It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ada saran biar saya bisa masuk boyzsforum?
maaf mengganggu, bagi yang tidak mau di mention bisa lapor ke saya
@3ll0 @exomale @cute_inuyasha @Tsu_no_YanYan @Adi_Suseno10 @Tsunami @d_cetya @Wita @DoniPerdana @Lonely_Guy @balaka @centraltio @JNong @dafaZartin @Kaka_el @Unprince @ragahwijayah_ @adamx @phanthek @Bun @Valdi_Ananda23 @amir_tagung @AbdulFoo @josiii @toptoptop @rioz @BN @AnggataDimas @toptoptop @ricko_syilendra @Boyszky @Bito @Prasettya_ajjah @abyyriza @shandy76 @firman9988_makasar @brandonizeri_ @ocep21mei1996 @akina_kenji @pranoto @taengoo @dmzoom @yirly @RegieAllvano @Gabsyaron
PART XI
Ian menggenggam erat tangan mama yang terbaring lemah. Kondisinya memang tidak seburuk yang Ian bayangkan. Tapi tetap saja, melihat tubuh renta itu terbaring sakit seperti sekarang, hati Ian seperti disayat. Terlebih beliau sakit karena Ian.
Wanita itu sudah terlalu banyak berkorban untuknya. Padahal Ian bukanlah siapa-siapa. Dia hanya orang asing yang menumpang masuk ditengah kehangatan keluarga mereka, lalu menyeret mereka dalam masalah, selanjutnya lebih parah, dia malah membuat hubungan keluarga tesebut merenggang. Lantas setelah semua kekacauan itu, wanita ini tetap meneimanya disana. Di dalam keluarga mereka. Menyayanginya seperti anak sendiri. Bahkan beliau berkali-kali menekankan kalimat “Sampai kapanpun Ian tetap anak mama”
Ian tidak akan pernah tahu dengan apa dia bisa membalas semua kebaikan itu.
Mama belum tau kedatangan Ian, karena ketika Ian tiba beliau sudah tertidur lelap. Papalah yang bertugas menceritakan kronologi kejadian mama terjatuh di rumah hingga dibawa ke rumah sakit. Karena memang papa satu-satunya orang yang ada disana saat kejadian itu berlangsung. Papa berulangkali meyakinkan kalau kejadian itu tidak ada hubungannya dengan Ian. Tapi Ian tahu, itu hanya usaha papa untuk menenangkannya.
Gugun sendiri lebih memilih diam sejak kedatangan Ian. Pria itu mengatup rapat bibirnya. Dia bahkan menolak kontak mata langsung dengan Ian. Sikap dingin Gugun cukup mengganggu Ian sebenarnya. Tapi saat ini bukanlah waktu tepat untuk membahas sikap Gugun. Mama lebih penting.
“Ian istirahatlah dulu” Bujuk papa lagi setelah beberapa bujukan sebelumnya. “Ini sudah larut. Kamu juga menempuh jarak jauh tadi. Sebaiknya istirahat dulu” Tambah papa. Ian mendongak menemukan wajah lelah papa yang malah menyuruhnya istirahat padahal jelas-jelas beliaulah yang lebih butuh istirahat.
“Papa juga butuh istirahat” Balas Ian
Jawaban Ian membuat papa terkekeh. Padahal Ian yakin tidak ada yang lucu dalam kalimatnya. Bahkan kalimatnya barusan lebih terdengar seperti perintah halus. Daripada tersenyum papa seharusnya marah atau setidaknya tersinggung karena Ian sudah bersikap tidak sopan, jika memang papa memaknainya demikian. Tapi ini, beliau malah terkekeh.
“Ya, kita sama-sama butuh istirahat. Ayo”
Papa menepuk pundak Ian dua kali sebagai ajakan. Dengan berat Ian akhirnya melepas tangan mama, mengecup kening beliau sekali lalu mengikuti langkah papa.
Gugun sudah bergelung dibawah selimut. Saat mengatakan mengambil beberapa barang di telpon tadi ternyata perlengkapan tidur termasuk salah satunya. Tidak tahu pihak rumah sakit mengizinkan hal ini atau tidak. Yang jelas alas untuk mereka tidur, termasuk selimut, sudah dibentang dengan nyaman sehingga sangat sulit untuk menolak godaannya.
Papa mengambil posisi ditengah dan Ian di sebelah kiri papa. Ian harus berterima kasih dengan tindakan itu, sebab bisa jadi canggung kalau Ian yang berbaring di sebelah Gugun. Rasanya, seperti mengulang masa lalu. Ian tidak mau itu terjadi. Tidak dengan kondisi mereka yang sudah putus dan Gugun yang sudah mempunyai kekasih lain.
Sepuluh menit berlalu Ian masih belum bisa tertidur, sedangkan papa sudah mulai mendengkur kecil. Tidak tahu dengan Gugun. Dia sangat tenang. Entah itu tenang sudah terlelap atau tenang tidak ingin banyak bergerak sebab ada Ian disana. Tapi kalau seadainya iya dia tenang tidak ingin banyak bergerak sebab ada Ian, maka masalah ini jadi sangat serius.
“Kupikir... kamu mungkin tidak mau bicara denganku”
Sigh!
Penggalan kalimat Gugun di telpon tadi membuat Ian menarik nafas panjang. ‘Masalah apa lagi sekarang? Kenapa selalu saja ada masalah baru diantara kita?’ Batin Ian gelisah. ‘Cukup dengan Dewa saja aku punya masalah, jangan denganmu juga’
Tunggu!
Dewa?
Ian baru diingatkan kalau dia belum mengabari Dewa sama sekali. Tadi dia terlalu panik untuk bisa mengingat pesan Dewa yang menyuruhnya menunggu.
Ya Tuhan, bagaimana ini?
Apa dia masih disana?
Tidak mungkin, dia pasti sudah pulang. Ini sudah larut.
Tapi... siapa yang bisa menebak pikiran orang satu itu? Bisa jadi dia malah masih berada disana kan?
Ian segera mencari ponselnya, cekatan mencari kontak Dewa namun sebelum dia sempat menekan panggil dia ingat kalau ini sudah malam. Bagaimana kalau ternyata Dewa sudah tidur.
Ian:
-Maaf aku lupa bilang. Hari ini
aku pulang cepat. Kamu nggak
nunggu kan? Sekarang kamu
dimana?-
hanya sebentar Ian sudah menerima balasan dari Dewa
Dewa:
-apartemen-
Hanya itu saja balasannya. Ian mengetik pesan lain untuk basa-basi.
Ian:
-oh, syukurlah.
sudah makan? Di kulkas masih
kari. Tinggal dipanaskan saja.
Di lemari juga ada roti dan bubur
Instant kalau kamu mau-
Dewa:
-aku sudah makan-
Ian bingung harus mengetik pesan apa lagi. Jawaban Dewa terlalu singkat, seolah menunjukkan kalau orang itu enggan membals pesan Ian. Tapi Ian tidak berhenti disitu, dia kembali mengirim pesan untuk Dewa.
Ian:
-Aku pulang besok, sarapan pagi
Buat bubur instan saja. Tapi kalau
Mau salad semua bahannya ada
Di kulkas. Tidak apa-apa kan
kamu siapkan sendiri?-
Dewa:
-oke-
Masih saja singkat. Ian sebenarnya sudah tidak ingin melanjutkan. Dia mulai merasa ada yang tidak beres. Tapi dia perlu memastikan sesuatu, dan lagi sejauh ini Dewa masih membals pesannya. Ayo anggap semua baik-baik saja.
Ian:
-kamu nunggu lama tadi?-
Untuk yang ini tidak ada balasan. Bahkan setelah menunggu bermenit-menit lamanya, pesan itu tidak juga dibalas Dewa.
Ian:
-Aku sudah ijin ke pak Rudi
untuk pulang cepat. Aku juga
bilang ke mas Toni. Mereka
menyampaikan padamu kan?-
Ian berharap cemas menunggu balasan. Tapi sama seperti pesan sebelumnya, yang ini juga tak kunjung dibalas. Ian sengaja menunggu sampai bermenit- menit lamanya. Hingga akhirnya dia mengira Dewa mungkin sudah tidur makanya tidak membalas.
Ian:
-sekali lagi aku minta maaf.
Selamat istirahat-
Yang ini juga tidak dibalas. Sekarang Ian yakin kalau Dewa memang sudah tidur. Dalam hati dia sangat berharap kalau perkiraanya benar. Dewa tidak membalas bukan karena marah tapi karena dia sudah terlelap.
“Sebaiknya aku juga tidur” Gumam Ian.
---
Dewa meremas geram ponsel di tangan. Hanya itu yang bisa Ian sampaikan setelah membuatnya menunggu selama berjam-jam. Tentu saja mereka memberitahu Dewa kalau Ian sudah pulang lebih dulu. Tapi kenapa mereka? Kenapa bukan Ian langsung yang memberitahunya? Kenapa Dewa harus tahu dari orang lain? Seberapa serius Ian menanggapi ucapannya selama ini? Kenapa Ian bersikap begini padanya?
Dewa menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Restoran dan sekitarnya sudah sepi bejam-jam yang lalu. Dia tahu persis bahwa tidak ada gunanya menunggu. Tapi rasa kesal menahannya dengan kuat untuk tetap berada disana. Entah untuk apa? Melampiaskan kekesalan? Pada siapa?
Ini memang hanya masalah kecil tapi menjadi amat besar bagi seorang Dewa. Sebenarnya bukan masalah tidak mengabari yang menjadi momok disini, ya itu juga penyebab, cuma persentasenya tidaklah lebih besar dari kenyataan Ian pergi ke rumah orang tua Gugun.
Keluarga itu lagi.
Orang itu lagi.
“Aku benci perasaan ini” Gumam Dewa menepuk-nepuk keras dada kiri yang terasa sakit. Matanya menatap kosong pada jalanan lengang. Sekuat tenaga dia mencoba meredam rasa sakit tersebut namun justru kian menjadi. Bayangan wajah orang tempat dimana dia menitipkan kepercayaanya dengan sepenuh hati, menari seperti sedang menetawakan.
Kesedihan membelenggu amarah yang tersulut. Kepedihan menguasai hati yang berkecamuk. Sehingga kesal, marah, bingung dan gundah terpendam tanpa bisa diutarakan. Dia tersesat dalam perasaannya sendiri.
Alkohol menemaninya menghabiskan malam.
Di balkon apartemen yang mewah dia berdiri sebagai jelata. Kalut, sebab tidak bisa menyalurkan amarah yang mendobrak ingin meledak. Tangannya bergetar, kepalanya panas, dan hatinya sakit tak tertolong. Kalau saja dia bisa, sudah dia tahan perasaan itu agar tidak muncul ke permukaan. Dengan begitu dia tidak akan merasakan sakit seperti sekarang.
Tapi masalahnya dia sendiri tidak tahu kapan persisnya perasaan itu muncul? Tiba-tiba saja dia ingin orang bernama Ian selalu ada di dekatnya. Beberapa kali dia bahkan dengan sengaja menahan dan membuat orang bernama Ian itu kembali menemuinya. Jika tidak, dia yang menemui orang itu. Karena melihat ekspresi terkejutnya adalah hal yang menyenangkan. Menyaksikan ekspresinya kala menahan marah, itu sungguh menghibur. Sementara ekspresinya ketika ketakutan sangat sulit untuk tidak dinikmati. Tapi dari semua hal tersebut, yang paling Dewa suka adalah... saat wajahnya memerah karena malu, saat itu... dia akan terlihat sangat menawan.
Dia meneguk sekali minuman dalam gelas. Matanya lalu menerawang manatap lampu-lampu kota. Tidak disangka dia sudah jatuh terlalu dalam. Benar kata Toni bahwa orang ini berbeda. Dia sulit untuk ditaklukkan. Karena itu, sebelum semua terlambat... sebaiknya segera diakhiri.
---
Mama menolak meminum lebih banyak air yang diminumkan Gugun. Gugun menurut. Gelas air putih tersebut dia letakkan kembali ke dalam nampan diatas nakas. Mama sudah jauh lebih sehat. Apalagi sejak tahu kalau ada Ian disana. Keadaan beliau segera berangsur membaik. Ian seolah menjadi obat yang sangat mujarab bagi mama. Beliau bahkan memutuskan untuk pulang keesokan paginya.
Dan disinilah mereka, di rumah kediaman orang tua Gugun. Mereka baru tiba sekitar sejam yang lalu. Papa sedang keluar karena ada perlu jadi cuma ada mereka bertiga di dalam kamar. Ian hanya duduk didekat mama sementara Gugun mengambil alih semua tugas dengan telaten. Ada bahagia memenuhi ruang di dalam dada Ian menyaksikan kedekatan ibu dan anak ini. Karna hal itu menjelaskan bahwa hubungan mereka sudah kembali menghangat seperti awal Ian mengenal mereka.
Saat mama sudah tidur Ian keluar dari kamar untuk mengambil minum di dapur. Pintu dapur yang terbuka menggoda Ian untuk melihat-lihat ke halaman belakang. Disana Ian menemukan Gugun sedang duduk di bawah pohon mangga merenung. Ian menimang apakah sekarang waktu yang tepat? Tapi jika tidak sekarang kapan dia bisa bicara? Gugun masih saja terus menghindarinya. Bahkan saat Ian membantu menurunkan barang-barang dari mobil, beberapa kali dia bersenggolan dengan Gugun, tapi tidak ada reaksi lebih dari Gugun selain kata maaf. Itu pun diucapkan tanpa melihat Ian sama sekali. Seperti sambil lalu.
“Sedang apa?” Sapa Ian.
Gugun terlihat terkejut, bukan karen Ian tiba-tiba muncul tapi lebih karena dia tidak siap bertemu Ian.
“Hanya duduk” Jawab Gugun pendek. Lagi-lagi dia membuang muka ketika menjawab. Ian lalu mengambil posisi duduk didekat Gugun. Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara. Gugun bergeming dengan gusar sementara Ian mengamati orang itu dengan ekor mata.
“Semua baik-baik saja kan?” Tanya Ian hati-hati.
“Huh?”
“Maaf aku tidak bermaksud apa-apa, tapi... kamu jadi lebih pendiam sekarang” Jelas Ian.
Mata Gugun bergerak gusar hendak melihat Ian tapi kepalanya enggan menoleh. Gerak mata yang dulu selalu disukai Ian itu behenti sebelum mencapai tujuan. Gugun lalu menunduk mengalihkan tatapannya ke tampat lain. “Kami baik-baik saja kalau itu yang kamu maksud”
Bukan Gugun tidak tahu maksud pertanyaan Ian. Dia hanya, sangat tidak ingin membahas masalah itu. Cukup dengan yang terjadi di rumah sakit beberapa waktu lalu, jangan ditambah lagi.
‘Hubungan kita sudah berakhir’
Entah berapa kali Ian sudah menegaskan hal itu. Gugun tahu, sangat tahu. Tapi bukankah Ian juga bilang kalu dia masih ingin berhubungan baik dengan Gugun? Lalu kenapa dia seolah menolak Gugun yang ingin berhubungan baik dengannya?
“Aku lihat mama dulu” Gugun sudah beranjak saat Ian menjawab dengan cepat.
“Mama sedang tidur”
“Kalau begitu biar ku cek” Gugun bersikeras ingin pergi dari sana.
“Gun” Ian cepat menahan tangan Gugun untuk mencegah orang itu pergi. “Bisa kita bicara sebentar?” Lanjut Ian setengah memohon.
Gugun bergeming.
“Maaf aku tidak bermaksud apa-apa” Ian segera melepas tangan Gugun. “Tapi belakangan kamu seperti menghindar dan itu membuatku tidak nyaman”
Gugun masih diam, tapi dia mendengar Ian dengan seksama.
“Apa yang aku katakan waktu dirumah sakit, aku sungguh-sungguh. Aku ingin tetap berhubungan baik denganmu dan keluarga ini. Jadi kumohon jangan menghindariku seperti ini”
“Itu yang kulakukan selama ini”
“Huh?”
“Aku sedang berusaha membina hubungan baik yang kamu minta Ian. Aku berusaha melakukannya. Tapi kamu malah…” Gugun menarik nafas dalam sebelum lanjut bicara “Kamu malah terus mengingatkanku tentang hubungan kita yang sudah berakhir. Dan kamu tau apa itu artinya? Kamu menolak usahaku” Gugun menatap wajah Ian lamat. “Aku sudah berusaha Ian… aku sudah berusaha, tapi kamu menolak semua itu” Kata Gugun putus asa.
Ian terkesiap.
Benarkah itu?
Tapi kenapa yang Ian rasa selama ini bukan demikian?
Yang Ian lihat selama ini Gugun bukanlah sedang berusaha membina hubungan baik tapi lain.
Atau Ian yang terlalu percaya diri?
“Maaf” Ucap Ian lemah. Matanya bergerak gelisah seperti orang kebingungan. “Maaf, aku sudah salah. Kupikir…” Ian kesulitan menemukan kalimat yang tepat. Sementara itu dengan tidak sabar Gugun menunggu Ian menyelesaikan kalimatnya.
“Kupikir… kamu tidak perlu melakukannya dengan cara seperti itu”
“Cara apa? Aku mencoba yang terbaik yang aku bisa” Gugun mencoba membantah.
Ian butuh beberapa saat untuk berpikir kemudian bertanya.
“Kamu tidak merasa kalau yang kamu lakukan itu berlebihan?”
“Berlebihan? Apa maksudmu?” Gugun seakan tidak bisa mencerna kalimat Ian.
Ian tidak segera menjawab dan itu membuat Gugun gemas hingga meremas bahu Ian, mendesaknya untuk segera menjawab.
“Ian!” Seru Gugun tidak sabar.
“Ku pikir membawaku ke tempat yang penuh memori kita bukan pilihan yang baik”
Alis Gugun bertaut menandakan dia bingung.
“Dan… sebagai mantan aku merasa diperlakukan terlalu spesial”
Gugun semakin tidak mengerti. “Apa yang kamu bicarakan?”
“Gun!”
Lagi-lagi panggilan itu terdengar begitu syahdu. Membungkam ketidaksabaran Gugun yang terus mendesak Ian.
“Aku tidak melihat perbedaan dalam perlakuanmu. Maaf kalau aku salah. Tapi itu yang aku rasa”
“Membawamu ketempat penuh memori? Rumah kita? Maksudku ke rumah itu?” Gugun segera meralat ucapan saat menyadari dia salah bicara.
“Bukan itu saja, kamu juga pernah membawaku ke restoran tempat merayakan ulang tahunku dulu”
Gugun menggeleng tidak percaya “Itu sama sekali tidak berlebihan. Dari segi mana…”
“Menurutku itu berlebihan” Sela Ian cepat.
“Ba-bagaimana bisa?” Desis Gugun tidak percaya. Kalimat Ian cukup membuatnya terkejut dan keheranan.
Ian menarik nafas dalam. “Kamu tidak sadar kalau itu bukan hal yang dilakukan oleh dua orang yang sudah tidak bersama?”
“Tidak ada yang salah dengan itu” Gugun bersikeras.
“Bagaimana kalau Ogi melihatnya?”
“Huh?”
“Kalau Ogi melihat perlakuanmu terhadapku apa kamu masih bisa bilang itu tidak berlebihan?”
“Ogi? Kenapa tiba-tiba jadi membawa Ogi? Dia sama sekali tidak keberatan”
“Dari mana kamu tau?”
“…..” Gugun bungkam. Ya, dari mana dia tahu kalau Ogi tidak keberatan? Sepertinya dia hanya menebak tanpa tahu kebenaran aslinya.
“Apa dia pernah bilang secara langsung kalau dia tidak keberatan?”
“…...”
“Kurasa tidak, iya kan?”
“……”
“Aku bisa memastikan kalau dia tidak akan suka. Karna aku akan merasa hal sama jika itu terjadi padaku. Aku tidak akan suka kalau kekasihku perhatian pada orang lain.”
Tubuh Gugun menegang. Sadar atau tidak Ian sedang menamparnya sekarang. Tidak secara langsung menggunakan tangan tapi dengan ucapan.
“Jadi aku tidak boleh peduli padamu?”
Tatapan dan suara Gugun melembut
“Tergantung alsanmu untuk peduli itu apa?”
“Bahkan sekarang aku perlu alasan untuk peduli pada orang lain?”
“Justru karna kita sudah menjadi orang lain makanya perlu ada alasan untuk peduli”
“……”
“Gun, kamu tidak akan menjadikan aku sebagai perusak hubunganmu kan?” Ian menatap nanar mata Gugun. “Maaf kalau aku terdengar sangat percaya diri. Tapi aku bena-benar tidak ingin itu sampai terjadi. Aku mungkin tidak layak disandingkan dengan dia karna kenyataannya dia memang jauh lebih baik, kalau tidak begitu kamu tidak akan memilih dia.” Ian menunduk tatkala sakit itu kembali menyerang hatinya. “Aku hanya mencoba menghindari hal yang tidak diinginkan. Percayalah Gun, tidak ada orang yang menyukainya kekasihnya perhatian pada orang lain. Rasanya akan sangat sakit. Sakit sekali!”
Gugun seperti tersengat. Kaki tempatnya bertumpu terasa lemah dan dia tidak bisa bergerak. Matanya bergerak gusar menatap dalam mata Ian. Dia ingin mengucapkan sesuatu tapi hanya bibir bergetar yang terlihat.
“Maaf karna aku bicara begini. Aku tidak bermaksud mengungkit masa lalu apalagi membuatmu tersinggung. Ini untuk kebaikan kita semua” Lanjut Ian setelah diam beberapa saat.
Gugun tersenyum kecut. Matanya sudah beralih menatap tanah tempat dia berpijak yang terasa bergoyang. “Aku tidak tersiggung. Aku tidak punya hak untuk itu.” Gugun diam cukup lama setelah itu. Saat dia kembali bicara, suaranya bergetar dan nyaris tak terdengar. “Ian… Maaf aku sudah membuatmu begitu sakit” Ada penyesalan yang teramat sangat dalam suara Gugun yang tidak mampu dia sembunyikan.
“Gun…”
“Maaf sudah membuatmu begitu sakit” Ulang Gugun lagi.
Ian menggeleng ingin berkata ‘Jangan minta maaf, jangan menyalahkan diri’ namun Gugun sudah lebih dulu bicara.
“Aku tau ini tidak akan berguna karna semuanya sudah terlambat. Tapi komohon, izinkan aku menebusnya meski cuma sedikit” Suara Gugun nyaris hilang.
Itu dia!
Itu yang sebenarnya ingin Gugun lakukan selama ini… Menebus kesalahan!
Hanya saja, saat itu dia tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dan sedang dia lakukan. Gugun hanya mengikuti apa yang terlintas dalam kepala dan lupa membaca kondisi. Selama ini dia terlalu yakin dengan keputusan yang sudah dia ambil. Dia tidak menyesali keputusan tersebut sebab merasa sudah melakukan hal yang benar. Hingga kemudian rasa tidak tenang itu menghimpit dadanya, namun dia tidak pernah sadar kalau rasa bersalah lah yang menjadi penyebab. Rasa bersalah itu menyelip dengan sangat rapi diantara keyakinan dan percaya diri Gugun.
Ian tidak tahu harus bagaimana. Dia sadar telah melakukan kesalahan. Upayanya untuk tidak membawa Gugun ikut serta dalam rasa sakit telah gagal. Baru saja dia mengatakan kalimat yang justru menyeret Gugun kesana.
Ian mendekat untuk menenangkan Gugun tapi diluar dugaan Gugun malah menarik Ian ke dalam dekapannya. Dia memeluk erat Ian. Reflek tangan Ian bergerak sendiri memberi tepukan-tepukan pelan pada punggung Gugun untuk menenangkan.
“Tidak ada yang perlu ditebus Gun”
Mendengar Ian mulai bicara Gugun lebih mengeratkan pelukan.
“Kita sudah bicarakan ini. Jangan menyalahkan diri! Aku minta maaf sudah salah bicara. Aku tidak bermaksud mengingatkanmu pada masalah kita. Aku minta maaf”
“…..”
“…..”
“Gun, kamu tau kan kalau aku tidak pernah membencimu?”
“…..”
“Makasih kalau kamu masih ingin berhubungan baik denganku, karna itu yang aku inginkan. Tapi bukan bukan dengan cara seperti itu, cukup dengan cara yang wajar saja”
Gugun sama sekali tidak membalas, dia hanya terus memeluk tubuh mungil Ian seakan tak ingin dilepas.
“Dulu aku bingung dengan sikapmu yang terlalu perhatian. Tapi sekarang tidak. Aku sudah tau jawabannya. Kamu hanya merasa bersalah, iya kan? Meski aku sudah mengingatkanmu untuk tidak, tapi kamu tetap membiarkan rasa bersalah menghantuimu”
Gugun semakin membenamkan kepalanya diantara bahu Ian.
“Gun, kamu berhak untuk hidup lebih baik. Jadi jangan biarkan masalah dulu jadi penghalang untukmu melangkah. Hubungan kita berakhir memang sudah seharusnya begitu. Tidak ada yang perlu disesali. Rasa sakit pasti ada. Tapi semua akan baik-baik saja seiring berjalannya waktu. Aku baik-baik saja sekarang”
Ada keraguan saat Ian mangatakan baik-baik saja, tapi dia tetap melanjutkan “Aku mau kamu juga begitu. Kamu bisa melakukannya kan?”
“…….”
“Gun?”
Apa yang bisa Gugun jawab? Setelah apa yang terjadi Ian masih tetap mengkhawatirkannya, bahkan memberinya semangat seperti sekarang. Dia tidak pernah berubah. Dia akan tetap seperti itu. Tetap menjadi sosok mengagumkan yang tidak akan pernah menyerah pada kata setia.
Gugun tak berkutik. Tubuhnya lumpuh dalam dekapan Ian. Aroma masa lalu menguar. Gugun menghirup dalam-dalam aroma tersebut, mengisi penuh setiap rongga paru-paru sampai dia lupa diri.
“Berjanjilah!” Suara Ian seperti bersenandung ditelinga Gugun. Dia tidak bisa fokus. “Berjanjilah kalau kali ini kamu akan membina hubungan yang lebih baik”
Gugun memejam mata sementara giginya bergemelutuk
“Dari semua hal kenapa itu yang harus kamu minta?”
“Entahlah, aku hanya ingin melihatmu bahagia”
“Lalu bagaimana denganmu?”
“Aku?” Ian menerawang sebentar lalu tersenyum kecil “Aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri”
Gugun seharusnya lega mendengar jawaban Ian, tapi yang ada dia malah merasa kecewa. Saat Ian mengatakan akan menemukan kebahagiaannya sendiri, itu berarti bukan dari Gugun. Jelas bukan dari dia.
Kalau bukan dia lalu…?
Gugun tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Dia lantas mendekap Ian semakin erat untuk menenangkan diri.
Hari sudah malam saat Ian sampai ke apartemen. Dia sebenarnya masih ingin menemani mama tapi mengingat dia hanya mendapat ijin libur satu hari dari pak Rudi, maka tidak ada pilihan selain pulang. Lagi pula keadaan mama secara ajaib sudah jauh membaik, jadi Ian bisa tenang.
“Hai!” Sapa Ian.
Dewa yang sedang makan malam sendirian menoleh sedikit, hanya sedikit, dan memilih tidak membalas.
Ian berjalan mendekati Dewa bertanya kalem “Masak apa?”
Tak ada jawaban.
Ian diam sebentar lalu duduk diseberang meja dan mengamati Dewa. Rasa senang merengsek masuk begitu saja kedalam hatinya ketika dia melakukan hal itu. Lalu dengan sendiri bibirnya bergerak menanyakan pertanyaan basa-basi.
“Bagaimana di kantor?”
Masih tak ada jawaban. Dewa bahkan bersikap seolah dia tidak mendengar Ian bertanya.
Lagi-lagi Ian mengamati, tapi perasaanya mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Kondisi seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Dan itu tidak baik. Untuk memastikan, ian bertanya sekali lagi.
“Mau tambah sesuatu? Biar kuambilkan”
Hening
Ian menghela nafas tidak tenang. Jantungnya berdegup gelisah, karena dia tahu saat ini Dewa sedang marah.
“Aku mendapat kabar kalau mama masuk rumah sakit” Ian membuka suara memberi penjelasan. Sebab dia yakin,dari semua kemungkinan, masalah inilah yang paling masuk akal menjadi penyebab Dewa bersikap seperti sekarang.
“Kondisi mama drop setelah pulang dari rumah sakit karena menjagaku” Lanjut Ian “Aku panik, setelah minta ijin aku langsung kesana. Keadannya memang tidak seburuk yang aku bayangkan. Tapi tetap saja, melihat mama terbaring lemah begitu rasanya tidak tega. Apalagi kalau diingat-ingat aku yang sebenarnya menyebabkan mama begitu. Kalau saja mama tidak kelelahan menjagaku semua ini tidak perlu terjadi. Rumah sakit kan sarangnya penyakit”
Ian tersenyum pada kalimat terakhir mencoba bergurau. Tapi hasilnya sama sekali tidak lucu. Dia sendiri akhirnya sadar dan bingung, dari sisi mana kalimat itu terdengar sebagi gurauan?
“…….”
Dewa tidak menanggapi.
“…….”
“…….”
“Beruntung sekarang keadannya sudah membaik jadi aku bisa pulang lebih cepat”
sambung Ian mulai kehabisan bahan bicara.
“…….”
“Hmmm…” Ian masih ingin mengatakan sesuatu tapi tidak tahu harus mengatakan apa lagi
“Kalau keadaannya tidak membaik kamu akan tetap disana?” Tanya Dewa tanpa melihat. Dia akhirnya bersuara setelah diam dari tadi.
“Huh? Hmmm… tidak, aku akan pulang. Tentu saja aku akan pulang. Lagi pula aku Cuma mendapat ijin satu hari”
“Jadi kalau mendapat ijin lebih dari satu hari kamu akan tetap disana?”
Ian kehilangan kata-kata. Dua pertanyaan terakhir membuatnya sadar kalau Dewa sangat tidak suka dengan apa yang sudah dia lakukan. “Tidak, tidak juga. Maksudku bukan begitu, maksudku…” Ian gelagapan tak tahu menjawab. Otaknya seperti berhenti berpikir. Tak kalimat yang berhasil dia rangkai untuk meraih pengertian Dewa. Ian menghela nafas menyerah “Maaf” Katanya pelan. “Kamu marah?”
“Kenapa aku harus marah?” Tanya Dewa sengit. “Karena kamu pergi begitu saja saat kamu sudah berjanji menungguku? Atau karena kamu bisa mengabari orang lain sementara tidak mengabariku? Keduanya bukan masalah besar kan? Lagi pula untuk pilihan jawaban kedua kamu sudah pernah melakukannya dulu”
Kalimat-kalimat itu menampar keras wajah Ian.
Dewa sudah tidak berselera melanjutkan makan malam. Melipat tangan di dada, Dia bersandar pada kursi. Matanya lamat mengawasi wajah orang dihadapannya.
“Ma-maaf! Aku… aku benar-benar lupa karna terlalu panik”
Dewa mengangguk seolah dia mengerti. “Oke, semua karna kau panik. Oke! Masalahnya selesai sekarang”
Dewa berkata seakan tidak peduli. Dia beranjak, piring yang masih berisi separuh dia letakkan begitu saja kedalam wastafel.
“Dewa, tunggu!” Seru Ian cepat saat Dewa hendak pergi dari sana.
Dewa seketika berhenti, tapi bukan karna dia disuruh untuk itu. Dia berhenti karena… ini kali pertama Ian menyebut langsung namanya. Sengatan halus merambat melalui setiap inci nadi ketika namanya mengalun pelan dari bibir Ian, menyetrumnya, menyisakan debaran aneh menyenangkan namun sangat dibenci oleh Dewa.
Hanya karena namanya disebut langsung, efek yang ditimbulkan begitu besar.
“Kamu… tidak menungguku kan?” Tanya Ian takut-takut. Dia sangat berharap jawaban yang Dewa berikan adalh tidak, tapi nyatanya
“Aku menunggu” Jawab Dewa pelan tanpa membalik badan.
“Tapi… aku sudah ijin, bahkan pada mas Toni juga. Dia tidak bilang aku tidak ada?” Ian bertanya gusar.
“Dia bilang” Bentak Dewa membalik badan “Tentu saja dia bilang. Dia bahkan menyuruhku untuk pulang. Tapi aku memilih menunggu seperti orang bodoh. Karna aku ingin kabar langsung darimu. Dan ternyata butuh waktu yang lama supaya kau bisa mengingatku”
Kerongkongan Ian seperti tercekat. Bentakan itu memberi efek yang sangat aneh baginya. Apalagi saat dia sadar kalau Dewa tidak lagi menggunakan ‘kamu’ melaikan ‘kau’ untuk menyebutnya.
“Biar kutanya ini sekali lagi, seberapa serius kau menanggapi ucapanku?”
“Ucapan? Ucapan yang mana?” Tanya Ian bodoh. Kalimat Dewa yang mengatakan bahwa dia butuh waktu lama untuk mengingat orang itu menamparnya sangat keras hingga dia linglung.
“Kau bahkan sudah tidak tau ucapan yang mana?” Dewa bertanya antara tidak percaya dan putus asa.
“Ma-maaf, aku…” Ian benar-benar tersudut sekarang. Dia membuat keadaan semakin buruk.
“Seharusnya aku tidak meminta apapun darimu. Seharusnya pembahasan itu tidak pernah ada” Dewa menatap nanar mata Ian. “Sebab pada akhirnya, bagimu tidak ada yang lebih penting selain keluarga itu”
Jantung Ian mencelos. Kalimat Dewa begitu tajam menusuk.
“Kenapa harus keluarga Ian? Kenapa dari semua hal yang bisa ku berikan kau harus butuh keluarga?” Tanya Dewa dengan suara lemah dan bergetar.
Ian sepeti tidak menapak lagi di lantai. Tubuhnya bagai tertarik jatuh kedalam lubang gelap yang menganga.
“Sepenting itu sebuah keluarga bagimu?”
Ingin sekali Ian menghentikan Dewa dari membahas masalah ini tapi tidak bisa. Lidahnya terlalu kelu bersamaan dengan tubuh yang seperti lumpuh.
“Keluarga…” Dewa menerawang terkekeh menertawakan diri sendiri. “Bagaimana bisa aku memberimu sesuatu yang aku sendiri tidak punya?” Teriaknya putus asa.
Mata Ian membulat karena terkejut. Tapi dia masih bisa menangkap jelas ucapan Dewa. Ian bisa merasakan sakit yang Dewa tanggung sekarang. Dan itu membuatnya takut.
“Aku tidak punya apa yang kau inginkan. Dan sialnya aku tidak bisa mengusahakannya untukmu sekuat apapun aku berusaha” Dewa masih berteriak seperti kalap tapi kemudian berhenti untuk mengatur nafas. Saat dia kembali bicara dengan suara lebih pelan, suaranya kembali terdengar bergetar “Aku tidak punya apa yang orang itu punya”
Dewa menggertakkan gigi tidak suka. Dia tidak suka mengakui hal itu.
“Tapi mengingat kau sudah punya apa yang kau inginkan, kurasa aku tidak perlu mengusahakan itu lagi. Dan… kau bisa kembali ke mereka?” Dewa mengangguk mengiyakan ucapannya sendiri “Yah, kau bisa kembali pada mereka sekarang” Dewa diam sebentar menatap Ian “Maaf sudah membuatmu tinggal disini” Dewa akhirnya keluar dari dapur.
Tubuh Ian menggigil panik. Apa maksud Dewa? Jangan bilang kalau dia… tidak! Ian bahkan tidak beran membayangkannya. Ian meremas dadanya yang terasa sakit. Berkali-kali dia mengatur pernafasan agar bisa bernafas dengan benar. Sesuatu mencekik lehernya.
‘Kenapa jadi begini? Kenapa jadi begini? Ku mohon jangan! Aku tidak mau kehilangan lagi’
---
Malam menyelimuti, sunyi mendekap, dan kepedihan merapat.
Di depan pintu kamar Dewa, Ian berdiri seperti manekin. Tak bergerak, tidak juga hidup. Yang dia lakukan hanya memandangi pintu itu seolah ada yang menarik disana. Hanya saja tatapannya redup. Setelah cukup lama hanya berdiri tangan Ian akhirnya bergerak meraih gagang pintu. Dia ingin masuk kesana meski tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah berada didalam. Perlahan dia menggerakkan gagang tersebut. Terkunci!
Dewa seperti tahu Ian akan melakukan hal ini, jadi sengaja mengunci pintu.
Lutut Ian kehilangan kehilangan tenaga saat perlahan dia mulai terisak. Tubuhnya merosot ke lantai.
“Maafkan aku. Aku minta maaf”
“Ku mohon jangan marah”
“Bukannya kamu bilang aku harus lebih mengenalmu? Kita harus mengenal satu sama lain. Lalu bagaimana aku mengenalmu kalau sekarang kamu mengusirku?”
“Aku salah… aku minta maaf. Jadi ku mohon beri aku kesempatan”
Ian terus bicara pada daun pintu tempat di bersandar. Dia begitu ketakutan dengan apa yang akan terjadi nanti. Kemarahan Dewa kali ini membangunkan perasaannya yang selama ini tertidur. Dia akhirnya sadar bahwa Dewa sudah berhasil merebut hatinya. Kalau tidak. Mana mungkin dia menikmati ciuman itu dengan jantung berdebar. Dia juga mengiyakan untuk mengenal Dewa. Ternyata benih cinta itu sudah tumbuh lama tapi tertutupi oleh kabut keraguan untuk memiliki hubungan baru.
Malam itu Ian tidak bisa tidur. Dia menghabiskan hampir sepanjang malam duduk bersandar didepan pintu. Hingga saat pagi menyapa dia berpikir untuk melakukan sesuatu. Ian ingin mempertahankan apa yang sudah ada antara dia dan Dewa. Meski belum apa-apa, tapi dia akan berusaha. Seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya. Semoga yang ini tidak bernasib sama.. semoga! Ian mencoba meyakinkan diri meski sebenarnya dia pesimis.
Pagi saat Dewa sudah siap dengan stelan kantor, Ian juga sudah siap dengan sarapan untuk mereka berdua. Masing-masing mereka sempat melihat satu sama lain tapi Dewa buru-buru mengalihkan pandangan. Keduanya terlihat mengenaskan. Meski keduanya sudah rapi tapi mata mereka tak bisa berbohong kalau mereka telah melewati malam yang sulit. Mata Ian bahkan terlihat merah dan sedikit bengkak karena menangis. Sementara Dewa, ada lingkar gelap yang tercetak jelas dibawah matanya.
Mereka sarapan dalam diam. Dewa enggan bicara dan Ian terlalu takut untuk memulai. Dia tidak mau tindakannya justru semakin memperburuk keadaan. Maka dari itu hingga mereka telah selesai dan pergi ke tujuan masing-masing, tidak ada sepatah katapun yang terdengar.
---
Dengan perasaan tidak tenang dan kacau, juga mata yang hanya mengantuk, Ian mencoba menjalani hari itu selayaknya hari biasa. Sesekali dia mengecek ponsel, entah untuk apa? Saat jam makan siang Ian memberanikan diri mengirim pesan minta maaf untuk Dewa.
Ian:
-Aku minta maaf
untuk semalam. Aku salah-
Terkirim!
Tapi Ian buru-buru mengetik pesan satu lagi
Ian:
-jangan lupa makan siang-
Walaupun pesan yang dia kirim tidak akan mendapat balasan Ian tidak peduli. Dia malah mengirimi Dewa pesan-pesan lain, yang terakhir dia bertanya apa Dewa sudah selesai bekerja dan ingin makan malam apa. Tak ada satupun dari pesan itu yang mendapat balasan. Tapi Ian tidak menyerah. Ketika pulang, dia pulang lebih cepat untuk menyiapkan makan malam.
Di tempat lain Dewa memegang erat ponsel, membaca berulang kali pesan terakhir dari Ian. Dalam hati dia merapal ‘Jangan terpengaruh…jangan terpengaruh’. Dia berusaha menolak perhatian Ian tapi tak bisa melawan saat rasa bahagia menyusup ke dalam hati.
Kejutan akan sikap manis Ian tidak berhenti disitu. Ketika Dewa pulang Ian sudah menunggu di meja makan, seperti dulu ketika dia baru keluar dari rumah sakit. Melihat itu semua mau tidak mau Dewa harus menerima kalau hatinya merasa terhenyuh.
‘Jangan terpengaruh…jangan terpengaruh’
Saat makan malam berlangsung Dewa membuka suara. Itu kalimat pertamanya hari ini. Hanya saja apa yang dia ucapkan sangat membuat tidak senang.
“Aku sudah menyewa sebuah rumah, kau boleh pindah kesana”
Gerakan tangan Ian berhenti seketika. Matanya tertuju penuh pada Dewa.
“Tidak perlu memikirkan uang sewa, aku yang akan bayar”
Ian tidak lagi berselera, dari awal dia memang tidak berselera. Tapi karena keinginan untuk semeja dengan Dewa dia berusaha menikmati makan malamnya. Sekarang, jangankan untuk menelan susah payah mengangkat sendokpun dia tidak mampu. Tangannya seperti lumpuh.
Usaha Ian sia-sia. Tidak ada yang membaik justru keadaan semakin memburuk.
Keesokan hari saat Ian pulang kerja dia mendapati kamarnya kosong. Tak ada satupun perabotan disana. Pakaian berserta lemari lenyap sudah. Begitu juga dengan barang-barang yang lain.
“Aku sudah meminta orang memindahkan barang-barangmu kesana”
Begitu jawaban yang Ian terima saat bertanya pada Dewa. Bahkan Dewa menyerahkan kunci sebuah rumah beserta secarik kertas bertuliskan sebuah alamat.
Ian menerawang. Matanya lurus mantap ke pintu sebuah kamar. Dari sofa tv ini kamar itu bisa terlihat dengan jelas. Kunci dan alamat rumah tadi dia letakkan dengan manis di meja depan sofa. Ian tidak tahu dimana rumah itu dan tidak mau tahu. Karena dia tidak mau pindah. Tapi apa itu mungkin? Sampai kapan Ian bisa menebalkan muka demi bertahan disana?
Sikap manis Dewa beberapa hari terakhir seperti mimpi. Dan mimpi itu akan hilang dalam begitu Ian bangun dan membuka mata. Semua terjadi begitu cepat, terlalu cepat sampai Ian tidak percaya kalau ini benar-benar terjadi.
‘Apa semua akan berakhir seperti ini?’
‘Benar-benar tidak ada jalan untuk kembali?’
‘Tidak ada kesempatan memperbaiki?’
Kelelahan, Ian tertidur meringkuk di sofa. Tanpa selimut, tanpa bantal, tanpa mengganti pakaian. Dia menjelajah malam dengan kendaraan mimpi yang sekarat. Beruntung dia bisa selamat sampai pagi datang.
Seperti pagi-pagi sebelumnya, Dewa tetap setia disambut sarapan dan Ian di meja makan. Mengenakan pakaian kemarin, lalu bersikap biasa seolah tidak terjadi apa-apa, Ian benar-benar mengcopy sifat Dewa. Meskipun tidak sepersis orang itu tapi Ian berakting sangat baik.
“Mau tambah sesuatu?” Tanya Ian basa-basi.
Dewa menggeleng dengan malas.
Ian menarik nafas dan bicara lagi “Persedian di kulkas habis. Aku akan sempatkan belanja sebelum pelan. Mau menitip sesuatu?”
Dewa mendesah tidak sabar. “Kau tidak perlu belanja apapun, oke?”
Ian meneguk ludah kecewa. “oke!”
“Jangan terlalu memaksakan diri” Kata Dewa tajam.
Hari itu Ian berangkat kerja hanya mandi air tanpa sabun dan dengan pakaian sama dengan yang dia pakai kemarin. Baru saat jam istirahat dia minta izin keluar untuk membeli pakaian baru. Hanya sepasang kaos dan celana murah. Dia sengaja tidak membeli lebih dari sepasang, sebab tidak tahu sampai kapan bisa bertahan di tempat Dewa. Jika pada akhirnya harus keluar, dia punya cukup persedian baju yang bisa dia ambil di rumah itu. Tapi sebelum semua benar-benar berakhir, Ian tidak akan menginjakkan kaki kesana. Ian baru akan kesana saat dia sudah benar-benar kalah. Dia akan kesana hanya untuk mengambil barang-barang miliknya lalu pergi mencari tempat tinggal lain, atau kembali ke kosan sempit itu juga bukan ide yang buruk. Yah, Ian tidak berniat tinggal di rumah pemberian Dewa, dia akan mencari tempat tinggal sendiri.
Sekali lagi Dewa dibuat terkejut karena masih melihat Ian di dapur apartemennya ketika dia pulang kerja. Ian sedang menyiapkan sesuatu. Ada beberapa kantong belanjaan juga di atas meja. Ternyata dia bersikeras belanja meski Dewa sudah melarang.
“Kenapa kau masih disini?” Tanya Dewa dingin.
“……”
Ian tidak tahu harus menjawab apa meski jawabannya jelas, dia tidak ingin pergi dari sana.
“Biar kupanggil taxi untuk mengantarmu kesana”
Dewa mencari ponselnya di saku jas.
“Jangan!” Ian cepat-cepat mencegah.
Dewa mengerutkan kening bertanya ‘Kenapa?’
“Boleh aku tinggal disini saja?” Tanya Ian setengah memohon.
“Tidak!” Jawab Dewa tanpa berpikir.
Nafas Ian berhenti beberapa saat. Dia cukup terkejut dengan jawaban yang sangat cepat itu.
“Tapi…tapi akan lebih mudah menyiapkan sarapan untukmu kalau aku disini”
“Kau tidak perlu melakukannya lagi”
“Apa?”
Ian bertanya buka karna dia tidak paham tapi karena tidak percaya akan benar-benar kalah, secepat ini.
“Dengar” Dewa menarik nafas dalam, seakan apa yang akan dia katakan adalah hal yang berat. “Sebaiknya kita tidak tinggal bersama lagi, maksudku akan lebih baik kalau kau tidak tinggal disini lagi”
“Kamu masih marah?”
“Aku tidak membahas masalah itu lagi dan jangan coba-coba memulai” Suara Dewa mulai meninggi.
“Kenapa tiba-tiba?”
“Sudah ku jawab kan? Sebaiknya kita tidak tinggal bersama”
“Lalu bagaimana dengan kesepakatan mengenal satu sama lain?”
“Itu sudah tidak penting” Suara Dewa semakin meninggi “Kenapa sekarang kau menanykan hal itu setelah selama ini kau tidak pernah serius menanggapinya?”
“Aku serius”
“Tidak!” Raung Dewa “Kau tidak serius. Kau sama sekali tidak serius!” Amarah Dewa meledak mencapai ubun-ubun.
“Itu tidak benar”
“Lalu apa yang benar?”
“Ku mohon dengarkan aku, aku serius. Percayalah! Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku mencintai sebuah keluarga dan benar aku menginginkannya tapi bukan berarti aku menuntut itu harus ada. Apa lagi memintanya darimu” Kata Ian langsung ke ini masalah.
“Kau tidak menuntut harus ada, tapi mengejar keluarga itu seperti orang gila sampai mengabaikan sekelilingmu, mengabaikan ku”
“Ku mohon dengarkan aku dulu” Ian menunggu sesat, memastikan Dewa mendengarkannya. “Kemarin aku memang terlalu panik sampai lupa mengabari. Tapi aku tidak lupa padamu. Sama sekali tidak. Bukannya aku tidak serius dengan kesepakatan kita tapi aku pikir kamu akan sedikit mengerti posisiku. Maaf jika aku berharap terlalu banyak, tapi aku pikir, aku bisa memiliki harapan kamu akan mengerti, karna kita sudah setuju untuk belajar saling mengenal. Aku akui selama ini aku ragu… aku baru saja melewati hubungan yang berat. Tapi meski begitu aku serius untuk mencoba menjalin yang baru, dengan mu. Beri aku kesempatan.
“Ijinkan aku menebus kesalahan karna sudah melukai perasaanmu. Tidak apa jika aku butuh waktu lama untuk menebusnya. Akan aku tunjukkan kalau aku serius dengan ucapanku. Jadi ku mohon, beri aku kesempatan”
“Kau mau kesempatan?”
“Ya”
Secuil harapan tumbuh dalam dada Ian.
“Kau serius?”
“Ya”
Harapannya semakin besar
“Kalau begitu tunjukkan padaku”
“Bagaimana cara aku menunjukkannya padamu”
Dewa tersenyum jahat. Sekali hentak dia membanting tubuh Ian ke atas meja makan. Satu dua kantong belanjaan jatuh
mengeluarkan isi yang berhamburan ke lantai
“Ayo kita lihat seberapa serius kau kali ini”
Meskipun Gugun mengkhianati cinta mereka tapi tidak sekalipun orang itu kasar saat menyentuh Ian. Tidak pernah Gugun melepas pakaiannya dengan mencabik baju itu dari tubuh Ian hingga meninggalkan bekas cakaran. Setiap hentakan Gugun adalah jeritan yang membuat Ian melayang bukan jeritan pilu penderitaan.
Dari semua malam yang Ian habiskan untuk bercinta ini adalah yang terburuk. Dewa seperti srigala kelaparan dalam artian yang sebenarnya. Dia memangsa Ian tanpa perasaan. Menjambaknya, membanting berkali-kali, bahkan menggigit hingga berdarah.
Tidak satupun dari mereka menikmati hubungan itu. Mereka sama-sama terluka. Dalam diri Dewa meraung, berteriak untuk berhenti tapi sisi lain terus menyerang agar orang yang tidak berdaya dibawahnya saat ini menyerah, lalu pergi dari hidupnya.
Siapa sebenarnya yang dia paksa untuk menyerah, Ian atau dirinya sendiri?
Mimpi buruk itu akhirnya berhenti setelah Dewa mencapai sebuah keindahan yang serta merta meruntuhkan amarahnya. Seperti orang linglung dia meninggalkan Ian dalam keadaan yang mengenaskan
Ian menatap nanar langt-langit dapur. Air matanya jatuh. Sekujur tubuhnya nyeri tapi tak senyeri yang hatinya rasakan.
“Kamu percaya padaku sekarang?”
Di tempat lain Dewa meringkuk dengan tubuh menggigil. “Apa yang kulakukan? Aku menyakitinya… aku meyakitinya”
Dewa seperti menjadi orang lain. Ini bukan dia. Dia tidak pernah seperti ini sebelumya. Dia memang dingin pada orang, sering bersuara tinggi, mudah marah dan terkesan sombong. Tapi dia tidak pernah kehilangan kontrol pada dirinya sendiri. Lalu kenapa sekarang dia begini? Apa yang terjadi dengannya?
Dewa semakin meringkuk, dia menyesal, memaki diri sendiri seperti orang gila. Tapi semua sudah terlanjur dan tidak bisa ditarik lagi.
Tengah malam saat Dewa keluar membawa selimut, dia melihat Ian yang tertidur di sofa. Mengenakan pakaian yang robek sana-sini, wajah berhias luka Ian terlihat pulas. Namun dari wajah pulas itu juga terlihat jelas ketakutan dan penderitaan.
Dewa menyimpan selimut itu menutupi tubuh Ian. Perlahan dia duduk bersimpuh di dekat kepala memandangi Ian tertidur. Tak bertahan lama, karena hatinya terlalu sakit untuk melihat bekas luka hasil karya yang dia buat. Dewa menjatuhkan kepalanya pelan kesamping Ian, meratap.
‘Apa yang sudah ku lakukan?’
Ian terkejut saat membuka mata menemukan Dewa sedang memandanginya tertidur.
Butuh beberapa saat bagi In untuk bisa menumpulkan keberanian. “Hai” Sapa Ian takut-takut.
Dewa tersenyum kecil. Tangannya bergerak hendak menyentuh pipi Ian tapi reflek Ian bangun, duduk, dengan ekspresi waspada. Ian sampai tidak sadar kenapa ada selimut ditubuhnya.
Dewa shock. Tidak menyangka Ian akan merespon seperti itu.
Lama mereka teridam hingga Ian bicara lebih dulu.
“Aku siapkan sarapan dulu”
Sarapan apa? Ini masih jam empat pagi. Yah, Dewa menunggui Ian tidur lebih dari tiga jam.
Dewa mengikuti Ian ke dapur. Dapur itu sudah rapi. Tidak ada tanda-tanda kalau dapur itu habis dipakai membantai orang. Ian pasti membereskannya sebelum dia pergi tidur.
Mengetahui Dewa disana, untuk alasan tidak jelas Ian merasa panik. Panik entah karena apa?
“Mau sarapan apa? Roti? Nasi goreng? Atau salad? Hmm… bagaimana kalau minum kopi dulu?” Ian bertanya asal se-asal tangannya mengerjakan ini itu tidak jelas.
Dewa menyadari kepanikan Ian dan hal itu membuatnya sakit. Amat sangat sakit. Dia mendekat,menyentuh tangan Ian, menggenggamnya erat. Satu tangan lain dia lingkarkan ke pinggang Ian.
“Apa luka-lukanya sakit?” Sungguh pertanyaan yang bodoh. Tentu saja yang namanya luka itu sakit.
Tubuh Ian menegang saat Dewa menyentuh tangannya, lalu memeluknya dari belakang. Dan sekarang dia akan membuat jantung Ian meledak karena bertanya keadaan luka-lukanya. Ian memberanikan diri meremas balik tangan Dewa. “Aku baik-baik saja” Jawab Ian.
Dewa memeluk lebih erat tapi Ian berbalik menghadapnya. Ian terlihat gugup, menarik nafas berkali-kali. Matanya lekat menatap mata Dewa.
“Boleh aku bertanya?”
“Apa?”
“Aku punya kesempatan kan?”
Jantung Dewa seperti ditikam. Tatapan berharap Ian menusuknya. Kenapa? Kenapa setelah semua perlakuan yang Dewa berikan Ian masih minta kesempatannya?
Dewa menarik Ian kedalam lengannya, mendekap Ian erat Dewa menjawab “Kamu punya kesempatan sebanyak yang kamu mau. Tidak, lebih banyak. Lebih banyak dari yang kamu mau”
Ian tersenyum senang, terlalu senang untuk menahan air mata. Tapi kemudian bahagia Ian berubah terkejut saat dia mendengar Dewa menangis seperti bayi dan mengucapkan maaf berulang kali.
----
Dibawah selimut yang dipakai untuk menyelimuti Ian tadi mereka bergelung saling peluk. Tidak, Ian yang memeluk Dewa. pria itu meringkuk dalam dekapan Ian, seperti anak kesasar yang baru bertemu orang tua. Acara menyiapkan sarapan batal, karna Dewa terus memeluk Ian sambil minta maaf. Lagi pula siapa juga yang mau sarapan jam empat pagi?
Tangan Ian setia membelai rambut Dewa. Dia tidak bertanyaatau berkata apapun, hanya membelai untuk menenangkan.
Setelah cukup lama dan merasa lebih baik Dewa meraih tangan Ian, mengecupnya. “Kamu yakin mau bersamaku?”
“Tentu” Jawab Ian semangat bercampur senang, Dewa akhirnya bicara.
“Bahkan setelah apa yang kulakukan padamu?” Dewa mengangkat sedikit wajahnya untuk melihat Ian.
“Kamu hanya sedang marah”
“Tapi kamu takut kan?”
Ian diam lalu mengangguk kecil. “Sedikit”
“Kamu tidak khawatir kalau ini akan terulang?”
“Kamu akan mengulanginya?”
Dewa merasakan lagi tikaman di jantungnya. Melihat kekhawatiran yang dia tanyakan terukir jelas di wajah Ian, membuat dadanya sakit. Dewa membebaskan diri dari pelukan Ian, duduk tegap, penuh keyakinan.
“Itu yang pertama dan terakhir kamu melihatnya”
Ian terlihat ragu tapi tetap mengangguk dan tersenyum. “Oke, kalau begitu tidak perlu dibahas lagi. Aku percaya padamu”
Dewa tersenyum kecil, senyum yang terliha sedih. “Terimakasih masih percaya padaku setelah semua…”
“Ssstt… Jangan dibahas lagi” Ian menyentuh pipi Dewa dengan sayang “Jangan dibahas lagi” Ulangnya.
Dalam balutan selimut yang hangat mereka merajut cerita baru, dimana hanya ada mereka berdua dan kisah mereka.
Halo halo… Nara is back dengan cerita menye tiada akhir hahaha… (digampar)
Maaf maaf..
Tapi saya punya sedikit pengumuman. Jadi begini, teman saya Della Nova (Saya suka namanya, mengingatkan saya pada kata ajaib Dealova), seorang penulis, bahkan sudah pernah menerbitkan beberapa buku dengan tema beragam termasuk BL. Dan salah satu karya BL nya adalah Pleuvoir. Sebuah cerita yang manis, dengan bahasa sederhana namun mampu membekas di hati, dan tentunya dengan penulisan yang jauh lebih bagus
Novel ini sudah pernah rilis tahun 2009 dulu, berkat desakan dari beberapa pihak termasuk saya dia akhirnya mau mencetak ulang karya itu lagi. Tapi sayang softcopynya hilang jadi dia harus mengetik ulang cerita tersebut. Novel itu tidak akan dia cetak banyak seperti pertama rilis tapi sesuai jumlah PO. Saya termasuk yang PO.
Kenapa saya tau ceritanya manis, bahasa sederhana yang membekas di hati? Sebab dia mempost cerita itu di blognya. Pada bab 5 ada bagian yang sangat menyentuh hati saya tentang anak jalanan bernama Ipo. Saya bilang itu ke Della, dan ternyata Ipo adalah tokoh nyata. Dia seorang anak jalanan yang mengalami kekerasan. Dan Della terinspirasi untuk menulis karakter Ipo dalam cerita dia. Ipo hanya muncul sedikit tapi memberi efek yang besar bagi saya.
Saat sedang membahas Ipo, Della kecoplosan bilang kalau sebenarnya dia berencana menyumbangkan setengah dari penjualan Pleuvoir nanti. Saya tanya kenapa dia tidak bilang, supaya saya bisa bantu, dia menjawab masih ragu. Soalnya dia punya dua tempat yang ingin dia sumbang. Pertama rumah singgah anak jalanan, dan kedua untuk membantu penyuluhan bagi LGBT remaja. Well, semua terserah Della mau menyumbang kemana atau kalau penjualannya banyak, dibagi dua jauh lebih bagus.
Jadi, bagi teman-teman disini yang ingin membantu Della menyumbang dan menolong sesama, saya akan sangat berterima kasih. Ini bukan pemaksaan, Cuma bagi yang mau membantu saja. Saya tidak mendapat benefit apapun disini. Saya hanya ingin membantu anak-anak itu, tapi sejauh ini hanya ini yang mampu saya lakukan. Jika teman-teman penasaran dengan novel yang akan menolong saudara-saudara kita itu, kalian bisa mengunjungi langsung blog Della.
http://november113.webnode.com/
Masih bab 5, Della baru akan mencetak menjadi buku setelah dia mempost bab 6
Yang ingin ikut menyumbang silahkan mendaftar ke Della langsung melalui satu-satunya akun sosmed yang dia miliki, instagram dengan nama akun: qingyu2zhou
Terima kasih sudah membaca pengumuman ini.
pertamax
tapi salah mensyen bang..
bangg,, kalo mau buka bf dari laptop kalo dari chrome pake data saver bang,, donlod aja dari ekstensi,, kalau tetep gabisa pake VPN Betternet downlod juga dari ekstensi..