It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
semoga minggu depan bisa apdet banyaaaaaaak dan panjaaaaaang.
Terima kasih atas perhatiannya, ganteng selalu
btw minggu depan akikah pulang..
Yaaaaaa....padahl dah q tungguin.
Kecewa daahhhh
animons ya hahahaha
kok aku malah 'nangkep'nya,,, ini Sam ya?
cuma kutip doang malahan.. -___-
sms aje ye, kalo iya bsk ane mau muter jg cari titipan orang2..
Aku memandang jalanan Phoenix. Tempat ini dulu sangat dekat denganku. Namun sekarang tampak asing. Aku menghela nafas. Membiarkan taksi berjalan semakin dekat dengan tujuan.
Aku tahu, ini memang sepadan dengan keselamatan Victoria.
Victoria tidak ada hubungan apapun dengan hal ini; dia hanya berada di waktu dan tempat yang salah.
Aku dan Matt menemukan Victoria di kamar nomor 4176. Tertidur dengan nyenyak. Aku dan Matt mengasumsikan bahwa dia direcoki semacam obat bius atau obat tidur.
Kami menunggu sampai Victoria sadar. Dan sudah kami duga ia langsung kebingungan. Setelah ia sadar penuh dia bercerita saat akan menuju ke pesta ultah, tiba-tiba ada yang membengkapnya dari belakang. Ia tidak tahu apapun selama dia tidak sadar –itu wajar— dan terkejut mendapati aku dan Matt sudah menungguinya di sebuah hotel keluarga, atau lebih mirip motel murah di nomor kamar 4176.
Aku menceritakan kepada Victoria apa yang terjadi, yang sebenarnya. Aku berharap Victoria bisa menjauh dariku setelah ini. Aku tidak ingin apapun terjadi padanya.
Tapi Victoria justru mengepalkan kedua tangannya “Aku tidak suka ini! Mereka tidak tahu ya aku inipernah ikut jeet kune do!? Akan kubalas perbuatannya”
Aku dan Matt berpandangan dengan bingung.
“Woohoo, maaf Nona, yang kau hadapi ini sebuah geng… Ini tidak seperti film Bruce Lee.” Matt menenangkan Victoria. Tapi Victoria justru mendamprat Matt. Matt menekan keningnya yang berkedut-kedut.
“Calm down, Miss… don’t get mad over here…” Matt tetap berusaha tenang.
“Kau! Karena kau salah satu dari mereka, katakan kepada mereka untuk tidak meremehkanku!”
“Aku tidak meremehkanmu Nona…” Matt lalu memandangku dengan tatapan minta tolong.
“Vic, kita harus bergegas pulang.”untunglah Victoria menuruti kami, tapi tetap saja menggerutu tidak karuan. Matt memutar bola matanya “ingatkan aku untuk tidak mencari istri seperti dirinya.” Matt berbisik ke telingaku. Membuatku tertawa geli.
Mungkin aku butuh wanita seperti Victoria yang tidak akan pernah takut akan bahaya. Tapi kehidupannya tidak akan aman. Aku hanya ingin mempunyai istri yang bisa treat her like a Queen. Bukan partner to survive.
Atau mungkin saja aku tidak ingin punya istri.
Setelah aku membawa pulang Victoria dan meminta maaf berkali-kali, Victoria berterimakasih karena telah menyelamatkannya. Dia bilang dia tidak takut jika terjadi lagi kepadanya. Dia mulai berpikir untuk membeli stunt gun dan mempelajari jeet kune do-nya lagi.
Aku tidak menyelamatkannya, mungkin bisa dibilang akulah yang menyebabkan hidupnya menjadi tidak aman.
Ngomong-ngomong soal meminta maaf, aku bahkan belum meminta maaf kepada Goldstein.
“Kau yakin ini tempatnya Nak?” sopir taksi tua keturunan afro itu berhenti di depan sebuah gang kosong yang dingin dan berasap. Aku mengangguk dan memberikan beberapa lembar dolar kepadanya.
“Kembalianmu Nak.”
“Tidak, Anda ambil saja.” aku buru-buru keluar, tidak mempedulikan teriakan sopir taksi yang lantang “Tuhan memberkatimu Nak!”
Ya, aku memang ingin berkat Tuhan sekarang.
Di gang sempit itu, berjalan sekitar setengah kilometer, ada sebuah tempat luas yang cukup ramai sebagai pusat kehidupan malam. Aku memasuki sebuah pub kecil tetapi mewah di jalanan itu. Walaupun kecil, ada beberapa mobil mewah yang terparkir layaknya valet hotel.
“Ah, lama tak melihatmu Rock.” seorang penjaga nyengir kepadaku.
“Aku ada perlu dengan Armando.”
“Dia di tempat biasa.”
Aku menyusuri pub yang berisi orang-orang menari dengan liar. Beberapa perempuan melihatku dengan tatapan menggoda. Tempat ini tidak berubah. Tetap temaram dan hingar bingar. Beberapa penari setengah telanjang –pria dan wanita— menari dengan erotis di dalam sangkar. Aku dulu sudah biasa melihat yang begini ini, bahkan ketika aku masih terlalu dini untuk masuk sebuah pub.
Aku menuju ke ruang belakang. Tampak terpencil dari hingar bingar musik dan keramaian di ruang utama. Tapi di sinilah tujuanku.
Ada sepasang penjaga, aku mengenal mereka.
“Maaf Rock, tapi aku harus menggeledahmu.” seorang penjaga, Broom, menggeledahku dan aku hanya mampu mengangkat tangan. Aku yakin dia tidak akan menemukan apapun. Aku meninggalkan FN ku.
“Masuklah, Armando menunggumu.”
Aku memasuki pintu besi besar itu. Rasanya seperti memasuki gerbang neraka.
Aku mendapati beberapa wajah yang kukenal maupun wajah baru.
Dan aku mendapati wajah baru yang kukenal.
“Kaget bertemu denganku, Damien? Atau kupanggil saja kau Rock?” Orlando tersenyum sambil ditemani beberapa wanita sexy. Aku memang terkejut. Anak ini memang menyebalkan dan jahat, tetapi aku tidak pernah berpikir dia terlalu berani atau bengis jadi seorang anggota geng.
“Hmm tampaknya kau bisa juga membuatku terkejut.” aku tidak berurusan dengannya, masa bodoh dia ingin jadi anak buah Armando.
“Aku tidak tahu kau ternyata punya masa lalu yang hebat seperti ini. Pantas saja aku tidak pernah bisa mengalahkanmu.” ternyata anak ini memang niat membuatku kesal.
“Dan aku jadi tahu masa depanmu akan bagaimana.” aku menjawabnya dengan santai.
Orlando tertawa, seakan aku baru saja memberinya lawakan yang lucu sekali “Oh, aku lupa. Maaf soal kekasihmu. Aku ingin sepertimu, punya kedudukan di dunia hitam. Jadi aku dengan sangat terpaksa, memberi tahu Armando soal cewek manis berkucir kuda yang suka motor itu.” Orlando berkata dengan nada seolah penuh penyesalan. Aku berbalik.
Keparat!
BRUK
Aku segera menerjang Orlando, memukulkan beberapa bogem ke arahnya. Perempuan-perempuan yang mengelilinginya memekik dan berteriak. Segera saja aku merasa tubuhku ditahan oleh beberapa orang.
“Tenangkan dirimu, Rock!”
“Tolong jaga sikapmu!”
Aku tidak peduli. Orlando adalah salah satu orang yang ingin kulempar ke Samudra Artik.
“Hentikan!”
Suara serak dan dingin muncul. Armando menatap kami sambil merokok. Bukan cerutu, dia lebih suka rokok. Tampak garang seperti dulu dengan setelan jas hitam dan kemeja putih. Hanya beberapa uban yang ditata sedemikian rupa sehingga menampakan kesan lelaki paruh baya yang berbahaya.
Orlando nyengir, tersenyum mengejek sambil membetulkan jasnya. Tampak senang melihatku di tahan beberapa orang. Aku ingin menggilas wajah sialannya itu.
“Dan kau anak baru, aku tidak suka gayamu. You just like a piece of shit.”
Orlando menciut, dia berdehem pelan. Tampak merah padam karena malu dan kesal. Aku tahu beberapa kenalanku dan beberapa orang yang tidak kukenal menahan tawanya.
Hah, dia anggota yang tidak disukai ternyata.
“Selamat datang Rock, anakku.” Armando menghampiriku dengan tongkat jalannya yang terbuat dari metal gelap yang diukir dengan indah. Lalu dia memelukku.
Tapi selanjutnya dia menamparku.
Ngilu tetapi tidak sakit. Telingaku berdenging.
“Kau mau lari? Kau mau lari dariku? Kau tahu itu tidak mungkin.” Armando mendekatkan wajahnya dengan tatapan ganas.
“Aku tahu.” jawabku tenang.
“Aku suka wajahmu yang tidak pernah takut itu.” Armando memanggil salah seorang wanita mudanya, lalu wanita itu membawakannya anggur. Mewah, tua, dan mahal. Buatan Prancis. Aku tahu Armando suka citarasa mewah seperti anggur Prancis atau Spanyol “bawakan anakku ini bir. Dia suka bir.”
Dia juga tahu seleraku.
“Lalu apa maksudmu menghindariku dan tidak memberi kabar?” Armando duduk di sofa berlengan mewah dengan beludru marun. Aku duduk di hadapannya.
“Aku ingin berhenti.” jawabku tetap tenang. Jangan menampakan wajah ketakutan. Armando membenci pengecut. Lagipula aku juga tidak takut.
“Kau tahu kan aku tidak suka kehilangan?” tanya Armando.
“Kau punya yang baru.” jawabku mengedikkan dagu ke arah Orlando yang sedang menikmati minumannya sambil sesekali menatapku.
“Jangan iri.” Armando tertawa. Siapa yang iri? AKu justru bahagia sekali jika si bodoh itu menggantikan tempatku “dia jauh dibawahmu. Kerjaannya hanya petantang petenteng di belakang anggota yang lain.”
Sudah kuduga, sih.
“Kau benar-benar ingin keluar dariku?” tanya Armando serius. Aku meminum birku, mengiyakan. Armando langsung membalik meja dihadapan kami dan memporak porandakan yang ada di atasnya. Armando marah tapi aku tidak akan lari lagi darinya.
“Keparat kau!” hardik Armando. “Kenapa kau ingin keluar hah? Setelah apa yang aku lakukan padamu?” Armando mencengkram kerahku. Aku tidak melawan. Aku tahu dia benar, aku yang tidak bisa berterimakasih. Tapi aku ingin kebebasanku sendiri.
“Kau tahu kan? Loyalitas atau mati.”
“Kau gila apa?!” aku bangkit, segera ditahan oleh beberapa orang. Armando tertawa.
Apa? Kenapa pilihannya jadi sesulit itu? Beberapa anggota yang kukenal lama menahan nafas, tampak ingin membela. Orlando tersenyum simpul. Aku menghela nafas. Apa yang diinginkan orang ini benar-benar membuatku kebingungan saat ini.
“Kau memilih tetap bersamaku? Atau kau memang benar-benar ingin ma—“ tiba-tiba Armando berhenti, salah seorang anak buahnya berbisik sembari memberinya telepon.
“Dari Paris, Armando.”
Armando segera menerimanya. Ah sialan sekali. Di saat begini, hal seperti menerima telepon bisa membuat waktu eksekusi semakin menegangkan.
Armando menatapku. Wajahnya antara kesal dan serba salah, lalu ia mengakhiri teleponnya.
“Kau adalah anak buahku yang paling bisa kuandalkan. Kau benar-benar ingin bebas dariku?”
“Tentu saja.” jawabku. Yakin sekali akan jawabanku.
Armando menghela nafas lalu menghisap rokoknya sebentar “kalau begitu sediakan uang sepuluh juta. Kau akan bebas.”
“Itu mustahil!” aku terbelalak.” Ini namanya pemerasan”
“Aku belum selesai.” Armando melanjutkan “Atau kaubayar dengan menjadi anak buahku lagi selama tiga tahun kedepan. Selanjutnya aku punya rencana kecil untukmu.”
Rencana kecil? Rencana kecil bagi Armando masalah besar untukku.
“Apa?” tanyaku. Armando, seperti biasa, tertawa dengan wajah penuh rahasia.
“Kau tak perlu tahu, cukup mengiyakan atau menolaknya kan? Itu sudah tawaran terbagus. Tapi kalau kau ingin mati..”
“Baiklah.” Aku segera menyahut. Aku tidak ingin mengambil resiko hidupku berakhir begitu saja. Bagaimanapun aku manusiawi, aku takut mati. Aku bukan superhero yang rela mati demi prinsip yang mereka anut. Tiga tahun… Oke, tidak akan terasa. Hanya saja ‘rencana kecil’ Armando lah yang membuatku tidak tenang.
“Jadi?” tanya Armando dengan seringai penuh kemenangannya. Aku menatap matanya tajam.
“Aku akan mengambil yang tiga tahun, tapi jika dalam waktu itu aku bisa menyediakan 10 juta, bebaskan aku.”
“Sepuluh juta itu sudah jumlah yang murah Rock.” ujar Armando. Bagi bos mafia sepertinya, sepuluh juta bisa untuk sekali makan malam saja di Maldieve. Tapi untukku itu mungkin hidupku bertahun-tahun.
“Jangan bandingkan dirimu dan diriku Armando.”
“Oh kalau kau mau bersabar beberapa tahun kau akan sepertiku.” Armando meminta dibawakan anggur lagi karena gelasnya sudah pecah akibat emosinya.
Aku menghela nafas, aku tidak mau sepertinya. Aku tidak mau membunuh orang lagi dan aku tidak mau membuat orang lain saling bunuh dengan perdagangan senjata illegal. Dan aku juga tidak ingin menjual para gadis-gadis di bawah umur untuk bisnis prostitusi. Aku juga tidak ingin menjual berbagai obat. Aku ingin hidup normal; punya keluarga, melihat super bowl, dan barbeque di akhir pekan. Kadang memancing di akhir bulan.
Bukan yang harus menumpahkan darah orang tidak bersalah.
“Ini sudah kesepakatan kita kan? Boleh aku pergi?” Aku tidak tahan di sini lama-lama.
“Kau sudah ada tempat tinggal? Menginaplah di hotel yang kau suka. Aku yang bayar.”
“Aku memilih tinggal di kereta malam.” aku membalikan badan. Menganggukan kepala kebeberapa kawan lama yang masih menganggapku kawan atau yang sudah menganggapku ‘abu-abu’.
Aku mengambil kesimpulan; perubahan sikap Armando yang tadi seolah ingin segera melenyapkanku sampai akhirnya memberiku kesempatan (walau kesempatan yang ia berikan sungguh menyebalkan) pasti ada hubungannya dengan telepon dari Paris tadi. Entah siapa dan apa pembicaraan di telepon itu pasti membuat Armando bisa merubah keputusannya dengan cepat.
Aku menarik pintu gelap yang akan mengeluarkan dari tempat ini, untuk sementara. Tapi itu akan sangat berharga. Orlando menyahut dari tempat duduknya ketika aku akan keluar.
“Mulai sekarang, mari bekerja sama, ‘partner’.”
Aku mendengus “Kita tidak ditakdirkan untuk itu.”
Partner katanya? Yang benar saja.
Jun’s:
Aku memandang Tom dengan lelah. Latihan teknik mempertahankan diri dari Gabriel membuat tenagaku lenyap. Aku duduk dan meminum sportdrink ku. Aku memandang tasku, aku sudah menyiapkan makanan untuk Tom dan Gabriel. Aku tidak bisa masak, tapi aku bisa membuat sandwich daging (mungkin cuma itu keahlianku) sebagai makan malam mereka sekaligus rasa terimakasih karena memperbolehkanku latihan dengan iuran separuh harga.
Tapi sebenarnya aku juga membuat untuk Damien, itupun kalau dia mau. Aku tidak bertemu dengannya sejak insiden kapel itu, tapi bagaimanapun aku juga harus basa-basi untuk antisipasi jika bertemu dengannya di gym. Tapi kelihatannya dia tidak kemari.
Ada perasaan lega dan kecewa.
Aku sudah membuatkan untuk Sam saat kami mengerjakan proyek green house. Dia senang dengan makananku, walau aku cukup krisis percaya diri juga mengingat omelettnya kemarin lusa sungguh sangat lezat.
Arrrrgh… Kejadian dua malam lalu membuatku kalut lagi!!!!
Aku berasumsi bahwa Sam tahu aku menembaknya secara sungguh-sungguh. Aku tahu dia menolaknya. Tapi dia membuatnya seolah-olah itu gurauan. Sam terlalu baik, ia tidak ingin aku sakit hati. Tapi aku rasa jika aku bilang pada Sam “aku sungguh-sungguh” Sam pasti menjawab dengan serius. Dan itu akan membuatnya tersiksa juga kan?
Kurasa hubungan antara aku dan Sam saat ini sudah cukup.
Aku tidak mau ada kecanggungan. Sam bahkan tidak menunjukan perasaan risih. Dia bersahabat, seperti biasa.
Tampaknya bagi Sam, semua cowok dan cewek masuk friendzone nya. Dia tidak ada minat punya hubungan romantis (sesama cowok) lama-lama. Baginya dia ini bebas. Liberalisme yang terlalu bebas menurutku.
Apa salahnya terikat? Bukannya siapapun suka terikat karena cinta? Bahkan orang-orang seperti aku dan Sam?
Memahami jalan pikiran orang lain memang sungguh memusingkan.
“Kau tidak melihat Damien?” Tom sudah selesai latihan, dia mencopot pelindung kepalanya. Bola matanya sungguh lugu sekali.
“Tidak, dia tidak memberitahumu kemana?” tanyaku balik. Aku bahkan sebenarnya berharap tidak bertemu dengannya. Membuat sandwich untuknya hanya untuk basa-basi. Camkan itu kalau perlu digaris bawahi.
Tom mengangkat bahu kecilnya.
“Kau mau sandwich?” aku menawari Tom. Seketika wajahnya berubah menjadi beringas dan tampak tidak dapat menahan air liurnya.
“Maaauuuuuu!!!” lalu dia mencomot satu. Lalu tiba-tiba wajahnya berubah aneh, agak horor “Ugh… ini daging? Aku tidak suka…”
“Kau tidak boleh menyia-nyiakan makanan. Berterimakasih kepada Jun yang sudah membuatkanmu.” Gabriel berdiri di belakang Tom, “aku ambil satu.”
“Ambil sesukamu.”
“Aku suka yang kemarin, sandwich keju.” Tom masih protes, tapi tetap memakan punyanya lambat-lambat.
Aku tertawa dengan sikap anak kecil ini, dan sikapnya sedikit mengingatkanku kepada Damien. Dan mengetahui Tom akan seperti Damien membuatku sedikit khawatir. Usia sekecil ini dia bisa melukai orang lain, kalau dia sebesar Damien?
Entah apa yang dilakukannya. Tapi semoga dia hanya menjadi atlet tinju yang baik hati. Amen.
“Damien akhir-akhir ini bersikap aneh, kau yakin tidak mengetahui ada apa dengannya?” tanya Gabriel. Kalau misal mengataiku kotor dan membekapku di kapel bisa kuceritakan, apakah itu bisa memuaskan rasa penasaran Gabriel?
“Aku tidak tahu, sebenarnya aku kurang dekat dengannya.” ujarku.
“Kurang dekat?” Gabriel mengangkat alisnya “Kukira kalian sahabat. Damien tidak pernah membawa siapa pun kemari. Kau yang pertama.”
Haruskah aku tersanjung akan hal itu?
“Aku tidak tahu. Mungkin baginya aku hanya perlu latihan fisik tambahan.” ujarku.
Gabriel tidak menjawab, ia menghabiskan sandwichnya. Aku rasa dia butuh beberapa untuk dibawa pulang.
Aku melihat jam, sudah pukul sepuluh, saatnya aku mandi dan kembali ke asrama. Aku menuju ke ruang shower, membawa baju ganti. Tom segera mengikutiku. Dia terus mengoceh tentang sekolah dan pelajaran luar kelasnya ke museum yang menyenangkan. Aku rasa bagi Tom yang menyenangkan dari museum adalah dia dapat berlarian di antara tulang-tulang dinosaurus atau hewan aneh lainnya tanpa takut tersenggol. Karena yang aku tangkap dari kalimatnya adalah “Aku bisa mengejar Dennis diantara brontosaurus! Hebat bukan?”
Aku membuka bajuku dan segera bertelanjang dibawah shower. Tom menyusul di samping dengan ekspresi anak-anak yang menyukai air. Dia masih mengoceh di sela-sela mandinya.
Aku masih mendengarkan Tom, gemercik air, dan pikiranku kosong ketika aku menyadari tiba-tiba Tom kakinya selip saking semangatnya mandi dan jingkrak-jingkrak menirukan langkah kaki salah satu dinosaurus— yang tidak jelas namanya—dan aku segera reflek menolongnya.
“Kau tidak apa-apa?” tanyaku. Jantungku rasanya hilang.
“Jun hebaaat…” pujinya, seperti aku ini superhero saja.
“Ini bukan saatnya untuk kagum Tom.” aku merasa jengkel. Aku segera keluar dari shower dan entah kenapa aku merasakan tubuhku melayang.
Kini gantian kakiku yang selip.
Kepalaku menabrak lantai dengan sukses, pening hebat dan segala yang kupandang berubah hitam lalu putih. Aku masih mendengar Tom samar-samar berteriak-teriak memanggilku lalu berteriak keluar meminta pertolongan.
Hei dia belum pakai baju, ah… sialan kenapa aku masih memikirkan hal itu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, mataku berat, badanku tidak bisa digerakkan, dan hanya ada hitam lalu putih. Tetapi aku dapat merasakan seseorang segera membopongku dan memakaikan handuk disekitar bagian bawah.
Aku tidak tahu siapa, tapi yang jelas orang ini segera melakukan CPR. Pertolongan pertama, menekan dadaku kuat-kuat. Memaksakan jantungku berdetak. Hei, aku tidak merasa kehilangan detak jantungku kok…
“Sadarlah!!” orang itu memanggil-manggilku.
Keparat, rasanya sulit sekali membuka mata.
Lalu nafas buatan, aku tidak tahu apa aku memang sudah kehilangan nafas atau belum. Tapi tampaknya aku jatuh di lantai shower menyebabkan hal yang parah pada diriku sendiri. Udara panas mengalir melalui tenggorokanku.
Aroma parfum cendana dan nutmeg. Aroma ini pernah kurasakan sebelumnya.
Aroma di kamar Damien.
Procyon says: akhirnyaaaaa.... main ke rumah @yuzz numpang oplod. thanks ya SEKALI LAGI, bagi yang kurang berkenan dengan gambar karakter yg saya buat, jangan hiraukan saja
@masdabudd wekkk