It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kok belom update, kangen ma farel.
Kok belom update, dah kangen ma farel
lebay mode on
Maaf update telat. Habis sakit soalnya..
Doa in aja ya semoga TS selalu diberi kesehatan biar update-an lancaaarrrr...
*************************************
ADAGIO AND RAINDROP PRELUDE
Waktu akan selalu berjalan ke depan bukan mundur ke belakang. Selama ini hanya beberapa orang saja yang singgah dihati. Mereka itu Umi dan Abi, kak Ali, juga Tom. Mereka menduduki tempat khusus direlung hati. Sekarang datang Rei dengan segala keramahan dan senyum ceria menjerat diri. Seperti meminta porsi baru disudut hati. Haruskah kubuka ruang baru dihati untuk seorang Rei ini?
Ketika kulangkahkan kaki ke ruang musik, alunan merdu piano sudah mengalun terdengar. Ternyata Rei sudah bermain lebih dulu disana. Namun, lantunan ini, melodi ini, dari mana Rei tahu lagu ini? Lagu ini, lagu yang terakhir kali dimainkan oleh Tom sebelum aku tidak bisa menemuinya lagi. Aku hanya memberi Rei score book untuk lagu yang satunya lagi. Dari mana dia memperoleh notasi yang tepat untuk lagu ini?
Ini piano concerto no. 2 in F minor opus 21 milik Chopin. Padahal aku hanya mengajari Rei No.1 in E minor opus 11 saja. Permainan Rei masih sedikit tersendat tapi bunyi tuts yang dihasilkan olehnya memang terasa khas dan akrab ditelinga. Penuh kehangatan juga terdengar passion semangat khas Rei yang ceria. Indah. Tapi bagaimana bisa? Siapa yang mengajarkannya? Mungkinkah dia belajar sendiri? Atau..
Sudah hampir seminggu berlalu sejak Rei terakhir kuajak main kerumahku. Kami pun disibukkan dengan jadwal latihan basket yang segera memasuki musim pertandingan. Tepatnya aku yang disibukkan dengan latihan. Sedang Rei, yang tidak full membela tim masih bisa bersantai ria. Lagipula Rei memang telah lebih dulu masuk klub musik sebelumnya. Itu sebabnya jam istirahat Rei biasa sendiri diruang musik. Dan aku bersama anak basket menyusun program latihan dan brainstorming strategi-strategi yang untuk menghadapi lawan dipertandingan nanti.
Aku sedikit menyesal melibatkan diri untuk masuk klub basket ini. aku tidak suka ikatan. Sial. Jika bukan karena Rei takkan kulakukan ini. Tapi sejujurnya mereka memang hebat. Terutama kak Farel dan Robby, harus kuakui itu.
Jika saja kak Farel masuk dari awal, aku dan Rei tidak akan punya kesempatan menang kemarin itu. Karena itu aku sepakat dengan Rei untuk masuk tim, sesuai ajakan kak Farel. Lagipula Rei sudah membalas Robby dengan kehebatannya sendiri. Walau harga yang harus dibayar merontokkan staminanya. Aku menyesali kalkulasi egoisku saat itu.
Kembali ke ruang musik tadi. Kulangkahkan kaki pelan menuju kursi Rei yang sedang asyik dengan lantunan piano concertonya. Sepertinya Rei mendengar langkah kakiku. Karena itu Rei menengok dan segera menghentikan permainannya. Kemudian senyum pun menghias wajahnya.
“Fi, udah meetingnya?” senyum itu, kenapa bisa selalu terkembang?
Aku mengangguk. “Main apa?” sengaja bertanya. Aku penasaran dari mana dia tahu lagu ini. Walau aku sudah sedikit bisa menebaknya.
“Yang tadi?” aku mengangguk. “Itu piano concerto Chopin no.2 in F minor. Dikasih kak Robby” Benar ternyata. Tapi kak Robby? Jadi benar Rei sudah berbaikan dengan Robby. Apakah karena sifat dan senyum Rei yang mirip sekali dengan Tom? Lalu Rei pun memainkan ipod yang berisi rekaman concerto ini. Dari mana ipod itu? aku belum pernah melihatnya. Robby kah?
“Itu..” dengan pandangan mata penuh tanya kuarahkan kepada ipod yang sedang dipegangnya.
“Ini? Dikasih pinjem kak Robby. Aku bilang mau denger musiknya dulu sebelum menghapal notasinya. Jadi aku bisa resapi lantunannya..” aku mengangguk. Rei menerawang menghayati musik yang mengalun jernih. Aku jadi teringat masa lalu.
Dulu, Robby selalu ingin memonopoli Tom untuk dirinya. Dia selalu iri karena Tom lebih banyak menghabiskan waktu denganku. Padahal itu tidak perlu dipermasalahkan. Namun jalan pikiran Robby selalu aneh. Segala hal harus selalu berputar disekitar dirinya. Entah ajaran dari mana. Tapi sejak dulu dia memang penuh aroma persaingan. Khususnya denganku sahabat Tom.
Mungkinkah kini Robby pun ingin bersaing denganku terhadap Rei? Tapi untuk apa? Bukankah dia awalnya tidak suka? Apakah Robby menemukan sosok Tom dalam diri Rei? Entahlah. Tapi hatiku gundah melihat kedekatan mereka. Tidak sering memang. Namun dalam beberapa kesempatan, Robby selalu berusaha dekat dengan Rei. Mataku tidak bisa lepas mengamati gerak gerik mereka. Menilai segala ekspresi juga menterjemahkan gerak tubuh yang ada. Dan aku tak suka.
“Fi, kamu tahu piano concerto no. 2 Chopin ini tentang apa?” Tahu? Tentu saja. Ini lagu yang sering dimainkan Tom sebelum dia.. Aahh sial..
Aku mengambil nafas dan menatap Rei ramah “Daya tarik concerto milik Chopin terletak pada segi romantisme yang menyegarkan. Karya tersebut diidentikkan dengan keberadaan seorang ‘wanita’..” Rei mengangguk.
Aku pun melanjutkan, “Khusus untuk conterto no.2 ini, Chopin menciptakannya ketika dia menemukan ‘wanita idaman’. Lalu terciptalah Adagio, concerto miliknya. Adagio adalah second movement Larghetto dari concerto F minor yang terbawa sampai ke E minor. Naik turunnya nada dengan detail yang halus seolah menyanyikan kecantikan ‘wanita idaman’ Chopin ini. Bagian tengah yang bergelora dengan unison yang ada pun sempurna. Romantis tiada celah. Ekspresi suatu ketertarikan akan cinta yang nyata dan tergambarkan dengan indah..” Rei terpaku mendengar penjelasanku. Mukanya bersemu merah begitu sambil menatapku. Kenapa?
“Rei..” Kukibaskan tanganku di depan mukanya.
“Hm.. iyaa.. Keren ya Fi ternyata sejarahnya. Aku jadi malu tadi maininnya masih kaku..” Lagi. Mukanya tersipu. Ada apa? Apa hubungan lagu ini dengan wajahnya yang bersemu? Dulu Tom pun begitu. Kira-kira apa kata Paul Ekman tentang ekspresi ini..
Dulu, Lagu yang terakhir kudengar dimainkan oleh Tom adalah concerto no.2 Chopin itu. Tom bilang concerto itu merupakan representasi perasaannya. Setelah Raindrop prelude, Tom bilang concerto Chopin adalah favoritnya. Terutama dibagian adagio-nya itu.
Jika menilik sejarah lagu ini, mungkinkah Tom dulu memiliki ‘wanita idaman’? Itu yang jadi pertanyaanku sekarang yang ingin kutujukan pada Rei. Karena ekspresi mereka ketika mendengar lagu ini secara utuh tiada beda. Sama-sama bersemu merah rona wajah mereka. Tapi siapa? Atau aku saja yang terlalu berprasangka..?
“Udah lumayan” Jawabku singkat. “Yuk masuk..” Aku mengajak Rei segera masuk kelas, karena waktu istirahat akan segera berakhir. Rei mengangguk dan mulai mensejajari langkahku. Kami berjalan dalam diam.
**
Ketika pelajaran usai dan bel akhir sekolah berbunyi, “Rei, kuantar pulang” Lalu aku berlalu meninggalkannya untuk menyusulku.
“Fi, tunggu..”
Setelah sampai di depan mobilku, kusuruh Rei masuk. Untunglah hari ini tidak ada latihan klub. Jadi aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan Rei. Entahlah, akhir-akhir ini aku selalu ingin menghabiskan waktu bersamanya. Karena kutahu, bersama Rei aku temukan ketenangan dan rasa nyaman. Senyumnya menentramkan gundah dihatiku. Bahkan film-film horror itu berhenti ketika Rei berada disisi.
“Rei, aku mau main ke rumah kamu” tembakku langsung padanya.
Rei menatapku tak percaya. Selama ini aku memang terkadang mengantar Rei pulang sekolah, Tapi tidak pernah mampir ke rumahnya. Sekarang aku ingin bisa mengenal keluarganya. Mengetahui bagaimana dia dibesarkan. Terutama, bagaimana dengan orang tuanya.. Aku tidak ingin kejadian yang dulu menimpa Tom juga dialami olehnya. Aku tak rela.
“Tapi Fi.. kamu yakin?” aku mengangguk mantap.
“Kenapa?” tanyaku.
“Bukan apa-apa. Tapi aku jarang bawa teman ke rumah. Lagi juga rumahku kecil. Berantakan Fi.. Ga usah ya..” jawabannya sangat Rei sekali. Selalu menghindar. Sedikit klise. Tapi bisa kulihat binar dimatanya dengan kata-kataku tadi. Mungkin dia sudah lama ingin mengundangku tapi takut akan reaksi penolakanku.
“Rei. it’s okay. I won’t judge you dari rumahmu. Yang penting ini..” Kutaruh telapak tanganku didadanya. Lagi-lagi wajah Rei bersemu. Merah padam sejadinya. Rei mengangguk, kugenggam tangannya. Meyakinkan niatku. Rei menatapku. Pandanganku menembus tirai pembatas yang diciptakannya. Ada sedikit kekhawatiran disana. Namun tak bisa dipungkiri ada pengharapan yang tersimpan. Mungkin Rei hanya khawatir jika aku menyesal telah berkunjung ke rumahnya dan memutuskan pertemanan kami yang baru saja bersemi. Dan kueratkan genggamanku pada tangannya, berharap pikiran negatif itu menghilang.
“Nah sampai..” Kataku. “Ayo..” Kenapa aku yang bersemangat? Inikan hanya berkunjung ke rumah teman. Sepertinya aku juga bermasalah. Sejak berteman dengan Rei, segala tentangnya membuatku ingin tahu, dan membuatku lebih menikmati hidupku.
“Rei, c’mon..” Rei mengangguk.
Dia mulai memimpin jalan menuju rumahnya. Rumahnya memasuki gang sempit yang hanya muat untuk dilewati motor saja. Walaupun rumah-rumah dikawasan ini padat tapi saluran air terawat rapih, selokannya bersih tanpa sampah menaungi. Dan setiap rumah memiliki tanaman hijaunya sendiri-sendiri. Sangat asri. Ternyata kesadaran warga tempat tinggal Rei cukup tinggi akan lingkungan bersih.
Lalu kami pun berhenti di depan bangunan rumah bertipe 21 yang menurutku tertata apik. Dari segi desain bangunannya juga pemilihan cat tembok yang digunakan. Orang yang mengerjakannya pasti paham betul dengan yang dikerjakannya. Bagian samping depan rumah Rei dihias tempat kaca alakadarnya juga meja tata untuk tempat nasi-nasi dan lauk pauk yang dijajakan. Mungkin ibu Rei berjual lauk matang.
“Fi, ini rumahku. Masuk yuk. Kukenalin sama ibuku” Aku mengangguk, Rei menggamit lenganku. Mengajakku turut. Kemudian Rei berhenti sesaat untuk melepas sepatu dan kuikuti itu.
“Assalamu’alaikum.. bu.. Ibu..”
“Wa’alaikum salam.. Ibu di dalam nak, lagi angkat lauk yang baru mateng..” terdengar sahutan dari arah dalam.
“Fi.. duduk dulu. aku ke dalam sebentar” aku mengangguk.
Bagian dalam rumah Rei minimalis dan fungsionis. Ruangan yang ada disini tanpa tembok pembatas. Hanya diberi lemari televisi sekaligus tempat perabotan (sepertinya), juga buku-buku. Karena tanpa tembok pembatas, jadi terkesan luas. Memadukan 2 fungsi dalam satu benda seperti lemari itu juga cerdas. Untuk menghemat keterbatasan luas.
Aaahh.. foto-foto.. ada foto yang terletak dilemari televisi itu. Kudekati dan kuamati. Sepertinya foto ini diambil belum terlalu lama. Mungkin ketika Rei masih SMP. Tampang Rei pun tidak jauh beda. Hangat, dengan senyum yang selalu terkembang. Dimana foto-foto masa kecilnya?
“Fi.. Kenalin ini ibuku.. Bu ini teman Rei, Alfi..” aku segera beralih dan menengok kearah suara Rei.
“Alfi bu..” kucium tangan wanita paruh baya itu. Wajahnya teduh, senyumnya pun ramah. Dari ibunya kah Rei mewarisi senyumnya? Tapi wajah ibu Rei, seperti pernah kulihat sebelumnya. Tapi dimana?
“Oalah.. Temanmu ganteng tenan toh nak.. Mau minum apa nak Alfi..?”
Aku menggeleng. Tidak enak sudah merepotkan.
“Ndak papa nak Alfi. Lha wong tamu mosok diangguri. Ndak elok toh.. ibu bikinin teh manis yo cah bagus?”
Aku menggeleng “Air putih aja bu” kataku akhirnya.
“Kalo gitu aku yang ambilin bu. Ibu lanjut masak aja..”
“Ndak usah nak.. kamu temenin temanmu toh nak.. bentar ibu ke dalam..”
Ibu Rei kembali masuk ke dalam. Rei kemudian mengajakku kekamarnya. Rumah ini hanya memiliki 2 kamar. 1 kamar tidur orang tua Rei dan kamar Rei tentu. Kamar Rei tidak besar. Tapi cukup nyaman. Tidak ada tempat tidur, hanya kasur yang terhampar di lantai. Lemari baju menyatu fungsinya dengan meja belajar dan tempat buku-buku. Seperti kubilang fungsionalis. Itu cerdas. Lalu satu yang menarik perhatianku, kertas bergambar tuts piano yang tertempel di meja belajar Rei. Untuk apa itu?
“Ini kamarku..” semburat merah itu. kenapa selalu hinggap diwajah Rei.
Aku mengangguk. “Rei ini apa?” Lagi. Astaga. Tidak bisakah Rei mengantongi sebentar rona merah dipipinya. Itu mengalihkan perhatianku. Hatiku tak tentu melihatnya begitu.
“Hm.. Itu.. buat aku latihan piano..” Pelan. Nyaris seperti bisikan. Jadi dia berlatih hanya dengan kertas bergambar tuts piano ini? Pantas saja dia begitu gembira ketika sudah berada di depan piano.
“Sebenarnya aku punya keyboard mini. Ayah menabung membelikannya untukku. Tapi aku lebih nyaman melatih jari jemariku dengan ini..” Rei mengelus kertas yang tertempel itu. “Lagipula tuts dalam keyboard mini hanya sedikit sekali. Jadi aku menggambar ini dengan asumsi jumlah keyboard dan tata letak yang sama persis. Lagipula dengan ini aku tidak mengganggu tetangga dengan suara bising yang pasti terjadi jika ini piano asli..” Wajah Rei tetap merona merah tapi binar matanya semakin bercahaya. Jelas sekali ada passion yang luar biasa disana.
“Di kamar ini, aku bebas berekspresi. Aku selalu bergaya seperti pemain profesional ketika berlatih dengan ini..” Rei lalu memperagakan gayanya berlatih dengan kertas tertempel itu. Dia lucu. Menggemaskan juga lugu. Jika aku kak Ali mungkin aku sudah mencubit pipi sambil memeluk erat dirinya. Haahh.. sial. Pikiranku terkontaminasi.
“Itu luar biasa.. Gimana kalo tiap hari minggu kamu ke tempatku? Kita latihan. Mau?” Mata Rei berbinar mendengar tawaranku. Kepalanya mengangguk-angguk dengan kencang dan cepat.
TOK TOOKK
“Nak Alfi ini minumnya. Benar ndak mau teh manis?” aku menggeleng. “Kamu udah makan siang belum nak? Kalo belum, ibu siapin dulu ya. Nak Alfi sekalian ya makan siang disini”
Baru aku mau menjawab, Rei sudah memotong kata-kataku “Kali ini biar Rei yang siapin bu. Ibu ke depan aja. Takut ada orang yang mau beli lauk tuh.. Yuk Fi..” Rei mendorong ibunya ke depan dengan manja.
“Iya.. Iya.. Ibu ke depan.. Kamu jangan lupa lauk yang di lemari ya Nak..”
“Injeh bu..” Lalu Rei pun mengajakku. Menuju ruang yang sepertinya dapur. Dimana meja makannya?
Lalu Rei pun menuju kayu yang menempel di tembok dan menurunkannya. Aahh.. Meja lipat. Praktis dan efisien tempat. Sangat tepat. Orang yang membuatnya pasti cerdas. Rei mengeluarkan lauk dari lemari makan yang menempel ditembok. Dan menaruhnya di meja makan lipat ini.
“Yuk Fi makan” Tawar Rei ketika selesai menyusun lauk pauk dan nasinya. Aku mengangguk.
“Ini semua masakan ibu. Kamu harus coba Fi. Masakan ibuku itu juara..” aku menyendok nasi dan mulai mencoba lauk pauk yang tersedia.
Ada pepes tahu disana berikut oncom goreng tepung dan sesuatu yang dibungkus daun tapi aku tidak tahu apa nama masakan itu. Belum pernah melihatnya. Ayam bakar dan sambal goreng.
Aku mencicipi pepes tahu itu. Enak. Bumbunya pas. Oncom goreng tepungnya masih hangat. Sepertinya baru matang. Ayam bakarnya lezat. Aku agak sedikit ragu ingin mencicipi masakan yang dibungkus daun pisang itu.
“Fi cobain ini deh. Ini namanya botok. Rasanya wuahh banget. Kamu pasti suka..” aku mengangguk.
Dengan sedikit ragu aku membuka bungkus pisang yang katanya botok ini. Ternyata isinya sayuran dengan sedikit kuah santan. Aku hanya tahu daun singkongnya. Ketika suapan pertama, aku langsung jatuh cinta. Masakan yang dinamakan botok ini gurih. Nikmat. Kucicipi bersama sambel gorengnya. Aku pikir makanku sudah lahap, tapi ketika aku melirik Rei pikiranku berubah. Dimanapun Rei tetaplah Rei. Selera makannya tiada dua. Bersemangat dan amat sangat lahap sekali disertai ekspresi penuh arti. Aku jadi ingin membungkusnya dan kuserahkan ke kak Ali. Astaga. Pikiranku lagi-lagi terkontaminasi.
“Kenyaaannngg..” Itu Rei. Bagaimana tidak kenyang jika dia menghabiskan dua piring dalam sekali makan siang? Kemana lemaknya dia simpan? Itu merupakan keajaiban.
Padahal jika mau dihitung asupan kalori dari karbohidrat dan lemak yang dikonsumsi, berikut menghitung index massa lemak tubuh. Seharusnya lemak sudah mengendap banyak dalam tubuh Rei. Tapi anehnya tubuh Rei cenderung kecil, walau tidak kurus tapi langsing. Dan itu Amazing.
Rei segera membereskan lagi piring-piring di meja dan menaruh kembali lauk pauk pada tempatnya. Dia tidak mengizinkanku untuk membantu. Rei menyuruhku duduk di ruang tamu. Aku menurut. Ternyata Rei kerja kilat. Hanya dalam waktu sekejap dia sudah menemaniku diruang tamu.
“Rumah kamu nyaman..” Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.
Rei memandangku. Dan mengangguk. “Makasih Fi.. Setiap sudut rumah ini, sejauh yang bisa kuingat adalah hasil kerja ayah dan buah kesabaran ibu. Ayah yang mengerjakan setiap detailnya. Barang-barang yang ada pun limbah olahan yang beliau daur ulang. Tidak jarang ayah mendapatkan barang-barang tidak terpakai dari kerjanya sebagai tukang bangunan. Ayah telah meminta ijin terlebih dahulu tentu. Setelah itu ayah mengerjakan desainnya sendiri, hanya bermodal blueprint yang tercetak dikepalanya. Lemari televisi ini, meja makan lipat tadi, lemari belajarku, juga pemilihan cat rumah ini. Semua hasil jerih payah, kerja keras dan ketekunan ayah. Jadi aku senang kamu suka Fi..” Ada kebanggaan terpancar dari setiap intonasi yang keluar dari bibir Rei. Aku paham. Aku mengerti sekarang. Orang tuanya adalah poros hidupnya.
“Karena itu aku suka. Karena rumah ini dibangun dengan hati..” Jawabku. Rei tersenyum. Aku menatapnya ramah. Kami berpandangan dalam syahdu.
**
Aku sedang dalam perjalanan pulang sekarang. Setelah pamit dengan Rei dan juga ibunya. Berterimakasih atas makan siang lezat yang tersedia. Pikiranku teralih oleh sesuatu yang sedikit mengusik. Sepertinya wajah ibu Rei pernah kulihat entah dimana. Aku harus mulai menggali ingatan-ingatan yang telah coba kuhilangkan. Mungkinkah ingatan tentang ibu Rei ada dalam satu jeda waktu dengan ingatan tentang Tom? Tanpa sadar aku ketuk-ketukan jari telunjukku. Berpikir.
Ataukah aku yang terlalu paranoid? Mencurigai sesuatu yang tidak berdasar. Tapi satu hal yang bisa kusimpulkan dari orang tua Rei, mereka baik dan bersahaja. Ibu Rei jelas ramah. Dan ayahnya dari cerita Rei terdengar begitu berwibawa dan penuh rasa cinta pada keluarga. Sepertinya tidak ada yang perlu kucemaskan dari keluarga Rei.
Lagi-lagi aku terlalu paranoid. Ingatan tentang Tom begitu membekas dan sulit lenyap. Ketakutanku bahwa akan terjadi hal yang sama pada Rei sepertinya tidak terbukti. Aku sudah menginvestigasi. Sudah membaca raut wajah serta gerak gerik dan tingkah laku ibu Rei. Dia lolos uji. Kebaikan dan keramahannya sudah terbukti dari setiap otot wajah, gerak tangan dan kontraksi disetiap sudut mata, juga bibir dan alis. Ibu Rei memang baik sejatinya. Aku lega.
Kenapa aku begitu mengkhawatirkan Rei? Apa karena kemiripan sifat Rei dengan Tom? Tidak. Rei adalah Rei. Dengan segala keramahan, kehangatan juga senyum terkembang dan rona merah wajahnya dia berbeda. Mungkin hal itu yang menarikku untuk lebih mengenalnya. Tom dimana pun kamu berada kini, kuharap Rei tidak bernasib seperti kamu. Karena aku akan menjaganya mulai kini. Seperti aku akan selalu menjagamu jika saja aku tahu kondisimu. Oh Tom..
**
RAINDROP PRELUDE
Sejak kecil aku suka piano. Denting suara yang terdengar menyentuh hati dan menggoda telinga. Kepalaku selalu penuh dengan segala notasi piano yang melintas hilir mudik tiada henti di kepala. Bermain piano merupakan hal yang paling menyenangkan untukku. Mendengar tuts bunyi yang dihasilkan membuatku terharu. Sebesar itulah rasa cintaku pada piano dulu.
Aku beruntung memiliki teman masa kecil seperti Tom. Selain manis dan pandai, Tom juga sangat menyukai piano sama denganku. Tiada hari yang terlewati tanpa kami membahas lagu dan notasi baru untuk dihapalkan selalu. Tom cocok denganku.
Kesukaan kami sama. Piano dan basket. Untuk yang terakhir Tom baru mulai menyukainya. Sedang aku, sejak kak Ali meledekku selalu tentang itu. Seperti kubilang dulu, Tom dan aku tak terpisahkan. Kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. Kesedihannya adalah dukaku. Sepanjang aku mengenalnya Tom selalu ceria. Dengan senyum manis manja miliknya, dunia terasa indah. Tom merupakan miniatur sosok malaikat mini yang sempurna.
Namun ada saat-saat ketika aku merasa ada yang beda didirinya. Selain tingkat keceriannya yang berkurang, aura duka seperti selalu menggelayut di atas kepalanya. Aku bisa merasakannya, tapi Tom selalu saja tidak mau mengakuinya. Sampai terkuaklah hal itu ketika Tom pingsan dulu. Sudah kuduga ada yang salah. Senyumnya seperti terpaksa. Mendung itu selalu terasa.
Seperti ketika itu, Tom mulai menunjukkan gelagat tak biasa. Kami masih sering bermain piano bersama. Ketika itu Tom sangat bersikeras ingin bisa menguasai suatu lagu. Orang banyak menyebutnya Raindrop Prelude. Sebenarnya itu merupakan beberapa bagian dari 24 prelude karya Chopin yang dibuat berturut-turut. Raindrop prelude ini merupakan no. 15. Walau biasanya prelude ini secara berturut-turut dimainkan dari no.1-6 juga 7-13 dan terakhir 14-24.
Tapi Tom bersikeras ingin bisa memainkannya. Dia selalu mengajakku berlatih bersama. Aku agak geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. Jika Tom sudah bertekad, maka dia susah untuk dihalangi. Kemauan Tom keras. Aku pun hanya mengimbangi. Walau aku tahu itu percuma, karena prelude ini merupakan hal yang tidak mudah dimainkan oleh anak seumur kami. Terutama pada no.14 dan 15 atau raindrop prelude ini. Juga bagian akhir no.24 yang hanya bisa dilakukan oleh profesional sejati.
Benar saja dugaanku. Tangan Tom tidak sampai untuk memainkan no.14 ini. Akhirnya Tom hanya bisa manyun sepanjang waktu sambil mendengarkan rekaman prelude milik Sakurai sensei. Tom begitu larut dalam lantunan piano yang dimainkan.
Sekilas tentang prelude ini, khususnya no.14, 15 dan 24. No.14 menciptakan bunyi yang seolah-olah merupakan representasi dari suatu ‘firasat datangnya badai’. Semacam perasaan terancam akan adanya suatu yang akan memporak porandakan mimpi indah yang telah dijalani. Takdir yang tak terelakkan.
No.15 atau raindrop prelude. Musik badai yang menerjang menghantam. Perasaan takluk akan datangnya bayang-bayang kematian. Takdir yang menyesakkan. Lagu indah yang menimbulkan perasaan khawatir. Khawatir akan nasib diri. Perasaan was-was dan tak pasti. Yang berakhir pasrah menerima takdir diri.
Last prelude no.24. Kualitas bunyi yang dibutuhkan sangatlah khas. Tidak banyak yang bisa memainkan last prelude ini dengan sempurna. Bisakah kau memainkan kesedihan, kepedihan dan kegembiraan dalam satu rentang waktu yang bersamaan? Karena itu kualitas bunyi last prelude ini luar biasa mengintimidasi. Siapapun bisa memainkan piano, tinggal tekan tutsnya saja maka piano menghasilkan bunyi. Tapi untuk menciptakan kualitas bunyi yang benar-benar dibutuhkan suatu lagu itu tidak mudah. Kehidupan dan kematian yang dimiliki no.24 ini, kepedihan yang harus diciptakan, juga jeritan di akhir yang sangat heroik. Seolah melepas segala beban. Itu bunyi yang dibutuhkan dalam nada terakhir no.24 ini. Menutup lagu seakan telah habis segala kekuatan.
Karena itulah aku tahu jika Tom belum mampu untuk memainkan 24 prelude ini. Tapi Tom pantang menyerah. Dia selalu berlatih. Aku pun larut dalam tekadnya yang tiada bertepi. Tak kenal lelah mengejar ambisi untuk ‘menghabisi’ lagu ini. Aku pun membantu usahanya. Bagian yang tidak bisa dijangkau jari Tom aku yang memainkannya. Sedikit berdiri dan menjulurkan tangan sejauh-jauhnya pada tuts yang tidak terjangkau oleh Tom aku bersiap.
Permainan kami harus sinkron agar lantunan nada yang dihasilkan terdengar pas ditelinga. Berkali-kali mencoba tetap saja kami tidak berhasil untuk melakukannya. Kadang metronome Tom terlalu cepat sehingga ketika sampai bagianku tuts yang kubunyikan sedikit tersendat. Terakhir ketika kami bisa menyamakan tempo kami, kami berhasil memainkan prelude no.14 dan 15 ini. Walau tidak terlalu mulus yang penting bisa. Tom gembira. Aku pun larut dalam tawanya.
Andai saja waktu dapat kuputar kembali, aku pasti akan tahu maksud dari raindrop ini. Itu jelas representasi perasaan pribadi Tom sendiri. Atau itu memang jerit minta tolong Tom yang tidak kusadari? Raindrop itu.. Perasaan datangnya badai dan takdir yang tak terelakkan. Juga kepasrahan menghadapi takdir yang menyapa. Itu yang Tom alami. Andai aku lebih teliti, semua takkan begini. Aku menyalahkan kejeniusan diri yang seolah tanpa arti.
**
“Tom kamu keliatan pucat terus.. Kamu sakit yah?” Pertanyaan ini sudah semakin sering aku tanyakan pada Tom. Pasalnya wajah Tom selalu terlihat pucat belakangan ini.
Tom menggeleng entah sudah yang keberapa kalinya. Dia selalu menggeleng jika kuajukan pertanyaan ini. Lalu dia akan menjawab, “Aku gapapah kok Fi. Cuma kurang tidur. Aku sering mimpi buruk” Nah. Jawaban ini memang andalan Tom. Dia selalu menjawab seperti itu. Tidak ada niat mengubahnya.
“Mimpi apa?”
“Pokoknya serem banget Fi. Sampe aku ga berani tidur lagi. Takut mimpi buruknya datang lagi ke mimpiku..”
Pertanyaanku dan jawaban Tom seperti repetisi dan de javu yang digabung menjadi satu. Aku sampai hapal ekspresi Tom ketika menjawab jawaban-jawaban itu. Well, technically aku memang selalu dapat mengingat sesuatu. Aku ingat wajah Tom selalu terlihat sendu ketika menjawab pertanyaan terakhir itu. Aku ingin tahu. Tapi pertanyaan yang berulang ini sedikit membuatku jemu dan geram selalu. Aku tahu ada yang disembunyikan oleh Tom. Tapi dia tak pernah mau berbagi denganku.
“Aku nginep disini ya Tom..” jika sudah begini Tom akan terlihat kaget dan sebisa mungkin menghindari aku untuk menginap dirumahnya.
“Tapi ini kan masih minggu sekolah Fi.. besok kan kita sekolah.. Kamu nanti dicariin lho..”
“Gampang. Tinggal telpon Umi dan kabarin aku nginep dirumah kamu. Umi pasti bolehin. Terus tinggal minta Umi suruh supir untuk nganterin seragamku kesini” Tom terdiam tak bisa berkata-kata. Biasanya dia akan mengeluarkan jurus terakhirnya. Yaitu..
“Kalo gitu aku aja yang nginep dirumah kamu ya Fi.. Aku kangen sama Ebony. Udah lama ga main sama dia..” Nahkan.. kalau sudah begini pembicaraan ini takkan menemui titik temu. Kali ini aku harus tegas. Aku akan menginap ditempat Tom. Jelas ada yang Tom tutupi terjadi dirumah ini. akan aku selidiki.
“Kan baru minggu kemarin kamu main sama Ebony Tom..” tembakku.
“Tapi.. kan.. aku masih kangen Fi sama Ebony.. boleh ya aku nginep di tempat kamu?”
“Ga boleh. Aku yang nginep. Titik..” dengan itu kuakhiri pembicaraan dan segera mengambil telepon rumah Tom.
“Assalamu’alaikum Umi.. ini Alfi. Iya baik Umi. Alfi mau ijin nginep dirumah Tom. Boleh ya Umi? Iya. Ga Umi. Ini si Tom lagi sakit. Alfi khawatir. Alfi mau nginep ditempat Tom. Boleh ya Mi..?” Yes.
“Nanti suruh supir nganter seragam Alfi kesini aja ya Mi. Makasih Umi. Alfi sayang Umi.. Assalamu’alaikum” Wajah Tom benar-benar pucat sekarang. Aku tidak tega sebenarnya. Tapi aku bertekad akan menyelidiki ini. Tingkah Tom sudah terlalu aneh menurutku.
*
Hari sudah malam dan ayah Tom belum terlihat pulang dari kantor. Supir keluargaku sudah mengantarkan seragam milikku. Kami pun sudah makan malam, berdua saja dengan lauk yang telah disiapkan oleh pembantu Tom. Bahkan saat makan malam tadi, wajah Tom tegang tiada henti. Senyumnya pun terlihat tegang. Dia gagal menutupinya. Senyum yang merupakan senjatanya saja, tidak terlihat ceria. Ada apa? Kenapa Tom begitu resah. Setelah makan malam kami menonton tv sebentar di ruang tamu. Sebelum akhirnya masuk kamar Tom dan beranjak tidur.
Ayah Tom belum juga pulang dari kantor. Kasihan Tom, sejak ibunya meninggal karena kecelakaan pesawat rumah Tom ini selalu terlihat sepi dan sunyi. Hanya ditemani pembantu seorang diri. Mungkin benar Tom sering bermimpi buruk karena ini. Siapa yang tidak akan bermimpi buruk jika rumah yang ditempati sepi sunyi seperti tak berpenghuni.
Syukurlah jika hanya mimpi buruk penyebab wajah pucatnya. Tapi bekas luka dan memar disekujur tubuh waktu dia pingsan dulu tak mungkin karena mimpi buruk bukan? Mimpi buruk seperti apa yang bisa melukai orang begitu? Dan yang lebih aneh kepanikan Tom yang tak ingin aku menginap dirumahnya. Itu yang membuatku bertanya-tanya.
Aku tenggelam dalam mimpi dengan membawa pertanyaan-pertanyaan tadi. Aku pun mulai bermimpi. Aku mimpi Tom dibawa lari peri jahat. Dan peri-peri jahat itu memukulinya. Tom berteriak kesakitan dan memohon agar peri-peri jahat itu menghentikan pukulannya. Bahkan mimpiku pun bersuara. Itu hebat.
Suara tom yang memohon terdengar jelas sekali. Hingga aku sangsi jika ini mimpi. Segera kuraih kesadaranku secepat yang bisa kuraih. Kukumpulkan segenap energi untuk kembali pada kesadaran sejati. Aku lirik kanan kiri, Tom tak ada disisi. Kusapu ruangan dengan sekali pandang. Ada yang berubah dari ruangan ini sejak terakhir aku tinggal tidur. Tidak ada botol minuman di meja belajar Tom tadi. Lalu botol siapa ini?
AMPUUUNNN.. AMPUUUNNNN..
Itu suara Tom. Kenapa dia sampai meminta ampun begitu? Aku pun segera bangkit dan turun dari tempat tidur. Mencari asal suara.
DIAM
Suara itu suara orang dewasa. Terdengar tidak ramah. Mungkinkah ada maling dirumah Tom? Tapi itu tidak mungkin. Jika memang maling aku juga akan disekap bukan? Lagipula kondisi ruangan tidak berantakan seperti kutinggal tidur tadi. Hanya botol minuman tadi yang terasa janggal. Aku masih mencari asal suara yang sekarang telah lenyap. Aku turun ke lantai bawah. Kusapu pandang lagi seluruh ruangan berharap bisa menemukan ada yang beda dengan yang kuingat. Sangat berharap menemukan petunjuk berarti.
Aku mengendap mencari asal suara tadi. Sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Tidak ada sesuatu yang berubah diruangan ini kecuali jas yang tergeletak di dekat dapur. Mungkin itu milik ayah Tom. Bisakah ini kujadikan kesimpulan? Jas ayah Tom, botol minuman dan Tom yang hilang dan hanya terdengar teriakan. Maling? Sudah pasti bukan. Astaga. Aku tidak mempercayai kesimpulan yang terbentuk di otakku. Itu tidak mungkin.
Ayah Tom, Om Gun adalah orang yang baik dan ramah. Beliau juga hangat. Bahkan aku merasa kehangatan Tom mirip dengan sang ayah, walau wajah benar-benar cetakan nyata ibunya. Wajah mereka mirip sekali. Ini tidak mungkin. Kesimpulanku pasti salah. ‘cari petunjuk baru’ kuulangi kata-kata itu di otakku. Berharap kesimpulanku segera berubah. Kupasang telingaku sebaik-baiknya berharap ada sedikit suara, walau hanya sebuah hembusan nafas saja. Ini sungguh menyiksa. Dimana Tom berada? Sekali lagi, kulakukan scanning dengan pandangan mata.
Ketemu! Itu petunjuk baru. Pintu ruang tamu tadi tidak terbuka. Sekarang ruang tamu itu tidak tertutup sempurna ada sedikit celah tersisa. Mungkinkah Tom berada disana? Aku sibak pelan pintunya. Sedikit memasang mata untuk scaning singkat. Sepertinya tidak ada siapa-siapa disana. Lalu kubuka seluruh pintu ruang tamu itu. Benar saja. Kosong. Tanpa sadar aku ketuk-ketukkan telunjukku. Memproses semua hal menjadi satu.
Satu kebiasaanku sejak dulu, ketika merasa putus asa otakku mengambil alih kepanikan yang menerpa. Aku berpikir taktis seketika. Kumatikan sebentar syaraf panik yang menerpa. Sambil mengetukkan jari telunjukku, otakku akan mengulang semua yang terjadi dan mengambil kesimpulan yang ‘dia’ jalin sendiri. Konsentrasiku tingkat tinggi saat ini.
Scanning untuk terakhir kali. Keputusanku aku harus menuju kamar ayah Tom untuk mencari tahu. Kamar utama itu terletak di dekat ruang keluarga di ujung ruangan menuju halaman belakang. Langkahku ringan tanpa suara. Ketika sampai didepan pintu kamar utama, segera kupasang telinga. Tidak ada suara apa-apa. Haruskah kubuka pintunya?
Aku nekad. Kutaruh tangan di gagang pintu dan menurunkannya perlahan. Mencoba membuka tanpa suara. Pelan. Teramat sangat pelan dan hati-hati ku buka pintu ini. Klek. Syukurlah tidak dikunci. Aku bersiap meminta maaf jika ayah Tom ada di dalam. Tapi aku penasaran. Tom tak ada ditempat tidurnya, ada botol minuman dan jas juga teriakan lirih Tom. Sangat wajar aku cemas kan?
Lagi-lagi kamar kosong. Tidak ada siapa-siapa. Aku tidak pernah masuk kamar orang tua Tom, jadi aku tidak tahu apakah ada letak-letak yang berubah dan tidak pada tempatnya. Tapi ada yang janggal diruangan ini. Namun aku masih bingung apa itu. Kuketuk-ketukkan lagi telunjukku. Mulai merangkai puzzle yang tersedia, mencoba berbagai probabilitas yang mungkin terjadi.
Kamar utama ini besar. Dengan tempat tidur Queen size yang terletak ditengah ruangan disisi kiri ada lemari baju yang besar dan pintu kamar mandi diseberang tempat tidur terdapat pitu keluar masuk juga tolet atau meja rias dengan berbagai macam produk kecantikan dan parfum. Sepertinya peninggalan ibu Tom belum dibereskan. Dan disebelah kanan terdapat lemari buku berukuran sedang. Juga terdapat cermin kotak dengan ukiran berukuran 30x100cm. Scanning komplit. Selesai.
Ketemu! Cermin itu aneh. Cermin kotak berukir itu sedikit miring dari yang seharusnya. Bagaimana aku tahu? Ada sedikit garis debu dari letak yang seharusnya pada cermin itu, makanya aku tahu cermin itu sedikit miring. Hanya sedikit, tapi aku yakin cermin itu kuncinya. Lagi pula, meja rias itu memiliki cermin yang besar. Untuk apa meletakkan cermin lagi disitu? Aku menuju cermin tersebut dan mulai menelitinya. Sepertinya cermin ini harus digeser bagian bawahnya dan membentuk sudut tertentu. 45 derajat mungkin berhasil.
Aku pun mulai menggeser bagian bawahnya dan mencoba membuat sudut 45 derajat. Lemari buku itu bergerak. Menggeser terbuka. Ada ruangan kecil di dalamnya tapi kosong. Hanya ada lemari kecil saja didalamnya. Lalu terdengar suara juga helaan nafas. Dan langkah orang berjalan menaiki tangga. Segera kutarik lemari itu untuk menutup. Aku tidak ingin ketahuan jika aku tahu cara masuk ke ruangan ini. aku bersembunyi dibalik lemari kecil tadi.
Kemudian muncullah ayah Tom begitu saja dari dalam lantai. Berarti ada tangga menuju ruang bawah tanah. Ayah Tom meneka tembok batu dan lemari buku itu pun terbuka. Aku menunggu semenit sebelum akhirnya memutuskan untuk memeriksa ruang bawah tanah tersebut. Dengan jantung berdegup kuturuni tangga satu persatu. Perlahan tapi pasti dengan debar jantung tiada henti. Lalu disanalah Tom berada.
Tom terikat pada kedua tangan dengan tali yang menjuntai dan Tom berdiri dengan kesadaran yang telah hilang. Dia pingsan. Tom seperti boneka tali. Badan Tom badan kuyup dengan memar yang sepertinya masih baru. Hatiku pedih hancur luluh melihat Tom begitu. Dengan cepat kuberlari menuju Tom. Kupeluk dirinya. Kupukul-pukul pipinya.
“Tom.. Tom.. Bangun.. Banguunn Toomm..” tak kuasa kutahan air mata yang menetes di pipi. Biadab sekali orang yang melakukan ini. Tom masih kecil. Belum genap 10 tahun.
“Tom..” Lagi. Tak henti kutepuk-tepuk keras pipinya. Erangan lirih pun terdengar dari mulut Tom.
“Erngh.. am.. puunn.. am.. punh.. yah.. sa.. lah.. de de.. a pa..?” Tom mengerang lirih dengan mata terpejam. Hatiku hancur mendengar kata-katanya. Om Gun? Kenapa? Kuhapus air mataku segera.
“Tom.. ini aku.. Alfi.. Tom.. bangun dong..” dengan lembut kubelai kepalanya. Mencoba membangunkannya.
“Enghh.. Al.. fi..? Fi.. ta..kuutt..” Sepertinya Tom mengigau. Segera kuraih ikatan pada tangan Tom dan mulai membukanya. Secepat yang kubisa. Ketika terlepas, segera kupeluk tubuh Tom yang langsung terpuruk dalam pelukanku. Tom kenapa semua jadi begini? Ada apa sebenarnya?
“Sstt.. Tom.. bangun. Aku udah disini. Bangun dong..”
“NGAPAIN KAMU DISINI?!” astaga. Aku lupa. Om gun..
Dengan sedikit takut aku bertanya “Om apain Tom. Kan kasian..”
“ITU URUSAN SAYA. KAMU ANAK KECIL GA USAH IKUT CAMPUR!”
“Tapi Tom anak Om sendiri.. Om tega..” sedikit gemetar antara takut dan marah kukatakan itu.
“DIAM! DIA BUKAN ANAK SAYA. DIA ANAK HARAM! DARI PELACUR ITU!” Apa?! Jadi Tom..?
“Tom masih kecil Om. Ini penyiksaan.. Om..”
“DIAM KATA SAYA! Untung kamu disini. Kamu bawa teman kamu dari sini ke kamarnya. Tadi saya mau kurung dia dikamar mandi seperti yang udah-udah. Tapi ngeliat kamu, jadi hilang mood saya..” dengan kata-kata itu Om Gun mendekatiku.
Tangan kanannya meraih rahangku dan meremasnya kencang. Menghadapkan mukaku kehadapannya. Om Gun menyeringai kejam “Satu kata aja keluar dari mulut kamu. Saya bunuh teman kamu ini. Ngerti?” Kata-katanya santai namun dingin. Dengan nafas beraroma alkohol Om Gun katakan semua itu. Nyaliku ciut. Wajarkan jika aku takut dan hatiku mengkerut? Aku masih 9 tahun dan dihadapkan pada kejadian ini. Ya Allah.. Lindungilah Tom..
Aku mengangguk. “Alfi janji. Ga bilang sapa-sapa..”
“Bagus” ditamparnya pipiku gemas.
“Tapi Om Gun jangan siksa Tom lagi. Kasian Tom Om..” Matanya mendelik marah.
“Itu. Urusan. Saya. Ngerti?” dengan geram dia mengatakan itu sambil menampar-nampar pipiku. Dan terakhir diremasnya rahangku kencang. Aku mengaduh.
Akhirnya aku terpaksa mengangguk. “Cepat bawa teman lemah kamu dari sini” sambil mengatakan itu Om Gun menyulut rokok dimulutnya. “Sebelum saya sundut-sundut dia pakai rokok ini..” Mataku melebar tak percaya mendengar kata-kata Om Gun. Bisa-bisanya dia mengatakan hal tak berperasaan itu dengan santai dan dingin. Om Gun Pasti sudah tidak waras. Kemana kebaikannya dulu?
Akhirnya dengan cepat aku tampar-tampar pipi Tom menyadarkannya. Karena aku yakin aku tak akan sanggup menggotongnya. Tapi toh kulakukan juga. kutaruh lengan kanan Tom dan kukalunkan kelehee belakang dan pundakku. Kubawa dia berdiri. Itu sulit. Karena Tom masih belum sadar. Masih kutampar-tampar pipi Tom. Berharap dia sadar. Aku tak ingin kata-kata Om Gun tadi menjadi kenyataan. Akhirnya Tom mengerang dan membuka sedikit matanya.
“Fi.. Kamu..”
“Sstt.. ayo kita ke kamar kamu Tom.. cepat..” dengan senyum kupaksakan kata-kata itu sambil melirik takut-takut ke arah Om Gun yang sekarang sedang duduk santai dibangku sambil menikmati rokoknya. Gila. Stress. Tidak waras. Masih bisa santai setelah menyiksa Tom begini..
Akhirnya dengan susah payah aku berhasil membawa Tom ke kamarnya. Dibantu oleh Tom yang sudah lemah tak berdaya dengan langkah dia yang seadanya. Kuambil handuk dikamar mandi dan kukeringkan rambut dan tubuh Tom yang basah kuyup. Aku tidak tega melihat luka-luka disekujur tubuhnya. Tom.. maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa. Aku mengutuk ketidakberdayaanku.
“Sa..kiitth Fii..” Oh Tom.. kuelus kepalanya. Kucium keningnya. Air mataku tak sanggup kutahan lebih lama. Akhirnya menetes keluar.
“Tom..”
Malam itu kami habiskan bergandengan tangan berdua. Mengutuk nasib buruk yang menimpa. Dan saling menguatkan diri kami masing-masing. Tepatnya aku yang selalu menguatkan Tom. ‘Pasti ada jalan keluar. Allah tidak tidur Tom’ kataku pada Tom. Dan selalu kuulang terus ditelinganya. Dan menjadi seperti mantra untuk kami berdua.
Ya Allah.. Kutitip Tom padaMu. Jagalah Tom selalu ketika aku tak mampu melindunginya. Lindungilah Tom dari segala marabahaya. Ketika keberanianku tak ada untuk menyelamatkannya Ya Allah. Ini doaku untuk Tom selalu. Hanya kepadaMu aku meminta. Kabulkanlah Ya Allah.. amin ya rabbal alamin.
**
“Den.. Den.. Bangun.. Udah sampe rumah den.. Den..” Hmm.. Apa? Siaaalll.. Mimpi itu lagi.. Lagipula sejak kapan aku tertidur? Menyebalkan..
Aku mengangguk. “Iya. Makasih..” Aku bangkit dan langsung masuk menuju rumah.
Mimpi-mimpi itu mulai berdatangan lagi. Sejak Rei pingsan dan sejak terakhir aku bersentuhan dengan Ebony, horor-horor itu mulai terpanggil kembali. Untunglah aku sudah bisa sedikit mengendalikan diri. Dan syukurlah mimpi tadi bukan mimpi yang satunya lagi. Jika mimpi itu datang kembali, aku takkan pernah bisa memaafkan diriku yang lemah ini. Siaalll..
********
CUUUUTTTTTT..
Sampe sini dulu yaa..
Kapan-kapan dilanjut yaa..
Mohon dibantu yaa.. jadi apaa..
prok prok prok.. #Gubraakk..
Happy reading guys..^^
@octavfelix
@bayumukti
@titit
@tarry
@angelsndemons
@alvaredza
@TigerGirlz
@Zazu_faghag
@arifinselalusial
@FransLeonardy_FL
@haha5
@fadjar
@zeva_21
@YogaDwiAnggara
@inlove
@raka rahadian
@Chy_Mon
@Cruiser79
@san1204
@dafaZartin
@kimsyhenjuren
@3ll0
@ularuskasurius
@Zhar12
@jujunaidi
@edogawa_lupin
@rickyAza
@rebelicious
@rizky_27
@greenbubles
@alfa_centaury
@root92
@arya404
@4ndh0
@Angello
@boybrownis
@jony94
@Sho_Lee
@ddonid
@catalysto1
@Dhika_smg
@SanChan
@Willthonny
@khieveihk
@Agova
@Tsu_no_YanYan
@elsa
@awangaytop
@Lonely_Guy
@ardi_cukup
@Hiruma
@m1er
@maret elan
@Shishunki
@Monic
@cee_gee
@kimo_chie
@RegieAllvano
@faisalits_
@Wook15
@bumbellbee
@abay_35
@jacksmile
@rezadrians
@topeng_kaca
@wahyu_DIE
@Just_PJ
@nand4s1m4
@danar23
@babayz
@pujakusuma_rudi
@HidingPrince
@Jean_Grey
@nand4s1m4
@tahrone
@alamahuy
@eswetod
@aw_90
@Akbar Syailendra
@diditwahyudicom1
@PahlawanBertopeng
@ryanadsyah
@Mr_Makassar
Yuk kita kemooonnn.. Happy Reading,.^^
Updatenya jgn lama2 eaaa
BTW thanks dah mention