It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tp gw rada bingung yg sebernya pny cerita siapa ya... But siapaun itu, karya lo kereen.. Gw gak terlalu ngerti penulisan, tp secara keseluruhan gw enak aja ama tulisan ini,, gak ngebosenin malah bikin penasaran gara2 itu prolog..
Wokeh, lanjut!!!!
bukan, satu orang saja gak banyak2
iya...terimakasih sudah menunggu
iya. ini lagi progress. terimakasih
soalnya yg ini SKS hahahaha
tetap ditunggu ya saya akan berusaha hahahaha
ceritanya ringan, dan mudah dicerna. typical gw banget dah. semangat ya buat ts nya
“Sudah lama sekali kau nggak ke Phoenix. Don’t ya need a quick buck— uang yang banyak—? Kau kan butuh uang buat kuliah.”
Matt mengucapkan kalimat itu dengan perasaan khawatir. Aku tahu, dia akan selalu khawatir kepadaku. Dia rela terbang dari negara bagian Arizona hanya untuk menemuiku di California. Aku memandang Matt sejenak sebelum menghabiskan seperempat bir dalam botol genggamanku.
“Aku kembali ke Ayahku.” jawabku akhirnya. Kini Matt tertawa asam. Kekhawatirannya seolah hilang. Dibawa pergi gelap malam di jalanan seberang taman, mungkin.
“Ternyata kau buktikan sendiri kalau kau itu your daddy little son.” ejek Matt. Ia meneguk birnya. Aku tidak menggubris omongan pemuda hitam manis yang sudah sejak umur empat belas tahun menjadi kawan karibku. Kami sama-sama mabuk. Ada beberapa kaleng dan botol bir kosong di dekat kami. Aku tahu aku tidak akan melukai Matt, tapi Matt ini cepat naik darah. Dia bisa lupa siapa kawannya jika sudah mabuk.
“Aku tidak butuh ejekan itu sekarang, Matt.”
“Oh ya? Lalu aku harus memanggilmu apa? Spoiler Brat?”
“Cukup Matt! Kau mabuk.”
“Kau yang mabuk! Kau yang dari dulu mabuk! Kau lupa, Armando yang menampung kita saat Ayah kaya rayamu itu mengusirmu dari rumah? Dia yang membuatmu tangguh, memperbolehkanmu melanjutkan sekolah. Lihat aku, aku bahkan tidak tahu rasanya sekolah! Tapi ini yang kau dapat dari sekolahmu, hah? Melupakan utang budi?”
BUUK
Aku meninjunya. Matt terhuyung ke belakang.
Aku tahu Matt adalah orang emosional tetapi dia tidak pernah melupakan hutang budi. Tapi kali ini sudah kelewatan.
“Sialan kau!”
BUK!
Matt meninju perutku. Tepat di ulu hati. Aku memuntahkan sebagian birku. Aku terduduk kesakitan.
“Bahkan sekarang kau sudah lemah. Lihatlah dirimu sendiri!” Matt mencibir. Aku terbatuk-batuk. Menahan rasa sakit dan mual. Tidak mampu berdiri.
“Ibuku sekarat…” gumamku nyaris berbisik.
“Apa?” Matt kebingungan.
“Ibuku sekarat! Dia koma karena kanker otaknya! Itulah kenapa ayah tiri brengsek itu memintaku kembali, hanya untuk membiarkanku melihat ibuku sekarat!”
Matt tertegun. Dia melonggarkan kepalannya. Ugh, dadaku rasanya sakit. Matt duduk di dekatku. Aku tahu sekarang dia merasa bersalah. Tapi rasa bersalahnya tidak berguna apa-apa.
“Aku tidak tahu. Maaf.” akhirnya dia mengucapkannya. Meneguk lagi birnya.
“Kau tidak perlu tahu seluruh kehidupanku, Matt. Dan untuk melegakan hatimu, aku tidak menerima uang apapun dari ayah tiriku. Semua yang kudapat dari warisan ayah dan aku kerja.”
“Kerja? Kerja apa?” Matt terdengar ingin tertawa.
“Mekanis pabrik raksasa. Gaji selama dua tahunnya lumayan untuk membeli motor baru.”
“Padahal jika kau ikut Armando, kau tidak perlu susah payah.”
Aku tersenyum getir. Tidak perlu susah payah? Justru Armando membuatku selalu dalam bahaya.
Matt menghela nafas “Aku tahu, kau nggak mau ikut Armando lagi karena kau nggak mau berakhir sebagai anggota geng, kan? Kau nggak mau berakhir sebagai pengedar senjata illegal dan heroin seumur hidupmu. Atau memimpin anak geng di distrik lain. Kau tidak ingin sepertiku.”
Aku menerawang. Mengacuhkan ucapan Matt. Mengusap wajahku kelelahan. Akhirnya aku berbaring di jalan setapak taman. Mengatur nafasku yang sedikit perih akibat tinju Matt
Masa lalu juga perih.
Ayah meninggal saat aku berusia delapan tahun karena sakit. Dua tahun berikutnya, ibu bertemu dengan seorang duda kaya raya beranak satu yang lebih tua tiga tahun dariku. Lalu gampang ditebak, ibu jatuh cinta padanya dan akhirnya mereka menikah.
John Collins adalah orang yang dingin, tidak peduli, dan terkesan acuh tak acuh kepadaku. Aku juga tidak tertarik untuk dekat dengannya karena bagiku ayahku cuma Rafael Eastwood.
Anaknya, Tom Collins, terang-terangan tidak menyukaiku. Beberapa kali saat kami masih kecil dia berusaha mencelakaiku. Entah mengayunkan ayunan terlalu tinggi, berusaha menenggelamkanku di kolam renang, atau hanya sekedar menendang bola tepat ke arahku saat ia bermain bola dengan teman-temannya di lapangan belakang rumah kami –lebih tepatnya rumah Ayahnya— yang besar. Tapi dia sama sekali tidak pernah bisa menjatuhkan mentalku.
Ibuku bukannya tidak tahu. Dia hanya khawatir jika mereka bercerai aku tidak akan dapat nafkah yang cukup. Atau mungkin saja sebagian alasan Ibu adalah mencintai John seoerti mencintai ayah dulu.
Mungkin karena frustasi atau saking putus asanya, Tom mengajakku berkelahi secara frontal di danau dekat rumah kami. Aku melayaninya. Kami saling berkelahi, baku hantam, dan lain sebagainya.
Hanya saja terjadi insiden. Tom terpeleset dan jatuh ke danau. Aku tidak tahu Tom tidak bisa berenang, dan baru kusadari ketika ia tidak muncul di permukaan. Aku memanggil bantuan. Tom ditemukan, sekarat. Koma selama tiga hari di rumah sakit.
John menyalahkanku, tatapannya marah saat itu sambil berkata “apa yang terjadi pada Tom?”. Aku menjelaskan semua tetapi dia tetap diam dengan marah. Ibu diam saja, tanda ia kecewa sekaligus merasa ingin melindungiku.
Aku tahu sudah saatnya aku pergi dari kehidupan mereka. Semakin aku berada di keluarga Collins semakin membuatku terlibat masalah.
Aku resmi di jalanan. Lalu aku ikut kereta malam hingga membawaku sampai ke Arizona. Jarak yang lumayan jauh untukku saat itu.
Lalu aku bertemu Matthew Hudson. Seorang anak kurus kecil berkulit hitam yang memberiku jatah makannya saat aku luntang-lantung menjadi seniman jalanan di kota Phoenix. Dia mengenalkanku pada seseorang bernama Armando Louis. Yang kuketahui setelahnya ternyata seorang pemimpin geng. Para freeman.
Dia menawariku tempat tinggal dengan balasan aku harus mengantar paket ke beberapa kenalannya. Untuk anak seusia itu aku sudah paham bahwa yang akan kubawa ini barang berbahaya, maka dari itu aku selalu memutar otak agar tidak terlibat dengan polisi.
Dan mungkin karena diberkati Tuhan, aku selalu berhasil melaksanakan tugas Armando.
Armando memberikan imbalan atas keahlianku itu –tapi aku nggak mau menyebutnya sebagai anugrah— dan itu berupa apapun. Permintaanku cuma satu; bersekolah lagi.
Aku ditertawakan tapi dikabulkan.
Selanjutnya, pekerjaanku di geng tidak hanya sebagai kurir. Jelas aku ‘naik pangkat’. Pekerjaanku sudah mulai sebagai pengikut Armando jika terjadi perang geng. Aku membawa senjataku sendiri, sebuah pistol Belgia FN Five SeveN 5,7mm dan sebuah pisau lipat. Pasanganku dalam bertempur adalah Matt. Mungkin karena sudah bersahabat sejak awal, kami lebih bisa memahami dan melengkapi.
Tanganku ini sudah menumpahkan banyak darah. Perasaan menyenangkan sekaligus bersalah saat berhasil menembak atau menusuk beberapa lawan. Aku tidak tahu mereka mati apa tidak. Aku tidak peduli. Berkali-kali aku melakukan pengakuan dosa tetapi berkali-kali pula aku ke jalanan membunuh anggota geng lainnya. Bahkan saat itu usiaku baru duapuluh tahun.
Aku tahu Tuhan tidak akan memaafkanku dan aku tak tahu bagaimana caranya meminta maaf yang baik kepadaNya.
Tapi sudah dua tahun ini aku menolak kembali jalanan. Ibuku sakit parah . John ‘memintaku’ kembali. Jadi aku kembali, demi ibu. Tom sudah dewasa, menguasai beberapa usaha ayahnya (sudah sewajarnya kan? Dia yang anaknya) masih tetap memandangku hina tetapi tidak berani berbuat apa-apa mengingat Keluarga Collins sudah tahu reputasiku sebagai anggota geng.
Jadi seminggu sekali aku pulang ke Los Angeles. Hanya untuk melihat Ibuku. John bahkan menyewakanku sebuah flat di apartemen mewah, tapi aku tahu tujuan sebenarnya adalah untuk menjauhkanku dari rumahnya.
Tapi selain itu ada alasan lainnya kenapa aku akhirnya kembali ke California.
Sudah.Drama ini, membuatku muak.
“Aku mau kembali saja.” aku berdiri tertatih. Agak pusing karena mabuk dan mual karena ulu hatiku –kemungkinan— memar.
“Rock,” Matt memanggil nama panggilanku dulu, aku menoleh.
“Kau tahu kan Armando tidak suka kehilangan?”
Aku terdiam, mengangguk sekilas. Aku tahu keluar dari gengnya bukan berarti masalah beres.
Malah mungkin akan muncul banyak masalah.
“Dan…kau tahu kan aku selalu menjagamu?”
Aku tertawa. Memeluk Matt dengan gesture bersahabat “Kau yang terbaik, Matt.”
“I know that.” Matt tersenyum “lanjutkan cita-citamu, boy. I know you can. Go home, you’ll need some rack out –tidur—“
Aku hanya nyengir. Kembali ke pub dimana aku memarkir Kawaii ku.
Jun’s:
Jesse membeli pemisah ruangan.
“Kenapa? Kau kecewa karena tidak bisa melihat tubuh telanjangku, hah?” Jesse meledek saat aku kembali ke kamar tadi. Aku melengos, tidak peduli semua caci makinya.
Yang benar saja, walau aku penyukai pria, aku tidak se pervert itu sampai-sampai semua cowok yang bertelanjang atau di dekatku dalam radius lima meter bisa membuatku bergairah.
Kayak dia yang paling tampan saja di dunia.
Karena aku nggak tahan dengan sikap menyebalkannya, maka kuputuskan saja mencari udara. Benar-benar udara segar. Berjalan-jalan menyusuri kampus malam hari memang memberikan sensasi tersendiri. Kau bisa melihat beberapa binatang malam keluar sarang, seperti burung hantu. Atau melihat dosen yang sering memakai jas saat mengajar, berolah raga malam dengan baju training. Dan yang lebih menyenangkan –sekaligus memuakan— melihat cewek-cowok berciuman di pojok koridor atau semak-semak.
Aku tersenyum getir.
Masa sekolahku aku habiskan di Arizona. dari junior sampai senior high school. Tempat itu panas dan tenang, tidak seramai California. Tapi aku menyukai California.
Tempat ini bisa memisahkanku dengan Ibu walau sementara atau membantuku maju melupakan banyak kenangan menyakitkan di Arizona. Ayah, Robert, dan aku tidak mau ada nama lagi yang akan meninggalkanku.
Ya Ampun, benda cair hangat ini kenapa keluar lagi?
Aku menyekanya. Berharap itu membantu tapi ternyata semakin banyak yang keluar dari mataku. Gila…selain fisik, mentalku ini lemah juga.
Aku berhenti di koridor kampus yang sepi. Menangis di sini nggak apa-apa kan?
“Hei lihat, kita ketemu siapa disini.”
Oh tidak. Masalah.
Senior-senior brengsek. Lima orang yang berlagak dengan ketua mereka Orlando Dalton. Lebih baik mereka membentuk grup sejenis Power Rangers daripada membuat orang lain menderita.
“Mau kemana kau malam-malam begini, Pria Cantik? Ketemuan sesama gay?”
Aku memejamkan mata mencoba sabar. Amerika adalah negara yang bebas dan kaum sepertiku bukan menjadi ‘masalah’ lagi. Tapi beberapa orang menyebalkan seperti mereka ini masih tetap ada.
“Sudahlah Orlando, kau tidak bosan apa mengganggunya?” seseorang dari mereka terkikik.
“Bosan?” Orlando nyengir, lalu lima orang itu sudah mengekerubutin diriku “Tidak, dia enak sekali dijahili. Cowok cantik kayak begini memang untuk dijahili.”
Jadi aku dijahili bukan karena aku gay? Tapi karena aku cantik?
“Aku mohon jangan hari ini…” ujarku memelas walau aku tahu percuma juga aku memelas. Tidak merubah apapun atau membuat mereka tiba-tiba menjadi Bunda Theresa.
“Why not? Ada kencan?” Orlando menekan daguku. Aku mencium bau alkohol yang sengak. Oh tidak… dalam keadaan sadar saja mereka sudah menakutkan, apa yang bisa mereka lakukan jika dalam keadaan mabuk?
“Tidak, aku akan kembali. Jadi, please, biarkan aku…”
“Berani melawan hah?!”
JDUAK
BRUUK
Belum selesai aku meminta mereka secara halus Orlando sudah memotongnya dengan bogem sehingga aku menghantam tembok. Telingaku berdenging.
“Lemah. Berdiri!”
Aku menyeka darah di hidungku. Kelihatannya tulangnya patah. Aku berdiri dengan tatapan nyalang.
Hanya segini saja?
“Kalian masih kalah dengan tamparan Ibuku.” desisku.
“Ibumu? Kau punya Ibu? Kasihan sekali dia punya anak yang salah tempat seperti ini. Apa Ibumu juga cantik? Boleh kami main dengannya?”
“JANGAN KURANG AJAR!!!” Aku menubrukkan tubuhku ke arah mereka. Beberapa terhuyung menabrak tiang atau tempat sampah. Aku terbantu karena mereka sedang mabuk. Orlando bahkan terjungkal.
Senang sekali melihatnya mencium lantai.
“Bajingan!” salah satu dari mereka lalu menerjangku. Langsung mengunciku, menduduki pinggang dan mengunci pergerakanku tangan. Yang lain mengunci kaki.
“Lepaskan, Brengsek!! Mau apa kalian???” aku meronta-ronta tapi tidak bisa. Sakit sekali tanganku ditarik ke belakang seperti ini.
“Buka bajunya. Robek lalu bakar.” Orlando berdiri. Terkekeh masam lalu menyunggingkan senyum iblisnya, Ia lantas berjongkok di depanku
“Mau mencoba punyaku?”
Aku terkejut “Ap.. Apa?”
“Aku tahu kau menginginkannya. Mau coba? Tidak akan membuatmu sakit, kok. Oral saja.”
“Kau gila apa?!!” teriakku. Orlando memang gila. Tapi taraf gilanya kali ini diluar jangkauan nalar. Dia mau mencabuliku di sini? Dikiranya aku mau sama dia???
“Kau sok jual mahal sekali sih.” Orlando segera menjambakku membuat kepalaku nyut-nyutan “kau suka dengan lelaki kan?Kau baru saja ditawari jackpot!”
“Orlando, bukannya kau sudah kelewatan?” teman-teman Orlando yang lain tampak sedikit ketakutan dengan pernyataan Orlando.
“Kenapa? Kalian anggap aku sama dengan bajingan cilik ini? Aku hanya memberinya pelajaran untuk seumur hidupnya. Memperkosanya tidak akan dikenai pidana.” kekeh Orlando “Kalian nggak mau mencobanya juga?”
“Kau butuh ke sanatorium! Kau sakit jiwa!” teriakku. Ada perasaan ketakutan yang amat hebat dalam diriku. Aku tidak mau, bagiku tubuhku hanya milik Robert.
“Kau yang sakit jiwa, Brengsek!” Orlando menjatuhkan wajahku ke lantai. Perih sekali.
Astaga. Sudah cukup. Tolong siapapun selamatkan aku…
“Aku mau lihat seberapa besar punyamu.”
Kami semua menoleh, kecuali aku. Aku mendongak.
Jaket kulit coklat, celana jeans dan sneaker. Bersedekap sambil bersandar.
Damien.
Procyon's : aduh klise banget ya, dalam bahaya ditolong pangeran berkuda putih -____-
terimakasih yang nunggu.... chapter 4 masih di genjot