Title : Trouble
Pairing : Damien Eastwood-Jun Goldstein
Author : Procyon
Rate : Teen. Mature dikit.
Genre : pure/vanilla, hurt, comfort, romance
Warning: Pertama kali bikin. Kalo kritik, saran, kurang berkenan mohon di review. typo, geje, garing English kacau apapun itu Anda sudah diperingatkan .
PROLOG
Aku mencari-cari sosoknya di bekas pabrik sepatu tua di jalanan Phoenix. Dasar Pengecut! Kalau mereka memang punya masalah denganku, harusnya mereka langsung mencari perhitungan denganku, bukan kepada dia!!!
Aku sudah memberitahunya, menjadi sosok yang dekat denganku sama halnya menerjang bahaya. Dia bukan Sebastian yang akan selalu bersamaku dalam bahaya apapun karena fisik perkasanya, atau seperti Matt yang di dalam tubuh krempengnya sudah diasah bertarung ala jalanan sejak kecil. Dia itu rapuh, fisik dan mentalnya. Sosok yang minta dilindungi walau tak harus terucap. Aku tidak ingin dia masuk dalam putaran hidupku yang kacau balau. Tapi ternyata, justru aku yang membawanya masuk ke dalam hidupku.
Dia sudah hidup dalam perasaanku.
“SREEEK”
Aku segera menoleh tajam ketika kudengar suara langkah terseok-seok. Aku hanya mampu menatap dengan tubuh terpaku, rasanya aliran darahku disetiap urat nadi membeku. Berjalan tertatih dari salah satu bekas ruang penyimpanan bahan; kotor, berdarah, lebam, dan ringkih. Namun tatapan penuh ketegaran. Mata yang biasanya takut-takut itu menatap tajam, mengeluarkan kekuatan yang tidak terlihat.
“Jun…” tak terasa mulutku berujap lirih. Anak ini… tidak pernah gagal untuk membuatku terkejut. Sialan! Siapa yang berani membuatnya seperti itu?!
“Hei,” balasnya. Suaranya serak. nyaris hilang. Suaraku malah sudah hilang.
“Am I deserve to be with you?” tanyanya setelah melihatku diam saja. Aku sudah tidak peduli lagi. Aku bergegas merangkulnya sebelum tubuh mungilnya jatuh ke tanah.
“Am I…”
“Yes, you are.” ujarku yakin, “I want you. Nobody’s else. Sekarang tolong jangan bergerak lebih jauh lagi! Kita ke paramedic!”
Tapi tak ada jawaban. Aku segera melihat ke arahnya. Jun pingsan. Badannya dingin dan terlebih lagi ada cairan pekat berwarna merah kehitaman di punggungnya. Luka sayatan. Dammit!!!
“JUN!” teriakku. Memecahkan kesunyian. Aku tidak peduli lagi tentang apapun selain Jun saat ini.
Comments
Damien’s:
Tubuhku lelah. Seharian bergumul dengan mesin, kunci inggris dan obeng membuatku capek. Sudah jam sepuluh malam. Aku melewatkan makan malam tapi badanku sudah ingin mencium kasur. Baru saja aku beranjak menuju lantai dua asrama kampus, aku melihat aula penuh anak. Memang biasanya masih penuh jam segini, tapi ini ‘penuh’ yang aneh.
“Ada apa?” tanyaku kepada salah satu anak terdekat. Aku tak tahu namanya. Hei, lagian kenapa aku harus mengenal semua anak di asrama ini? Mereka bahkan tidak satu jurusan denganku.
“Biasa, ritual.” jawabnya masa bodoh. Aku mengangkat alis. Aku tahu ‘ritual’ itu. semacam pengukuhan untuk mahasiswa baru. Di asrama ini ada tradisi tidak tertulis dimana mahasiswa baru, si freshman year, harus melakukan ritual-ritual khusus agar diakui sebagai penghuni asrama dan agar sedikit dihargai di kampus (kamu nggak akan dihargai secara penuh. benar-benar pembodohan.)
Aku dulu menghadapi ritual tolol ini dan aku mematahkan dua gigi seniorku yang memaksaku untuk bertelanjang sambil menirukan tarian Mick Jagger. Aku dipaksa melepas semua baju, kenyataannya mereka hanya mampu mengeroyokku sambil membuka kausku saja. selanjutnya aku membanting mereka satu-satu lalu mematahkan dua gigi dan tulang rusuk yang dianggap ketua asrama. Yah setelah kejadian itu memang aku sering ditantang berkelahi di kampus oleh si ketua dan aku layani. Terakhir perkelahian kami malah berakhir diluar dugaan.
Ternyata walau si Ketua bodoh itu tidak lagi disini tetap saja tradisi ini masih mengakar.over and over again. Malas deh melihatnya, mending aku mengistirahatkan semua organku.
“TIDAAAAAK..”
Suara teriakan tadi berhasil menahan langkahku. Aku cukup kaget mendengar teriakan ini, suaranya melengking seperti cewek. Aku penasaran dan segera menyingkirkan anak-anak didekatku agar aku bisa meringsek maju.
Heh? Siapa itu? Cewek?
Aku menatap geli sosok mungil yang dikerubungi senior;beberapa senior diatasku dan beberapa satu angkatan denganku. Aku memang sering melihat cewek masuk asrama cowok hanya untuk bercinta dengan pacarnya secara sembunyi-sembunyi (dan terang-terangan saat asrama sepi seperti saat liburan musim dingin) dan aku tidak peduli. Kebanyakan anak disini juga hanya meledek dan membiarkan saja jika memergoki ada yang ML di asrama. Ada juga yang geblek dan kurang ajar menawarkan diri threesome. Tapi tak ada yang bersikap tidak gentleman menjadikannya bahan tontonan seperti ini.
Tapi kemudian aku ragu. Untuk standart cewek Amerika dia jauh dari yang banyak beredar dikampus. ‘Cewek’ ini kecil mungil, pendek, kurus (bukan yang hasil diet ketat makan seledri dan minum air mineral), dada rata, bokong kecil cenderung tipis, dan rambutnya… hmmm… apakah ada cewek Amerika sekarang yang pakai model rambut poni lempar ala band new wave? Itu kan model cowok. Terlebih lagi dia bukan ‘Amerika’. Dia Asia.
“Kalau nggak liat tubuhnya, nggak nyangka kan dia cowok?” senggol Ben. Dia satu kamar tapi beda jurusan denganku.
“Dia… Cowok?” tanyaku terpana.
“Hahahaha.. dasar. Makanya sesekali sentuh tubuh cewek biar tahu mana cewek dan mana cowok. Terlalu lama bercinta dengan mesin membuat hormonmu tumpul.” ejek Ben.
“Bukan itu jawaban untuk pertanyaanku, Sialan! Dia itu cowok?” tanyaku lagi.
“Yaaah… benar. Nggak mungkin kan kita bersikap bar-bar sama cewek seperti itu? Kalo bukan si Pecundang Asia, siapa lagi yang cocok jadi korban bullying?”
“Dasar rasis.” desisku geli. Aku menatap cowok Asia yang sudah setengah telanjang itu. Kulitnya putih. Putih susu yang tidak berbintik atau kemerah-merahan. Bukan juga putih pucat seperti manekin. Benar-benar seperti susu yang sedikit kekuningan yang kuminum setiap sarapan bersama sereal.Dia tidak terlalu sipit (underestimate salah yang sudah kadung melekat : Orang Asia adalah berasal dari Cina.
Padahal tidak semua mata mereka epitalid fold/sipit. Dan Asia itu tidak hanya Cina.) Matanya justru lebar seperti biji kenari dengan ujung ke atas. Bola matanya hitam pekat. Tatapannya sayu namun ketakutan. Alisnya melengkung alami dengan bulu mata lembut yang hitam. Hidungnya tinggi tapi tidak mancung, dan bibirnya tipis.
Untuk beberapa saat pikiranku kosong. Bahkan aku tidak sadar cowok itu sudah dipaksa berpakaian mini dress sambil meronta-ronta seperti mau diperkosa. Entah dari mana mereka mendapat mini dress warna ungu metalik itu. Curiga, mereka dapat dari lemari ibu mereka atau mencuri milik kepala koki yang galak.
Tapi astaga… baju norak itu malah cocok sekali dengannya. Hampir semua anak setuju denganku. Dia tampak seperti... entahlah. Tampak seperti sosok cantik yang tidak bisa dideskripsikan gendernya tapi memiliki aura yang aneh. Seperti pejantan alpha dikawanan betina tapi bukan seperti pejantan. Bidadari… ya bidadari tidak berjenis kelamin. itu saja .
Aku bahkan tidak mampu berkutik ketika anak itu mulai dikerjai lagi.
“Hei Pretty Boy, sekarang untuk menyudahi ini semua, rayu salah satu diantara seniormu. Sampai dia mau menciummu!” perintah Orlando. Dia yang menggantikan menjadi ketua asrama sengak. Malah menurutku dia lebih bodoh lagi dari ketua yang dulu.
“Aku tidak mau..” desis nyalang si cowok cantik itu. Hei, ternyata dia cukup berani juga.
“Really? Baiklah… atau kamu lebih suka akuarium kecilmu ini jatuh berkeping-keping?” Orlando mengangkat akuarium bola berisi ikan mas koki tinggi, seakan mau menjatuhkannya. Wajah si cowok cantik itu panik seketika.
“JANGAAAAAAAN”
“Pilih tantangan atau ini jatuh?”
Si cowok cantik menggigit bibirnya bimbang. Hah, ngapain kamu mempertahankan akuarium itu sementara harga dirimu lebih penting? Beli lagi saja sana di petshop.
“So?”
“Alright! I’ll do that! Please letakkan akuariumku!” teriaknya. Semua bersorak. Orlando dan kawanannya tertawa jahat. Dasar brengsek dan si lemah bodoh. Makanya kamu jadi sasaran empuk penganiyayaan.
Orlando menatapku. Tatapan licik tapi aku tahu sebenarnya dia pengecut. Dia memang menyimpan dendam pribadi karena pacarnya, Barbara, pernah merayuku saat pesta illegal di asrama. Orlando tidak pernah berani menyerangku secara frontal. Hanya pernah menyerempet motorku sehingga spionnya patah, tapi kemudian aku menyerempetnya dengan spion satunya untuk menggoreskan gurat panjang di mobil hitamnya yang mewah.
“Damien… Kemana aja kamu daritadi? Kamu ketinggalan pesta.” serunya (sok) ramah.
Aku diam menatapnya. Mau apa bajingan ini?
“Yah, karena kamu sudah melewatkan sebagian besar acara, nggak adil kalau kamu sebagai salah satu senior yang disegani nggak kebagian kan? Nah, si Pretty Boy ini milikmu! Terserah mau kau apakan. Tapi dia tidak boleh melepaskan dandanannya selama kamu belum menciumnya. Setuju teman-teman?” Semua bersorak riuh rendah. Ben bahkan berusaha menahan tawa.
Akan kubunuh si Brengsek ini.
“Aku tidak pernah ikut permainan bodoh macam ini dari dulu, ingat? Aku bahkan tidak ingat ada berapa gigi yang kupatahkan” ujarku dingin. Semua terdiam. Bahkan Orlando sedikit terhenyak.
“Kau bukan lagi korbannya seperti dulu. Lalu apa sulitnya?” Tanya Orlando menantang.
“Aku tidak pernah merasa jadi korban dari dulu. Maka dari itu aku menjatuhkan mereka satu-satu. Menciumnya bukan hal yang menarik. Aku bisa mencium yang lebih baik dari dia. Barbara misalnya.” Aku malah memancing emosi Orlando. Semua berseru mendengar omonganku.
“Jadi, tidak masalah kan kalau menciumnya? Kau bukan pecundang kan?” kali ini ada nada amarah dibalik senyum ramah Orlando.
“Maaf, seorang gentleman tidak mencium paksa. Kalau kamu memang berpikir kalau mencium cowok seperti dia adalah suatu hal yang jantan, kenapa bukan kamu saja yang menciumnya?”
Kali ini wajah Orlando kaku. Tanpa senyum. Dia termakan omongannya sendiri.
“Oke..” Orlando mulai bicara lagi “Karena kau baru saja ditolak, maka akuariummu ini harus jadi serpihan kecil-kecil.ckckck..sayang sekali.”
Mata cowok itu terbelalak dan berair. Dia menangis “JANGAAAN..TOLONG JANGAAN… JANGAN BUNUH ZOOEY…!”
Astaga… ikan mas seperti itu kan banyak! Ada apa sama anak ini? dasar posesif obsesif. Tapi Orlando malah dengan sengaja menjatuhkan akuarium itu. Membuat bunyi pecahan nyaring ditambah teriakan melengking anak cantik itu. Aku memang merasa konyol sama sikap anak cantik itu terhadap ikan masnya, tapi Orlando itu keterlaluan.
“Ups, sorry. Tangannku licin.” seringai Orlando, lalu setelah itu dia pergi menuju lantai dua bersama gerombolan nggak pentingnya. berangsur-angsur anak-anak kembali ke aktivitasnya masing-masing. Tidak peduli terhadap si anak cantik yang diam terpaku menatap ikannya menggelepar.
Oke. Aku benar-benar tidak tahan.
“Nih,” aku menyerahkan gelas kertas yang selalu tersedia di kran minum. tidak lupa juga kuisi air dari kran. Cowok itu menatapku nyalang. Tampak marah.
“Ikan seperti itu tidak sulit ditemui disini. California cukup hangat untuk ikan tropis.”
“Mereka bukan Zooey.” desisnya tajam.
“Bagiku tidak ada bedanya.”
“HARUSNYA TADI KAMU MENCIUMKU! LALU ZOOEY NGGAK PERLU MENGGELEPAR SEPERTI INI!”
Aku kaget. Dia memang nggak waras ya? Siapa dia berani membentakku? Mana disuruh nyium lagi HANYA DEMI SEEKOR IKAN. Oke, kesimpulannya dia memang gila.
“Jangan macam-macam! Cewek betulan aja nggak akan membuatku nafsu apalagi kamu. Lagian si Orlando akan tetap memecahkan akuariummu walau aku bersedia menciummu.” ujarku datar. Aku segera mengambil Zooey yang masih menggelepar lalu memasukannya ke gelas.
“Besok beli akuarium yang baru. lalu sembunyikan.” aku berlalu ke kamarku. Aku sudah capek dan ulah Orlando serta ketololan anak dungu itu malah membuatku pusing. Kedua manusia itu memang sakit mental dalam kajian berbeda. Dan aku yang nggak mau berhubungan sama orang macam mereka malah jadi korban.
Yah, anggap saja kesialan sebelum tidur.
Jun’s:
Tidak akan kubiarkan siapapun menyentuh Zooey . Bahkan jika aku harus menyerahkan diriku kepada anak-anak bajingan itu.
Terseok-seok aku kembali ke asrama junior, setelah sore tadi aku dipaksa –lebih tepatnya, diseret-seret—menuju aula milik gedung para senior. Aku sudah tahu akan berakhir seperti ini.
Imunitasku akan pelecehan seperti ini memang luar biasa. Menyedihkan.
“Zooey, maaf besok akan kubelikan rumah yang baru…”
“Dasar aneh,” desis Jesse, teman satu kamarku, sambil menatapku jijik. Tapi aku tidak peduli. Aku tidak peduli jika ada yang mengatakan aku butuh ke psikolog atau mengalami
keterbelakangan mental.
Tapi Zooey adalah segalanya.
Pemberian Ayahku yang berharga.
Ayah, sudah setahun bercerai dengan Ibuku. Meninggalkanku karena sudah tidak tahan dengan perlakuan Ibu yang sadis terhadapku. Aku sudah diajak berkali-kali untuk ikut tapi aku merasa tidak rela meninggalkan Ibu. Bagaimanapun Ibu adalah Ibuku. Aku takut jika meninggalkannya dia akan semakin frustasi. Lalu …Ah aku tidak mau memikirkannya.Jadi Zooey adalah hal yang mampu membuatku bertahan walau dia hanya ikan. Dia yang selalu kuajak bicara saat Ibu selesai menyiksaku dengan tamparan bertubi-tubi atau cambukan dengan tongkat kayu.
Walau Zooey hanya megap-megap saja sih kuajak bicara…
Namun ayah yang tidak bertahan. Ia meninggal karena kecelakaan tiga bulan lalu. Jadi aku selalu mempunyai pikiran Zooey adalah pengganti Ayah.
Aku memandang gelas karton yang tadi diberikan senior tadi.
Dia cukup baik, tapi aku tidak suka kata-katanya terhadap Zooey. Dia pikir semua ikan itu adalah Zooey ku apa?
Aku memandang keluar jendela. Diseberang adalah asrama senior. Memikirkan senior-senior busuk tadi ingin kubakar saja mereka di sana. Mereka tidak pantas disebut senior. Apa semua American selalu begitu dengan yang lain ras? Kenapa sih mereka nggak mau sadar kalau mereka lah yang ‘menumpang’ di negara ini. Bukannya dari dulu negara ini sebenaranya milik kaum Indian?
Ah sudahlah… aku kan juga numpang di sini.
Aku, Jun Eichi Goldstein. Ayahku adalah orang Inggris , dan Ibuku seperempat Jepang kebanyakan Austria. Tapi entah kenapa, aku malah mewarisi sebagian besar gen Asia walau aku sendiri bisa bilang aku nggak sipit. Aku sering di bully sejak SD oleh teman-temanku. Kadang malah berbau sexual harassment yang untungnya tidak pernah berlanjut lagi saat aku dengan berani menyilet tanganku sendiri untuk menakut-nakuti mereka. Walau akhirnya aku harus dibawa ke rumah sakit.
Kata mereka aku adalah anak yang salah dititipkan Tuhan.
Seharusnya aku terlahir perempuan, bukan laki-laki. Secara fisik otot ku tidak berkembang. Aku ramping dan terlalu bersih untuk ukuran pria. Tapi aku tidak peduli.
Tatapanku teralihkan kepada kamar senior di ujung paling atas. Masih menyala. Aku terkesiap. Itu kamar senior bernama Damien. Senior yang tadi menyelamatkan Zooey –walau sebenarnya dialah penyebab Zooey dijatuhkan—
Dan senior Damien itu belum tidur.
Bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana piyama. Bergelantung di palang atas pintu naik turun. Dia olahraga sebelum tidur? Konyol sekali menurutku. Seharusnya kau tidur dengan bersih, bukan berkeringat.
Damien masih berlatih. Otot-ototnya mengembang, terlihat menonjol tetapi bukan seperti binaragawan. Lebih seperti… pahatan patung Yunani. Hanya saja berkulit kecoklatan dan berkeringat.
Dan aku terus memandangnya.
Lebih tepat sambil mengaguminya.
Ada perasaan aneh dimana perasaan itu seperti ‘aku kagum bukan karena ingin memiliki tubuh ideal seperti itu’. Ada perasaan aneh lainnya. Perasaan yang untuk beberapa saat membuatku tersengat hebat. Menjalar dari bawah.
Astaga.. aku tahu perasaan ini.
Aku memikirkan bagaimana tubuh itu memelukku dan mendekapku dari belakang.
Tidak. Tidak.
Aku tidak mau perasaan ini muncul lagi. Cukup hanya kurasakan saat bersama Robert. Aku tahu, aku memang memiliki orientasi yang menyimpang. Aku rasa karena ketidaksukaanku terhadap perlakuan Ibu mempengaruhi nafsuku terhadap lawan jenis.
Aku mencintai sesama pria. Itu jelas bukan?
Dan aku tidak pernah menyesalinya. Hanya saja aku hanya ingin menjalaninya bersama teman SMA ku. Robert Franc. Hebatnya dan beruntungnya aku, dia menyambut perasaanku. Takdir memihakku kala itu, dia juga tidak berorientasi menyukai cewek.
Aku mencintainya, dan dia mencintaiku dua kali lebih besar. Aku ingat pertama kali kami kencan. Bioskop dengan film super hero. Lalu kencan selanjutnya di restoran, mall, menyusuri jalanan dan kencan kesekian kalinya dia mengajakku ke tebing. Memandang pemandangan Arizona yang tandus dengan bintang diatasnya. Lalu kami berciuman. Seperti biasa, dia menciumku lembut di awal dan berlanjut dengan gairah.
Hanya saja malam itulah kami tidak menghentikan dan melakukan itu untuk pertama kalinya.
Keperjakaan kami hilang, lucu sekali mengucapkan kalimat itu sebenarnya. Tapi membahagiakan.
Tapi tidak membahagiakan lagi saat ini.
Robert tidak di sisiku lagi. Menguatkanku, mencintaiku, atau ada untukku.
Aku terfokus lagi pada Damien. Ia selesai. Menyesap air putih dan merenggangkan otot. Beranjak tidur. Buru-buru aku menutup kordenku. Tidak ingin ia tahu ia sedang diamati oleh juniornya yang berpotensi membuatnya jijik.
Aku juga tidak mau memiliki perasaan cinta lagi terhadap manusia manapun. Cukup Robert.
Ya, hanya Robert saja.
AUTHOR'S: sebelumnya prolognya sudah di post di akun temen saya. tapi kemudian saya memutuskan bikin akun sendiri. thank you zuyy18
silakan dinikmati guys!
@callme_DIAZ @4ndh0 @Gabriel_Valiant @Adhi48 @arieat @chibipmahu @tyo_ary @andhi90 @masdabudd @Silverrain @idhe_sama @totalfreak @yuzz @Dhika_smg @greenbubles
@androfox @afif18_raka94 @Obay @Venussalacca @Adam08 @Just_PJ @YuuReichi @Duna @egosantoso @Tsu_no_YanYan @sasadara @half_blood @Sicnus @bocahnakal96 @wiraone @AjiSeta @galau_er @pyolipops @Ryuzhaki @mr_Kim @rebelicious @riohan
lanjut!!!
@zuyy18 makasih udah di mention
@zuyy18 makasih udah di mention
ditunggu kelanjutannya
ditunggu kelanjutannya