SEPANJANG HIDUPKU
Hallo pembaca semuanya, HidingPrince is back! Sudah siap ya, membaca tulisanku yang alay dan lebay selanjutnya? Kali ini aku punya aturan dulu sebelum kalian men-scroll down tulisanku di bawah agar kalian dapat menikmatinya! Oke, langsung saja ya...
Baca Aturan Komentar (BAK) :
Jangan merequest gue dengan permintaan yang aneh-aneh, semisal "HidingPrince, perbanyak adegan sex-nya donk!" Atau "Kalau bisa si Anu nanti jadiannya sama si Una ya!" Atau misalnya lagi "Udah deh, musnahin aja si Anu itu, gue nggak suka!" Please ENGGAK BANGET! Ini cerita gue, so please biar gue menulis sendiri dengan lancar dan mengalir apa adanya tulisan gue! OKE?!
Jangan komentar OOT yang sekiranya tidak ada di pembahasan TOPIK! Kalau loe-loe pada maksa mau ber-OOT ria ngebahas soal gue atau tokoh-tokoh dalam cerita gue di luar jalur cerita, maka dengan senang hati gue mempersilakan loe semua untuk bikin thread baru dengan tema 'HidingPrince FANS CLUB'! And jangan lupa mention gue di sana sebagai tamu, ya! Hahaa...
Please jangan cuma sekadar jadi SILENT READER! Sebab gue orangnya senang menambah kawan. Siapapun elo, asalkan nongol di sini, bisa bikin gue tambah sayang sama loe semua.
Jangan segan untuk mengkritik gue! Sebab gue pada dasarnya suka banget baca twitnya FARHAT ABAS! (Gubrak!)
Jangan mewek kalau ada adegan mengharukan! Sebab gue kagak bisa ngasih tisu ataupun ngasih pundak gue buat bersandar! Noh, tiang listrik banyak di pinggir jalan! #PLAK, kagak nyambung!
Hal-hal yang belum disebutkan di atas atau menyangkut pengeditan dan lain sebagainya akan ditambahkan sambil jalan.
Selamat membaca SEPANJANG HIDUPKU!
Comments
Jangan salah mengira dengan judul yang kutulis! Aku bukan mau numpang konser di sini, ngamen-ngamen gak jelas membawakan lagu PILOT yang gak pernah bisa mengemudikan pesawat terbang itu! Kalau mengemudikan pesawat mainan, aku percaya! Please deh, aku juga gak pintar nyanyi kaya si Badai tokoh dalam ceritaku yang berjudul Namamu Kupinjam itu! Aku cuma mau bertutur cerita di sini, boleh kan? Bolehlah! Aku kan suka banget mendongeng, tapi kalian semua jangan pada ngantuk baca ceritaku ya! Apalagi sampai bosan. Sebab ceritaku yang satu ini bakal panjang lebar kututurkan dari umur sang tokoh utama masih kanak-kanak, sampai ia dewasa seperti sekarang. So, here it is!
::::::::::Let Me Be Myself, Mom!::::::::::
Apakah aku salah menjadi seorang gay? Sebetulnya, siapa yang telah membuatku begini? Haruskah aku menyalahkan suratan takdir? Kalau suratan takdir harus kusalahkan, di mana surat itu ditulis? Biar kuhapus surat itu, atau kugumpal kertas surat itu dan kulempar ke tong sampah! Bila mana perlu ingin kubakar surat itu sekarang juga! Tapi aaaah.... Tiada dapat kutemukan surat tersebut di manapun dengan mata kepalaku sendiri!
Dua puluh delapan tahun lima bulan lalu aku terlahir ke dunia sebagai bayi laki-laki yang sehat, lucu, dan montok. Mataku bening secerah mata air pegunungan yang jernih. Rambutku ikal bergelombang bagaikan riak ombak di laut. Tak seorangpun mengazankanku selain ibuku sendiri ketika aku dilahirkan. Ayahku? Tak usah ditanyakan! Aku hanya bisa memaparkan sedikit tentangnya. Kata ibuku, ayahku itu seorang pemain cinta. Banyak gadis di desanya yang tergila-gila kepadanya. Wajahnya sangat mirip dengan komposer musik legendaris di tahun 1980-an, Rinto Harahap! Ibuku dipaksa menikah dengannya karena perjodohan orang tua! Memang sih, ketika SMA ibuku sempat menaruh perasaan suka kepada ayahku. Tetapi bukan berarti ibuku itu perempuan tidak laku ya! Beliau pernah terpilih menjadi Bintang Pelajar Provinsi Jawa Barat di era 1970-an, masa SD dan SMP-nya. Bahkan ibuku sering lompat kelas dari kelas 1 SD langsung naik ke kelas 3 SD dan naik lagi langsung ke kelas 5 SD, saking pintarnya. Katanya sih sistem pendidikan zaman dulu begitu, bisa lompat kelas asalkan anaknya pintar. Nilai rapor dan ijazah SD ibuku saja hampir semuanya diberi angka 10 oleh para gurunya. Wow, aku saja nilai tertinggi di raporku hanya mampu mencapai angka 9, itupun mata pelajaran tertentu yang mungkin benar-benar kukuasai. Dan semasa SMA-nya, ibuku pernah juga menyabet juara pertama Putri Kebaya Provinsi Jawa Barat pada dasawarsa yang sama. Fuu, amazing! Hebat ya? Hebat kan? Wajar donk kalau dulu banyak pejabat yang ingin meminang ibuku untuk menjadi istri mereka. Terus kenapa mau dijodohkan? Bapaknya ibuku adalah seorang komandan tentara. Bapaknya ayahku adalah seorang pengusaha, kebun duriannya banyak di mana-mana. Kedua kakekku itu bersahabat sejak kecil. Melihat gelagat ibuku yang diam-diam menyukai ayahku, dan memang dasar sifat ayahku seorang playboy sejati, maka mereka mau saja dipaksa kawin oleh kedua orang tua mereka.
Eits, jangan salah mengira kalau aku ini anak pertama ya! Aku adalah anak ketiga bagi ayahku, dan anak kedua bagi ibuku. Ternyata di luar pernikahannya dengan ibuku, ayahku telah menghamili seorang wanita lain yang menjadi cinta pertamanya. Apakah itu menyakitkan bagi ibuku? Tidak! Ibuku sudah mengetahui mengenai hubungan mereka meskipun wanita itu tidak pernah dinikahi oleh ayahku. Dinafkahipun tidak! Ayahku pergi meninggalkannya begitu saja setelah beliau menikah dengan ibuku sebagai istri pertamanya. Tentu ini menyakitkan bagi wanita itu bukan?
Kakakku selisih 3 tahun denganku. Dia dilahirkan tepat pada hari ABRI, 1982. Ada yang tahu kapan hari ABRI diperingati? Tepat! 5 Oktober kan? Betapa bangganya kakekku mempunyai seorang cucu yang lahir pada hari yang sama dengan hari istimewa profesinya. Harapannya kelak kakakku akan menjadi penerusnya menjadi seorang tentara. Oya, nama kakakku adalah Fariz. Dia juga seorang laki-laki sama denganku. Namun sayang, ketika aku lahir dan tumbuh berkembang hingga usiaku menginjak 8 tahun, aku tak pernah bertemu dengannya.
Ketika ibuku sedang hamil mengandungku, Pak Edy seorang teman lama ibuku yang berprofesi sebagai seorang lurah datang memelas pada ibuku agar ibuku menggugat cerai kepada ayahku. Pasalnya ibuku adalah cinta pertamanya ketika remaja, sedangkan ibuku tak pernah mencintainya. Di saat yang bersamaan ayahku tengah tergoda oleh seorang gadis Dayak dari Pulau Kalimantan yang tergila-gila kepadanya. Ayahku juga sebenarnya masih memiliki garis keturunan Suku Dayak dari ibunya. Gadis Dayak yang mendekati ayahku itu mengiming-imingi harta kepada ayahku untuk meninggalkan ibuku dan menikah dengannya, kemudian menetap di Pulau Kalimantan. Lengkap sudah noktah merah pernikahan kedua orang tuaku, yang sangat mirip dengan adegan-adegan drama, film, dan sinetron! Ayahku menuduh ibuku telah berselingkuh dengan temannya yang lurah itu. Bahkan, aku dianggap sebagai anak hasil perselingkuhan ibuku. Padahal ketika itu aku masih berada dalam kandungan ibuku, kurang lebih 8 bulan.
"Aku yakin bayi dalam kandunganmu kali ini sudah bukan anakku lagi! Ini pasti hasil perselingkuhanmu dengan si Edy itu!" Kira-kira seperti itulah kalimat yang pernah dilontarkan oleh ayahku dulu menurut penuturan yang disampaikan ibuku.
"Kamal, demi Allah aku tidak pernah berselingkuh dengannya! Aku nggak punya hati sama dia!" Ibuku menyebut nama ayahku sambil memegangi perutnya yang sedang hamil tua.
"Alah, itu alasanmu saja! Di mana-mana maling gak ada yang mau ngaku! Jangan bawa-bawa nama Allah kalau lagi bohong, nanti kamu bisa kena azab!" Ancam ayahku lagi tidak mempercayai perkataan ibuku.
Lantas ayahku diam-diam pergi meninggalkan rumah bersama gadis Dayak itu. Besar kemungkinan gadis Dayak itu telah memelet ayahku agar ayahku tergoda kepadanya. Bukan tanpa sebab, menurut kesaksian keluargaku rupa gadis itu sangat jelek sekali tidak mencerminkan wanita Dayak yang banyak digembar-gemborkan orang kalau para gadis Dayak itu kebanyakan berparas cantik dan menarik. Bagaimana bisa ayahku tergoda olehnya kalau bukan ada faktor lain yang menyebabkannya bersedia mengawininya. Mungkin harta atau mungkin juga pelet!
Seminggu menjelang kelahiranku, rumah kakekku (bapaknya ayahku) kebakaran. Saat itu ayahku belum menceraikan ibuku, dan ibuku masih tinggal menumpang di rumah mertuanya. Ternyata rumah kakekku sengaja dibakar oleh lurah gila yang merusak rumah tangga kedua orang tuaku. Teman lama ibuku itu merasa sakit hati karena ibuku tak bersedia menggugat cerai kepada ayahku. Gara-gara itu, kakekku sangat marah kepada ibuku. Beliau menyalahkan ibuku atas tuduhan telah berselingkuh dengan lurah gila itu, seperti yang dilontarkan oleh ayahku. Ibuku diusirnya pergi meninggalkan kampung ayahku. Sedangkan kakakku sengaja disembunyikannya agar tak dibawa pergi bersama ibuku. Kakakku adalah cucu laki-laki pertama kakekku, karena itu kakekku sangat menyayanginya. Maka pergilah ibuku luntang-lantung berurai air mata mencari tempat tinggal agar dapat melakukan persalinan. Beliau mengunjungi rumah sanak famili dari ayah dan ibunya yang mau bersedia menampungnya.
Sayangnya kakekku yang tentara sedang berdinas di Riau. Sedangkan ibuku terpaksa melahirkanku di Bogor, rumah bibinya ibuku yang bernama Umi Wati. Dan karena ibuku sudah tidak memiliki apa-apa lagi, kami hidup sangat miskin tidak memiliki harta dan tempat tinggal, ibuku berinisiatif memberiku nama SUGIH! Dalam Bahasa Sunda, Bahasa Jawa, Bahasa Banjar, Bahasa Melayu, Bahasa Dayak, dan bahasa-bahasa daerah lainnya di Indonesia, SUGIH itu memiliki makna yang seragam di keseluruhan bahasa daerah tersebut yaitu : KAYA! Ibuku sengaja memberiku nama tersebut agar kelak aku bisa menjadi orang kaya. Kaya dalam konteks pengertian yang sangat luas. Tidak hanya harta tetapi juga ilmu, amal, dan rizki.
Ibuku merasa menyesal anak keduanya harus terlahir berjenis kelamin laki-laki lagi. Sejatinya beliau sangat mendambakan aku terlahir sebagai perempuan. Mungkin dipikirnya, bila mempunyai anak perempuan tak perlu susah-susah harus menyekolahkan tinggi-tinggi. Karena toh anak perempuan itu akhirnya harus mengurus rumah tangga. Sedangkan bila mempunyai anak laki-laki, ibuku harus bekerja keras untuk membiayaiku sekolah hingga setinggi mungkin agar aku bisa memperoleh pekerjaan yang layak untuk menghidupi keluargaku kelak.
Genap satu minggu aku dilahirkan, sepucuk surat diterima oleh ibuku. Surat itu dikirim oleh ayahku khusus untuknya, yang berisikan surat pernyataan cerai. Ibuku sangat sedih, karena jauh di lubuk hatinya ibuku sangat mencintai ayahku. Meskipun ayahku sering mengelak kalau ia berselingkuh dan berkencan dengan wanita lain. Tak jarang ibuku dipukul dan dicambuki ayahku bila ibu menanyakan apakah ayah telah pergi berkencan dengan wanita lain. Sejak surat pernyataan cerai itu datang, ibuku mulai menaruh perasaan dendam kepada ayahku. Ditatapnya aku dalam-dalam, karena banyak kemiripan fisik yang kuwarisi dari ayahku.
"Semua yang ada pada wajahmu adalah duplikasi wajah ayahmu! Nanti kalau kamu sudah besar kamu temui keluarga ayahmu itu katakan kalau kamu itu anak si Kamal!" Kalimat itu selalu terngiang setiap kali ibuku sedang marah kepadaku.
Belum genap dua bulan, ibuku membawaku menyeberang pulau menyusul kedua orang tuanya ke Riau. Di sana aku dititipkan kepada para bibiku, adik-adik ibuku. Bersama nenek, aku diasuh mereka bergantian. Sementara ibuku pergi bekerja di ladang menggarap kebun. Hari-harinya hanya diisi dengan bekerja, bekerja, dan bekerja untuk melupakan kekesalannya kepada ayahku. Terkadang nenek dan bibi-bibiku turut menggarap kebun dan membawaku dalam gendongan di punggung mereka. Panas terik matahari sering kurasakan bersama mereka. Namun tak sekalipun mereka mengeluh atas kerewelanku yang kepanasan di bawah terik sengatan cahaya matahari. Kebersamaanku dengan nenek hanya mencapai usiaku satu setengah tahun. Karena sebuah penyakit yang dideritanya dan tidak diketahui apa penyakitnya, nenekku meninggal dunia. Aku belum mengerti apa-apa kala itu. Karena aku masih sangat kecil. Yang kuingat rasanya aku pernah dipangku nenekku di ujung punggung kakinya seraya diayun naik-turun. Aku sangat ketakutan tetapi juga senang hingga kedua tangan mungilku berpegangan pada kedua lingkar betisnya dengan sangat kuat. Dan masih terekam dalam penglihatanku bagaimana nenek menghadapi sakratul mautnya. Beliau terbaring lemah di atas sebuah tikar di ruang keluarga. Aku bertengkurap menemaninya sambil memainkan sesuatu yang ada di depanku. Hingga tiba-tiba saja dari sebuah pintu yang terbuka di samping ruangan, masuklah seekor kadal berlari menaiki tubuh nenekku yang dibalut selimut. Dan kadal itu menyeberanginya masuk ke dalam ruangan lainnya. Ibuku melihatnya dan mengusir kadal itu ke luar. Namun napas nenek tiba-tiba mendadak megap-megap. Beliau terlonjak-lonjak dalam keadaan tertidur dan tak lama kemudian beliau menghembuskan napas terakhirnya. Ibuku dan adik-adiknya menjerit histeris. Seluruh tangis anggota keluarga meledak sejadi-jadinya. Eh, aneh! Mengapa aku bisa mengingat semua itu?
Ibuku sangat keterlaluan tak pernah mengasuhku. Bahkan untuk menyusu saja aku harus menumpang ASI pada bibiku yang bernama Rida. Beliau adalah adik ibuku nomor dua, anaknya selisih satu tahun denganku lebih muda. Anaknya perempuan diberi nama Dian, yang berarti cahaya. Karena saat sepupuku itu dilahirkan hari sedang menjelang pagi, matahari mulai menebarkan cahayanya ke pelbagai penjuru dunia. Aku disusui oleh Bibi Rida bersebelahan dengan Dian dalam gendongannya.
"Ciluk... Ba!" Bibi Rida mencandai aku dan Dian bergantian.
"Si Cantik dan Si Ganteng, mata lentik hidung lempeng!" Hiburnya lagi membuat aku dan Dian tertawa-tawa dalam gendongannya.
Tentu sangatlah berat menggendong dua anak balita sekaligus. Tetapi Bibi Rida sangat tulus merawat dan mengasuhku. Beliau tidak pernah membedakan antara anak dan keponakan, semua sama dianggapnya anak.
Setelah nenek meninggal dunia, kakek mulai pensiun dari tugas kemiliterannya. Bersama Bibi Rida, kakek memutuskan untuk hijrah ke luar Riau. Bibi Rida dan keluarga kecilnya pindah mengadu nasib ke Kota Padang, Sumatera Barat. Sedangkan Bibi Harti, adik ibuku nomor tiga ikut pindah bersama suaminya yang baru saja diangkat menjadi PNS ke Palembang. Sementara ibuku yang mulai kehilangan pegangan karena ditinggal mati oleh nenek, memutuskan untuk kembali ke Bogor guna mencari pekerjaan di sana. Dan aku dibawanya serta.
Kembali kami menumpang di rumah Umi Wati, bibinya ibuku, adik dari mendiang nenek. Baru genap tiga bulan menumpang di sana ibuku menerima lamaran seorang laki-laki dari kampung yang bernama Desa Cemplang, Barengkok-Leuwiliang. Laki-laki itu bernama Pak Hamdan. Aku tidak tahu jelas apa pekerjaan laki-laki itu. Namun meskipun begitu masih kurekam dengan jelas dalam ingatanku betapa kejamnya sikapnya padaku di masa kecil dulu. Padahal usiaku saat itu baru sekitar 2-3 tahun.
"Eh budak leutik, dangukeun! Yeuh, aing teh Hamdan bapa tiri maneh! Maneh kudu nurut ka aing!" (Eh anak kecil, dengarkan! Nih, saya ini Hamdan bapak tiri kamu! Kamu harus nurut sama saya!) Ucapnya sambil menjambak rambutku kasar.
Aku hanya dapat diam menahan sakit di kepalaku. Andai aku sudah dewasa ingin kubalas perbuatannya terhadapku. Apa salahku sehingga dia bengis terhadapku? Aku hanya anak kecil dan belum mengerti apa-apa!
"Ngarti teu sia?" (Ngerti gak kamu?) Ucapnya lagi kali ini sambil menusukku dengan bara rokok yang baru saja dihisapnya.
Alhasil kulit tanganku melepuh dan aku menjerit kesakitan. Namun tangannya yang kokoh berhasil menahan langkahku dan mengancamku agar tidak mengadukan perbuatannya kepada ibuku. Sayangnya HAM belum terlalu mencuat kala itu.
Entah mengapa setelah ibuku menikah dengannya, ibuku pergi menjadi TKW ke Brunei Darussalam. Aku dititipkannya kepada adik iparnya yang bernama Bibi Oja, adik dari Pak Hamdan, ayah tiriku. Aku sangat sedih merasa terbuang. Hampir setiap hari aku menangis merindukan ibuku. Mungkin karena merasa terasingkan, aku jadi sering sakit-sakitan. Aku yang masih balita, sering mengigau memanggil-manggil ibuku dalam keadaan sakit.
"Mama... Mama..." Panggilku dalam tidurku mengigau.
Bibi Oja sangat resah akan keadaanku. Sedangkan Pak Hamdan malah merasa kesal kepadaku. Aku yang tidak tahu apa-apa, tiba-tiba saja dicakarnya pipiku hingga ke ujung bibir. Luka cakaran itu mengeluarkan darah dan masih membekas hingga kini. Benar-benar keparat ayah tiriku itu!
Pak Hamdan sering berkirim surat kepada ibuku. Dikabarkannya aku sangat rewel minta dibelikan banyak mainan. Intinya Pak Hamdan meminta ibuku untuk mengiriminya sejumlah uang setiap bulan dengan alasan untuk membelikan segala keperluanku. Padahal pada kenyataannya tidak! Satu butir permen saja tak pernah dibelikannya untukku dari uang yang dikirimkan oleh ibuku di Brunei Darussalam! Sehari-hari aku diberi makan oleh Bibi Oja. Bibi Oja sangat baik kepadaku. Anaknya hanya satu, perempuan yang diberinya nama Entin dan bersekolah di SMP. Beliau menganggapku sebagai anaknya sendiri. Adalah Seroja Fatmawati nama lengkapnya. Tubuhnya gemuk agak rendah, betisnya besar, pipinya gembil, dan rambutnya keriting sering ditutupi kain slayer yang mengikatnya. Dandanan khas orang kampung pelosok Kabupaten Bogor yang lebih dikenal dengan sebutan 'Urang Kulon' (Orang Barat), maksudnya orang Bogor sebelah barat. Dibandingkan dengan orang Bogor kota, urang kulon memiliki logat Sunda atau dialek yang berbeda. Cara mereka berbicara lebih mirip dengan suara pita kaset kusut. Kalau orang Sunda bilang istilahnya 'Ngagaleong'. Pasti orang akan tertawa bila mendengar suara orang Leuwiliang atau urang kulon berbicara, karena dialek Sunda mereka sangat lucu kedengarannya. Sangat jauh berbeda dengan logat Sunda orang Bandung maupun Priangan timur yang terdengar lebih mendayu-dayu berirama dan sedap di telinga.
Bibi Oja sangat memperhatikanku, beliau selalu menyediakan daging kerbau di atas meja makan agar aku tidak kekurangan gizi. Alhasil tubuhku berhasil dibuatnya gemuk dengan tubuh buncit dan kepalaku bulat. Seharusnya menjadi kewajiban Pak Hamdan untuk merawat dan mengasuhku selama ibuku tidak ada. Tetapi Pak Hamdan sama sekali tidak pernah mempedulikanku. Yang dipedulikannya hanya kiriman uang dari ibuku, entah dipakainya untuk apa uang itu.
Aku masih beruntung Bibi Oja benar-benar menjadi malaikat buatku yang sengaja Tuhan kirimkan untuk melindungiku. Bibi Oja senantiasa menghiburku bila aku teringat pada ibuku. Lantas dibawanya aku ke studio foto untuk berpotret bersama dengannya tiap kali aku merasa sedih. Kala itu berfoto ke studio merupakan media hiburan keluarga yang terbilang sangat menyenangkan. Masih terbaca dengan jelas angka tahun yang tercetak pada foto kami, Juli 1988. Itu berarti saat itu usiaku baru dua setengah tahun. Tetapi aku masih mengingat semuanya dengan jelas. Baru kusadari ternyata aku memiliki kemampuan merekam visual yang tajam dalam ingatanku. Aku bisa mengingat semua yang terjadi padaku di masa lalu hanya dengan memejamkan mataku saja dalam sesaat.
Ibuku berkirim surat kepada Bibi Oja menanyakan perihal keperluanku yang telah dibelikan oleh Pak Hamdan dari uang hasil kirimannya. Bibi Oja sangat terkejut membaca surat dari ibuku. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Pak Hamdan pandai berbohong dan kong-kali-kong, karena selama ini ia tak pernah menerima sepeserpun uang dari kakaknya itu untuk membelikan keperluanku. Setelah membaca surat dari ibuku, serta-merta Bibi Oja membawaku ke rumah Pak Hamdan guna menanyakan uang-uang yang dikirimkan oleh ibuku selama setahun. Alangkah biadabnya lelaki itu, ternyata uang kiriman dari ibuku dipakainya untuk modal kawin lagi. Diam-diam dia telah menikahi seorang janda yang bernama Ceu Salmah. Pak Hamdan selama ini telah bersenang-senang di atas penderitaanku.
Dia sama sekali tidak pernah memikirkan kalau baju yang kupakai selama ini adalah hasil pemberian tetangga belakang rumah Bibi Oja. Nama tetangga Bibi Oja itu adalah Bibi Dedah. Anak Bi Dedah seumuran denganku, namanya Dedi. Setiap hari kami bermain bersama. Aku sering meminjam sepeda darinya hingga kadang berebut sampai salah seorang dari kami harus ada yang menangis karena tidak ada yang mau mengalah. Sebuah sepeda roda tiga, dengan ukuran rodanya yang teramat lebar hingga mencapai 20 cm. Terkadang pula, aku dan Dedi meminta Bi Dedah, untuk memetikkan buah kecapi yang terdapat di belakang rumahnya. Pohon kecapi Dedi sangat lebat buahnya. Rasanya sangat manis dengan warna kulit kuning pekat. Buahnya bulat sangat mirip dengan bola tennis. Saking lebatnya buah-buah kecapi itu jatuh berhamburan ke sungai yang ada di bawah pohon. Tidak hanya itu, hari-hari kami juga sering diisi dengan turun ke sawah guna menangkap belut dan mencari tutut bersama ayah Dedi. Ah, sedapnya belut licin tangkapan kami digoreng oleh Bibi Oja. Rasanya kriuk-kriuk renyah. Keong tutut yang kami kumpulkan pun direbuskan oleh Bi Dedah, bumbunya hanya cukup Royco atau Masako saja. Namun rasanya sangat gurih. Bila kami gagal menangkap belut dan mengumpulkan tutut, aku dan Dedi hanya bermain di sawah sepanjang hari sambil menangkapi kecebong yang kami sangka ikan. Ada pula anak kodok yang mulai memiliki kaki dan kami menyebutnya 'bancet'. Masa kecilku ini tidak pernah kulupakan hingga sekarang.
"Hamdan, mana duit kiriman ti indungna si Ugih? Kadieukeun!" (Hamdan, mana duit kiriman dari ibunya si Ugih? Ke sinikan!) Teriak Bi Oja di ruang tamu Pak Hamdan.
Pak Hamdan tampak keluar dari kamar menggulung sarung yang dipakainya, "Naon Oja, datang-datang gogorowokan?" (Apa Oja, datang-datang teriak-teriak?).
"Maneh teh beuki nyalikong wae ka pamajikan! Ngomong si Ugih teh rewellah, loba pamentalah, tapi duitna teu dibikeun ku sia!" (Kamu tuh suka bohong terus sama istri! Bilang si Ugih itu rewellah, banyak permintaannyalah, tapi uangnya tidak diberikan sama kamu!) Serang Bi Oja pada kakaknya sendiri.
Bibi Oja memang gagah. Beliau tak gentar menindak perbuatan salah yang dilakukan kakaknya. Dalam keadaan marah, Bi Oja lebih sering memanggil Pak Hamdan hanya cukup dengan nama. Tanpa embel-embel 'Kang', 'Akang', atau 'Aa' yang seharusnya diucapkan olehnya sebagai bentuk kesopanan dan rasa hormat terhadap seorang kakak.
"Ceuk saha Oja? Ulah sok ngaya-ngaya wae!" (Kata siapa Oja? Jangan suka ada-ada saja!) Ucap Pak Hamdan sengit tak mau dituduh.
"Yeuh geuning ieu surat ti pamajikan maneh! Baca tah ku sia! Aing era boga lanceuk kos sia!" (Nih, ternyata ini surat dari istrimu! Baca tuh sama kamu! Aku malu punya kakak seperti kamu!) Gugat Bi Oja lagi menyodorkan sepucuk surat dari ibuku.
Pak Hamdan melongo membaca surat itu. Ekspresi wajahnya berubah malu seketika.
"Hah, Kang Hamdan boga pamajikan sejen?" (Hah, Kang Hamdan punya istri lain?) Ceu Salmah muncul keluar dari dalam kamar.
"Ieu teh saha Hamdan? Maneh teh kumpul kebo?" (Ini nih siapa Hamdan? Kamu tuh kumpul kebo?) Bi Oja mendongak heran pada Ceu Salmah.
"Saya teh Salmah, pamajikan Kang Hamdan! Ari silaing saha?" (Saya ini Salmah, istri Kang Hamdan! Kalau kamu siapa?) Ceu Salmah balik bertanya.
"Saya teh Oja, adina Hamdan!" (Saya ini Oja, adiknya Hamdan!) Bi Oja memperkenalkan dirinya.
"Perlu kamu ketahui ya Ceu Salmah, sebelum menikah sama kamu teh, Kang Hamdan sudah punya istri lebih dulu, sekarang lagi kerja di Brunei Darussalam! Saya ke sini mau meminta uang yang dikirimkan istrinya buat anaknya!" Beber Bibi Oja menjelaskan.
Ceu Salmah mengerutkan keningnya, "Bener Kang naon dibejakeun ku adi Akang ieu?" (Benar Kang, apa yang diberitahukan sama adik Akang ini?).
Pak Hamdan mengelak, "Tong percaya kana omongan si Oja! Manehna mah sok ngabodor wae!" (Jangan percaya pada omongan si Oja! Dia itu suka ngelucu aja!).
Mata Bi Oja mendelik, "Eh, kadieukeun suratna, cing pek urang tepikeun ka pamajikan maneh ieu tukang nyalikong!" (Eh, sinikan suratnya, biar kusampaikan pada istrimu ini, tukang bohong!).
Pak Hamdan enggan mengembalikan surat yang disodorkan oleh Bi Oja tadi.
"Pokokna aing mah teu hayang nyaho nanaon, geura bikeun kabeh duit nu dikirimkeun ku indungna si Ugih!" (Pokoknya aku tidak mau tahu apa-apa, segera berikan semua uang yang dikirimkan oleh ibunya si Ugih!).
"Geus beak atuh Oja! Apan duitna geus urang pake jang modal kawin!" (Sudah habis donk Oja! Kan uangnya sudah kupakai untuk modal kawin!) Ucap Pak Hamdan enteng tanpa beban.
"Gelo sia Hamdan! Kurang geulis naon indungna si Ugih daek kawin ka maneh anu goreng jore patut?" (Gila kamu Hamdan! Kurang cantik apa ibunya si Ugih mau kawin sama kamu yang jelek banget gitu!) Tuntut Bi Oja.
"Eta mah begona indung si Ugih weh daek kawin ka urang!" (Itu sih begonya ibu si Ugih aja mau kawin sama aku!) Balas Pak Hamdan lagi santai dan kalem membuat hati Bi Oja semakin dongkol.
"Tempokeun ku sia engkenya! Beak imah maneh ieu ku aing duruk!" (Lihat sama kamu nanti ya! Habis rumahmu ini kubakar!) Ancam Bi Oja sambil menuntunku meninggalkan ruangan.
"Gelo sia Oja!" (Gila kamu Oja!) Teriak Pak Hamdan seperti habis kebakaran jenggot.
"Kang, jawab sing jujur! Akang teh boga pamajikan sejen heunteu?" (Kang, jawab yang jujur! Akang itu punya istri lain tidak?) Terdengar suara Ceu Salmah meminta keterangan sepeninggal kami dari dalam ruangan.
Sejak kejadian itu, Pak Hamdan menaruh perasaan dendam kepadaku. Aku tidak tahu mengapa ibuku bersedia menikah dengan lelaki berperangai buruk seperti dia. Apakah hanya demi status karena tak ingin dicap buruk sebagai seorang janda? Ataukah karena memerlukan perlindungan seorang kepala keluarga yang dapat menafkahinya lahir dan batin? Tetapi bila dikarenakan faktor yang kedua, mengapa ibuku harus sampai bekerja menjadi seorang TKW ke luar negeri? Ah, pikiran kanak-kanakku belum mampu berpikir sampai ke sana.
Suatu hari, anak gadis tetangga seberang jalan rumah Bi Oja mengalami kesurupan. Dia mengamuk-ngamuk tidak jelas tidak mau dikawinkan oleh kedua orang tuanya. Seorang polisi yang juga kebetulan berilmu tinggi, dapat menyembuhkan orang sakit dengan ilmu yang dimilikinya datang masuk ke dalam kamar dan memberi instruksi kepada warga yang datang mengerumuninya untuk memegangi kedua tangan dan kedua kaki gadis itu. Serta-merta para warga melaksanakan instruksi beliau.
"Lepaskan! Aku tidak mau kawin! Aku tidak mau kawin!" Teriak gadis itu meronta-ronta.
"Cicing sia!" (Diam kamu!) Hardik pak polisi sambil membaca jampi-jampi di depan segelas air bening yang telah disediakan oleh pemilik rumah.
Lalu dihiruplah air dalam gelas itu ke dalam mulutnya dan berkumur. Kemudian disemburkannyalah air dalam mulutnya ke wajah si gadis, bekas kumurannya.
BYUUR!
Wajah gadis itu menjadi basah terkena semburan air bekas kumuran pak polisi. Kontan tubuhnya menggelepar seketika dan lalu pingsan di atas ranjangnya. Aku benar-benar takut menyaksikan kejadian tersebut. Pak Hamdan sengaja membawaku untuk melihatnya agar aku menjadi ketakutan dan mungkin juga aku akan merasa takut kepadanya. Itulah pembalasan yang dilakukannya terhadapku.
"Tuh, siah! Daek teu sia dikitukeun ku pulisi?" (Itu, tuh! Mau tidak kamu dibegitukan oleh polisi?) Ujar Pak Hamdan menakut-nakutiku.
Sepulang dari menyaksikan kejadian tersebut, tubuhku menggigil. Suhu badanku naik sangat tinggi. Aku mendadak demam. Bibi Oja membawaku berobat menemui dokter. Aku sangat takut melihat jarum suntik. Teh Entin berusaha meyakinkanku kalau disuntik itu tidaklah sakit, hanya seperti digigit semut dan setelah itu tubuhku akan kembali sehat.
"Teh, Ugih sieun Teh, sieun disuntik ku dokter!" (Teh, Ugih takut Teh, takut disuntik oleh dokter!) Kupegangi tangan Teh Entin agar jangan jauh-jauh dariku.
"Teu kunanaon! Moal nyeri kok! Asa digegel sirem!" (Tidak apa-apa! Enggak sakit kok! Kaya digigit semut!) Teh Entin membujukku.
"Bibi, Ugih hoyong kapendak Mama!" (Bibi, Ugih ingin bertemu Mama!) Ucapku lirih dengan nada penuh permohonan.
"Enya, sing sabarnya! Engkin Bibi seratan Mamana ngarah enggal uih!" (Iya, yang sabar ya! Nanti Bibi surati Mamanya supaya cepat pulang!) Bibi Oja menenangkan perasaanku.
Umurku menginjak tiga tahun tatkala ibuku kembali ke tanah air. Berkat surat yang dikirimkan oleh Bibi Oja, ibuku bersedia pulang menemuiku. Namun Bibi Oja sama sekali tak pernah menceritakan perihal keadaan Pak Hamdan yang sudah beristri lagi sepeninggal ibuku ke Brunei, dalam suratnya. Aku sangat senang akhirnya bisa melihat ibuku pulang ke tanah air. Digendongnya aku oleh ibuku seraya diciumi penuh kerinduan. Aku benar-benar disayang oleh ibuku. Pak Hamdan sangat terkejut melihat kepulangan ibuku yang sangat tiba-tiba. Gelagatnya berubah baik padaku demi menjaga imagenya di mata ibuku. Ibuku percaya saja kepada 'buaya' satu itu.
"Ari ieu kunaon pipi Ugih?" (Ini kenapa sama pipi Ugih?) Ibuku memegangi pipi kananku hingga ke sudut bibir.
"Dicakar ku Pak Hamdan, Ma!" Jawabku mengadu tanpa merasa takut lagi pada lelaki menyebalkan itu.
Pak Hamdan melototiku. Namun wajahnya kembali berubah manis saat ibuku mengalihkan pandangan kepadanya.
"Kunaon Ugih dicakar, Kang?" (Kenapa Ugih dicakar, Kang?) Usut ibuku mencari kebenaran.
"Lain dicakar ku Akang! Ah, ngalindur eta budak!" (Bukan dicakar oleh Akang! Ah, ngelantur itu anak!) Sangkal Pak Hamdan gelagapan.
"Budak leutik masih polos Kang! Moal tea ngawadul!" (Anak kecil masih polos Kang! Tidak akan juga berbohong!) Tuntut Ibuku.
"Ah, terserah Iis waelah mun teu percaya ka Akang!" (Ah, terserah Iis sajalah kalau tidak percaya sama Akang!) Pak Hamdan ngeles.
Ibuku hanya bisa mengusap-usap rambutku dan mencium keningku seakan memberikan keyakinan padaku kalau insiden serupa tidak akan terjadi lagi padaku.
Belum genap satu malam ibuku pulang dari Brunei, saat kami sedang asyik bercengkerama bersama Pak Hamdan dan keluarga Bibi Oja, Ceu Salmah datang menemui kami. Disalaminya tangan ibuku dengan sangat ramah.
"Kenalkan, Salmah!" Gundik Pak Hamdan itu menyodorkan tangannya kepada ibuku.
Ibuku heran melihat kedatangan wanita itu. Matanya mengerjap memberi isyarat kepada Bibi Oja, menanyakan siapakah gerangan yang datang. Bibi Oja hanya bergeming tak membalas isyarat yang diberikan oleh ibuku.
"Iis!" Sahut ibuku membalas uluran tangannya.
Ceu Salmah duduk berhadapan dengan ibuku dan Pak Hamdan. Aku duduk mengapit di antara ibuku dan ayah tiriku itu. Aku memandang sedikit curiga ke arah tangan Ceu Salmah yang terus dikantunginya ke dalam saku baju kemejanya di depan pinggangnya setelah bersalaman dengan ibuku. Ada apa di dalam kantung bajunya itu? Tanyaku penasaran dalam hati.
"O, jadi ini ya Kang, istri pertamamu itu?" Wajah Ceu Salmah berayun menyunggingkan senyuman penuh misteri.
Pak Hamdan gelagapan tidak tahu harus berkata apa. Namun sejenak kemudian ia hanya bisa tersenyum nyengir kuda.
"Cantik! Cantik banget!" Puji Ceu Salmah.
"Maaf Teh, Teteh ini siapa ya?" Ibuku kebingungan sedari tadi Ceu Salmah hanya memperkenalkan diri berupa namanya saja tanpa memperjelas maksud kedatangannya.
Ceu Salmah bangkit berdiri, "Kamu mau tahu saya ini siapa?"
"Saya ini istrinya Kang Hamdan!" Lanjutnya.
PYAAAAR!
Dilemparkannya segenggam pasir yang disembunyikannya dalam kantung bajunya sedari tadi ke arah kami.
"Hyaaaaa..." Mama merunduk ke bawah kursi. Begitu juga aku dengan Pak Hamdan.
"Kamu pulang dari Brunei pasti mau merusak kebahagiaan rumah tanggaku dengan Kang Hamdan, kan?" Hardiknya menatap ibuku dengan wajah sangat beringas.
Aku sangat takut melihatnya. Buru-buru Teh Entin membawaku masuk ke dalam kamar. Bibi Oja mengusir Pak Hamdan agar segera membawa wanita kalap itu keluar dari rumahnya. Rupanya wanita itu masih belum puas juga. Dilemparkannya pasir segenggam lagi dari kantung bajunya yang lain. Ibuku berlari menghindar dan mengamankanku agar tidak menjadi sasaran berikutnya.
"Pokoknya malam ini juga saya minta cerai sama Akang!" Teriak ibuku tidak kalah berang.
"Akang sudah membohongi saya selama ini! Mana sepeda, pakaian, dan mainan yang kamu belikan untuk Sugih? Mana Kang? Tak kusangka Akang pembohong!" Cecar ibuku pada Pak Hamdan.
"Sudah Is, masalah ini bisa kita bicarakan baik-baik!" Pak Hamdan berusaha melerai kedua istrinya.
Bibi Oja muncul dari dapur membawa rotan pemukul kasur dengan sebuah ulekan penuh bekas sambal.
"Indit teu sia ti dieu! Entong nincak ka dieu deui, ieu imah aing, wani amat sia nandangan imah aing tanpa ondangan! Hayang aing gebot make rotan, apa hayang aing jejelkeun ieu mutu kana biwir maneh ngarah kaladaan?" (Pergi tidak kamu dari sini! Jangan menginjak ke sini lagi, ini rumahku, berani sekali kamu mendatangi rumahku tanpa undangan! Mau kugebot pakai rotan, atau mau kujejalkan ulekan ini ke bibir kamu supaya kepedasan?) Gertak Bibi Oja penuh emosi.
Kontan Ceu Salmah langsung lari kocar-kacir takut terkena pukulan dikeroyok oleh Bibi Oja dan Ibuku. Pak Hamdan menyusulnya di belakang. Ibuku menangis sesenggukan setelah kedua setan itu pergi.
"Aku menikahi Kang Hamdan karena aku tidak enak hati pada Bibi Wati yang terus ketumpangan oleh kami, Ceu! Aku tidak mau merepotkannya terus!" Sesal ibuku.
"Hampura Oja, Teh! Oja oge teu sangka boga lanceuk siga kitu! Entos waelah, Teteh mun bade cerai mah cerai bae! Karunya ka Sugihna! Sering disiksa ku si Hamdan!" (Maafkan Oja, Teh! Oja juga tidak sangka punya kakak kaya gitu! Sudah sajalah, Teteh kalau mau cerai, cerai saja! Kasihan sama Sugihnya! Sering disiksa sama si Hamdan) Bibi Oja membelai-belai punggung ibuku.
Bibi Oja adalah pahlawan bagiku. Penyelamat masa depanku di masa kecil. Beliau tetap menganggapku sebagai anaknya meskipun pada akhirnya ibuku resmi bercerai dengan kakaknya.
Apakah aku senang bisa bertemu dengan ibuku kembali? Ternyata tidak! Lagi-lagi ibuku harus luntang-lantung mencari pekerjaan baru dan menitipkanku berkali-kali di rumah sanak familinya. Pernah beberapa bulan lamanya aku dititipkan di Cirebon, rumah kediaman Umi Saripah kakak dari mendiang nenekku yang meninggal di Riau. Alhamdulillah, kakak nenekku yang satu ini hingga sekarang masih diberi kesehatan oleh Gusti Allah swt meskipun telah didahului ajalnya oleh nenekku yang jauh lebih muda darinya. Ah, ajal memang misteri Illahi. Dia akan datang tanpa mengenal usia, waktu, dan tempat. Entah esok atau lusa, mungkin saja ajal itu akan datang menjemput kita tiba-tiba, kapan dan di manapun!
Setelah ibuku memiliki pekerjaan tetap di sebuah rumah makan di Rindu Alam, kawasan Puncak-Bogor, ibuku menarikku dari Cirebon dan menitipkanku kepada keluarga adik temannya yang baru saja menjadi pengantin baru. Namanya adalah Teh Risma. Aku dititipkan di rumah Teh Risma di kawasan Puncak, bukan atas keinginan ibuku. Melainkan atas permintaan Teh Risma yang menginginkan segera mempunyai anak. Padahal ia dan suaminya masih terbilang pengantin baru.
Teh Risma memiliki wajah yang sangat cantik, tubuhnya sintal ramping, kulitnya putih dan mulus. Mungkin jika dibandingkan dengan artis zaman sekarang dapat kubandingkan sama cantiknya dengan artis Nikita Willy. Sedangkan suami Teh Risma namanya Aa Asep. Sesuai dengan namanya, Aa Asep memang kasep (ganteng). Badannya tinggi ramping proporsional dan atletis, dengan kulitnya yang putih. Sehingga pasangan suami istri ini terlihat sangat cocok, serasi dan ideal dari segi penampilan.
Setiap sore aku sering diajak jalan-jalan menikmati keindahan pemandangan Puncak yang berudara sejuk. Bunga tanjung dan bunga nusa indah berderet rapi di sepanjang jalan perumahan tempat kami tinggal. Teh Risma dan Aa Asep menuntunku di tengah-tengah mereka. Aku tidak pernah bersedih lagi meskipun aku masih terpisah dengan ibuku. Aku selalu tersenyum karena Teh Risma dan Aa Asep memperlakukanku dengan sangat baik. Aku dianggap anak oleh mereka berdua. Sering aku digendong di punggung mereka bergantian. Terkadang Aa Asep juga mengangkat tubuhku telentang dan mengapung di udara seolah aku sedang terbang di angkasa layaknya Superman tokoh jagoanku atau kami bermain pesawat-pesawatan. Aku dibawanya berputar-putar dan sangat dimanjakan oleh mereka.
"Ayo, ayo, pesawat akan segera mendarat! Mbak, Mbak, siap-siap mau turun ya!" Seru Aa Asep menyenangkan perasaanku.
"Jangan turun dulu! Saya masih mau terbang Bapak Pilot yang ganteng!" Respon Teh Risma berpura-pura sebagai penumpang kami.
"Baik, Mbak penumpang yang cantik, perjalanan akan kita lanjutkan ke Kota Bandung! Mau ikut?" Aa Asep semakin melambungkan tubuhku berputar-putar dalam bopongannya.
"Iya, saya mau!" Timpal Teh Risma lagi riang.
Hatiku sangat girang bukan main. Inilah masa-masa kebahagiaanku. "He.. He.. He.." Aku tertawa-tawa kecil.
Aku sangat betah tinggal bersama mereka. Rumah mereka di Puncak sangat megah dan mewah. Tata ruangannya sangat artistik. Di tengah-tengah rumah terdapat sebuah kolam renang yang sangat luas untuk ukuran anak-anak seusiaku yang baru menginjak 4 tahun. Di tepi-tepi kolam terdapat beberapa patung manusia bercat putih. Patung-patung itu dipahat telanjang bulat. Beberapa yang masih kuingat di antaranya : patung seorang wanita yang sedang memikul tempayan sambil setengah berjongkok. Sebelah lututnya bertumpu pada lantai dan dari tempayan yang dipikulnya agak miring keluar air mengalir yang ditumpahkan ke dalam kolam; serta patung seorang anak laki-laki kecil berambut keriting mirip Cupid yang sedang pipis, dan air pipisnya itu ditumpahkan ke dalam kolam sama seperti patung wanita sebelumnya.
Pada suatu malam, aku mengalami suatu kejadian yang takkan pernah kulupakan di dalam hidupku. Dan tak pernah kuceritakan kepada ibuku sekalipun. Waktu itu aku akan berangkat tidur. Ranjang tidurku tingkat dan lumayan besar untuk ditempati bertiga. Biasanya aku tidur sendiri di ranjang atas setelah Teh Risma membacakan dongeng untukku. Di tepi ranjang dibatasi pagar agar aku tidak terjatuh ke lantai bawah. Tetapi pada malam itu Teh Risma tidak meninggalkanku begitu saja. Bahkan Aa Asep ikut naik ke ranjangku dan mengapitku di tengah. Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka perbuat. Tiba-tiba saja pasangan suami-istri itu saling melepaskan kaus putih dan celana jeans biru yang mereka pakai lalu melemparkannya ke lantai. Pasangan sejati yang ganteng dan cantik itu sudah bertelanjang bulat. Aku hanya dapat melongo menyaksikan perbuatan mereka tanpa pernah tahu kalau itu adalah perbuatan yang tidak seharusnya kulihat. Mengingat usiaku masih sangat jauh di bawah umur. Mungkin mereka pasangan gila. Tetapi entah mengapa aku sangat menyukainya. Berulang kali mereka berciuman lalu bergantian menciumiku. Tubuh kami bertiga ditutupi sehelai selimut putih nan polos. Padahal aku tidak bugil seperti mereka. Mereka bergumul dan bercinta sepanjang malam. Ranjangpun bergoyang. Aku tertidur dan ketika terbangun posisiku berada di belakang punggung Aa Asep memeluknya hangat.
Itulah pertama kalinya aku mengetahui perbuatan sex. Meskipun selalu membekas dalam ingatan aku tak pernah sekalipun menceritakannya kepada siapapun termasuk ibuku. Tidak berapa lama aku tinggal bersama mereka, Teh Risma dikabarkan tengah mengandung, oleh dokter. Betapa senangnya hati Aa Asep karena sebentar lagi akan menjadi seorang ayah. Dan setelah mendengar kabar kehamilan adik dari sahabatnya itu, ibuku menarikku untuk tinggal bersamanya di rumah kontrakannya, di kawasan Bantarkemang, Bogor. Aku sangat sedih sekali harus berpisah dengan pasangan suami istri yang baik itu. Mungkinkah selama itu dulu aku telah dijadikan anak pancingan? Hingga sekarang aku tak pernah bertemu lagi dengan mereka. Menurut kabar yang kudengar dari ibuku, anak mereka terlahir laki-laki. Aku membayangkan wajah anak mereka pasti sangat ganteng seperti Aa Asep. Semoga saja mereka menjadi keluarga yang bahagia selamanya.
Ibuku aneh! Ibuku tak pernah berkenan membelikan mainan anak laki-laki untukku. Seringkali aku meminta dibelikan pesawat mainan ataupun mobil-mobilan, ibuku malah membelikan sebuah boneka besar yang tubuhnya jauh lebih besar dariku. Sebuah boneka panda cokelat yang terkadang membuatku takut melihatnya. Tak pernah pula ibuku membelikanku sebuah pistol-pistolan yang kuinginkan. Apalagi bola! Parahnya ibuku malah membelikanku mainan rumah-rumahan dan peralatan memasak yang seharusnya dimainkan oleh anak perempuan. Tak cukup sampai di situ, ibukupun sering menerima jahitan anak perempuan di rumah. Dan aku diminta untuk menjadi modelnya, mencoba gaun-gaun yang telah selesai dijahitnya, seolah-olah aku sangat pantas memakainya. Aku sangat membenci perbuatan ibuku tersebut. Please Mom, I am a BOY!
Beruntung hal-hal tersebut tidak menjadikanku cowok sissy dan kemayu! Bagaimanapun aku lebih suka kodratku sebagai anak laki-laki. Dan aku selalu bergaul dengan anak laki-laki. Hingga suatu hari, ibuku mengenalkan kekasih barunya kepadaku. Sebenarnya aku masih trauma memiliki seorang ayah tiri. Aku takut kejahatan ayah tiri seperti Pak Hamdan akan terulang kembali pada calon suami baru ibuku ini.
Namanya Om Kasmin. Sejak pertama kali bertemu dengannya aku sudah langsung jatuh hati! Tubuh Om Kasmin sangat jangkung (tinggi), atletis, dan ramping. Paras wajahnya sangat tampan, kulit kuning langsat agak putih, hidung bangir dan matanya sipit. Tetapi beliau bukan orang China! Beliau asli orang Jawa asal Magelang. Yang membuatku jatuh hati padanya bukan pesona fisik yang dimilikinya, melainkan baru hari pertama bertemu saja beliau sudah mencoba mencuri hatiku dengan membelikanku banyak mainan anak laki-laki yang selama ini aku inginkan. Aku seringkali dibelikan kereta api mainan dengan rel sambungnya yang panjang melingkar lengkap dengan rambu-rambu lalu lintasnya, pesawat mainan yang dapat maju menggunakan baterai, robot-robotan, baju Batman lengkap dengan topengnya, puzzle Kura-kura Ninja, dan pedang Thunder X yang saat itu sedang booming. Bahkan mainan lainpun terus dibelikan olehnya agar aku berminat menjadikan beliau sebagai papa tiriku. Dasar anak-anak, aku malah merasa sangat senang bila berada dekat dengan Om Kasmin. Betapa perhatiannya beliau padaku. Hanya saja sayangnya ibuku tidak terlalu menanggapi serius kesungguhan cinta Om Kasmin padanya. Aku tak tahu apa yang membuat ibuku sangsi akan cinta Om Kasmin. Di mataku Om Kasmin terlihat sangat tulus menyayangiku. Bila ibu sedang tidak ada di rumah, Om Kasminlah yang menemaniku sendirian di rumah. Terkadang aku sering tertidur bersamanya di kasur. Aku tertidur di atas dadanya yang bidang. Ah, alangkah nyaman rasanya!
Om Kasmin sering pula mengajakku jalan-jalan. Kami bertiga pernah sekali berlibur ke Cirebon mengunjungi Umi Saripah yang dulu sempat merawatku selama beberapa bulan. Umi Saripah sangat senang ibuku akan segera menikah lagi. Beliau sangat prihatin akan keadaanku yang tidak memiliki figur seorang ayah.
"Sugih perlu seorang ayah, Is. Jadi, Umi hanya bisa menyarankan agar pernikahan kalian jangan terlalu lama ditunda-tunda!" Nasihat Umi Saripah kepada ibuku.
"Betul banget itu Umi! SERATUS buat Umi! Aku kepengen Om Kasmin menjadi papaku! Cepatlah menikah dengan ibuku, Om Kasmin!" Jeritku dalam hati melonjak-lonjak girang.
Akan tetapi aku menjadi sebal, ibuku tidak menanggapi perkataan budenya itu. Semua ucapan Umi Saripah dianggapnya hanya angin lalu. Kurang apa sih Om Kasmin itu? Ganteng iya! Tajir lumayanlah. Baik? Oke banget! Pokoknya perfect deh, masih perjaka tulen pula! Kalau aku adalah seorang gadis remaja, aku tak bakal menolaknya begitu saja. I love you Om Kasmin! Ups...
Selama liburan di Cirebon, Om Kasmin sering mengajakku bermain di sungai menangkap udang. Bukan Cirebon namanya kalau tidak kaya akan udang. Sungai di tempat Umi Saripah airnya sangat jernih sekali. Lebar tetapi dangkal hanya selutut orang dewasa. Berkali-kali Om Kasmin menggulung celana jeansnya agar tidak basah terkena air. Tapi aku sering menarik tangannya hingga Om Kasmin jatuh terjungkal di sungai. Alhasil seluruh pakaiannya basah kuyup. Kalau sudah begitu akhirnya kami berdua asyik berciprat-cipratan bermain air lalu mandi bersama. Rasanya seru sekali.
Tak hanya itu. Setiap pagi kami mandi menuju lokasi sumber air panas gratis yang letaknya tidak jauh dari rumah Umi Saripah, hanya 2 km saja. Sayangnya lokasi pemandian wanita terpisah dengan lokasi pemandian pria. Jadi ibuku tidak dapat mandi bersama-sama dengan kami. Liburan cuti kerja ibuku hanya berlangsung selama 5 hari di Cirebon. Kami harus segera kembali ke Bogor karena ibuku dan Om Kasmin harus kembali bekerja di Rindu Alam.
Kadang-kadang Om Kasmin mengajakku jalan-jalan ke Jakarta mengunjungi rumahnya. Ibuku sering menolak bila diajak oleh Om Kasmin. Aku jadi heran sendiri, ini yang sedang berpacaran dengan Om Kasmin siapa sebenarnya? Aku atau ibuku? Om Kasmin sangat jarang membawa kendaraan pribadi. Maka beliau sering mengajakku pergi naik bis. Di dalam bis aku dibelikannya beraneka macam jajanan. Tetapi yang paling kusuka adalah telepon mainan, yang bila dibuka dengan cara diangkat tutupnya maka isi di dalamnya adalah agar-agar yang sangat manis.
Setiba di rumah Om Kasmin, kami lebih sering tidur daripada jalan-jalan ke luar keliling Kota Jakarta yang panas. Om Kasmin selalu tidur tanpa memakai baju dan memelukku. Beliau sangat sayang padaku. Aku sering digendong di atas pundaknya. Bila sedang tidur, aku selalu dipeluknya dan diciumnya karena gemas. Aku juga sering mencium pipinya sebagai balasan untuknya yang sering mengecupku penuh kasih sayang. Kadang-kadang aku mengganggu Om Kasmin tidur dengan menduduki perutnya.
"Om, Om, bangun! Ugih pengen kuda-kudaan sama Om!" Kutepuk-tepuk wajah Om Kasmin dengan tangan mungilku.
"Baa!" Om Kasmin mengejutkanku membuatku tertawa riang.
Akhirnya Om Kasmin menggerak-gerakkan tubuhnya turun naik seolah aku sedang menunggangi seekor kuda jantan yang sangat gagah. Bila Om Kasmin kelelahan biasanya beliau merebahkan tubuhku di dadanya. Aku sering mengusap-usap tubuhnya. Rasanya hangat dan nyaman. Mungkinkah benih gay sudah mulai timbul dalam jiwaku sejak saat itu? Setiap pagi dan sore pun Om Kasmin selalu mengajakku mandi berdua. Kami sama-sama telanjang bugil. Dapat kulihat dengan jelas, batang kemaluan Om Kasmin yang begitu panjang dan besar, tentu akan sangat memuaskan wanita. Di saat mandi itu pula kadang kulihat tangan Om Kasmin memegangi batang kemaluannya hingga akhirnya batang itu semakin membesar dan memanjang. Aku tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Yang jelas batang kemaluan itu benar-benar membuatku terkesima melihatnya.
"Sugih senang gak kalau Om jadi papanya Sugih?" Tanya Om Kasmin di sela-sela mengguyur tubuh kami bergantian.
"Senang!" Jawabku polos.
"Kalau senang, nanti bilang ke Mama ya, kalau Sugih pengen punya papa kaya Om!" Bujuknya sambil menyabuni tubuhku.
"Iya!" Jawabku lagi teramat lugu ala bocah 4 tahun.
Kami berdua berendam di dalam sebuah bak yang sangat besar. Airnya putih kental sangat hangat. Sepertinya air menjadi putih karena bekas sabun yang kami pakai.
"Bilang ke Mama gini ya : 'Mama, Mama, Ugih pengen punya papa! Papanya harus Om Kasmin!'" Om Kasmin mengajariku.
"Oh, tenang Om! Tanpa Om suruh aku akan merengek-rengek supaya Mama mau menikah dengan Om!" Desisku dalam hati dengan gaya bahasa anak kecil yang polos.
"Ya Gih, ya! Sugih bisa kan ikuti kata-kata Om?" Tanyanya.
"Iya, Om!" Jawabku dengan mimik yang lucu.
"Horeee... Om Kasmin jadi Papa Ugih!" Sorakku girang.
Malam harinya lagi-lagi Om Kasmin tidur tanpa memakai baju. Beliau menarik dan merangkul erat tubuhku. Ditariknya selimut menutupi tubuh kami. Saat tidur itu pula aku sering memainkan puting susu Om Kasmin dan menyandarkan kepalaku di dadanya sampai tertidur. Om Kasmin sangat senang diperlakukan demikian olehku. Baginya aku hanya bocah kecil yang sangat menggemaskan.
"Om, cepatlah jadi papaku!" Batinku dalam hati.
"Om sayang banget sama Sugih!" Dikecupnya keningku hangat.
Sepulang dari Jakarta, begitu aku menemui ibuku, kudapati seorang lelaki tua sedang mengobrol dengan ibuku di teras depan rumah. Kupandangi laki-laki tua itu dalam-dalam. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
"Is, ayo pindah!" Tawar laki-laki tua itu.
"Kira-kira besar gak Bang?" Sahut ibuku sangat antusias.
"Yang jelas lebih baik dari yang sebelumnya!" Kata laki-laki tua tadi menjelaskan.
"Ada apa sih sebenarnya ini?" Aku hanya dapat mendongakkan kepala.
:::::Tidak akan pernah ada akhirnya!:::::
Maaf porsi dialognya masih kurang, karena waktu kecil aku tidak terlalu banyak omong!
ada lanjutannya nggak? kalau ada mention yah,,,
salam manis dari angga ^_^
@HidingPrince waw gw merasa tersanjung banget bang. tapi kok gw doang yang dimention? tapi gw baca n komennya ntar ye bang.
so far, belum keliatan kelanjutannya.. hehehe
pantesan abang pinter, keturunan toh.
tapi sekarang udah sugih belom bang?
dan satu lagi
"Haruskah aku
menyalahkan suratan takdir? Kalau
suratan takdir harus kusalahkan, di
mana surat itu ditulis? Biar kuhapus
surat itu, atau kugumpal kertas surat
itu dan kulempar ke tong sampah! Bila
mana perlu ingin kubakar surat itu
sekarang juga! Tapi aaaah.... Tiada
dapat kutemukan surat tersebut di
manapun dengan mata kepalaku
sendiri!"
gw suka kata2 abang yang ini
jangan bosen2 mention gw ye bang!
setiap baca pasti hanyut sama ceritanya
eh ya ampun anak 4 thun dilibatkan dalam acara gitu-gituan!! OAO #pingsan
"Om, Om, bangun! Ugih pengen kuda-
kudaan sama Om!" -> ihh abang!!! masih kecil udah ngajakin om-om main 'kuda-kudaan' OAO )
mention ya^^/