas Novan.

    "Apa itu bisex?" Aku tak mengerti. Seumur-umur baru sekali ini aku mendengar istilah itu.

    "Ini yang gue suka dari elu. Elu itu polos dan gampang dipengaruhi. Bisex itu omnivora! Ya kaya lu ini, cewek doyan, cowok juga doyan!" Urai Novan membuatku semakin paham.

    "Oh, jadi gue ini bisex ya?" Rasanya aku seperti baru saja menemukan jati diriku yang sebenarnya dan lewat Novanlah aku mendapatkan pencerahan.

    "Bang Adnan yang udah ngajarin gue onani. Bang Adnan yang bikin gue jadi bandel kaya gini. Dia juga yang udah banyak ngajarin gue jadi lelaki sejati!" Mata Novan begitu teduh. "Gue sayang sama dia. Makanya gue harus ikhlas pas gue tahu kalau dia gak seutuhnya kaya gue!"

    "Gue salut sama elu, Van. Gue juga berterima kasih sama lu karena lu nggak benci dan ngerendahin gue. Lu tetap mau jadi sahabat gue kan?" Tatapku penuh harap.

    Novan mengangguk tegas. "Tadi lu kepengen meluk gue kan? Udah puas belum meluknya? Kalo belum hari ini spesial buat elu. Terserah deh lu mau apain gue, gue pasrah! Soalnya gue udah berhutang budi sama elu yang udah banyak ngajarin gue pelajaran-pelajaran yang nggak gue ngerti selama persiapan ujian!"

    Kurengkuh Novan seerat mungkin dan tak ingin kulepaskan selamanya. "Boleh gak ciuman?" Pintaku pura-pura manja.

    "Jangan deh! Bibir gue masih perjaka! Yang lain aja!" Tawar Novan bernegosiasi.

    "Kalo cium pipi kanan sama pipi kiri boleh?" Aku balas menawar.

    "Deal!" Katanya mantap. "Eeh, yang tadi belum dilanjutin. Nanggung nih, mumpung momen terakhir!"

    "Apaan?" Aku melongo.

    "Lu rangsang gue lagi dari belakang kaya tadi!" Tangan Novan refleks menarik tubuhku ke belakang tubuhnya.

    Busyet deh! Dasar maniak seks. Namun tetap saja kuladeni. Karena aku ingin menikmati detik-detik terakhir bersamanya. Untuk sesaat aku berhasil mengenyahkan kesedihanku sementara waktu.

    "Van, lu nanti bakal sama kaya gue nih!" Gurauku di telinganya.

    "Enak aja! Ini spesial buat lu doanklah! Entar kalo udah sampai Medan, gue mau insyaf gak mau ngeladenin cowok. Gue cuma mau sama cewek aja, apalagi yang bodynya sama kaya si Leisya!" Novan menjulurkan lidahnya.

    "Oh Leisya... Oh... Oh... Oh..." Novan mengerang.

    "Gila lu!" Sentilku memelintir batang kemaluannya.

    Kami pun tergelak bersama. Setelah 30 menit berada di dalam WC akhirnya ritual yang kami lakukan pun selesai. Segera kami merapikan pakaian dan memasang jas kami kembali. Sebelum kami keluar, Novan menepati janjinya membolehkanku mencium kedua belah pipinya bergantian. Sebagai pamungkas, aku berhasil menyambar bibirnya secara spontan. Meskipun Novan tak memberikan reaksi terhadap ciuman yang kuberikan.

    "Gue bilangin sama Ary nanti kalo lu udah ngajakin gue selingkuh!" Candanya sambil melap bibirnya bekas ciumanku.

    "Laporin aja gih sana!" Tantangku mengedipkan sebelah mata.

    Ketika kami keluar untung saja toilet sedang sepi. Jadi tidak ada seorangpun yang melihat kami keluar dari WC berdua. Kurapikan rambutku di depan cermin yang tergantung di atas wastafel. Novan pun melakukan hal yang sama denganku.

    Tepat setelah kami sampai di luar toilet, Ary sedang mencari-cariku dan pada saat yang bersamaan Devan memanggil-manggil Novan di atas panggung.

    "Dari mana aja sih, gue cari ke mana-mana nggak ada?" Ary menarik tanganku menuju kerumunan teman-teman kami yang sedang berkumpul di depan pentas.

    Pantas saja toilet tampak sepi selama aku dan Novan bersembunyi di sana. Rupanya suasana dalam gedung sedang larut dengan penampilan-penampilan band yang tampil bernyanyi di atas pentas. Kali ini tiba giliran band genknya Novan untuk naik ke atas panggung. Novan pun segera mengambil bassnya dan mengambil posisi di tempat seharusnya ia berdiri. Tak lama musik pun mengalun merdu. Novan tampil membawakan beberapa lagu Sheila on Seven yang sedang digandrungi para remaja kala itu. Ary mengajakku duduk menyaksikan penampilan Novan.

    "Habis ini giliran band gue!" Tutur Ary seolah bergumam kepada dirinya sendiri.

    "Good luck, ya!" Aku memberinya semangat.

    "Ini momen terakhir kita semua, Ry! Momen terakhir antara gue sama lu, gue sama Novan, dan gue sama Sachi! Maafin gue ya Ry, gue gak bisa nerusin sekolah sama-sama bareng elu. Gue juga udah ngekhianatin elu pas gue di toilet sama Novan tadi. Gue emang binatang! Gue gak pantas buat elu! Semoga aja lu di SMA nanti dapat yang jauh lebih baek dari gue!" Rutukku dalam hati.

    Satu-persatu acarapun berjalan dengan mulus. Setelah acara berakhir, semua siswa dan siswi teman seangkatanku berbaris sesuai kelasnya masing-masing guna menyalami dewan guru yang telah mengajar dan membimbing kami selama ini.

    Entah mengapa saat aku menyalami para guru, timbul perasaan bersalah dalam hatiku. Apa yang telah kulakukan bersama Novan tadi? Itu sama sekali bukan perbuatan orang yang terpelajar. Aku merasa telah menjadi makhluk yang paling hina di dunia. Aku telah menjadi makhluk yang paling terkutuk di mata Tuhan. "Ya Allah, ampunilah dosa hamba!" Batinku lirih.

    Derai air mata mewarnai suasana perpisahan ini. Meta dan Nia secara sportif meminta maaf kepadaku atas sikap arogan mereka selama ini terhadapku. Akupun turut memohon maaf kepada mereka berdua bilamana terdapat perkataan dan perbuatanku yang menyinggung perasaan mereka selama ini.

    "Maafin kita ya, Gie! Kita udah sering banget nyakitin perasaan elu!" Ungkap Meta dan Nia bersamaan.

    Keduanya memeluk tubuhku tanpa merasa canggung. "Gue juga minta maaf sama kalian berdua kalo sikap gue mungkin pernah bikin sakit hati kalian selama ini!" Kataku tulus.

    "Iya, kita juga dah maafin kok! Semoga di SMA nanti kita bisa lebih dewasa dalam bersikap!" Kata Nia menyusut air mata di pipinya.

    "Gie, Ry, balik bareng gue yuk!" Panggil Novan menghampiriku dan Ary.

    Aku dan Ary mengangguk setuju. Segera kami melangkah menuju tempat parkir menyusul Novan yang berjalan ke arah mobilnya.

    "Eh, ini Novan kan ya?" Tegur seorang ibu pada Novan.

    "Iya, Tante. Apa kabar?" Novan menyalami ibu yang menegurnya.

    "Kabar baik, Novan. Jadi lanjut ke SMA mana?" Tanya ibu yang lain, kawan ibu tadi.

    "Ke Medan, Tante," timpal Novan sesopan mungkin.

    "Ya ampun, baru aja ketemu kok udah mau pergi jauh?" Ibu yang pertama tadi tampak sangat kecewa mendengar jawaban Novan.

    "Disuruh nenek, Tante. Enggak ada yang jaga di Medan," Novan tersengih.

    "Bawa ke sini aja atuh neneknya! Biar Tante tetap bisa ketemu terus sama kamu!" Ibu yang kedua sangat agresif.

    "Wah, enggak bisa Tan. Neneknya enggak mau," Novan mencoba bersabar pasalnya para ibu itu sudah menjawil pipinya dengan gemas.

    "Maaf ya, Tante, Novan mau permisi pulang dulu!" Novan pun mohon pamit kemudian memberi isyarat kepadaku dan Ary untuk segera naik ke dalam mobil.

    "Aduh Bu, cakep banget ya si Novan. Lama enggak ketemu, tahu-tahu udah gede lagi badannya. Udah kaya remaja 17 tahunan!" Seru ibu pertama pada temannya.

    "Iya Bu, badannya jangkung, ganteng, kaya artis aja. Andai saya masih muda, saya mau jadi pacarnya!" Timpal ibu kedua seraya berekspresi aneh bin ajaib seperti gadis pemimpi yang berkhayal bertemu pangeran tampan dari negeri dongeng.

    "Ingat sama suami Bu di rumah!" Ibu pertama mengingatkan.

    "Ehem... Ehem..." Ary berdeham menggoda Novan.

    "Kenapa lu, Ry? Sakit tenggorokan ya? Minum Baygon dong!" Sindir Novan cekikikan.

    "Baru ngeliat ada teman yang dipuja-puja sama ibu-ibu karena kegantengannya!" Cibir Ary sok cool.

    "Ngiri lu ya?" Sambar Novan tersenyum sinis.

    "Wah, sorry aja nih! Fans gue cukup remaja seumuran gue aja kali ya!" Gaya Ary sok pamer.

    "Gie, lu kok diam aja?" Sentil Novan padaku.

    Aku tersenyum tipis, "Hidup ini penuh warna ya, Van? Perasaan orang gampang berubah meskipun dalam semenit!"

    "Lu masih kepikiran soal di toilet tadi ya?" Novan menaik-naikkan alisnya, menggoda.

    Seketika mataku mendelik pada Novan.

    "Emangnya ada kejadian apa di toilet tadi?" Ary mulai curiga.

    "Anak di bawah umur gak perlu tahu!" Kataku sok dewasa membalas perlakuannya saat aku ingin melihat majalah yang dipinjamnya dari Novan dulu.

    "Yey, ceritanya mau maen rahasia-rahasiaan nih?" Pancing Ary sedikit sensi.

    "Gak juga. Tapi biar gue, Novan, sama Tuhan aja yang tahu!" Lagakku sok jaim.

    "Yah, apa sih? Kasih tahu dong, Yang!" Bisik Ary lembut di telingaku.

    "Maaf ya, gak bisa gue ceritain sekarang!" Kubalas dengan bisikan di telinganya.

    Ary pun gemas padaku dan mengelitiki sekujur tubuhku sepanjang perjalanan. Tanpa terasa mobil Novan pun telah sampai di depan pekarangan rumah Ary.

    "Novan, thanks banget ya buat semuanya. Please hubungi gue kalo elu udah sampe Medan! Dan jangan pernah lupain gue selamanya!" Kupeluk tubuh Novan untuk terakhir kalinya.

    Hatiku benar-benar sedih akan perpisahan ini. Sama seperti saat perpisahanku di SD dulu.

    "Iya, gue janji gak akan pernah ngelupain elu. Elu juga jangan pernah ngelupain gue ya, cowok paling ganteng dunia akhirat!" Novan sok narsis.

    "Huuu... Garing lu berdua!" Cibir Ary cemburu buta.

    "Ssst... Ugie ngajakin gue selingkuh, Ry!" Gurau Novan sambil masuk ke dalam mobil.

    "Dadah Ugie, dadah Ary!" Novan melambaikan tangannya kepada kami dari jendela mobil.

    Mata Ary melotot mendengar ucapan Novan.

    "Kenapa melotot? Cemburu? Kaya anak kecil aja!" Bibirku cemberut menatapnya.

    Kutinggalkan Ary terbengong-bengong di depan rumahnya. Aku berjalan pulang ke rumah.


    ♥♥♥

  • ♡仝♡


    "Assalamualaikum!" Kataku mengucapkan salam.

    "Waalaikumsalam. Udah pulang Gih? Gimana acaranya?" Sambut mama di ruang tamu.

    "Rame banget, Ma. Banyak orang tua teman Ugih yang hadir."

    "Dyah kan lagi sakit Gie, mama gak bisa hadir ke perpisahan sekolah Ugih."

    "Gak apa-apa kok, Ma. Orang tuanya Indra juga gak bisa hadir tadi pagi, pada sibuk semua!"

    "Ya sudah, kamu shalat dzuhur dulu sana!" Perintah mama.

    "Iya Ma."

    Masih terbayang perbuatanku bersama Novan saat di WC aula tadi. Ada sedikit perasaan senang dalam hati karena aku telah berbagi kemesraan dengannya. Namun ada pula sekelumit perasaan menyesal yang menghimpit dalam dada karena telah berbuat dosa yang sama sekali tidak dikehendaki oleh Allah swt. Segera kuraih handuk yang tergantung di rak jemuran. Kubersihkan tubuhku di kamar mandi dengan sabun hingga berbuih menutupi sekujur tubuhku. Mengapa kemesraan yang tadi kulakukan bersama Novan masih terasa di tubuhku meskipun kejadian itu telah beberapa jam berlalu? Rasanya kehangatan dan aroma tubuh Novan masih melekat di tubuhku.

    Segera kutunaikan kewajibanku menemui Allah dan memohon ampunan yang sebesar-besarnya kepada-Nya. Aku menangis penuh penyesalan.

    "Ya Allah, hamba memohon berikanlah petunjuk-Mu! Jalan yang lurus yang seharusnya hamba tempuh dan mendapat ridha-Mu. Janganlah Engkau menjerumuskan hamba ke lubang yang penuh nista, jalan yang sesat dan membawa hamba menuju kehancuran! Berikanlah hamba rahmat, hidayah, dan inayah-Mu, agar hamba dapat berjalan sebagaimana mestinya!" Aku bersujud seraya menyebutkan asma-asma Allah.

    Selesai menunaikan shalat perasaanku masih sedih. Aku teringat kalau hari ini adalah hari terakhirku bertemu teman-teman sekolahku. Ini juga berarti mulai besok aku sudah tidak berangkat lagi ke sekolah. Dan mungkin selamanya aku tidak akan pernah mengenyam lagi apa yang dinamakan pendidikan. Cukup sudah pendidikan yang kutempuh. Rasanya masa depan itu sangat jauh sekali dan sulit untuk kucapai. Aku tidak mungkin bisa menjadi seorang guru seperti yang pernah kucita-citakan saat aku masih kelas 2 SD. Atau menjadi seorang reporter seperti Arief Suditomo yang kuidolakan saat aku kelas 6 SD. Dan menjadi seorang pramugara seperti yang saat ini sedang kudambakan setelah mendengar kisah-kisah penerbangan Ary dua kali pindah ke Filipina dengan menaiki pesawat dan bertemu para pramugara gagah juga tampan.

    Aku menangis di pembaringan sejadi-jadinya. Andai saat ini papa masih hidup, aku pasti masih dapat melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Atau juga seandainya saat ini datang sebuah keajaiban, aku ingin keajaiban itu mengubah keadaan agar kehidupan keluargaku tidak lagi dibuat susah. Aku ingin dapat mewujudkan impianku bersama Ary, kami sama-sama bersekolah di SMUN 5 sekolah yang kami incar selama ini. Teguh, Asep, dan Lucky pun berimpian melanjutkan sekolah di sana.

    "Gih, kamu nangis?" Mama menghampiriku.

    Aku hanya diam sesenggukan. Rasanya aku sudah tak mampu berkata-kata.

    "Maafin Mama ya, Gih. Mama tidak mampu membahagiakan kamu. Mama tidak sanggup membiayai sekolahmu!" Mama mengusap rambutku namun tak cukup mengobati perasaanku.

    "Ma, boleh Ugih menemui istri pertama papa? Ugih mau pinjam uang sama dia untuk biaya pendaftaran sekolah Ugih. Nanti kalau Ugih udah kerja, Ugih kembalikan uangnya dua atau tiga kali lipat pun tidak apa-apa. Yang penting Ugih minimal bisa tamat SMA!" Kataku memberanikan diri.

    "Hush! Mereka itu bukan siapa-siapa kita! Bambang sama Lanie itu kakaknya Dyah, bukan kakak kamu! Jangan lancang kamu, Gih!" Nasihat mama melarangku keras.

    "Iya Ugih tahu, Ugih gak punya hubungan darah sama mereka. Tapi Ugih cuma mau minta tolong pinjam uang demi masa depan Ugih, Ma!" Pintaku memohon pada mama.

    "Jangan bikin malu Mama! Kamu harus tahu diri dan menyadari keadaan! Masih mending kamu ikut sama Mama, coba kalau kamu ikut sama keluarga bapakmu si Kamal itu, pasti sekarang ini kamu sudah luntang-lantung menjadi gembel di jalanan. Lihat tuh contohnya kakakmu si Fariz! Jadi apa dia sekarang? Dia kabur bawa uang Mama! Padahal keadaan kita sedang susah seperti ini!" Nasihat mama semakin panjang.

    Aku hanya terdiam mendengarkan kata-kata mama.

    "Mulai besok kamu kerja cari uang supaya kita bisa makan! Kamu jualan di Kebun Raya bawa asinan sama nasi bungkus!" Perintah mama lagi.

    Akhirnya mau tidak mau kuturuti keinginan mama. Pada hari berikutnya aku mulai berjualan di Kebun Raya menjajakan asinan dan nasi bungkus buatan mama. Cukup banyak dagangan yang kubawa. Hari pertama ini aku membawa 50 bungkus asinan dan 50 bungkus nasi kuning lengkap dengan lauknya. Masing-masing jenis dagangan separuh kumasukkan ke dalam kantong kresek yang kujinjing dan separuh lainnya kumasukkan ke dalam tas yang kugendong di punggung.

    "Permisi Mas, Mbak, mau beli asinan dan nasi kuning? Rp5.000,00 satu bungkus," kucoba menawarkan kepada beberapa pengunjung yang kebetulan berpapasan denganku.

    "Enggak Dek, Maaf ya!" Tolak mereka halus.

    "Asinan, asinan! Nasi kuning, nasi kuning! Mau beli Om?" Kuhampiri sepasang suami istri yang sedang duduk di bangku dekat kolam teratai.

    "Bah kau ini jualan kah?" Tanya si Om yang kutawari daganganku, dengan logat Bataknya yang kental.

    "Iya Om," sahutku sopan.

    "Kalau berdagang itu suara kau yang lantang! Kalau suara kau pelan gitu, mana ada orang tahu kalau kau sedang berjualan!" Katanya memberiku saran.

    "Baik Om!" Sahutku sedikit grogi.

    "Coba aku mau dengar kaya apa suara kau!" Ucapnya memberi perintah.

    Aku jadi teringat pengalaman masa kecilku dulu bersama Lupi. Saat aku masih kelas 1 SD aku pernah berjualan keliling bersama Lupi menjajakan boneka-boneka pembelian mama yang berujung pada insiden pembakaran seluruh mainan yang kupunya, kenang-kenangan dari Om Kasmin dan Azhary. Lupi mengajariku agar berteriak lantang saat kami sedang berjualan.

    "ASIIIINAAAN... NAASIII KUUUNIIING!" Teriakku spontan dan kencang.

    "Nah, seperti itu bagus!" Puji si Om Batak tadi. "Berapa harga satu bungkusnya?" Tanyanya kemudian.

    "Lima ribu, Om!" Kataku tersenyum ramah.

    "Bah! Mahal kali? Begini saja sepuluh ribu dapat tiga ya?" Tawarnya lagi.

    "Maaf Om, sudah dipatok sama ibu saya, katanya tidak boleh ditawar. Kecuali Om borong semua!" Ucapku sesopan mungkin.

    "Walah, untuk apa saya borong semua, Dik? Anak saya belum ada segudang!" Ujarnya. "Ya sudah, saya beli dua saja asinannya ya!"

    Kuterima uang sepuluh ribu dari Om itu, "Terima kasih, Om!"

    "ASSIIINAAAN... NAAASSIII KUUNIIING!" Kulanjutkan perjalananku mengitari areal Kebun Raya yang cukup luas.

    Konon berdasarkan buku Ensiklopedia yang pernah kubaca di perpustakaan sekolahku, luas negara Vatican yang merupakan negara terkecil di dunia hanyalah seluas Kebun Raya yang terdapat di kotaku, kira-kira hanya berkisar 0,44 km2 atau setara dengan 44 hektar.

    Hari ini adalah hari Minggu tapi jumlah pengunjung yang datang ke Kebun Raya tidak ramai sebagaimana biasanya. Berkali-kali aku mengitari jalan yang sama namun pengunjung yang terlihat hanya itu lagi dan itu lagi. Sebagian besar pengunjung menolak dagangan yang kutawarkan karena pada umumnya mereka sudah membawa perbekalan dari rumah. Sudah 5 jam aku berkeliling dari pukul 9 pagi, namun baru sepertiga jualan yang laku terjual. Aku mulai cemas, takut daganganku tidak habis.

    Kulabuhkan pantatku di atas sebuah bangku yang menghadap kolam. Di seberang kolam terlihat Istana Bogor berdiri dengan megahnya. Aku terpukau mengingat sejarah pendirian istana tersebut yang dibangun oleh Sir Thomas Stamford Raffles saat ia menjabat sebagai Gubernur Jendral Inggris pada abad ke-19 di mana saat itu Belanda menyerahkan Nusantara ke tangan Inggris. Dan kota kelahiranku ini terpilih menjadi tempat peristirahatan sang gubernur jendral itu.

    Hari yang amat panas. Peluhku bercucuran membasahi kaus yang kupakai. Kukeluarkan selembar saputangan dari dalam saku celanaku. Saputangan itu adalah kenang-kenangan pemberian Sachi yang diberikannya kemarin pagi. Di sudut saputangan berwarna biru itu terdapat tulisan yang dibordir 'SS' dalam sebuah simbol berbentuk hati. Mungkinkah itu adalah inisial nama kami berdua, Sugih-Sachiko? Aku hanya dapat menebak-nebak.

    Kupandangi sekelilingku. Suasana tampak lengang hampir tidak ada orang. Hanya terdapat beberapa orang bule yang sedang asyik memadu kasih di sepanjang jalan. Aku jadi teringat kenanganku bersama Ary beberapa bulan yang lalu. Waktu itu Radio English Club yang kubentuk bersama Mrs. Mery dan Mbak Dian mengadakan pertemuan bulanan di Kebun Raya. Mrs. Mery mengadakan games lomba interview dengan para bule yang berkunjung ke Kebun Raya Bogor. Interview tersebut harus dibubuhi tanda tangan oleh para bule selaku nara sumber yang diwawancarai. Aku dan Ary bersaing untuk mendapatkan nara sumber sebanyak mungkin. Sialnya karena aku keterbatasan jumlah kosakata dalam memoriku, aku sedikit tersendat-sendat saat melakukan interview bersama para bule. Sementara Ary yang berpengalaman tinggal di luar negeri jauh lebih lancar Bahasa Inggrisnya daripada aku. Tentu saja dia berhasil menjadi pemenang dan mendapatkan sebuah jaket dari panitia lomba. Untungnya Ary itu pacar yang baik, hadiah jaket yang diperolehnya malah diberikannya kepadaku. Hehehe... Betapa beruntungnya aku memiliki pacar seganteng dan sebaik Ary.

    Kulanjutkan pekerjaanku berjualan keliling menapaki jalan-jalan yang belum kulalui. Sekali lagi aku berteriak lantang menyebutkan daganganku agar orang tertarik untuk membeli.

    "Bu, asinannya Bu. Nasi kuning juga ada!" Tawarku pada sekelompok keluarga yang kebetulan melintas di depanku.

    "Asinannya berapaan, Dek?" Tanya sang ibu yang tadi kupanggil.

    "Lima ribuan Bu satunya!" Sahutku ramah dan sopan.

    "Beli sepuluh tapi dapat bonus ya, Dek!" Pinta ibu itu sedikit menawar.

    Aku menimbang-nimbang sejenak, "Bonusnya satu saja ya, Bu!"

    "Ini Dek, uangnya!" Ibu itupun menyodorkan lima lembar uang sepuluh ribuan.

    "Terima kasih, Bu!" Sambutku menerima uang itu.

    Baru saja ibu itu berlalu bersama keluarganya dari hadapanku, tiba-tiba datang sekelompok petugas keamanan berseragam menyerupai seragam polisi.

    "Mungkin mereka para jagawana yang menjaga keamanan di sekitar Kebun Raya," pikirku.

    "Heh kamu, bawa apa itu kamu?" Panggil salah seorang dari mereka.

    "Nasi kuning dan asinan, Pak!" Jawabku memandang mereka dengan perasaan gemetar.

    "Coba lihat sini!" Kata salah seorang yang lain.

    "Kamu berjualan ya?" Tanyanya sedikit membentak.

    "I... Iya, Pak!" Jawabku gugup.

    "Mana surat izin jualannya?" Petugas galak itupun merogoh saku celanaku.

    "Tidak salah lagi, kamu ini pasti salah satu dari gerombolan pedagang liar yang berjualan di sekitar sini. Iya kan? Ayo ngaku kamu!" Bentak petugas ketiga yang turut menghampiri kami.

    "Buka tas kamu! Di dalamnya ada apa saja?" Bentaknya sekali lagi.

    Kuturuti perintah mereka dengan perasaan was-was. Begitu tasku kubuka, petugas kedua tadi menarik paksa tasku dan menumpahkan seluruh isi di dalamnya ke dalam tong sampah. Termasuk kantong plastik yang kujinjing. Seluruh asinan dan nasi kuning buatan mama yang masih tersisa dilemparkan mereka ke dalam tong sampah.

    "Jangan Pak, itu sumber rezeki saya!" Aku mengiba.

    Kuhampiri tong sampah tempat nasi kuning dan asinan daganganku dibuang. Kupunguti kembali barang-barang daganganku itu. Belum selesai kupunguti semua dan kumasukkan kembali ke dalam tasku, salah seorang dari mereka menarik paksa tanganku untuk ikut bersama mereka ke atas mobil patroli. Aku diperlakukan seperti seorang narapidana yang baru saja melakukan tindakan kriminalitas.

    "Duduk kamu di situ!" Tubuhku di dorong ke dalam sebuah ruangan begitu kami turun dari mobil.

    Aku jatuh tersungkur ke lantai ruangan yang ukurannya sangat sempit, kira-kira 2m x 2m.

    "Katakan dengan jujur, ada berapa jumlah teman kamu yang berjualan di dalam Kebun Raya ini?" Kata petugas pertama tadi. Wajahnya sangat brewokan dan matanya tak henti-hentinya melotot garang membuatku ketakutan setengah mati.

    "Saya... Saya hanya sendirian, Pak!" Jawabku takut.

    "Bohong kamu! Kamu pasti membawa banyak teman dan diam-diam sebenarnya kalian memperjualbelikan narkoba, kan?" Bentak petugas kedua.

    "Astagfirullahaladzim, sumpah demi Allah Pak saya hanya berjualan sendiri!" Aku beristigfar dan berusaha meyakinkan kelima petugas itu yang tak henti-hentinya menatapku nyalang.

    BUG! BUG!

    Petugas kelima menendangi perutku sekuat tenaganya. Aku benar-benar sakit, manakala saat tadi pagi berangkat berjualan aku tidak sempat sarapan. Rasanya sakit magku kambuh karena aku sudah telat makan.

    "Memang susah menyuruh maling mengakui perbuatannya!" Maki si petugas kelima yang baru saja menendangi perutku.

    "Saya bukan maling, Pak!" Seruku membela diri.

    "Katakan sekarang juga, siapa pimpinan kamu? Berapa orang jumlah teman kamu? Di mana markas kamu?" Petugas ketiga kembali menginterogasiku.

    "Saya hanya disuruh oleh Ibu saya, Pak. Tolong bebaskan saya Pak, adik saya di rumah sedang sakit. Ibu saya menyuruh saya berjualan di sini untuk biaya berobat adik saya!" Aku mulai menangis menitikkan air mata.

    "Ya Allah, inikah adzab yang Engkau berikan kepada hamba atas dosa-dosa hamba selama ini?" Batinku pilu.

    "Persetan dengan omongan kamu!" Petugas kedua tidak mempercayai perkataanku.

    "Kalau kamu tidak mau mengakui siapa saja teman-teman kamu dan menyuruh mereka keluar dari persembunyiannya, nasib kamu akan berakhir di penjara! Kamu mau dipenjara?" Petugas keempat terus mendesakku agar aku mengaku bersalah dan membenarkan semua perkataan mereka.

    Aku menggeleng lemah, "Saya tidak mau dipenjara Pak! Kasihan ibu dan adik saya di rumah. Siapa yang akan membantu mereka mencari uang? Bapak saya sudah tidak ada!" Aku terbatuk-batuk di antara suaraku yang semakin serak karena seharian ini tak henti-hentinya berteriak menjajakan dagangan.

    PLAK!

    Pipi kiriku ditampar oleh petugas kedua yang tampak sangat geram kepadaku.

    "Kami tidak percaya pada kata-katamu! Memang komplotan pedagang liar seperti kalian itu sangat pandai bersandiwara agar terbebas dari jeratan hukum!" Cerca petugas pertama sang pemimpin di antara mereka.

    "Demi Allah, Pak!" Aku bersumpah dengan suara yang teramat parau.

    Kukeluarkan kartu pelajar yang terdapat di dalam dompetku, beserta kartu-kartu identitas lain yang kumiliki seperti kartu anggota perpustakaan sekolah, kartu anggota perpustakaan daerah, dan kartu anggota Radio English Club. Semua data yang terdapat di dalam kartu-kartu itu sangat valid dan akurat. Tidak ada satupun yang berbeda.

    "Saya baru lulus kemarin dari sekolah itu, Pak!" Kataku memberi keterangan selengkapnya.

    Mereka bergantian mengamati kartu-kartu identitas yang kumiliki.

    "Kalau Bapak tidak percaya, Bapak silakan menghubungi beberapa kartu nama yang saya pegang ini. Mereka adalah para penyiar RRI yang kenal dekat dengan saya!" Aku mencoba meyakinkan sekali lagi.

    "Rinto dan Mery, mereka memang penyiar terkenal!" Aku petugas pertama.

    Kemudian mereka berlima berdiskusi sambil melirik-lirik ke arahku.

    "Baiklah, kamu akan kami bebaskan. Tapi ingat jangan coba-coba berjualan di sini lagi tanpa mendapat surat izin dari pihak instansi yang bertugas di sini!" Ucap petugas ketiga seraya mengarahkan jalan keluar untukku.

    Mereka sama sekali tidak meminta maaf atas tindakan kasar yang telah mereka perbuat terhadapku. Namun aku sempat mengucapkan terima kasih kepada mereka karena telah bersedia membebaskanku. Adilkah ini? Semoga Allah membalas perbuatan kasar mereka suatu saat.

    Buru-buru aku berjalan kembali ke tempat semula aku ditemukan oleh mereka. Kupunguti daganganku yang masih tersisa di tong sampah. Kubersihkan plastik-plastik asinan di tepi kolam dan segera aku pergi meninggalkan Kebun Raya ini. Dalam hati aku merasa sangat trauma atas kejadian yang menimpaku hari ini. Kelak aku tidak mau lagi menginjakkan kakiku di sini, ikrarku dalam hati.

    Setibaku di luar, aku kembali menjajakan daganganku kepada orang-orang yang berlalu-lalang di sepanjang trotoar depan istana. Hanya tinggal asinan yang masih dapat kujual karena nasi kuningnya sudah tercium bau basi.

    "Asinan Mas!"

    "Asinan Mbak!"

    "Asinan Bu!"

    "Asinan Pak!"

    Tawarku pada setiap orang yang sedang memberi makan rusa-rusa di pagar halaman istana. Namun tak seorangpun yang menghiraukanku. Kulanjutkan langkahku gontai pulang ke rumah. Kutahan rasa sakit yang menyerang perutku. Ketika aku tiba di rumah, matahari sudah tenggelam. Jam di dinding telah menunjukkan pukul 6 tepat.

    "Assalamualaikum!" Ucapku memberi salam.

    "Waalaikumsalam!" Mama membukakan pintu depan untukku.

    Begitu pintu terbuka, aku berlutut di hadapan mama. "Ma, maafin Ugih!" Ucapku penuh sesal.

    "Ya ampun Gih, kamu kenapa?" Mama mengamatiku nanar.

    "Aduh sakit!" Kupegangi perutku bekas ditendang petugas tadi.

    Mama menyibak kaus yang kupakai, lalu memekik, "Masya Allah, apa yang terjadi sama kamu? Perut kamu kok lebam biru begitu?"

    Setelah masuk ke dalam rumah, kuceritakan kronologi yang menimpaku sepanjang hari aku berdagang hari ini di Kebun Raya.

    "Kamu yakin mereka itu bukan preman?" Tanya mama tak percaya.

    "Demi Allah, Ma. Mereka memakai seragam seperti polisi!" Kataku meyakinkan mama.

    Mama menghela napas panjang, "Mama tidak tahu kalau berjualan di Kebun Raya harus mendapat surat izin dulu!"

    "Biar besok Ugih ngider keliling Cimanggu saja, Ma. Tidak usah jauh-jauh yang penting aman!" Bagaimanapun aku mencoba untuk tetap semangat.

    Terlalu banyak air mata yang telah kukeluarkan. Aku tak mau kesedihan ini terus berlarut-larut dan menggumpal menjadi penderitaan yang tiada berujung. Aku harus bangkit dan tetap ceria apapun yang terjadi. SEMANGAT! Kata itulah yang kuperlukan saat ini.

    Hari-hari terus kujalani. Sesuai komitmenku sebelumnya, aku terus berdagang mengelilingi area Cimanggu. Umi Wati dan Aki Eben sempat miris melihatku terpaksa berdagang dan tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SMA. Namun apa boleh buat, merekapun tak mampu melakukan apa-apa untuk membantuku dan keluargaku. Perekonomian mereka terbilang sangat pas-pasan walaupun anak-anak mereka telah bekerja untuk menunjang kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Bibi Laela, Bibi Laeli, dan Mang Iyan memang harus mempersiapkan masa depan. Apalagi tidak lama lagi Bibi Laela akan segera menikah. Tentu beliau memerlukan dana yang sangat besar untuk biaya pernikahannya nanti, sebab Aa Wahyu kekasihnya bukan berasal dari keluarga berada. Oleh karena itu keduanya sama-sama menanggung beban.

    RRRR... RRRR... RRRR...

    Telepon di rumah berdering. Sudah 2 minggu lamanya aku berdagang keliling menjajakan makanan. Tapi hari ini kebetulan aku sedang libur, jadi agak bisa sedikit santai di rumah.

    "Hallo, siapa ini?" Sapaku membuka percakapan di telepon.

    "Hallo, ini Sugih ya?" Sahut suara di seberang sambungan.

    "Iya betul. Maaf ini siapa?" Tanyaku sopan.

    "Saya Ibu Sjahandari. Masih ingat tidak?" Balas si penelepon dengan suaranya yang lembut.

    "Ini Ibu Ndari, ya?" Aku memastikan.

    "Iya betul! Begini Sugih, sekarang Ibu sedang dalam perjalanan menuju ke Bogor. Rencananya Ibu mau mengunjungi Sugih. Sugih ada di rumah?"

    "Saya lagi di rumah kok, Bu. Silakan datang saja ke rumah. Saya tunggu!" Tuturku hangat bersahaja.

    "Kira-kira lima belas menit lagi Ibu sampai. Jangan ke mana-mana ya!" Kata Bu Sjahandari mengakhiri pembicaraan kami.

    "Baik Bu," sahutku lagi menutup telepon.

    Selang tak berapa lama Bu Sjahandari pun tiba di rumah. Beliau datang didampingi Mbak Dian rekan pendampingku tiap kali siaran.

    "Hallo, apa kabar? Mari masuk!" Begitu pintu rumah kubuka menyambut kedatangannya.

    Kucium tangannya santun. Beliau sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri meski kami hanya sesama member aktif Radio English Club yang didirikan oleh RRI. Umur Ibu Sjahandari kira-kira sudah mencapai 40 tahunan. Beliau bekerja sebagai manajer di salah satu bank swasta terbesar dan terkemuka di Indonesia. Menurut pengakuannya sampai saat ini status beliau masih melajang karena sulitnya mendapat jodoh. Beliau tinggal di Cireundeu, Jakarta. Setiap aku siaran dan membuka topik perbincangan di radio, beliau selalu menjadi penelepon pertama yang memberikan opininya dan pandangan-pandangannya yang menurutku sangat moderat. Mungkin karena beliau kerap berpindah-pindah tinggal di luar negeri mengikuti tugas kerjanya.

    "Kabar baik Sugih. Kabar Sugih sendiri bagaimana? O iya, Ibu bawakan oleh-oleh lho!" Bu Sjahandari menyerahkan bungkusan plastik untukku.

    "Alhamdullillah kabar saya baik juga, Bu. Waduh, kok repot-repot segala sih?" Kusambut plastik yang diserahkan oleh ibu angkatku itu.

    "Mama ada?" Tanya Mbak Dian mengamati keadaan rumahku.

    "Sebentar ya, Mbak!" Kataku melengos ke dalam.

    "Ma, ada tamu!" Kupanggil mama yang sedang menyisir rambut Dyah dalam kamar.

    Mamapun beranjak menemui tamu yang kumaksud.

    "Perkenalkan Bu, saya Sjahandari dari Jakarta," Bu Sjahandari memberi salam pada mama.

    Mama mengerutkan kening kebingungan. Namun melihat sosok Mbak Dian yang duduk di sebelahnya, rasa bingung mamapun sedikit berkurang. Mama pernah beberapa kali bertemu dengan Mbak Dian, sehingga tidak merasa asing lagi dengannya.

    "Ibu Ndari ini anggota aktif Radio English Club, Ma. Beliau bahkan menjadi donatur tetap organisasi kami," kuberi penjelasan kepada mama. Mama manggut-manggut tanda mengerti.

    "Ini adiknya Sugih ya?" Tanya Bu Sjahandari.

    "Iya Bu!" Jawabku sambil menyuruh Dyah mencium tangan kepada kedua tamuku itu.

    "Duh, cantiknya!" Puji Mbak Dian mengajak Dyah untuk duduk bersamanya.

    "Gih, buatkan minuman dulu!" Suruh mama padaku.

    Dengan sigap aku segera ke dapur menyiapkan 2 cangkir teh hangat untuk para tamuku.

    "Gak usah repot-repot, Gie!" Mbak Dian merasa tidak enak kedatangannya telah membuatku kerepotan.

    "Maaf hanya ada minuman," kataku mempersilakan mereka minum.

    "Maksud kedatangan kami ke mari adalah pertama-tama untuk bersilaturrahim. Karena terus terang lho Bu, Sugih itu sudah saya anggap seperti anak saya sendiri!" Ibu Sjahandari sangat ramah dan selalu penuh senyum.

    "Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas kunjungannya bersilaturrahim ke rumah kami, Ibu sudah datang jauh-jauh dari Jakarta. Saya pribadi mohon maaf apabila sekiranya selama ini Sugih sudah banyak merepotkan Ibu," sahut mama bersahaja.

    "O ndak! Ndak! Sugih tidak pernah merepotkan kok, Bu! Malah saya yang sering bikin repot Sugih. Saya sering nyuruh-nyuruh Sugih untuk persiapan pertemuan bulanan organisasi kami. Sugih itu anaknya penurut ya Bu? Selalu mau kalau disuruh-suruh!" Bu Sjahandari tertawa berderai penuh kehangatan.

    Mama yang baru pertama kali bertemu dengannya saja langsung seperti bertemu keluarga sendiri.

    "Saya suka anak seperti Sugih. Dia tidak bergantung kepada orang lain. Tetapi kelihatannya sangat cerdas dan mandiri. Saya perhatikan Sugih ini pekerja keras dan punya kemauan!" Ungkap Bu Sjahandari terbuka kepada mama.

    "Ya begitulah anak saya ini, Bu. Dia tidak pernah meminta atau menuntut apa-apa pada saya. Mungkin karena waktu kecilnya sering jauh dari saya karena saya sibuk mencari nafkah, makanya Sugih tumbuh menjadi anak yang mandiri! Ya, maklumlah Bu. Terus terang sejak Sugih dilahirkan dia tidak pernah mengenal sosok ayah kandungnya. Yang dia tahu ayahnya itu adalah almarhum papanya Dyah. Semenjak papa Dyah meninggal 2 tahun lalu, Sugihlah yang menjadi tulang punggung keluarga kami. Dia berjualan kue di sekolahnya. Kalau bulan puasa dia membuat kartu lebaran untuk dijualnya di sekolah. Terus di rumah juga dia membuka les privat untuk anak-anak tetangga yang masih SD!" Ungkap mama panjang lebar menceritakan tentangku.

    "Waduh, saya makin salut sama Sugih. Di zaman sekarang ini jarang ada lho anak yang seperti Sugih. Kemarin hasil kelulusannya bagaimana toh? Kok nggak ada cerita sama Ibu?" Bu Sjahandari menghampiriku yang duduk berhadapan dengannya.

    "Alhamdulillah NEM saya tertinggi di kelas, dan masuk jajaran 10 besar di sekolah!" Kataku sedikit menceritakan.

    "That's great!" (Itu hebat!) Komentar Mbak Dian bangga. "Kata Kang Tosan kamu selalu rangking satu ya di kelas?" Imbuh Mbak Dian lagi.

    "Iih, pacar Mbak Dian itu kok tahu banyak sih soal aku?" Sindirku keki.

    "Calon adik iparku kan sekelas sama kamu, Gie! Ayo tebak, tahu nggak siapa?" Pancing Mbak Dian mengacungkan telunjuknya.

    "Kardina kan?" Tebakku mantap.

    "Iih, ternyata kamu tahu ya!" Mbak Dian geregetan.

    "Muka mereka mirip banget sih! Kang Tosan-nya ganteng, Kardina-nya juga cantik!" Aku tersenyum penuh kemenangan.

    "Sekalian dong bilangnya, pacar Kang Tosan juga cantik gitu, Gie! Kamu nih, gimana sih?" Mbak Dian merajuk.

    "Hehe... Iya deh, Mbak! Pacar Kang Tosan itu cantik banget kaya Desy Ratnasari!" Pujiku setengah bercanda.

    Mbak Dian tersenyum di kulum.

    "Saya sudah dengar semuanya dari Dian. Maaf ya Bu, apa benar Sugih tidak melanjutkan pendidikannya ke SMA?" Bu Sjahandari berbicara sangat berhati-hati takut membuat perasaan mama tersinggung.

    "Itulah Bu, saat ini saya juga sedang repot mendaftarkan sekolahnya Dyah. Jadi saya tidak ada biaya untuk mendaftarkan Sugih ke SMA!" Mama menunduk muram.

    "Saya mau kerja dan menabung dulu selama setahun, Bu. Insya Allah tahun depan saya akan mendaftar kalau ada rezeki!" Kataku penuh semangat.

    "Tidak perlu menunggu setahun! Sekarang juga Sugih bisa mendaftar ke SMA yang Sugih suka!" Seru Bu Sjahandari mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

    "Kebetulan saya mempunyai sebuah yayasan. Yayasan saya ini bergerak di bidang perlindungan anak, sosial-budaya, dan pendidikan. Setelah saya mendengar cerita Dian beberapa hari yang lalu, hati saya tersentuh untuk membantu Sugih. Selama ini kan saya sudah banyak merepotkan Sugih, jadi sudah sepantasnya saya memberikan apa yang seharusnya Sugih terima dari saya!" Kata-kata Bu Sjahandari terdengar sangat lembut dan penuh ketulusan. Hati mama sampai bergetar mendengarnya.

    "Maksud Ibu?" Aku masih sedikit bingung akan perkataan ibu angkatku ini.

    "Selamat ya Gih, yayasan Ibu telah sepakat untuk memberikan beasiswa prestasi kepada Sugih selama Sugih bersekolah di SMA! Syukur-syukur kalau Sugih mau tinggal bersama Ibu di Jakarta dan bersekolah di sana!" Bu Sjahandari menyunggingkan senyum untuk ke sekian kalinya.

    Kupandangi wajah Bu Sjahandari, Mbak Dian, dan mama bergantian.

    "Ma..." Suaraku tertahan.

    Mama menitikkan air mata terharu, "Subhanallah Gih, Allah telah mengirimkan malaikat-Nya untuk kamu!"

    "Izinkan saya bersujud dan mencium kaki Ibu, seperti saya bersujud di hadapan kaki mama saya!" Pintaku memohon di hadapan Bu Sjahandari, tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung bersujud di depan kakinya.

    "Eh Gih, jangan begini! Beasiswa ini murni untuk prestasi Sugih!" Bu Sjahandari berusaha mencegahku dan menarik kembali tubuhku untuk duduk di sebelahnya.

    "Terima kasih banyak Bu, atas pertolongan yang Ibu berikan kepada saya! Saya janji tidak akan mengecewakan Ibu!" Ikrarku pada Bu Sjahandari.

    "Iya, sekarang terimalah ini! Ini adalah cek yang dapat Ibu dan Sugih cairkan untuk biaya pendaftaran sekolah Sugih ke SMA. Bilamana jumlahnya masih kurang, jangan segan-segan untuk menghubungi saya dan bilang saja berapa kekurangannya!" Bu Sjahandari menyerahkan sehelai kertas panjang kepada mama.

    "Bu, ini sangat besar sekali," mama terkejut melihat jumlah nominal yang tertera pada kertas cek.

    "Nanti setiap bulan Sugih juga akan mendapat dana tunjangan untuk membayar SPP sekolahnya dan buku-buku paket yang diperlukannya!" Tandas Bu Sjahandari lagi menambahkan.

    "Alhamdulillah ya Allah!" Aku dan mama mengucap syukur.

    "Terima kasih banyak, Bu. Tidak ada yang dapat kami berikan untuk membalas kebaikan hati Ibu. Hanya doa yang dapat kami panjatkan semoga Allah senantiasa membalas semua amal perbuatan Ibu!" Ucap mama bersimpuh di hadapan Bu Sjahandari persis yang kulakukan sebelumnya.

    "Bu jangan begini, Bu! Apa-apaan sih Ibu ini? Sugih sudah selayaknya menerima beasiswa ini kok, Bu!" Bu Sjahandari dan Mbak Dian menarik tangan mama agar bangun kembali dari sujudnya.

    Air mata mama mengalir deras sangat terharu hingga tak mampu lagi berkata-kata menyampaikan rasa terima kasih kami kepada beliau.

    "Insya Allah, nanti akan saya masukkan Dyah juga agar bisa mendapatkan santunan anak yatim!" Bu Sjahandari benar-benar Malaikat Mikail bagi kami.

    "Ibu hanya minta satu hal pada Sugih, tetaplah aktif di Radio English Club selama Ibu masih bernapas di dunia ini!" Pesan beliau padaku.

    "Baik Bu, insya Allah saya akan selalu aktif di organisasi kita!" Kataku berjanji.

    ♔〒♔

    Pagi hari ini sangat cerah. Langit biru nan cekas dihiasi awan berarak. Kulangkahkan kakiku bersama mama menuju sekolah baruku di Jalan Manunggal yang tidak begitu jauh letaknya dari rumah kami. Menurut kabar hasil passing grade yang kubaca di papan pengumuman SMP-ku, ternyata aku lulus diterima di SMUN 5. Justru lagi-lagi sebenarnya NEM-ku diterima di SMUN 1, SMA negeri terfavorit di kotaku. Karena nilai rata-rata NEM-ku adalah 9,36. Hanya saja aku sama sekali tidak berminat melanjutkan sekolah di sana karena letaknya terlalu jauh dari rumah. Lagipula sama seperti SMP-ku dulu, SMUN 5 merupakan SMA negeri terfavorit kedua di kotaku. Karena jumlah ekstrakurikulernya yang seabreg dan selalu menjuarai kompetisi di tingkat kota hingga mencapai provinsi dan nasional. Tidak sedikit pula jebolan-jebolan siswa berprestasi yang berhasil dikirim ke luar negeri untuk mengikuti program pertukaran pelajar seperti AFS (American Field Study) dan Rotary Club mayoritas didominasi oleh SMUN 5 ini.

    Lapangan SMUN 5 membludak dipenuhi para calon siswa baru yang akan melakukan pendaftaran ulang. Sangat banyak teman-temanku dari SMPN 4 yang berhasil diterima di sini. Jumlahnya mencapai lebih dari 150 orang. Jumlah ini menandingi para pendaftar yang berasal dari SMPN 6 dikarenakan antara SMPN 6 dan SMUN 5 memiliki keterikatan historis dalam proses pendiriannya. Selain itu jarak antara kedua sekolah kakak beradik itu sangat dekat. Masih di areal Jalan Dr. Semeru, jalan protokol yang menghubungkan Bogor dan Jakarta.

    "Sugih, how are you doing?" (Sugih, bagaimana kabarmu?) Sapa Mrs. Neneng guru Bahasa Inggrisku di SMPN 4.

    Aku sempat kaget melihat sosok beliau di SMUN 5 ini. Beliau didampingi oleh seorang gadis seumuranku. Atau mungkin sebaliknya, gadis itu yang sedang didampingi oleh Mrs. Neneng?

    "I'm doing fine, thank you! How about you?" (Saya sehat, terima kasih! Bagaimana dengan Ibu?) Balasku hangat.

    Wajah Mrs. Neneng sangat ceria seperti biasanya, "I'm doing fine too. Please meet, my niece from Bekasi, Chairani!" (Saya juga sehat. Perkenalkan, keponakan saya dari Bekasi, Chairani!)

    "Kalian ngobrol aja dulu, ya!" Pamit Mrs. Neneng masuk ke dalam ruang pendaftaran.

    "Hai, kenalkan namaku Sugih!" Kuulurkan tanganku hendak menjabat perempuan bertubuh sangat tinggi itu. (Paras wajahnya sedikit mirip Aurelie Moeremans).

    "Chairani, calon dokter gigi!" Gadis itu membalas uluran tanganku.

    "Selamat datang di Bogor. Semoga betah tinggal di sini!" Kataku hangat.

    "Thanks. Kamu yang suka siaran Bahasa Inggris di RRI itu ya?" Tebak Chairani memastikan rasa penasarannya.

    "Kok kamu tahu?" Aku sedikit terperangah mendengarkan pertanyaannya.

    "Tante Neneng tuh rajin banget dengerin siaran acara kamu!" Beber Chairani tanpa merasa sungkan. "Kayanya kamu murid kesayangannya tanteku deh! Banyak lho, yang beliau omongin tentang kamu!"

    "Hah?" Aku melongo sangat terkesima mendengarkan penuturan Chairani.

    Aku benar-benar geer dikatakan demikian oleh Chairani. Aku teringat ucapan Novan pada hari perpisahan kami dulu. Ia sempat berbisik mengatakan kalau aku adalah murid kesayangan Pak Yusuf, guru Matematika kami. Sekarang aku mendengar Chairani menyebutkan kalau aku adalah murid kesayangan tantenya, guru Bahasa Inggris-ku. Berarti sudah ada 2 orang guru yang kuketahui di SMPN 4 menganggapku sebagai murid kesayangan mereka. Wah, benar-benar bangga rasanya menjadi murid kesayangan para guru favoritku.

    Aku sama sekali tidak menemukan Lucky, Teguh, dan Asep yang kabarnya mendaftar di sini. Yang kutemukan justru malah Indra yang sama sekali tidak kuduga akan satu sekolah lagi denganku. Kutolehkan pandanganku mencari-cari sosok pangeranku tercinta.

    "Ary, lu di mana? Gue diterima di SMUN 5, nih! Kita jadi kan sekolah sama-sama di sini?" Ucapku dalam hati.

    "Semoga hari-hari indah akan kita jalani di sini!" Gumamku lagi.


    SEPANJANG HIDUPKU
    Fase SMP
    -SELESAI-

    Terima kasih telah membaca dan berkomentar :)
    I love you all my readers   ♡♥♡

    HidingPrince  (^^♪

    つづく
  • Ryan, Anton, Ary masa SD
  • Ary Wibowo masa kuliah
    Ary.jpg 44.7K
  • Ryan masa kuliah
  • @HidingPrince good story d(n-n)b mksh kak sdh di tag
  • Kak, sheila on seven sudah ada pada tahun segitu ya ?
  • Kak, sheila on seven sudah ada pada tahun segitu ya ?
  • Enaknya dapet beasiswa... U,u
  • Kebawah kebawahnya kok ary makin gak ada ya?? Apa dah mulai kehasut ryan?? @_@
  • dafaZartin wrote: »
    Kak, sheila on seven sudah ada pada tahun segitu ya ?

    Sheila On Seven bahkan sudah tenar 1999. Hits zaman perpisahan SMP saya dulu BILA KAU TAK DI SAMPINGKU.

    FYI, Sheila on 7 lahir 1996 lho :)
  • bang kok ini dah tamat yach , pas tamat nya nanggung bangeeeeeet bang
Sign In or Register to comment.