BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

OneShoot Story ( Boys Love )

1111214161728

Comments

  • Aisssh kisah cintanya rempong :D
  • paling suka deh sama Ininana gak pake H.. Kocak abis
  • Cerita kamu emang ga pernah ketebak yah. Semua genre dan bervariasi sekali ceritanya
    Bagus sih walaupun ga suka cerita trans gender
  • Ini beneran nulis sendiri nih? Kok gue ngerasa ada yang aneh sama cerita lo ya @blujaws ?

    Dibanding cerita sebelumnya, cerita yang ini -maaf- agak berantakan. Kalo cerita sebelumnya kan rapi, Diksi juga oke.

    Tapi cerita ini agak berbeda dari sebelumnya, Sempet bingung sama POV yg dipake. Kadang ada yang Imin, tapi di beberapa kalimat. Seolah pake Author POV.

    Udah deh, gitu aja.
  • kenapa gue menitikkan air mata?
    ohhh, penasaran gue dengan kehidupan para transgender.
    pengen kenal mereka tapi takut, khawatir dan cemas.
    padahal pasti seru yah berteman dengan mereka. karena sepertinya mereka itu lucu dan orang yang paling berani memgambil keputusan dalam merubah jati dirinya.
    ceritanya bagus.
    salut blujaws.
  • Penuturan kalimatnya bagus, saya suka.. teruslah berkarya author
  • Penuturan kalimatnya bagus, saya suka.. teruslah berkarya author

    Thanks.. Sama2 yah
  • yang ini BENAR BENAR INDAH..... ku gak tahu hrs blg APA lagi... indah sekali
  • yang ini BENAR BENAR INDAH..... ku gak tahu hrs blg APA lagi... indah sekali

    Apanya yang indah @erickhidayat
  • Bagus tp agak keganggu ma Ininana gak pake H. :P

    Ditunggu karya selanjutnya.
  • SUARA-SUARA


    **
    <p>Bicara.<br /> Hanya itu yang bisa makhluk itu lakukan selain selalu saja menguntitku kemanapun aku pergi. Melayang-layang semau dirinya di sekitarku, atau kadang nemplok begitu saja di bagian tubuhku di manapun. Setiap ada kesempatan dia tak pernah lelah mengajak ku bicara, bahkan kadang hingga membuat aku bosan dan malas.</p><p>Aku tidak tahu sejak kapan dia muncul dan darimana dia berasal, tiba-tiba dia sudah mengajakku bicara begitu saja, dan aku seakan di hipnotis untuk terus meladeninya dan manut padanya. Kadang dia mendukungku. Kadang melawanku. Kadang pula dia akan menempatkan diri berada di tengah-tengahnya, tidak setuju ataupun melarang.</p><p>Makhluk tukang bicara itu sesungguhnya tidak berbentuk nyata seperti wujudku, aku melihatnya hanya sekedar seberkas cahaya dengan titik kecil yang cukup terang, apalagi jika dalam kegelapan. Tidak ada mata pada dirinya. Tidak ada pula hidung. Tidak ada telinga ataupun anatomi tubuh lainnya yang seperti aku miliki. Dia hanya makhluk aneh yang entah kenapa suka sekali bicara walau tak memiliki mulut sekalipun. Dan hanya aku saja yang di ajaknya bicara dan yang bisa melihat keberadaannya.</p><p>Dulu aku ingin sekali menyingkirkannya, keberadaannya di sekitarku kadang memang menggangguku, aku sebal dengan sipatnya yang selalu ingin ikut campur dengan apa yang ku lakukan, walau katanya dia melakukan itu demi kebaikanku tapi aku jadi merasa hidupku tidak merdeka lagi. Kebebasanku terbelenggu karena selalu harus bertanya padanya setiap aku ingin memutuskan sesuatu. Yang akhirnya dia ibarat menjadi candu bagiku.</p><p>Kenyataannya aku tidak bisa lepas dari makhluk ini, dia selalu ada di sekitarku walau beberapa kali aku sudah mengusirnya dengan kejam. Dia memang bebal dan keras kepala, dia mengacuhkan usiranku, akhirnya aku kini hanya bisa pasrah dengan keberadaannya. Biarlah, mungkin lumayan bisa ku jadikan tempat sharing atau curhat dengan gratis.<br /> Karena tidak bisa di pungkiri aku juga membutuhkannya.</p><p>"Kau akhir-akhir ini senang sekali melamun anak muda, bicaralah padaku wahai kawan sehati, apa yang sedang kau renungkan kali ini?" Lagi-lagi dia mengusikku, dia selalu ingin tahu, dan aku geli sekaligus benci dia menyebut dirinya sendiri kawan sehatiku.</p><p>"Aku sedang tidak memikirkan apapun, hanya sedang ingin diam.." Jawabku datar</p><p>"Manusia memiliki otak yang akan terus bekerja 24 jam, kecuali jika dalam keadaan tidak sadarkan diri, otak akan terus berpikir tanpa henti jadi tidak mungkin kamu sedang tidak berpikir saat ini, bahkan aku ada juga karena buah dari pikiranmu, kau tahu itu.."</p><p>"Jika begitu aku sedang memikirkan kapan kamu berhenti bicara dan selalu ingin tahu apapun tentangku.." Aku mencibir padanya.</p><p>"Itu tidak mungkin! Belajarlah bertahan dengan keberadaanku karena sampai kapanpun aku akan terus ada dan bicara denganmu karena tugasku memang mengajakmu bicara, mempertimbangkan segala hal, anggap saja aku penasihatmu karena kamu tidak akan bisa menghindar dariku.." Jawabannya benar-benar mengesalkan, itu memang kenyataannya aku tak bisa menghindar darinya. Jadi sebaiknya mulai sekarang aku harus bisa memanfaatkannya.</p><p>"Baiklah aku mengaku. Aku disini sedang menunggu seseorang dan merencanakan sesuatu, jadi aku harap kali ini kamu jangan mengganggu aku.." Ucapku mewanti-wanti, aku tak ingin malam ini rencanaku gagal karena dia.</p><p>Sebenarnya malam ini aku dan keluargaku memang sedang menunggu seseorang di cafe ini, seseorang yang katanya akan di perkenalkan padaku, yang menurut ibuku akan menjadi kebahagiaan masa depanku. Tapi aku tidak setuju pendapatnya, dan rencanaku di hadapan mereka nanti aku akan menolak semua keputusan mereka. Aku sangat yakin dengan keputusanku.</p><p>"Aku tahu. Perempuan itu yang kau tunggu kan, yang akan di jodohkan denganmu? Dan kau mau menolak perjodohan ini kan?" Dia menebak, dan aku terkejut karena dia berkata benar, bahkan dia bisa menebak niatku itu. Demi Tuhan darimana dia bisa tahu, bukankah aku belum memberitahukan hal ini padanya.</p><p>"Hei darimana kau bisa tahu?" Tanyaku menyelidik, aku takut kali ini dia sudah memiliki teman bicara yang lain, mungkin dia dapat informasi itu dari teman barunya.</p><p>"Aku selalu tahu apapun dirimu kawan.. Selalu tahu.." Dia tertawa pongah. Aku memutar bola mata, yah aku lupa lagi, bukankah makhluk ini memang selalu tahu tentang diriku bahkan dia bisa tahu selangkah dari diriku sendiri, makhluk ini seperti peramal, dukun atau semacamnya. Aku benci jika itu sudah terjadi seakan diriku di kuasai olehnya.</p><p>Tapi aku juga lega karena dia tak memiliki teman bicara lain, setidaknya rahasia-rahasiaku yang selama ini ku katakan padanya tetap aman tidak akan dia bocorkan, lagipula entah kenapa kali ini aku merasa takut juga kehilangan dia. Aku takut tidak bisa mengatakan apapun lagi padanya. Hanya dia yang bisa menampung segala keluh kesahku.</p><p>"Jadi bagaimana menurutmu perempuan ini, hei tukang bicara yang sok tahu?" Tanyaku, aku ingin tahu komentarnya kali ini, dan aku janji akan menurutinya. Karena aku yakin dia akan berpihak padaku, setuju dengan rencanaku menggagalkan perjodohan itu.</p><p>"Perempuan ini cocok buatmu, dia saleha, cantik, dari keluarga baik-baik dan terutama pilihan ibu mu, aku rasa kau laki-laki beruntung bisa bersanding dengannya.." Jawabannya benar-benar di luar dugaan, dia menyebrang dari ku kali ini.<br /> Sekilas aku kabur dari Ruang Cengkrama yang biasa ku gunakan saat sedang bicara dengannya, aku kesal padanya karena selalu tak pernah mendukung kemauanku. Namun keluar dari ruang cengkrama aku malah tepat menatap wajah Ibuku disana yang tampak bahagia sedang menanti calon menantunya itu. Haruskah aku menghancurkan wajah bahagia itu. Segera aku berlari kembali masuk ke dalam 'Ruang Cengkrama, menatap makhluk itu tak yakin dan aku tiba-tiba cemas, semua rencanaku menjadi membias.</p><p>"Yah kamu benar. Tapi aku ragu bisa menyukainya, kau tahu aku memiliki sang pilihan, kekasihku sendiri, aku tak mau di jodohkan.." Balasku membela diri, aku masih berharap dia mendukungku.</p><p>"Rasa suka bisa kapan saja datang saat kau sudah bersamanya, kamu bisa belajar menyayanginya dengan ikhlas. Lagipula bukankah sang pilihanmu itu juga telah rela dan mendukung perjodohanmu ini.." Jawabannya semakin membuatku bimbang.</p><p>"Aku takut mengecewakannya.." Aku berakhir pada jawaban pamungkas, hanya tinggal itu alasanku.</p><p>"Kau kan belum mencobanya.." Dan cahaya itu tak kehabisan jawaban</p><p>"Tapi aku tak tega menyakiti sang pilihan.." Aku kini prustasi, semua rencanaku kacau balau.</p><p>"Bukankah kau bilang jika sang pilihan telah ikhlas karena ia mencintaimu dan karena sang pilihan menyadari kau dan dia takan pernah bisa menuatu dan itu berarti tak bisa membahagiakan Ibumu, sangh pilihan dan kau tahu hanya perempuan ini yang mampu membuaty Ibumu tersenyum.."</p><p>"Jadi begitu menurutmu.." Aku semakin pasrah</p><p>"Yah.. Kau bisa belajar membuka diri, terkadang kita harus berkorban kebahagiaan sendiri demi orang yang kita hormati dan kita cintai, jika itu demi kebaikan tidak ada salahnya mencoba.. Bukankah bagimu Ibumu yang terpenting dari apapun di dunia ini?" Dia bertanya, aku mengangguk yakin.</p><p>"Maka bahagiakan Ibumu walau harus mengorbankan hatimu.." Dia berseru penuh semangat. Lalu..</p><p>Flash.. dia tiba-tiba menghilang, aku memanggil-manggilnya karena belum puas bicara dengan dirinya kali ini, seenaknya saja kabur begitu saja, tapi dia tidak muncul lagi aku pun keluar dari Ruang Cengkrama dan kembali ku lihat Ibuku kini beliau berdiri sedang menyambut seorang perempuan muda nan cantik, berhijab rapi dan seluruh auratnya tertutup dengan gaun longgar dan panjang, aku seperti melihat bidadari, inikah perempuan itu, perempuan yang akan di jodohkan denganku, ternyata amat cantik dan memiliki senyum paling manis. Senyum yang sanggup mendamaikan siapa saja.</p><p>Di belakangnya keluarganya datang menyusul. Bidadari itu selalu tersenyum sedikit terpaksa aku membalasnya, tutur sapanya teramat lembut dan penuh sopan santun.<br /> Haruskah aku menyia-nyiakan bidadari sesempurna ini, namun kenapa hati ini terasa datar saja saat melihatnya.</p><p>Anna Azzahra Khoerunissa.</p><p>Sungguh nama yang amat indah seindah sosok sang pemilik nama.<br /> Namun aku masih belum tergugah, berkelebat 'sang pilihan' bermain di ujung pikirku, dia berputar-putar lalu menutupi sosok cantik Anna Azzahra.<br /> Cintaku masih terlalu kuat padanya, sesosok Anna yang bak Bidadari sekalipun tak mampu menembusnya. Harus bagaimana aku menghadapi ini.</p><p>***<br /> Memijat-mijat pelipis hal yang bisa aku lakukan saat ini, kepalaku pusing tujuh keliling, bagaimana tidak pusing jika aku menyadari kini bagai di ujung tombak tajam yang menghunus siap menembus jantungku jika aku mencoba maju namun jikapun aku mundur maka satu pedang yang akan menebas diriku, aku di hadapkan dilema yang amat berat padahal seharusnya hari ini adalah hari kebahagiaanku, hari yang akan sangat bersejarah dalam seumur hidup manusia.</p><p>MENIKAH</p><p>Ronie Pratama akan menikah dengan Anna Azzahra Khoerunissa, si Bidadari cantik itu. Tapi kenapa aku tak bahagia?</p><p>Itu betul, aku akan menikah dengan Anna Azzahra hari ini, dan ini hari kebahagiaanku. Seharusnya.<br /> Tapi aku berpikir inilah hari kehancuranku, hari dimana kebebasanku akan terbelenggu dan aku takan bisa lagi menemui Sang Pilihanku.<br /> Hari ini adalah hari suci ku, hari penyatuan dua jiwa dan dua raga dalam ikatan pernikahan demi membangun sebuah rumah tangga yang sakinah di jalan Tuhan, hari yang akan menentukan masa depanku, menentukan generasi-generasi penerusku bermunculan nanti.<br /> Namun hingga detik ini hatiku masih terpagar untuk menerima dirinya dalam keikhlasan.<br /> Aku tidak menemukan cinta untuk bidadari itu.<br /> Ku tatap wajahku yang kuyu di dalam cermin, aku melihat satu kemunafikan yang sedang mengalir dalam urat-uratku menyatu dengan darah di tubuhku. Aku lelah terus bersembunyi dan menjadi pengecut.</p><p>Kepalaku semakin berat seiring pikiranku melayang-layang pada hal-hal di luar dugaan, kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi namun amat aku takutkan.<br /> Sanggupkah aku nanti mengucap ikrar suci sedangkan seseorang yang akan masuk dalam kehidupanku bukan yang ku cintai, mampukah aku mengucap kalimat keramat itu, yang akan menentukan dan merubah segalanya hidupku nanti, menjegal segala kemerdekaan dalam hidupku.</p><p>Lalu bagaimana dengan malam pengantinnya nanti. Mampukah aku berbagi sentuhan, mengumbar gairah pada sesosok yang tak pernah ku inginkan. Aku teramat takut nanti aku akan menjadi pecundang di hadapan bidadari itu hanya karena aku belum mampu menerima dirinya dalam hatiku. Tidak bisa membagi jiwa dan raga dengannya.<br /> Haruskah aku mundur saja saat ini sebelum segalanya terlambat dan nanti akan mengacaukan lebih banyak lagi, melukai lebih dalam lagi pada mereka dan terutama aku.<br /> Aku ingin berhenti hingga di sini saja.</p><p>"Jangan terus terbelenggu hawa nafsu kawanku, kau telah memutuskan dan kau harus bertanggung jawab pada keputusanmu, keluarlah mereka sedang menunggumu, Bidadari pembawa surga juga menantimu di dalam akad suci.." Selalu saja muncul tiba-tiba dan lalu mengacaukan keputusan yang telah ku buat. Aku harus melawan makhluk itu kali ini.</p><p>"Aku ragu.." Aku mendesah, aku selalu tak bisa tegas pada makhluk ini.</p><p>"Apa yang kau ragukan?" Dia bertanya dan tertawa</p><p>"Haruskah ku lakukan padahal tak ku inginkan? Aku rasa sebaiknya aku kabur dari tanggung jawab ini.. Aku benar-benar tak ingin melakukannya.."</p><p>"Jadi kau lebih memilih menjadi si pengecut itu.. Kau tidak memikirkan akibat yang nanti kau timbulkan?"</p><p>"Apa? Bukankah kejujuran itu lebih baik?"</p><p>"Kejujuran yang fatal, tidak kah kau berpikir keluargamu akan malu karena kejujuran yang akan kau sampaikan, itu aib, terutama Ibumu akan hancur tak berbekas. Jadi itu yang kau inginkan, kehancuran jiwa raga orang tua mu?" Makhluk ini selalu tau cara mengintimidasiku.</p><p>"Tentu saja tidak.." Aku melotot padanya</p><p>"Pengorbananmu takan sia-sia kawan, walau ini bukan demi dirimu setidaknya ini demi Ibumu yang kau cintai, lawan nafsu mu.." Aku kaget, makhluk itu membentak ku. Aku menggigil di dera dingin keputus asaan, di ambang keraguan.</p><p>"Baiklah kali ini kau kembali menang.." Aku mendengus, segera keluar dari ruang menyebalkan miliknya. Ah aku segera terperanjat, di sana mereka tampak bahagia terutama Ibu, seluruh keluargaku lengkap berkumpul dan mereka memiliki wajah cerah penuh kebahagiaan, mereka ikut berbahagia atas kebahagiaanku. Apakah mereka tahu jika hanya aku yang berwajah kuyu, hanya aku yang tak bahagia. Kenapa mereka bodoh sekali tak peka pada keadaanku, tak mengerti keinginanku. Mengertilah padaku walau tak bisa ku katakan apa yang harus kalian mengerti. Terlalu rumit dan tabu ku katakan.</p><p>Segalanya telah di persiapkan, buah dari pertemuan keluargaku dan keluarga Anna seminggu lalu akhirnya melahirkan keputusan pernikahanku dengan Anna di percepat. Dengan alasan mereka ingin segera menimang cucu. Tidakkah para orang tua itu ternyata sangat egois, yang hanya bisa memaksakan kehendak mereka pada anak-anaknya tanpa mau menanyakan pada kami anak-anaknya dengan siapa kami bisa bahagia?<br /> Kenapa harus ada perjodohan ini? Kalian merasa bahagia bisa ikut merasakan kebahagiaanku yang sebenarnya tak bahagia sama sekali.</p><p>Yang menyesalkan kenapa Bidadari itu selalu hanya mengangguk dan tersenyum, menuruti segalanya yang para orang tua tasbihkan kepadanya. Seharusnya dia tak sebaik itu. Menolaklah Anna janganlah kau terlalu baik menjadi manusia. Kita pantas punya keputusan sendiri. Kebahagiaan yang kita buat sendiri.</p><p>Ada sakit yang tak mampu ku lihat dan ku sentuh dimana lukanya berada, aku sedang menuju kenestapaan jiwa, lari dari kemerdekaan cinta.<br /> Aku teringat 'sang pilihan', dia pasti kini sedang menangis, menderita oleh pengkhianatanku yang tak mampu melawan kehendak orang tua. Oh rasanya aku ingin pergi kesana menemuinya, menghapus air matanya. Namun aku kini berada dalam ketidak berdayaan.</p><p>Maafkan aku yang lemah ini, cintaku.</p><p>Ingatlah, walau kini aku mengucap akad dan ikrar suci dengan orang lain namun hatiku akan tetap untukmu sang pilihanku, tetap tertuju padamu selamanya.</p><p>***</p><p>Ketika alarm yang ku pasang pagi ini berdering aku sigap terbangun, jika pagi menjelang itu berarti aku menuju kemerdekaanku lagi, keluar dari kemunafikan dan siksaan batin yang semalaman mendera.</p><p>Namun sebelum kebebasan itu aku rengkuh aku harus melewati segala tetek bengek pelayanan dari seorang istri saleha yang sedikitpun tak memiliki kecacatan. Untuk laki-laki lain mungkin mereka akan bangga memiliki Anna, sepantasnya bidadari seperti Anna harus mendapatkan limpahan cinta yang meruah dari yang menjadi suaminya. Tapi tidak dariku, buatku Anna seperti beban yang tak jua hilang menyesakkan dada. Saat aku melihatnya aku seperti melihat tumpukan dosaku di matanya. Miris. Aku malu pada diriku sendiri.</p><p>Saat aku terbangun dia sudah tidak ada di sisiku, ia selalu terbangun lebih awal dariku kala sebelum adzan subuh menggema, lalu akupun akan menghadapi sebuah pengabdian sejati.<br /> Ketika ke kamar mandi semua bak telah penuh berisi air, bahkan air panas telah ia jarang agar mandi pagi ku tidak kedinginan.<br /> Keluar dari kamar mandi aku di sambut senyuman dengan satu stell pakaian di tangannya, tak lupa dengan lembut ia membantu memasangkan dasi di leher kemejaku.<br /> Ketika usai dengan itu ia membawaku ke ruang makan dimana sarapan dengan menu paling nikmat telah ia sajikan dengan ketulusan hati seorang istri. Saat berangkat ia membawakan tas kerja ku, mencium punggung tanganku dengan santun di iringi do'a keselamatan dan berkah.<br /> Tidak kah ia terlalu sempurna? Tiada cacat sedikitpun, lalu kenapa begitu sulit aku mencintainya. Urusan cinta adalah masalah hati maka terlalu rumit untuk di mengerti dengan logika. Nyatanya cintaku telah ku persembahkan untuk 'sang pilihan' walau sesempurna apapun istriku. Hatiku tetap tertutup.</p><p>Sudah berjuta menit ku jalani hidup dalam ikatan pernikahan dengan Anna tapi kenapa masih saja belum ku dapatkan setitik keikhlasan untuk bisa membalas sedikit saja ketulusan cinta dan pengabdiannya.</p><p>Terkadang aku hanya bisa memaki diriku sendiri, begitu bodohkah aku yang menyia-nyiakan istri sebaik itu. Bahkan untuk sekedar mengecup keningnya saja aku terlalu ragu melakukannya. Aku selalu merasa kecupan di kening adalah sakralnya cinta dan itu hanya ku berikan pada 'sang pilihan'.</p><p>Tidak ku pungkiri aku berhasil berbagi perhatian, kasih sayang dan berahi kepadanya, aku cukup mampu untuk itu. Walau terkadang aku menyindir diri sendiri sebagai pemain sandiwara yang hebat. Aktingku cukup brilian ketika berperan sebagai suami yang baik. Ayolah, berikan aku satu piala untuk itu, aku memang pantas untuk sebuah award.</p><p>Namun saat aku telah di balik kemudi setelah keluar dari kandang maka saat itu aku seperti kenari yang lepas dari sangkar, menari dan bernyanyi di atas dahan pohon kebebasan.<br /> Dan lalu aku akan terbang kepada cintaku, 'sang pilihan' selalu menunggu di sana dengan beribu pengertian untukku, yang terkadang membuat aku merasa bersalah padanya, 'sang pilihan' terlalu baik untuk seseorang yang telah ku khianati dan ku duakan walau itu bukan atas mauku. Sejatinya ia memiliki cinta yang putih, ia pemilik ketulusan yang tak kalah dengan Anna.</p><p>Kami bertemu, kami bercinta dan kami bahagia walau untuk sesaat waktu yang bisa kami reguk, bersabarlah cinta.<br /> Setelah itu aku miliki kebebasan di ruang kerja, walau penuh rutinitas kesibukan namun ketenangan milikku seutuhnya.<br /> Tidak lagi merasa jadi pecundang. Tidak lagi merasa seorang jahanam. Tidak lagi di dera sesak penyesalan dan dosa saat menatap beningnya mata istri yang ku dustai.<br /> Oh inikah takdir? Terlalu kejam untuknya juga untukku dan untuk 'sang pilihan'. Untuk kami.</p><p>Terkadang saat aku tak mampu bertahan, ingin ku akhiri semuanya, aku lelah mengenakan topeng di wajahku. Aku harus memutuskan hidupku dan belajar memilih.<br /> Jika bicara memilih tentu saja pilihanku tak akan salah, 'sang pilihan' menjadi prioritas utama.<br /> Namun mampukah meninggalkan Anna begitu saja, Ibuku akan mati mendadak jika itu ku lakukan.<br /> Kadang aku berharap, tidak kah ada secuil saja noda dalam pribadi Anna agar bisa menjadi alasan untuk aku meninggalkannya. Tapi aku seakan mencari sebuah jarum di tumpukan jerami.</p><p>"Takdir terlalu kejam padaku.." Keluhku saat makhluk tukang bicara itu menghampiriku, dia tertawa ku tahu itu mengejekku.</p><p>"Takdir terlalu baik padamu, kau saja yang tak pernah bisa bersyukur.." Dia membalas dengan sinis, aku tertohok dan diam.</p><p>"Aku akan memilih.." Ujarku setelah cukup lama bermain dengan diam ku.</p><p>"Siapa yang akan kau pilih?" Dia berpura</p><p>"Bukankah kamu selalu lebih tahu dariku sendiri?"</p><p>"Aku tahu.." Dia menyahut dan kembali tertawa, aku benci tawanya.</p><p>"Baiklah aku akan memberimu saran.. Menurutku itu pilihan yang bodoh, yang akan merugikan semua orang yang terlibat dengan dirimu.." Ucapnya lagi</p><p>"Aku bisa menjelaskan pada mereka, semoga mereka bisa mengerti.. Aku memiliki prinsip aku tak mau hidupku di belenggu seperti ini rasa bersalah seperti ini.. Biar ku bebaskan bidadari untuk kebahagiaan dari yang lain yang tak bisa ku berikan, dan aku memilih kebahagiaanku sendiri.."</p><p>"Hawa nafsu dan keegoisan sedang mencengkram dirimu, pikirkanlah lagi.. Jangan hanya kepuasan dunia yang kau umbar, kau masih menuju pada kehidupan lain yang akan meminta tanggung jawab dari perilaku di kehidupanmu sekarang.. Cinta itu terkadang menyesatkan apalagi cinta yang kau miliki, jika tidak bijaksana kau menghadapi hidup maka kau akan hancur.." Mulailah dia berceramah, dan aku selalu tidak suka ceramahnya.</p><p>"Aku tidak perduli, tekadku sudah bulat.. Kali ini aku takan mengalah lagi padamu, aku butuh cinta 'sang pilihan'. Aku butuh kebahagiaanku.." Teriakku dengan tegas, dan saat di sebuah tikungan segera ku belokan kemudiku.</p><p>"Ini bukan jalan ke Kantormu, kamu sudah salah jalan.." Makhluk itu menjerit, selalu sama setiap paginya saat aku berbelok di tikungan itu.</p><p>"Diamlah.. Ini jalanku, jalan yang ku pilih jadi kau tak bisa ikut campur terus.." Bentak ku kesal</p><p>"Ini jalan yang menuju kehancuran seluruh keluargamu juga hidupmu sendiri, mereka akan musnah oleh keegoisanmu ini.. Berpikirlah lebih tenang dan dewasa Ronie.." Makhluk itu mulai cemas, aku tak peduli aku lelah berdebat dan mengalah. Aku ingin bahagia dengan cinta 'sang pilihan'. Mau ataupun tidak mereka harus mengerti<br /> keputusan akhirku.</p><p>Ku injak pedal gas secepat mungkin.</p><p>***<br /> Suara decitan ban memekik ketika aku tepat berhenti di depan rumah sang pilihan yaitu kekasih yang ku cintai, seperti pagi-pagi sebelumnya saat aku datang sang pilihan menyambutku dengan senyum dan kedua tangan yang terbuka, dan kami berbagi peluk dan cium. Namun pagi ini entah kenapa aku seakan melihat kecemasan di matanya, tapi aku bisa mengerti jika ia cemas, sebagai kekasih 'tersembunyi' tentunya siapapun akan merasakan kecemasan menghadapi sepanjang hidupnya, dan aku ingin segera menghilangkan kecemasan itu dari hidupnya.</p><p>"Aku membawa kabar gembira untukmu.." Aku memberitahunya dengan bersemangat, aku tak sabar untuk melihat wajah cerianya karena bahagia mendengar kabar baik dariku.</p><p>"Hentikan Ron.. Jangan teruskan atau kau akan menyesal seumur hidupmu.. Kau memang akan mendapatkan cintamu ini namun bisakah kau bahagia selamanya jika kebahagiaanmu itu kau akan mematikan kebahagaiaan Ibumu? Ibumu akan musnah Ron.. Jangan gila hanya karena cinta semu.." Masih sempat ku dengar makhluk itu mengingatkan ku, berteriak-teriak tiada henti, namun ku sumpal telingaku, aku tak mau lagi mendengarnya.</p><p>"Katakanlah.." Sang pilihan bersuara, aku menatapnya penuh arti, kembali ku peluk ia dan ku bisikan kabar itu di telinganya.</p><p>"Aku akan menceraikannya, demi dirimu, aku memilihmu.." Sang pilihan nampak kaget saat mendengar kabar dariku, tak ku lihat wajah senang itu, oh kenapa ini?<br /> Dia menatapku terlihat lebih cemas dari sebelumnya.</p><p>"Sepertinya kau tak senang?" Lirihku dan mulai was-was dengan situasi yang di luar dugaan ini</p><p>"Entahlah.. Tapi kau mengatakannya pada waktu yang salah Ron, sebenarnya sore ini aku akan ke Amerika menyusul keluargaku di sana dan aku memutuskan lebih baik kita berpisah, itu jalan yang terbaik.." Bagai tersambar petir aku mendengarnya, sang pilihan akan meninggalkanku. Cintaku akan pergi, perih itu yang ku rasa. Tidak, aku tidak mau kehilangan dia.</p><p>"Jangan bercanda padaku.. Jangan katakan lagi kalimat bencana itu, aku tak sanggup kehilanganmu.." Ratapku dalam rapuh, dan air mata kami mulai menghujani kerontang jiwa lara</p><p>"Ikhlas Ron.. Ini yang terbaik, pulanglah padanya dia yang lebih pantas untukmu, aku mengalah demi kebahagiaanmu, aku tak ingin lagi menjadi palang penghalang bagi jalanmu yang lurus.." Mengalun kata-katanya dalam isak, dan dadaku bertambah pedih. Begitu pahit kenyataan ini.</p><p>"Aku mohon Aditya.. Aku mohon.." Aku histeris menghamba cinta darinya. Dari sang pilihan. Kekasih lelakiku yang amat ku cintai.</p><p>"Pulanglah.. Tak ada harapan lagi dariku bagimu.." Masih terngiang kalimat terakhirnya sebelum ia menghilang, membuat aku luruh semakin rapuh dan aku hancur dalam lumpur pekat.</p><p>Dan hujan pun semakin deras di iringi gelegar petir dan kilat yang mengerikan. Takdir ini memang mengerikan. Aku jatuh dan hancur hingga merasa tidak ada lagi yang tersisa bagiku.</p><p>**</p><p>-pada senja hari di ruang cengkrama-</p><p>Hanya tinggal aku dan makhluk itu yang tersisa, dan seperti biasanya kami selalu terlibat debat kata-kata</p><p>"Aku hancur dan tiada yang tersisa bagiku lagi.." Keluhku menatap cahaya itu layu</p><p>"Masih ada yang tersisa bagimu, bahkan itu yang terbaik.. Bidadari mu masih menantimu Ron, pulanglah dan mulai kembali jalan baru yang lebih lurus.. Jangan tangisi sesuatu yang berakhir karena akan selalu ada awal yang baik bagimu, jangan takut mencoba, ikhlaskan hatimu, cintai dia dengan ketulusan atas nama Tuhanmu.."</p><p>"Aku malu padanya.."</p><p>"Itu hanya perasaan yang sia-sia dan tiada guna, yang harus kau pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya kau memulai perubahan yang lebih baik dalam hidupmu agar kau menjadi pemenang di akhir nanti.."</p><p>"Bisakah aku?"</p><p>"Mantapkan hatimu maka kau pasti bisa, jangan jadi pecundang yang hanya tahu menyerah, bangkitlah dari keterpurukanmu, jangan coba membelokan lagi langkahmu jika jalan yang lurus masih bisa kau lalui walau penuh rintangan.."</p><p>"Bantu aku.."</p><p>"Selalu.. Aku selalu ada untukmu, walau aku hanya mampu bicara padamu, namun aku ada untuk mendukungmu, membawamu ke jalan yang lebih baik itulah gunanya aku.. Kau hanya perlu percaya padaku dan menuruti setiap kata-kataku, aku janji akan membuatmu lebih baik.."</p><p>"Katakan.. Siapa sebenarnya dirimu?"</p><p>"Aku adalah kamu.. Kamu adalah aku.. Aku adalah suara hati nuranimu, suara kebenaran yang terkadang kau abaikan.."</p><p>(Semoga karya ku ini tidak menjadi kesia-siaan, di harapkan koreksi dari kalian semua yang berkenan membacanya)</p><p>***<br /> -End-</p>
  • SUARA-SUARA


    **
    BICARA.
    Selalu bicara dan tak bosannya dia mengajakku berkata-kata. Saling mendebat satu sama lain.

    Hanya itu yang bisa makhluk itu lakukan selain selalu saja menguntitku kemanapun aku pergi. Melayang-layang semau dirinya di sekitarku, atau kadang nemplok begitu saja di bagian tubuhku di manapun. Setiap ada kesempatan dia tak pernah lelah mengajak ku bicara, bahkan kadang hingga membuat aku bosan dan malas.

    Aku tidak tahu sejak kapan dia muncul dan darimana dia berasal, tiba-tiba dia sudah mengajakku bicara begitu saja, dan aku seakan di hipnotis untuk terus meladeninya dan manut padanya. Kadang dia mendukungku. Kadang melawanku. Kadang pula dia akan menempatkan diri berada di tengah-tengahnya, tidak setuju ataupun melarang.

    Makhluk yang doyan mengajakku bicara itu sesungguhnya tidak berbentuk nyata seperti wujudku, aku melihatnya hanya sekedar seberkas cahaya dengan titik kecil yang cukup terang, apalagi jika dalam kegelapan. Tidak ada mata pada dirinya. Tidak ada pula hidung. Tidak ada telinga ataupun anatomi tubuh lainnya yang seperti aku miliki. Dia hanya makhluk aneh yang entah kenapa suka sekali bicara walau tak memiliki mulut sekalipun. Dan hanya aku saja yang di ajaknya bicara dan yang bisa melihat keberadaannya.

    Dulu aku ingin sekali menyingkirkannya, keberadaannya di sekitarku kadang memang menggangguku, aku sebal dengan sipatnya yang selalu ingin ikut campur dengan apa yang ku lakukan, walau katanya dia melakukan itu demi kebaikanku tapi aku jadi merasa hidupku tidak merdeka lagi. Kebebasanku terbelenggu karena selalu harus bertanya padanya setiap aku ingin memutuskan sesuatu. Yang akhirnya dia ibarat menjadi candu bagiku.
    Kenyataannya aku tidak bisa lepas dari makhluk ini, dia selalu ada di sekitarku walau beberapa kali aku sudah mengusirnya dengan kejam. Dia memang bebal dan keras kepala, dia mengacuhkan usiranku, akhirnya aku kini hanya bisa pasrah dengan keberadaannya. Biarlah, mungkin lumayan bisa ku jadikan tempat sharing atau curhat dengan gratis.
    Karena tidak bisa di pungkiri aku juga membutuhkannya.

    "Kau akhir-akhir ini senang sekali melamun anak muda, bicaralah padaku wahai kawan sehati, apa yang sedang kau renungkan kali ini?" Lagi-lagi dia mengusikku, dia selalu ingin tahu, dan aku geli sekaligus benci dia menyebut dirinya sendiri kawan sehatiku.

    "Aku sedang tidak memikirkan apapun, hanya sedang ingin diam.." Jawabku datar

    "Manusia memiliki otak yang akan terus bekerja 24 jam, kecuali jika dalam keadaan tidak sadarkan diri, otak akan terus berpikir tanpa henti jadi tidak mungkin kamu sedang tidak berpikir saat ini, bahkan aku ada juga karena buah dari pikiranmu, kau tahu itu.."

    "Jika begitu aku sedang memikirkan kapan kamu berhenti bicara dan selalu ingin tahu apapun tentangku.." Aku mencibir padanya.

    "Itu tidak mungkin! Belajarlah bertahan dengan keberadaanku karena sampai kapanpun aku akan terus ada dan bicara denganmu karena tugasku memang mengajakmu bicara, mempertimbangkan segala hal, anggap saja aku penasihatmu karena kamu tidak akan bisa menghindar dariku.." Jawabannya benar-benar mengesalkan, itu memang kenyataannya aku tak bisa menghindar darinya. Jadi sebaiknya mulai sekarang aku harus bisa memanfaatkannya.

    "Baiklah aku mengaku. Aku disini sedang menunggu seseorang dan merencanakan sesuatu, jadi aku harap kali ini kamu jangan mengganggu aku.." Ucapku mewanti-wanti, aku tak ingin malam ini rencanaku gagal karena dia.

    Sebenarnya malam ini aku dan keluargaku memang sedang menunggu seseorang di cafe ini, seseorang yang katanya akan di perkenalkan padaku, yang menurut ibuku akan menjadi kebahagiaan masa depanku. Tapi aku tidak setuju pendapatnya, dan rencanaku di hadapan mereka nanti aku akan menolak semua keputusan mereka. Aku sangat yakin dengan keputusanku.

    "Aku tahu. Perempuan itu yang kau tunggu kan, yang akan di jodohkan denganmu? Dan kau mau menolak perjodohan ini kan?" Dia menebak, dan aku terkejut karena dia berkata benar, bahkan dia bisa menebak niatku itu. Demi Tuhan darimana dia bisa tahu, bukankah aku belum memberitahukan hal ini padanya.

    "Hei darimana kau bisa tahu?" Tanyaku menyelidik, aku takut kali ini dia sudah memiliki teman bicara yang lain, mungkin dia dapat informasi itu dari teman barunya.

    "Aku selalu tahu apapun dirimu kawan.. Selalu tahu.." Dia tertawa pongah. Aku memutar bola mata, yah aku lupa lagi, bukankah makhluk ini memang selalu tahu tentang diriku bahkan dia bisa tahu selangkah dari diriku sendiri, makhluk ini seperti peramal, dukun atau semacamnya. Aku benci jika itu sudah terjadi seakan diriku di kuasai olehnya.

    Tapi aku juga lega karena dia tak memiliki teman bicara lain, setidaknya rahasia-rahasiaku yang selama ini ku katakan padanya tetap aman tidak akan dia bocorkan, lagipula entah kenapa kali ini aku merasa takut juga kehilangan dia. Aku takut tidak bisa mengatakan apapun lagi padanya. Hanya dia yang bisa menampung segala keluh kesahku.

    "Jadi bagaimana menurutmu perempuan ini, hei tukang bicara yang sok tahu?" Tanyaku, aku ingin tahu komentarnya kali ini, dan aku janji akan menurutinya. Karena aku yakin dia akan berpihak padaku, setuju dengan rencanaku menggagalkan perjodohan itu.

    "Perempuan ini cocok buatmu, dia saleha, cantik, dari keluarga baik-baik dan terutama pilihan ibu mu, aku rasa kau laki-laki beruntung bisa bersanding dengannya.." Jawabannya benar-benar di luar dugaan, dia menyebrang dari ku kali ini.
    Sekilas aku kabur dari Ruang Cengkrama yang biasa ku gunakan saat sedang bicara dengannya, aku kesal padanya karena selalu tak pernah mendukung kemauanku. Namun keluar dari ruang cengkrama aku malah tepat menatap wajah Ibuku disana yang tampak bahagia sedang menanti calon menantunya itu. Haruskah aku menghancurkan wajah bahagia itu. Segera aku berlari kembali masuk ke dalam 'Ruang Cengkrama, menatap makhluk itu tak yakin dan aku tiba-tiba cemas, semua rencanaku menjadi membias.

    "Yah kamu benar. Tapi aku ragu bisa menyukainya, kau tahu aku memiliki sang pilihan, kekasihku sendiri, aku tak mau di jodohkan.." Balasku membela diri, aku masih berharap dia mendukungku.

    "Rasa suka bisa kapan saja datang saat kau sudah bersamanya, kamu bisa belajar menyayanginya dengan ikhlas. Lagipula bukankah sang pilihanmu itu juga telah rela dan mendukung perjodohanmu ini.." Jawabannya semakin membuatku bimbang.

    "Aku takut mengecewakannya.." Aku berakhir pada jawaban pamungkas, hanya tinggal itu alasanku.

    "Kau kan belum mencobanya.." Dan cahaya itu tak kehabisan jawaban

    "Tapi aku tak tega menyakiti sang pilihan.." Aku kini prustasi, semua rencanaku kacau balau.

    "Bukankah kau bilang jika sang pilihan telah ikhlas karena ia mencintaimu dan karena sang pilihan menyadari kau dan dia takan pernah bisa menuatu dan itu berarti tak bisa membahagiakan Ibumu, sangh pilihan dan kau tahu hanya perempuan ini yang mampu membuaty Ibumu tersenyum.."

    "Jadi begitu menurutmu.." Aku semakin pasrah

    "Yah.. Kau bisa belajar membuka diri, terkadang kita harus berkorban kebahagiaan sendiri demi orang yang kita hormati dan kita cintai, jika itu demi kebaikan tidak ada salahnya mencoba.. Bukankah bagimu Ibumu yang terpenting dari apapun di dunia ini?" Dia bertanya, aku mengangguk yakin.

    "Maka bahagiakan Ibumu walau harus mengorbankan hatimu.." Dia berseru penuh semangat. Lalu..

    Flash.. dia tiba-tiba menghilang, aku memanggil-manggilnya karena belum puas bicara dengan dirinya kali ini, seenaknya saja kabur begitu saja, tapi dia tidak muncul lagi aku pun keluar dari Ruang Cengkrama dan kembali ku lihat Ibuku kini beliau berdiri sedang menyambut seorang perempuan muda nan cantik, berhijab rapi dan seluruh auratnya tertutup dengan gaun longgar dan panjang, aku seperti melihat bidadari, inikah perempuan itu, perempuan yang akan di jodohkan denganku, ternyata amat cantik dan memiliki senyum paling manis. Senyum yang sanggup mendamaikan siapa saja.

    Di belakangnya keluarganya datang menyusul. Bidadari itu selalu tersenyum sedikit terpaksa aku membalasnya, tutur sapanya teramat lembut dan penuh sopan santun.
    Haruskah aku menyia-nyiakan bidadari sesempurna ini, namun kenapa hati ini terasa datar saja saat melihatnya.

    Anna Azzahra Khoerunissa.

    Sungguh nama yang amat indah seindah sosok sang pemilik nama.
    Namun aku masih belum tergugah, berkelebat 'sang pilihan' bermain di ujung pikirku, dia berputar-putar lalu menutupi sosok cantik Anna Azzahra.
    Cintaku masih terlalu kuat padanya, sesosok Anna yang bak Bidadari sekalipun tak mampu menembusnya. Harus bagaimana aku menghadapi ini.

    ***
    Memijat-mijat pelipis hal yang bisa aku lakukan saat ini, kepalaku pusing tujuh keliling, bagaimana tidak pusing jika aku menyadari kini bagai di ujung tombak tajam yang menghunus siap menembus jantungku jika aku mencoba maju namun jikapun aku mundur maka satu pedang yang akan menebas diriku, aku di hadapkan dilema yang amat berat padahal seharusnya hari ini adalah hari kebahagiaanku, hari yang akan sangat bersejarah dalam seumur hidup manusia.

    MENIKAH

    Ronie Pratama akan menikah dengan Anna Azzahra Khoerunissa, si Bidadari cantik itu. Tapi kenapa aku tak bahagia?
    Itu betul, aku akan menikah dengan Anna Azzahra hari ini, dan ini hari kebahagiaanku. Seharusnya.
    Tapi aku berpikir inilah hari kehancuranku, hari dimana kebebasanku akan terbelenggu dan aku takan bisa lagi menemui Sang Pilihanku.
    Hari ini adalah hari suci ku, hari penyatuan dua jiwa dan dua raga dalam ikatan pernikahan demi membangun sebuah rumah tangga yang sakinah di jalan Tuhan, hari yang akan menentukan masa depanku, menentukan generasi-generasi penerusku bermunculan nanti.
    Namun hingga detik ini hatiku masih terpagar untuk menerima dirinya dalam keikhlasan.
    Aku tidak menemukan cinta untuk bidadari itu.
    Ku tatap wajahku yang kuyu di dalam cermin, aku melihat satu kemunafikan yang sedang mengalir dalam urat-uratku menyatu dengan darah di tubuhku. Aku lelah terus bersembunyi dan menjadi pengecut.

    Kepalaku semakin berat seiring pikiranku melayang-layang pada hal-hal di luar dugaan, kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi namun amat aku takutkan.

    Sanggupkah aku nanti mengucap ikrar suci sedangkan seseorang yang akan masuk dalam kehidupanku bukan yang ku cintai, mampukah aku mengucap kalimat keramat itu, yang akan menentukan dan merubah segalanya hidupku nanti, menjegal segala kemerdekaan dalam hidupku.

    Lalu bagaimana dengan malam pengantinnya nanti. Mampukah aku berbagi sentuhan, mengumbar gairah pada sesosok yang tak pernah ku inginkan. Aku teramat takut nanti aku akan menjadi pecundang di hadapan bidadari itu hanya karena aku belum mampu menerima dirinya dalam hatiku. Tidak bisa membagi jiwa dan raga dengannya.
    Haruskah aku mundur saja saat ini sebelum segalanya terlambat dan nanti akan mengacaukan lebih banyak lagi, melukai lebih dalam lagi pada mereka dan terutama aku.
    Aku ingin berhenti hingga di sini saja.

    "Jangan terus terbelenggu hawa nafsu kawanku, kau telah memutuskan dan kau harus bertanggung jawab pada keputusanmu, keluarlah mereka sedang menunggumu, Bidadari pembawa surga juga menantimu di dalam akad suci.." Selalu saja muncul tiba-tiba dan lalu mengacaukan keputusan yang telah ku buat. Aku harus melawan makhluk itu kali ini.

    "Aku ragu.." Aku mendesah, aku selalu tak bisa tegas pada makhluk ini.

    "Apa yang kau ragukan?" Dia bertanya dan tertawa

    "Haruskah ku lakukan padahal tak ku inginkan? Aku rasa sebaiknya aku kabur dari tanggung jawab ini.. Aku benar-benar tak ingin melakukannya.."

    "Jadi kau lebih memilih menjadi si pengecut itu.. Kau tidak memikirkan akibat yang nanti kau timbulkan?"

    "Apa? Bukankah kejujuran itu lebih baik?"

    "Kejujuran yang fatal, tidak kah kau berpikir keluargamu akan malu karena kejujuran yang akan kau sampaikan, itu aib, terutama Ibumu akan hancur tak berbekas. Jadi itu yang kau inginkan, kehancuran jiwa raga orang tua mu?" Makhluk ini selalu tau cara mengintimidasiku.

    "Tentu saja tidak.." Aku melotot padanya

    "Pengorbananmu takan sia-sia kawan, walau ini bukan demi dirimu setidaknya ini demi Ibumu yang kau cintai, lawan nafsu mu.." Aku kaget, makhluk itu membentak ku. Aku menggigil di dera dingin keputus asaan, di ambang keraguan.

    "Baiklah kali ini kau kembali menang.." Aku mendengus, segera keluar dari ruang menyebalkan miliknya. Ah aku segera terperanjat, di sana mereka tampak bahagia terutama Ibu, seluruh keluargaku lengkap berkumpul dan mereka memiliki wajah cerah penuh kebahagiaan, mereka ikut berbahagia atas kebahagiaanku. Apakah mereka tahu jika hanya aku yang berwajah kuyu, hanya aku yang tak bahagia. Kenapa mereka bodoh sekali tak peka pada keadaanku, tak mengerti keinginanku. Mengertilah padaku walau tak bisa ku katakan apa yang harus kalian mengerti. Terlalu rumit dan tabu ku katakan.

    Segalanya telah di persiapkan, buah dari pertemuan keluargaku dan keluarga Anna seminggu lalu akhirnya melahirkan keputusan pernikahanku dengan Anna di percepat. Dengan alasan mereka ingin segera menimang cucu. Tidakkah para orang tua itu ternyata sangat egois, yang hanya bisa memaksakan kehendak mereka pada anak-anaknya tanpa mau menanyakan pada kami anak-anaknya dengan siapa kami bisa bahagia?
    Kenapa harus ada perjodohan ini? Kalian merasa bahagia bisa ikut merasakan kebahagiaanku yang sebenarnya tak bahagia sama sekali.

    Yang menyesalkan kenapa Bidadari itu selalu hanya mengangguk dan tersenyum, menuruti segalanya yang para orang tua tasbihkan kepadanya. Seharusnya dia tak sebaik itu. Menolaklah Anna janganlah kau terlalu baik menjadi manusia. Kita pantas punya keputusan sendiri. Kebahagiaan yang kita buat sendiri.

    Ada sakit yang tak mampu ku lihat dan ku sentuh dimana lukanya berada, aku sedang menuju kenestapaan jiwa, lari dari kemerdekaan cinta.
    Aku teringat 'sang pilihan', dia pasti kini sedang menangis, menderita oleh pengkhianatanku yang tak mampu melawan kehendak orang tua. Oh rasanya aku ingin pergi kesana menemuinya, menghapus air matanya. Namun aku kini berada dalam ketidak berdayaan.

    Maafkan aku yang lemah ini, cintaku.

    Ingatlah, walau kini aku mengucap akad dan ikrar suci dengan orang lain namun hatiku akan tetap untukmu sang pilihanku, tetap tertuju padamu selamanya.


    ***

    Ketika alarm yang ku pasang pagi ini berdering aku sigap terbangun, jika pagi menjelang itu berarti aku menuju kemerdekaanku lagi, keluar dari kemunafikan dan siksaan batin yang semalaman mendera.

    Namun sebelum kebebasan itu aku rengkuh aku harus melewati segala tetek bengek pelayanan dari seorang istri saleha yang sedikitpun tak memiliki kecacatan. Untuk laki-laki lain mungkin mereka akan bangga memiliki Anna, sepantasnya bidadari seperti Anna harus mendapatkan limpahan cinta yang meruah dari yang menjadi suaminya. Tapi tidak dariku, buatku Anna seperti beban yang tak jua hilang menyesakkan dada. Saat aku melihatnya aku seperti melihat tumpukan dosaku di matanya. Miris. Aku malu pada diriku sendiri.

    Saat aku terbangun dia sudah tidak ada di sisiku, ia selalu terbangun lebih awal dariku kala sebelum adzan subuh menggema, lalu akupun akan menghadapi sebuah pengabdian sejati.
    Ketika ke kamar mandi semua bak telah penuh berisi air, bahkan air panas telah ia jarang agar mandi pagi ku tidak kedinginan.
    Keluar dari kamar mandi aku di sambut senyuman dengan satu stell pakaian di tangannya, tak lupa dengan lembut ia membantu memasangkan dasi di leher kemejaku.
    Ketika usai dengan itu ia membawaku ke ruang makan dimana sarapan dengan menu paling nikmat telah ia sajikan dengan ketulusan hati seorang istri. Saat berangkat ia membawakan tas kerja ku, mencium punggung tanganku dengan santun di iringi do'a keselamatan dan berkah.
    Tidak kah ia terlalu sempurna? Tiada cacat sedikitpun, lalu kenapa begitu sulit aku mencintainya. Urusan cinta adalah masalah hati maka terlalu rumit untuk di mengerti dengan logika. Nyatanya cintaku telah ku persembahkan untuk 'sang pilihan' walau sesempurna apapun istriku. Hatiku tetap tertutup.

    Sudah berjuta menit ku jalani hidup dalam ikatan pernikahan dengan Anna tapi kenapa masih saja belum ku dapatkan setitik keikhlasan untuk bisa membalas sedikit saja ketulusan cinta dan pengabdiannya.

    Terkadang aku hanya bisa memaki diriku sendiri, begitu bodohkah aku yang menyia-nyiakan istri sebaik itu. Bahkan untuk sekedar mengecup keningnya saja aku terlalu ragu melakukannya. Aku selalu merasa kecupan di kening adalah sakralnya cinta dan itu hanya ku berikan pada 'sang pilihan'.

    Tidak ku pungkiri aku berhasil berbagi perhatian, kasih sayang dan berahi kepadanya, aku cukup mampu untuk itu. Walau terkadang aku menyindir diri sendiri sebagai pemain sandiwara yang hebat. Aktingku cukup brilian ketika berperan sebagai suami yang baik. Ayolah, berikan aku satu piala untuk itu, aku memang pantas untuk sebuah award.

    Namun saat aku telah di balik kemudi setelah keluar dari kandang maka saat itu aku seperti kenari yang lepas dari sangkar, menari dan bernyanyi di atas dahan pohon kebebasan.
    Dan lalu aku akan terbang kepada cintaku, 'sang pilihan' selalu menunggu di sana dengan beribu pengertian untukku, yang terkadang membuat aku merasa bersalah padanya, 'sang pilihan' terlalu baik untuk seseorang yang telah ku khianati dan ku duakan walau itu bukan atas mauku. Sejatinya ia memiliki cinta yang putih, ia pemilik ketulusan yang tak kalah dengan Anna.

    Kami bertemu, kami bercinta dan kami bahagia walau untuk sesaat waktu yang bisa kami reguk, bersabarlah cinta.
    Setelah itu aku miliki kebebasan di ruang kerja, walau penuh rutinitas kesibukan namun ketenangan milikku seutuhnya.
    Tidak lagi merasa jadi pecundang. Tidak lagi merasa seorang jahanam. Tidak lagi di dera sesak penyesalan dan dosa saat menatap beningnya mata istri yang ku dustai.
    Oh inikah takdir? Terlalu kejam untuknya juga untukku dan untuk 'sang pilihan'. Untuk kami.

    Terkadang saat aku tak mampu bertahan, ingin ku akhiri semuanya, aku lelah mengenakan topeng di wajahku. Aku harus memutuskan hidupku dan belajar memilih.
    Jika bicara memilih tentu saja pilihanku tak akan salah, 'sang pilihan' menjadi prioritas utama.
    Namun mampukah meninggalkan Anna begitu saja, Ibuku akan mati mendadak jika itu ku lakukan.
    Kadang aku berharap, tidak kah ada secuil saja noda dalam pribadi Anna agar bisa menjadi alasan untuk aku meninggalkannya. Tapi aku seakan mencari sebuah jarum di tumpukan jerami.

    "Takdir terlalu kejam padaku.." Keluhku saat makhluk tukang bicara itu menghampiriku, dia tertawa ku tahu itu mengejekku.

    "Takdir terlalu baik padamu, kau saja yang tak pernah bisa bersyukur.." Dia membalas dengan sinis, aku tertohok dan diam.

    "Aku akan memilih.." Ujarku setelah cukup lama bermain dengan diam ku.

    "Siapa yang akan kau pilih?" Dia berpura

    "Bukankah kamu selalu lebih tahu dariku sendiri?"

    "Aku tahu.." Dia menyahut dan kembali tertawa, aku benci tawanya.

    "Baiklah aku akan memberimu saran.. Menurutku itu pilihan yang bodoh, yang akan merugikan semua orang yang terlibat dengan dirimu.." Ucapnya lagi

    "Aku bisa menjelaskan pada mereka, semoga mereka bisa mengerti.. Aku memiliki prinsip aku tak mau hidupku di belenggu seperti ini rasa bersalah seperti ini.. Biar ku bebaskan bidadari untuk kebahagiaan dari yang lain yang tak bisa ku berikan, dan aku memilih kebahagiaanku sendiri.."

    "Hawa nafsu dan keegoisan sedang mencengkram dirimu, pikirkanlah lagi.. Jangan hanya kepuasan dunia yang kau umbar, kau masih menuju pada kehidupan lain yang akan meminta tanggung jawab dari perilaku di kehidupanmu sekarang.. Cinta itu terkadang menyesatkan apalagi cinta yang kau miliki, jika tidak bijaksana kau menghadapi hidup maka kau akan hancur.." Mulailah dia berceramah, dan aku selalu tidak suka ceramahnya.

    "Aku tidak perduli, tekadku sudah bulat.. Kali ini aku takan mengalah lagi padamu, aku butuh cinta 'sang pilihan'. Aku butuh kebahagiaanku.." Teriakku dengan tegas, dan saat di sebuah tikungan segera ku belokan kemudiku.

    "Ini bukan jalan ke Kantormu, kamu sudah salah jalan.." Makhluk itu menjerit, selalu sama setiap paginya saat aku berbelok di tikungan itu.

    "Diamlah.. Ini jalanku, jalan yang ku pilih jadi kau tak bisa ikut campur terus.." Bentak ku kesal

    "Ini jalan yang menuju kehancuran seluruh keluargamu juga hidupmu sendiri, mereka akan musnah oleh keegoisanmu ini.. Berpikirlah lebih tenang dan dewasa Ronie.." Makhluk itu mulai cemas, aku tak peduli aku lelah berdebat dan mengalah. Aku ingin bahagia dengan cinta 'sang pilihan'. Mau ataupun tidak mereka harus mengerti keputusan akhirku.
    Ku injak pedal gas secepat mungkin.

    ***

    Suara decitan ban memekik ketika aku tepat berhenti di depan rumah sang pilihan yaitu kekasih yang ku cintai, seperti pagi-pagi sebelumnya saat aku datang sang pilihan menyambutku dengan senyum dan kedua tangan yang terbuka, dan kami berbagi peluk dan cium. Namun pagi ini entah kenapa aku seakan melihat kecemasan di matanya, tapi aku bisa mengerti jika ia cemas, sebagai kekasih 'tersembunyi' tentunya siapapun akan merasakan kecemasan menghadapi sepanjang hidupnya, dan aku ingin segera menghilangkan kecemasan itu dari hidupnya.

    "Aku membawa kabar gembira untukmu.." Aku memberitahunya dengan bersemangat, aku tak sabar untuk melihat wajah cerianya karena bahagia mendengar kabar baik dariku.

    "Hentikan Ron.. Jangan teruskan atau kau akan menyesal seumur hidupmu.. Kau memang akan mendapatkan cintamu ini namun bisakah kau bahagia selamanya jika kebahagiaanmu itu kau akan mematikan kebahagaiaan Ibumu? Ibumu akan musnah Ron.. Jangan gila hanya karena cinta semu.." Masih sempat ku dengar makhluk itu mengingatkan ku, berteriak-teriak tiada henti, namun ku sumpal telingaku, aku tak mau lagi mendengarnya.

    "Katakanlah.." Sang pilihan bersuara, aku menatapnya penuh arti, kembali ku peluk ia dan ku bisikan kabar itu di telinganya.

    "Aku akan menceraikannya, demi dirimu, aku memilihmu.." Sang pilihan nampak kaget saat mendengar kabar dariku, tak ku lihat wajah senang itu, oh kenapa ini?
    Dia menatapku terlihat lebih cemas dari sebelumnya.

    "Sepertinya kau tak senang?" Lirihku dan mulai was-was dengan situasi yang di luar dugaan ini

    "Entahlah.. Tapi kau mengatakannya pada waktu yang salah Ron, sebenarnya sore ini aku akan ke Amerika menyusul keluargaku di sana dan aku memutuskan lebih baik kita berpisah, itu jalan yang terbaik.." Bagai tersambar petir aku mendengarnya, sang pilihan akan meninggalkanku. Cintaku akan pergi, perih itu yang ku rasa. Tidak, aku tidak mau kehilangan dia.

    "Jangan bercanda padaku.. Jangan katakan lagi kalimat bencana itu, aku tak sanggup kehilanganmu.." Ratapku dalam rapuh, dan air mata kami mulai menghujani kerontang jiwa lara

    "Ikhlas Ron.. Ini yang terbaik, pulanglah padanya dia yang lebih pantas untukmu, aku mengalah demi kebahagiaanmu, aku tak ingin lagi menjadi palang penghalang bagi jalanmu yang lurus.." Mengalun kata-katanya dalam isak, dan dadaku bertambah pedih. Begitu pahit kenyataan ini.

    "Aku mohon Aditya.. Aku mohon.." Aku histeris menghamba cinta darinya. Dari sang pilihan. Kekasih lelakiku yang amat ku cintai.

    "Pulanglah.. Tak ada harapan lagi dariku bagimu.." Masih terngiang kalimat terakhirnya sebelum ia menghilang, membuat aku luruh semakin rapuh dan aku hancur dalam lumpur pekat.
    Dan hujan pun semakin deras di iringi gelegar petir dan kilat yang mengerikan. Takdir ini memang mengerikan. Aku jatuh dan hancur hingga merasa tidak ada lagi yang tersisa bagiku.

    **

    -pada senja hari di ruang cengkrama-
    Hanya tinggal aku dan makhluk itu yang tersisa, dan seperti biasanya kami selalu terlibat debat kata-kata

    "Aku hancur dan tiada yang tersisa bagiku lagi.." Keluhku menatap cahaya itu layu

    "Masih ada yang tersisa bagimu, bahkan itu yang terbaik.. Bidadari mu masih menantimu Ron, pulanglah dan mulai kembali jalan baru yang lebih lurus.. Jangan tangisi sesuatu yang berakhir karena akan selalu ada awal yang baik bagimu, jangan takut mencoba, ikhlaskan hatimu, cintai dia dengan ketulusan atas nama Tuhanmu.."

    "Aku malu padanya.."

    "Itu hanya perasaan yang sia-sia dan tiada guna, yang harus kau pikirkan sekarang adalah bagaimana caranya kau memulai perubahan yang lebih baik dalam hidupmu agar kau menjadi pemenang di akhir nanti.."

    "Bisakah aku?"

    "Mantapkan hatimu maka kau pasti bisa, jangan jadi pecundang yang hanya tahu menyerah, bangkitlah dari keterpurukanmu, jangan coba membelokan lagi langkahmu jika jalan yang lurus masih bisa kau lalui walau penuh rintangan.."

    "Bantu aku.."

    "Selalu.. Aku selalu ada untukmu, walau aku hanya mampu bicara padamu, namun aku ada untuk mendukungmu, membawamu ke jalan yang lebih baik itulah gunanya aku.. Kau hanya perlu percaya padaku dan menuruti setiap kata-kataku, aku janji akan membuatmu lebih baik.."

    "Katakan.. Siapa sebenarnya dirimu?"

    "Aku adalah kamu.. Kamu adalah aku.. Aku adalah suara hati nuranimu, suara kebenaran yang terkadang kau abaikan.."

    (Semoga karya ku ini tidak menjadi kesia-siaan, di harapkan koreksi dari kalian semua yang berkenan membacanya)***
    -End-
  • Yahhh ceritanya aku udah baca yang ini kang ,,, tapi kalau ada cerita baru lagi keep mention,,, :D
  • Semua gay akan mengalami masa-masa ini, persiapkanlah dari sekarang...
Sign In or Register to comment.