It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
nice story....
Ini cerita prtama y? Masa sih? Hmmm, agak gak percaya pokoknya hehehe.
Oh ya, aku harus acungi jempol dulu deh buat penulisannya karena km gak asal nulis gitu aja, melek aturan, dan rapi. Sama kyk makan, bicara, atau yg lain, nulis juga ada aturannya jadi salut aja buat kamu yg masih mau peduli sama ketentuan menulis, walaupun masih ad yg prlu dibenerin di beberapa bagian. Hal2 dasar kyak gini biasanya dianggap enggk pnting selama ceritanya nyampe dan tergantung tujuan yg nulis, tapi seenggaknya apa yg udah km dapat di bangku sekolah selama 12 taon +1 semester waktu kuliah gak sia-sia kan? Anggep aja jg seb wujud melestarikan bahasa. #halah. Eh tapi TS skrang usianya brapa y klo boleh tau....
Trus, aku suka banget sama dialognya, terutama Damien sama Orlando. Mgkn karena aku udeh trlanjur suka sama pembawaan mereka yg tenang dan cool kali ya di ‘pandangan pertama’. Tapi, aku bner2 suka sama dialognya terlepas siapa yg ngucapin. Maksudku dari struktur kalimatnya. Udah bisa mewakili penjelasan sebagian gimana karakter atau watak yg ngucapin tanpa gunain kata2 pengenalan tokoh secara langsung. Jadi, Orlando, Damien, Jun, udah ada gambaran karakternya hanya lewat dialog. Keren lah buat kesan pertama.
Oh ya, ini fiksi kan ya? Karena kmren waktu baca prolognya, jujur aja aku udah trtarik sama apa yg mau diceritain. Tapi sempet kekecoh sih sama prolog. Tadi aku ngiranya ini cerita ttg agen2 rahasia atau mafia, atau militer, atau kriminalitas. #khayalan kemana mana. Hahahahaha
Wktu pertma kali baca, ada sedikit yg ganggu. Kalimat2 awal dan bbrapa di akhir kepotong terlalu pendek dan malah ada yg gak bisa dikatakan sebagai kalimat. Contoh : “Robert Franch” atau “Sudah jam sepuluh malam.” ini Cuma subjek dan keterangan waktu kan? jadi mgkn bisa digabung dgn kalimat lainnya aja sebagai pelengkap dan penjelas atau bisa ditambah unsur laen, agak kurang cocok klo berdiri sendiri sebagai satu kalimat, aku pernah jumpai yg kyak gini sih waktu baca cerita atau novel, tapi klo aku pribadi agak gak nyaman bacanya. Ini cuma pendapatku lho ya.
Untuk ukuran narasi di paragraf2 awal, aku bacanya sedikit kurang puas. Mgkn km perlu gambarin suasana dulu kali ya karena di situ km langsung bahas ke ‘main event’-nya. Jadi, aku ngrasa kyak ada yg kurang dan kelewat. Atau mungkin memang kamu klo nulis gak suka basa-basi? Kalo memang seperti itu, ya brrti itu udah style kmu, jadi g da masalah klo gtu.
Apa lagi ya. Sebenernya ada beberapa yg bkin aku gak ‘sreg’ terutama waktu km ngalihin dari narasi yg berisi pikiran tokoh ke narasi yg jelasin keadaan. Mgkn karena km kadang gunain narasi yg sense-nya pasif setelah jelasin ‘pikiran tokoh’. Dulu aku jga sering bikin kyak gini dan aku ngrasa emang kurang pas (lagi, ini menurut pendapatku). Mksudku kyak waktu partnya Jun seperti : “Terseok-seok aku kembali ke asrama junior....” atau “Tatapanku teralihkan kepada kamar senior di ujung....”. Sebenernya gak ada yg salah dgn kalimat2 itu, tapi klo dibandingin, disandingin, dan dihubungin sama narasi sebelumnya, agak kurang ‘pas’ aja ‘sense’nya.
Mgkn hnya itu aja kali ya, sebenernya ada bbrapa detail tapi kurasa lbh baik tahu lanjutannya dulu dan tahu style nulis km dulu deh. Dah masuk daftar list bacaan nih. Jadi, moga bisa update cepet. Unik sih karena bukan cerita di Indo dan tokohnya bukan orang indo, jadi suasananya beda. Pokoknya ditunggu nih.
udah di ambil sama @totalfreak semua.. -_-"
kan diminta ngereview. yg di atas itu aku gak ada kritik sama sekali kok. kalian mgkn ada?
#mendadak serius
ni komen pake hape (karena modem bejat yg i hate slow itu malah bikin hate beneran krna sinyal byarpet) jadi gak bisa mention satu2. Maaf T-T
@totalfreak. Asek..ada editornya selain si zuyy18... Saya gak tau gmana cara/gaya nulis saya ya yg jelas saya nulis apa yg saya pikirkan. Kalo istilahnya Andrea Hirata seperti kena 'trance'.
Ngalir gitu saja.
Ini cerita bl saya yg pertama. Selama ini saya cuma nulis fanfic dan curhatan sih.
Umur? Saya masih muda kok.
Sebisa mungkin saya menghindari typo dan menjaga ketentuan menulis dgn benar biar yg baca juga nyaman.
Terima kasih untuk yg review, yg baca, sekedar baca, atau cuma intip. Semakin ngebut chapter 4
Te es kira2 lanjutannya kapan ya?..
Tidak ada yang se seksi dia.
Gagah, mengkilat, dan tangguh. Dari Jepang.
Dengan mesin 1400cc, dan bisa lari 300km/jam.
“Pacar barumu?” Sebastian nyengir. Mengelus mesin Kawasaki ZX14 milikku. Aku menepis tangannya.
“Jangan sentuh dengan tangan baumu, brengsek.”
“Sialan kau! Lihat saja punyaku nanti!” Sebastian meninjuku sambil terkekeh. Aku tertawa.
Ah, sudah lama sekali kami tidak saling bertemu seperti ini.
Sebastian mengambil coke dari lemari es di bengkel kampus. Lalu memandang motor kesayanganku yang sudah menjadi teman perjalananku sebulan ini “Kau bisa bawa cewek cantik dengan motor ini. Cewek cantik pintar yang nggak hanya kenal penampilan dan mobil tentunya, yang seperti Angelina Jolie.”
Kini ganti aku yang nyengir “cewek mana yang mau naik motor hah? Aku tidak akan mengajak siapapun naik Kawaii ku.”
“Kau bahkan sudah menamainya. Dasar Aneh!”
“Kawaii nama kecil Kawasaki milikku ini. Bahasa Jepang untuk “manis””
“Oh, My Japanese Sweet Heart…” ejek Sebastian “Aku pengen Ducati saja deh.” lalu buru-buru menambahkan “dan tidak akan kunamai. Kayak cewek aja menamai barang seenaknya.”
Sebastian adalah temanku, lebih tepatnya senior ku dulu. Orang inilah yang kupatahkan giginya dan rusuknya saat ‘ritual’ ketika aku masih mahasiswa baru. Semenjak itu memang dia sering cari gara-gara denganku.
Tapi perkelahian kami yang terakhir justru terjadi ketika Sebastian didatangi segerombolan geng yang bersebrangan dengan geng Sebastian. Merasa pertempuranku terganggu, maka aku membantunya menghajar para bajingan itu agar perkelahian kami bisa berlanjut. Tapi takdir memang aneh, yang terjadi malah Sebastian menjadi sahabatku. Walau kadang kami masih suka menyelesaikan masalah dengan saling menghantamkan kepalan ke wajah masing-masing.
Tidak terasa tahun depan dia sudah akan lulus.
Katanya dia dipaksa meneruskan usaha mesin bor milik Ayahnya. Padahal dia ingin keliling dunia untuk memuaskan hasratnya menjadi backpacker. Hahahaha..Rasakan dia. Rasakan bagaimana rasanya ditindas.
“Kulihat Vicky menyukaimu.” Sebastian mengangguk ke arah belakangku.
Aku melihatnya. Cewek cantik dengan rambut ekor kudanya. Mencuri pandang ke arahku lalu segera tersenyum sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke arah motor yang sedang ia betulkan kabel remnya. Aku nyengir.
Victoria adalah teman sesama penyuka motor. Salah satu dari sedikit cewek yang mau bergumul dengan oli dan busi. Atau apapun yang bisa membuat kuku cantik mereka patah.
Oh aku senang sekali jika ada cewek seperti dia bersamaku. Satu hobi, pintar, dan menarik. Tidak akan membuatmu mati bosan dengan menunggunya berbelanja dari satu counter butik ke butik lain. Atau bingung karena harus menerima tangisan meyayat darinya karena merasa bersalah memakan makanan berkalori tinggi. Bukan, Victoria bukan sejenis cewek seperti itu.
Tapi sayangnya, aku hanya tertarik sebatas itu.
Aku sama sekali tidak merasakan hormonku berkerja.
“Bukannya kau juga tertarik padanya?” aku ganti menggoda Sebastian.
“Nah, I never fight for girl with my friends. Biarkan si cewek memilih. Tapi kurasa Vicky menyukaimu.”
“Kuanggap itu pengakuan. Kau memang suka padanya.”
“Oh shut up!” Sebastian mulai kesal dengan godaanku “Kau belum pernah pacaran kan? Gunakan kesempatan itu!”
“Aku memang belum pernah, tapi tidur dengan mereka pernah. One night stand. Easy come easy go. Aku nggak pernah pacaran. Itu membosankan dan membuang waktu.” Aku mengatakan jujur. Memang, aku pernah beberapa kali tidur dengan beberapa cewek. Tidur dalam artian satu ranjang secara sadar tanpa pakai busana. Tapi entahlah, aku melakukannya karena seharusnya aku melakukannya.
Aku memandang keluar bengkel. Memandang seseorang dengan kepala blue print.
Oh bukan. Lebih tepatnya seseorang dengan beberapa blueprint yang menenggelamkan tubuhnya.
Astaga…cowok mungil korban bullying tadi malam. Berjalan terhuyung-huyung mengangkat paper-paper blue print yang tidak sesuai tubuhnya. Aku rasa sebentar lagi dia akan jatuh.
GUBRAK
Nah kan.
Aku tertawa perlahan. Anak aneh itu tidak pernah sadar kapasitas kekuatannya. Kurasa juga ia jarang berlatih mengeluarkan semua kemampuan kelaki-lakiannya. Makanya ia jadi bulan-bulanan anak-anak lain.
Tapi, mau nggak mau aku kagum juga sama keberaniannya tadi malam. Membentak Orlando seperti itu. Mempertahankan ikan konyolnya.
“Kenapa kau tertawa?” Sebastian lantas melihat ke arah yang kutuju “Astaga… Jangan katakan kau tertarik pada Gaysian—sebutan untuk gay ras Asia—itu”
“What?”
aku terkejut. Jujur saja.
“Kau tak tahu? Dia gay. Seminggu setelah hari pertama kuliah
tersebar gossip bahwa dia gay dan sempat punya pacar saat SMA. Keberadaan dia di asrama cukup membuat kontroversi di kalangan mahasiswa. Aku mendengarnya dari anak-anak.”
Aku berdehem,lalu memandang Sebastian antara marah dan serba salah “Lalu kalau dia gay kenapa? Apa lantas jika aku memandangnya aku terlihat tertarik padanya? Aneh sekali pemikiranmu.”
“Kau yang aneh, sedari tadi memandang cowok imut itu dengan tersenyum, tertawa sendiri, nyengir.Jangan salahkan aku jika aku berpikir sepertinya kau tertarik padanya.”
Sebastian menuduh, dan benar.
Aku memang tertarik, tapi bukan tertarik seperti yang Sebastian bayangkan.
Yang benar saja.
“Simpan omong kosongmu. Kalau memang aku tertarik padanya, sudah sejak awal bertemu aku akan mengajaknya tidur di flat ku yang sepi di LA. Atau jika aku gay…”
“Apa?” Sebastian sudah memandangku dengan pandangan mengancam.
“Kaulah pria pertama yang akan kujadikan kekasih.” godaku.
“Bajingan.” Sebastian melemparku dengan botol coke, aku tertawa terpingkal-pingkal.
Aku memandang cowok itu lagi. Sudah berhasil menyusun lagi bawaannya. Berjalan pelan dan hati-hati. Ada perasaan ingin melihatnya sampai ia menghilang di tikungan.
Tapi tidak.
Kenyataan bahwa dia seorang yang bukan hetero membuatku enggan melihatnya lagi. Tapi tidak ada perasaan jijik atau muak.
Cukup. Kawaii ku lebih pantas diperhatikan sekarang.
Jun’s:
“Untuk ukuran mahasiswa baru rancanganmu cukup bagus. Padahal ini hanya rumah sederhana tapi kau mendesainnya dengan melibatkan pengaruhnya terhadap alam sekitar. Perbaiki lagi volume pondasi, maka bisa kupastikan kau akan dapat A.”
Professor James Scott tersenyum. Gurat-gurat wajah tuanya yang gembira itu membuatku lega. Perawakannya yang seperti Kolonel Sanders maskot dari waralaba ayam goreng itu dan sifat periangnya bukannya membuatku takut akan kata ‘professor’ tapi malah membuatku malah menyayanginya –dalam artian seperti Kakekku—
“Baik Prof, terima kasih.” kataku sumringah.
“Oh ya, aku ada proyek membuat green house kecil di belakang kapel kampus. Sudah separuh jalan. Tapi aku takut tidak bisa menyelesaikannya dalam waktu satu tahun lagi. Bulan depan aku harus ke Thailand, membawa beberapa sample tanaman menemani Professor Ellen. Yah, ini memang bukan proyek prestisius, tapi aku mau kamu ikut membantuku mengawasi pembuatannya bersama asistenku. Bagaimana menurutmu?”
Mahasiswa baru, ditawari proyek, dan berpotensi mengumpulkan bekal nilai untuk cum laude.
Bodoh sekali jika aku menolaknya kan?
“Bagus. Besok temui Mr. Anderson. Dia asistenku. Katakan padanya jika kamu punya ide-ide lain. Dia orangnya santai, kok. Ah… Hallo Barnie.” Professor Scott menyambut gembira anjing husky kesayangannya yang menyelonong begitu saja. “Waktuku pulang, aku rasa kau punya potensi dalam karir arsitektur Nak. Aku bahkan sudah berusaha meluluskanmu saat ujian masuk jika yang lain tidak akan meluluskanmu. Kau tahu, papermu tentang taman vertical setiap gedung usang di kota suburban itu hebat sekali. Lanjutkan dan jadikan penelitianmu kelak.”
Aku tersenyum senang.
Kampus ini yang jelek cuma beberapa senior sok kuasa. Tapi di sini aku merasa diterima. Masih ada orang yang menghargaiku dan tidak menganggapku sampah.
Memikirkan itu aku jadi ingat ibuku. Aku malas pulang Natal nanti.
Kulirik jam dinding, sudah sore. Lebih baik aku segera kembali dan mengunci diri sebelum para senior itu berusaha mengerjaiku lagi.
Aku menyusuri lorong menuju asramaku sambil membawa beberapa blueprint hasil rancangan senior tahun lalu untuk referensi. Senior di jurusan desain arsitektur memang bersahabat baik dengan juniornya, apalagi yang mengambil kelas khusus green environment architecture and building. Kebanyakan dari mereka adalah penganut paham go green akut, sebagian malah sukarelawan dari organisasi milik Peace Pilgrim, Greenpeace atau organisasi semacamnya.
“Hei Cantik, won’t you taste my cock?”
Aku menoleh cepat. Segerombol mahasiswa yang tidak kukenal –sejenis mahasiswa yang kuliah cuma buat habisin uang— memandangku sambil terkekeh. Yang baru saja ngomong tadi menunjuk anu-nya.
Pelecehan. Lagi.
Aku tidak menggubrisnya. Kulanjutkan berjalan. Sudah biasa aku diperlakukan seperti itu. Bukan karena mereka tahu aku menyimpang tapi lebih cenderung karena wajah bias—tak bergender— ini. Bukan aku yang minta punya wajah seperti Narcissus, cowok Yunani dalam legenda yang saking tampannya hanya mencintai diri sendiri itu. Itulah mengapa orang pecinta diri sendiri disebut narsis.
Tapi aku nggak narsis dengan wajah ini.
Aku tidak akan memikirkan cowok-cowok gila itu atau yang lain. Membawa paper-paper ini sudah seperti membawa separuh benua bagiku…
GUBRAK
Astaga...
Aku menghela nafas. Separuh kesal. Sial sekali nasibku di sini. Aku segera mengambil lagi paper-paper itu, menyusunnya sedemikian rupa sampai aku dapat mengangkutnya. Bersusah payah bediri sambil mengangkat paper tersebut.
“Bajingan.”
“Hahahahaha…”
Aku mencari sumber suara dan tawa yang keras itu. Tidak sulit, tepat di samping kiriku ada ruangan besar yang sering digunakan anak-anak jurusan tekhnik nongkrong. Suara umpatan dan tertawa renyah itu berasal dari sana, tepatnya berasal dari dua orang cowok seniorku yang bermain-main dengan botol coke.
Salah satunya Damien.
Astaga. Terkadang hidup seperti drama. Semalaman aku berusaha mengenyahkan bayangan setengah telanjangnya (ditambah bayangan dipeluk oleh bayangan setengah telanjang itu) sekarang justru aku melihatnya di sini.
Aku memandang sejenak keakraban dua orang yang tidak mungkin sepertiku itu. Mereka pasti punya gadis mereka sendiri. Terutama Damien.
Tidak, aku tidak mau berharap apa-apa terutama berharap Damien adalah orang-orang sepertiku. Jun Goldstein, seumur hidupmu, hanya ada Robert Franc yang akan menjadi jodohmu.
Walaupun itu berarti kau harus sendirian seumur hidupmu.
Aku tersenyum getir, itu lebih baik daripada berharap sesuatu yang kau tidak dapat menjangkaunya, kan?
Menghela nafas sejenak, kuteruskan langkahku.
Lupakan Damien – beserta tubuh setengah telanjangnya—dan tetek bengek tidak penting lainnya.
I say : SKS---Sistem kebut semalam--- mohon di review seperti biasa... maaf atas beberapa penurunan kualitas.