It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
setuju... Ja mez belum dewasa... Lagi gak ada masalah enak sekali menghamburkan kata2 rayuan pulau kelapa, begitu ada masalah, sifat kanak2 manja nya keluar semua... Nando sebenarnya cuma melindungi windra dari ja mez yang masih edan eling...
atau crita lepas getoo..
******NANDO POV******
“Siallll” kulihat tanganku berdarah, tapi rasanya tak sesakit apa yang ku rasa di dadaku, di dadaku terasa seribu kali lebih sakit dari pada tanganku yang baru saja ku adu kan dengan cermin di kamarku
“Ahhhhhhhhhhhh” teriakku sekeras-kerasnya, tak mau aku pedulikan apa-apa lagi, rasanya kemarahan ini sudah terlalu memuncak, aku muak dengan ini, aku benci dengan keadaan ini, rasanya ingin aku berteriak dengan sekencang-kencangnya sampai taka da lagi suara yang keluar.
“Nando, kamu kenapa sayang?” terdengar suara mama dari luar, mama sibuk mengetuk pintuku, tapi aku tak mungkin terlihat seperti ini
“Nggak ma, Nando lagi latihan drama” jawabku asal
“Ohhhh dasar kamu ini, mama kira ada apa, jangan latihan malam-malam, cepat tidur sana, besok kamu kan mau ke rumah sakit” pesan mama, aku terpaksa membohongi mamaku
Rasa kesal, marah, iri dan benci berkecamuk di dadaku saat ini, andai saja tadi memungkinkan, sudah pasti wajah anak sialan itu sudah tak lagi berbentuk
“Selama aku masih hidup, kamu tak akan bisa bahagia, JAMES” kataku sambil memandang lekat ke cermin yang pecah akibat tinjuanku barusan
Ku lihat bayangan di depan, sosokku kali ini tergambar antagonis, senyum itu, senyum yang di penuhi dengan amarah, melihat lelaki itu memeluk nya, melihat orang yang membuat sengsara Boni hari ini sedang bahagia dengan lelaki yang telah mencuri hatiku.
Bagaimana caranya senyum tulus itu dapat terukir di bibirku, yang ada hanya kepedihan dan amarah yang membentuk senyum itu dengan misteri. Amarahku kian memuncak melihat sebuah bingkai foto yang terletak di meja belajarku, melihat senyumku saat itu dengan Boni saat kami bermain di pantai, melihat bingkai kenangan indah itu, dan melihat foto mereka, foto keakraban mereka, James dan Boni yang sedang berangkulan di bingkai foto berwarna coklat itu, kenapa Bon? Kenapa kamu terlalu mencintainya? Kenapa?
Hanya jijik yang kulihat dari wajah lelaki itu, bagaimana dia terus hidup dengan menderitanya Boni? Hamper setiap malam di mimpiku aku memimpikannya, bahkan dalam mimpiku dia membela James, tak tahukah dia kalau pacar yang selama ini di cintainya telah berpaling? Tak tahu kah dia bagaimana James telah membuangnya dari ingatannya?
Semua kenangan itu menggiringku ke masa itu, masa kami masih kecil, masa indah yang selalu akan ku kenang.
*********8 Tahun Lalu*******
“Ahhhh Nando lelet deh” ejek Boni padaku saat kami belajar sepeda bareng, Samarinda saat itu tak sebesar sekarang, dulu masih jarang kendaraan sehingga kam bisa bermain dengan bebas di jalan
“Boni tungguin Nando, Nando takut jatuh” rengekku saat itu, Boni hanya tertawa riang melihatku yang baru bisa naik sepeda sedangkan dia sudah menyombongkan diri karena lebih dulu mahir dari pada ku
“Biarin wuekkkkkk” dia menjulurkan lidahnya dan semakin mempercepat kayuhan sepedanya, aku yang berada di belakangnya dengan ngos-ngosan mengejarnya
“Nih” sekantog es di berikan Boni padaku, dia hanya membeli sekantong saja karena memang uangnya tak cukup, sedang aku sama sekali nggak membawa uang
“Lho, kamu minum apa?” tanyaku
“Nggak apa-apa, Nando saja yang minum, aku nggak haus” jawabnya berbohong, aku yang masih polos hanya percaya dan meminum es yang di berikannya, kulihat beberapa kali dia menelan ludah
“Nih, Nando sudah nggak haus lagi, Boni minum deh” ku sodorkan es yang tinggal separuh, Boni tersenyum dan meminumnya
Hari-hari kami lewati bersama, mama saat itu sedang berada di Malaysia menjadi TKW, sedangkan papaku sudah meninggal karena kecelakaan saat aku masih berumur 5 tahun, dan sejak saat itulah aku tinggal bersama keluarga Boni, mama Boni adalah tanteku, kakak dari mamaku
**********5 Tahun yang lalu***********
“Nando, kata ayah kami semua akan pindah ke Jakarta” rasanya saat itu aku seperti mendengar petir yang menyambarku, saat itu memang mama sudah pulang dari Malaysia dan membuka usaha kecil-kecilan sehingga aku tak lagi tinggal di rumah Boni, tapi saat mendengar mereka akan pindah ke Jakarta, aku seperti hancur. Aku merasa kehilangan sepupuku, yang entah kenapa membuatku nyaman saat bersamanya
3 hari aku tak mau berbicara dengannya, aku merasa marah dengan keadaan, ayahku sudah di ambil dan kenapa sekarang sahabatku, sepupuku dan bahkan cintaku juga akan pergi. Aku memang sudah gila, kebersamaan kami setiap saat seperti menimbulkan rasa yang lain di hatiku, aku merasa nyaman saat bersama Boni, aku gila karena telah mencintai sepupuku, tapi itu bukanlah yang aku pikirkan, yang aku pikirkan bagaimana bisa aku menjalani hari-hariku tanpanya lagi
“Nando, buka pintunya” ketuk Boni, sudah setengah jam dia menungguku di luar, besok dia sudah akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikannya.
“Nando, aku mohon” pinta Boni dengan tangisan, dapat kudengar isaknya dari kamarku, perlahan aku mendekati knob pintu dan membukanya
Kulihat sesosok anak laki-laki berusia 12 tahun itu tersenyum, tetapi cairan bening itu terjatuh dari mata indahnya. Aku tak tahan lagi, aku langsung memeluknya dan kami menangis bersama, hari itu kami habiskan mengobrol berdua di kamarku, aku merasa bodoh sekali kenapa harus mendiaminya selama 3 hari
“Kamu jangan sedih ya Do, kan setiap liburan aku pasti balik ke Samarinda, atau kamu yang ke Jakarta, nanti kita ke Dufan, ke Ancol, ke Monas, aku janji deh” katanya sambil menunjukan jari kelingkingnya, aku meraih jari itu dan mengikrarkan janji kami di sore delima itu
”Ini buat kamu” Boni melepaskan kalung yang dia pakai selama ini, kalung berharga yang diberikan mamanya, kau mengambilnya dan langsung memakainya, aku juga memberi dia celenganku,
“Kamu tabung uang kamu disini ya, jadi setiap liburan kamu punya uang dan bisa balik ke Samarinda” kataku sambil menahan air mata jatuh lagi
Boni mengangguk dan kembali memelukku, rasa kosong seketika tercipta di hatiku, ada ketakutan yang mendalam, takut bagaimana caraku menghadapi dunia tanpanya.
“Yuk kita makan!” ajaknya, kepadaku, Mama sudah masak masakan yang enak, Boni makan dengan sangat lahap, dan malam itu dia menginap di kamarku seperti biasa yang di lakukannya, yang berbeda hanya ini akan menjadi malam terakhir.
Dari balik kaca kulihat pesawat itu meninggalkan kota Samarinda, hatiku juga telah di bawa olehnya, keheningan itu akhirnya tiba
Boni tak pernah berbohong, hamper setiap liburan dia menyempatkan dirinya balik ke Samarinda, meski harus membuka semua isi tabungannya, tetapi dia tetap pulng untukku, dan bulan yang selalu aku tunggu sekarang adalah bulan Juni dan Desember, karena hanya pada bulan itu aku bisa berjumpa dengannya, bermain kembali dengannya, meski tak lagi bisa seperti dulu.
************1 Tahun Lalu************
‘Ting tong’ aku menekan bel rumah nya, kali ni adalah kali pertama aku menginjakan kaki di Jakarta, dengan bersusah payah aku akhirnya tiba di depan rumahnya, sengaja aku tak memberi tahu dia jika aku datang hari ini, aku hanya bilang padanya aku akan datang minggu depan, aku mau kasih surprise untuknya.
Hari itu adalah liburan sekolah, setelah dengan susah payah aku mengumpulkan uangku akhirnya aku bisa tiba disini, tak sabar aku ingin melihat ekspresi kagetnya.
“Iya, sebentar” jawab seorang lelaki dari dalam, aku yakin itu adalah suara Boni
“Hai BON” sapaku yang spontan langsung memeluknya
“Nando?” dia malah memelukku lebih erat
“Ahhhh kamu jahat, bilangnya datang minggu depan, kok tiba-tiba sudah datang? Kalau tahu kamu datang kan pasti aku pergi jemput kamu di bandara” cemberut Boni
“Hehehehe,sorry deh” jawabku “Aku sengaja mau kasih surprise ke kamu, dimana orang tuamu?” tanyaku
“Belum pulang, masih di kantor, ayuk masuk, kamu tidur di kamarku aja ya, nggak usah di kamar tamu” Boni mendorong koperku ke kamarnya, rumahnya terlihat cukup mewah, memang rumahnya yang di Samarinda juga sudah cukup mewah, tapi disini jauh lebih mewah, yang kulihat tadi di depan juga terparkir motor Ninja hijau yang keren, aku yakin itu motor Boni
Kamarnya sangat besar, berbeda sekali dengan kamarku, tapi aku sudah sangat bersyukur, mama membeli rumah itu dengan susah payah hasil dari kerjanya di Malaysia beberapa tahun, kulihat di sekeliling kamarnya terdapat beberapa bingkai foto Boni bersama orang tuanya dan bersama dengan teman-temannya, kulihat juga celengan yang ku berikan terletak di meja belajarnya, aku tersenyum melihatnya
Ada juga sesosok bingkai anak laki-laki yang tampak dari samping, sepertinya dia tak sadar menjadi objek foto, karena gaya yang natural terlihat dari fotonya, foto itu terletak persis di samping foto Boni, ada rasa setrum di dadaku melihatnya, tapi aku hanya diam saja, karena menyadari aku melihat foto itu, Boni langsung menutupnya, semakin mencurigakan.
“Ehhh Do, ceritakan gimana Samarinda, gimana keadaan mama kamu?” Tanya Boni yang nyerocos membuat aku tak lagi memikirkan foto itu
Hari-hari berikutnya kami lewati dengan gembira, seperti yang pernah di janjikannya, kami berkeliling ke tempat-tempat Wisata di Jakarta, mulai dari Ancol, Dufan, Taman Mini dan masih banyak lagi, Boni membawaku dengan motor besarnya, dan aku selalu memeluknya dari belakang. Bahagia, itulah yang terlintas dari benakku.
“Ehhh Bon, kamu sudha punya pacar belum disini?” tanyaku saat kami berbicang malam-malam sebelum tidur
“Belum, kamu sudah ada di Samarinda?” Tanya Boni, aku tersenyum saat dia bilang belum memiliki pacar, jujur dari hati yang terdalam aku masih mengharapkan dia, meski aku tahu itu tak akan mungkin terjadi, dia sepupuku, dan terlebih lagi dia lelaki
“Tapi aku ada naksir seseorang” sambung Boni, hatiku terasa deg-degan saat ini
“Siapa?” tanyaku datar
“Ada deh” katanya sambil tersenyum, aku memandang ke wajahnya, terlihat wajahnya sumringah, matanya menerawang jauh kesana
“Ahhhh kamu ini, sama saudara aja pelit” aku berpura-pura ngambek
“Tapi dia tak mungkin akan mencintaiku” wajah Boni menjadi sendu
“Lho, kenapa?” tanyaku
“Kamu janji ya nggak akan cerita ke siapa-siapa, aku cerita ini karena aku percaya sama kamu, kamu sahabat dan juga saudara terdekatku” jelas Boni, aku hanya mengangguk
“Kamu lihat foto laki-laki yang tadi ada di meja belajarku?” Tanya Boni lagi
“Iya, memangnya kenapa?” tanyaku lagi, rasanya aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini, panas terasa sampai ke ubun-ubun, tapi aku berusaha tersenyum dan menahan cemburu itu
“Namanya James, dia temanku di sekolah, kami memang berbeda kelas, aku juga belum begitu mengenalnya, tetapi aku mencintainya” jelas Boni, hancur sudah, segala rasa yang aku pupuk selama bertahun-tahun kini terasa hancur berkeping-keping.
“Foto itu aku ambil diam-diam saat dia sedang duduk sendiri di taman sekolah, hamper setiap hari aku memandangnya, dan aku ingin mengenal dia lebih dekat lagi” jelas Boni, dia tak tahu jika di sampingnya terdapat seorang lelaki yang begitu mencintainya sejak kecil dulu, tapi aku juga harus tahu diri, aku tak akan mungkin mendapatkan cintanya, dia hanya menganggapku sebagai saudara dan sahabatnya. Air mata terasa jatuh membasahi pipiku, tapi dengan sigap aku menghapusnya dan menggantinya dengan senyuman sebelum Boni melihatnya
“Kamu janji ya, jangan cerita kepada siapapun” kata Boni yang lalu menghadap kearahku, wajah manisnya tepat berada di depanku, ingin aku mencium bibirnya walau hanya sekali, tapi kesempatan itu tak pernah terjadi, hanya pelukannya yang bisa ku rasakan dalam tidurku, dia selalu memelukku kala tidur, hanya itu sudah cukup untuk membuatku bahagia.
Dan sama seperti malam-malam yang lalu, dia kembali memelukku saat kami tertidur, dengan pelukannya aku dapat merasa ketenangan, ketenangan yang biasa aku terima, hari berikutnya aku sudah harus kembali ke Samarinda, liburan telah Usai, tangisan Boni mengantarku pulang, hampir setiap perpisahan pada liburan sekolah akan membuat kami menangis.