BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Night, and The Day - END - page 111

16061636566117

Comments

  • @idhe_sama yaudah kita tuntasin..
    skalian aja sama si silvy, dia harus bertanggung jawab udah bikin kentang kita semua...
    c mon snow white...km cukup pasrah aja @silverrain...
    biar kita yg bergerak kasih contoh.. >:)
  • edited December 2012
    Yue's View

    "Kita Serang Rupanda..."
    Seluruh mata segera tertuju pada Rex yang memasang tampang santai sambil mencoret coret peta di hadapannya.
    "Kamu pasti bercanda kan...?"
    Wyatt menatapnya dengan tak percaya, semua yang ada disini pasti memiliki pikiran yang sama dengannya.
    Menyerang Harmonia dengan keadaan pasukan seperti ini?
    "Dengarkan dulu, Rex pasti punya ide, benar kan? Tidak mungkin dia akan menyerang tanpa taktik yang mendukung, ya kan Rex...?"
    Arsais mencoba menenangkan ruangan yang mendadak riuh oleh para petinggi pasukan kami.
    Saat ini pasukan kami sudah didukung oleh para penyihir dari Magician Island, dan seluruh penduduk Blue Moon Village. Selain itu, para Sindarin, pasukan Viktor dan Island Country juga memperkuat sisa pasukan kami yang berhasil dibawa oleh Kanna menuju ke Blue Moon Village.
    Tapi jelas itu masih belum mampu mengalahkan pasukan Harmonia.
    Harmonia sendiri adalah negara terbesar dan salah satu negara terkuat di Suikoworld. Kekuatannya mampu mencapai 3 hingga 4 kali kekuatan negara lain. menghadapi Harmonia sendirian saja mungkin kami akan bersusah payah, apalagi kalau harus meladeni pasukan Alliansi mereka yang juga terdiri dari negara negara raksasa.
    "Kenapa kalian takut? Grassland, Zexen dan Kannakan sudah setuju untuk membantu kita..."
    Rex meneruskan kata katanya, dan membuat semua orang kembali terkesikap.
    "Tapi mereka perlu waktu seminggu atau lebih untuk mencapai tempat ini, dan kapan kamu ingin menyerang Harmonia?"
    "Malam ini. Sekarang kita akan bersiap, malam ini kita menyerang, dan kita ambil kembali semua domain Aronia."
    "BERCANDA!"
    Arsais yang tadinya mendukung Rex segera menarik kembali kata katanya. Dia tanpa sadar berteriak saat mendengar perkataannya.
    "Tidak, tidak ada yang bercanda, malam ini kita akan serang Rupanda. Kalau kita beruntung, aku yakin kita bisa membunuh dua atau tiga pimpinan aliansi mereka malam ini dalam serangan kita..."
    "Kami tidak bercanda?"
    Rex mengangguk, dia menyodorkan kembali peta yang sedaritadi dicoretnya pada kami.
    "Aku dan Kanna sudah mempersiapkan semuanya. Apa kalian melihat Kanna?"
    Kami semua kembali berpandangan.
    Benar juga, sejak kemarin kami tidak melihat Kanna di wilayah Blue Moon Rune, tapi mungkin kami tidak memikirkannya karena beberapa waktu ini kami memang tidak pernah berpikir tentang perang di desa ini, sehingga kami sibuk dengan urusan kami masing masing.
    Tapi tampaknya Rex sudah menyiapkan segalanya, dan akhirnya mengejutkan kami dengan ide gilanya saat ini.
    "Kanna ada bersama Grassland, Jowston dan Kannakan. Memang benar jika kita menunggu mereka mungkin kita perlu waktu sampai seminggu, tapi lain hal kalau kita tidak menunggu mereka..."
    Pixel mengerutkan keningnya, berusaha mencerna arti perkataan Rex.
    "Yeah, saat ini mereka berada di selatan Harmonia, sedangkan kita berada di Utara Aronia, untuk mencapai tempat kita, mereka tentu harus mengambil jalan memutar menghindari Harmonia, dan itu akan memakan waktu sampai satu minggu atau mungkin lebih."
    Rex mengambil nafas sejenak, sambil mencorat coret petanya.
    "Tapi kita bisa memulai serangan sekarang, dan memanfaatkan posisi kita sekarang untuk mempermudah serangan kita."
    "Jadi? Apa yang kita lakukan?"
    "Saat ini Harmonia hanya mengetahui kalau kita sudah mati, dan semua pasukan kita terpencar. Mereka sudah pasti menganggap ancaman sudah terlewati dan kembali menyebarkan kekuatan mereka secara merata ke seluruh wilayah mereka, yang artinya, kita akan dengan mudah dipukul balik jika menyerang dalam keadaan ini."
    Arsais mengarsir wilayah wilayah tertentu. Kami semua berdesakan mendekati meja strateginya.
    "Tapi lain halnya kalau ada ancaman, mereka pasti akan segera bergerak ke arah ancaman itu. Apalagi kalau pasukan musuh berjumlah sangat besar..."
    Arsais mengangguk angguk, tampak paham dengan rencananya.
    "Jadi maksudmu mengirim Kanna ke selatan adalah untuk ini?"
    "Ya, benar, mereka dari kemarin sudah menyerang wilayah selatan Harmonia dengan kekuatan penuh, dan menguasai benteng selatan Harmonia. Tentu saja ini akan membuat mereka terkejut, dan segera menggerakan pasukannya ke selatan untuk menyerang pasukan Kanna. Jika perhitunganku benar, saat ini yang berada di Rupanda pasti hanya segelintir pasukan pengamanan, mengingat posisi Rupanda yang terlindungi oleh gunung dan benteng alami."
    Rex menunjukkan pena bulunya ke arah Rupanda, dan menggariskan coretan pada gunung yang mengelilinginya.
    "Tapi mereka tidak mempertimbangkan adanya pasukan kita di dekat Rupanda."
    Semua orang mengangguk angguk paham.
    Ide yang brilian.
    Walaupun jumlah pasukan kami disini hanya sekitar puluhan ribu orang, tapi bila Kanna yang memimpin beberapa seratus ribu lebih orang berhasil mengalihkan perhatian mereka, tentu malam ini kami akan dengan mudah menyusup dan menguasai Rupanda.
    "Tapi jelas kita tidak bisa melupakan ancaman bala bantuan mereka datang dan menghabisi kita..."
    Rex menunjuk kembali ke arah gerbang North Wall yang menjadi perbatasan antara Rupanda dan Valerie.
    "Kenapa kita tidak sekalian menyerang Valerie dan menguasainya?"
    Lazlo yang sedari tadi diam membuka suara, tampaknya dia mulai tertarik dengan ide ide dari Rex.
    "Tidak, kalau kita menyerang Valerie sekarang, pasti sulit untuk mempertahankannya, karena Valerie sendiri terhubung dengan tiga distrik Harmonia, dan akan lebih sulit dipertahankan daripada Rupanda yang hanya berbatasan dengan satu wilayah, yaitu Valerie. Bila kita berhasil merebut Rupanda, satu satunya tempat yang harus kita pertahankan adalah North Wall..."
    Rex menunjuk ke arah North Wall.
    Hmm, jadi lagi lagi kami harus bertarung di North Wall?
    "Jadi, kita akan membagi pasukan kita menjadi dua, satu pasukan aku pimpin, beranggotakan team Greg, Pixel, Lazlo, Viktor, dan Cirdan, serta Lady Leknaat akan menyerang Rupanda secara langsung, sementara Cardinal Yue..."
    Arsais menatapku tajam.
    Sejenak kami saling berbalasan pandang, cukup lama, sebelum dia mengalihkan kembali pandangannya.
    "Lord Yue akan bersama dengan Mistress Sierra, Arsais, Wyatt, Arvyn, dan Lady Windy untuk menguasai dan meredam bala bantuan yang datang dari Valerie di North Wall, sampai kami selesai merebut Rupanda."
    Rex akhirnya menarik nafas setelah menjelaskan begitu banyak hal pada kami.
    jarang aku mendengarnya berbicara panjang lebar.
    Satu satunya waktu dia bisa berbicara banyak adalah saat menjelaskan strategi perang pada kami.
    Selain itu jarang sekali dia bisa membuka mulutnya terlalu lama.
    Saat dia bersamaku dulu pun, dia lebih sering memilih untuk diam dan duduk bersamaku daripada bercerita tentang banyak hal.
    "Baiklah, kalau begitu, berarti kami akan segera bersiap sekarang. Jam berapa kita akan memulai serangan kita?"
    "Sesegeranya setelah matahari terbenam seluruhnya, mengingat pasukan Blue Moon akan lebih kuat bila mereka berperang di malam hari..."
    "Hahahaha! Jadi sekarang kita jadi pasukan kegelapan?"
    Pixel tertawa lepas sambil menunjuk ke arah sekeliling kami.
    Benar juga, rata rata true rune yang bergabung dengan kami adalah True Rune yang menguasai Kegelapan dan kehancuran.
    Life and Death, Night Rune, Moon Rune, Punishment Rune, Gate Rune, semuanya rata rata adalah Rune yang memiliki kesan "negatif" bila dibayangkan.
    Sungguh lucu jika membayangkan sekarang Rune digunakan oleh kami yang membawa nama kebenaran saat berperang.
    Tapi entahlah.
    "Jadi, sekarang kita namai pasukan kita apa? Herald of Darkness? Death Bender?"
    Leknaat tersenyum.
    "Bagaimana kalau Soul Stealers?"
    Semua orang tertawa pelan.
    "Oke, nama yang bagus, kita coba saja?"
    Wyatt menyetujui ide Leknaat, dia tampaknya menganggap dengan serius semua pembicaraan barusan.
    Tapi, benar juga, sekarang Aronia sudah tidak ada, dan kami jelas tidak mungkin berperang di bawah bendera Aronia.
    "Yeah, kita beri nama tim kita Soul Stealers, dan pemimpinnya, Rex?"
    Semua orang mengangguk setuju atas usul dari Sierra.
    "Aku menolak..."
    Sudah kuduga, dia pasti menolaknya.
    Rex atau Alvin, memang bukan orang yang suka kalau dirinya berada di atas, dia lebih memilih posisi captain atau sebagainya yang menurutnya tidak terlalu tinggi dan lebih nyaman baginya.
    "Ayolah, Rexy, jangan begitu, ayo, pimpin kami sekali lagi.."
    Sierra mengedip dengan genit, sambil melirik ke arah Rex.
    "Tidak, aku tidak mau jadi pemimpin lagi."
    Rex menggeleng sambil menundukkan wajahnya.
    Wajahnya tampak begitu pucat dan penuh keraguan.
    Entah apa yang dipikirkannya hingga dia menjadi begitu ragu dengan dirinya sendiri.
    "Ayolah, Rex, kamu pasti bisa..."
    Pixel dan Wyatt berseru berbarengan, disusul dengan anggukan setuju dari Greg.
    "Kami sudah menunggumu untuk memimpin kami, apa yang membuatmu ragu, Lord Rex...?"
    Leknaat bertanya dengan heran.
    Jelas saja, baru kali ini ada orang yang menolak untuk menjadi pemimpin.
    Biasanya orang akan mati matian berebut kursi kepemimpinan, tapi Alvin menolaknya mentah mentah.
    "Rex, apa kamu takut kejadian itu terulang lagi...?"
    Arvyn mendadak membuka suaranya perlahan, Sierra segera memandangnya, tampak mengerti arah pembicaraannya.
    "Apa kau lihat dari kami ada yang akan melakukan itu padamu...?"
    Arvyn menatap tajam ke arah Rex, yang berusaha keras menyembunyikan wajahnya.
    "Rexy, kami akan melindungimu kali ini, Kami tidak akan membiarkanmu terbunuh, Aku berjanji..."
    Sierra berseru kuatir dengan nada suaranya yang dibuat sexy.
    "Beri aku waktu untuk berpikir. Tapi jangan berharap, karena aku tetap belum merubah pikiranku..."
    Rex tersenyum tipis, kemudian membalik tubuhnya dan pergi meninggalkan ruangan rapat.
    Kami hanya berpandangan melihat sikapnya
    Apa yang terjadi?
    Apa yang dimaksud Arvyn?
    Terbunuh lagi?
    Apa yang dimaksudnya adalah kejadian di Valerie?
    Atau ada insiden lain yang membuatnya merasa takut untuk kembali menjadi pemimpin pasukan kami?
    Entahlah, aku tidak tahu, tapi yang pasti, Arvyn dan Sierra mengetahui semuanya.
    Aku harus mencari tahu apa yang terjadi, dan memastikan apakah aku terlibat dalam masalah ini.
    Karena jika benar aku yang menjadi penyebabnya, maka aku harus bertanggung jawab untuk itu.
    =======================================
    Defense team camp, 16.30

    "Kita akan maju lebih dulu daripada tim Rex, dan sebelum matahari terbenam kita harus sudah mencapai domain Aronia. Kita harus bergerak lebih cepat daripada mereka, dan menguasai North Wall sebelum mereka menyerang Rupanda untuk menjamin keberhasilan rencana ini..."
    Windy menjelaskan kepada kami panjang lebar sambil melihat persiapan pasukan kami.
    Semua orang sedang sibuk mempersiapkan dirinya, melengkapi dirinya dengan pakaian perang, serta membuat stock obat obatan serta scroll sihir yang kami perlukan selama peperangan.
    Kami mempersiapkan semuanya secara berlebihan, mengingat kami akan berhadapan dengan musuh yang tidak dapat di prediksi.
    Tidak menutup kemungkinan kalau kami akan langsung berhadapan dengan Marty sendiri hari ini, walaupun Rex berkata kemungkinannya akan sangat kecil.
    Aku sendiri tidak dapat memprediksi, berapa banyak pasukan musuh yang akan datang dan menyerang kami, mengingat kami semua sedang berjudi dengan keberuntungan.
    Bila kami beruntung, mungkin kami tidak akan kesulitan menghadapi tentara bantuan yang akan tiba. Tapi jika nasib berkata lain, bukan tidak mungkin kami semua akan dibantai habis oleh pasukan utama Harmonia.
    "Kita akan berangkat tiga puluh menit lagi, tepat satu jam sebelum matahari terbenam. Pasukan Rex akan bergerak setelah matahari terbenam. Kita harus tepat waktu. Tidak terlambat, tapi juga tidak terlalu awal. Bila kita datang terlambat, kita pasti akan gagal mencegah tentara musuh tiba. tetapi bila terlalu cepat dan saat kita menguasai North Wall tentara Rex belum menyerang Rupanda, bisa dipastikan kita akan dikepung dari dua sisi dan tidak bisa kabur kemanapun..."
    Wyatt menelan ludahnya dengan ngeri.
    Yah, mungkin memang pergerakan kami saat ini beresiko.
    Selain kemungkinan yang disebutkannya, bisa saja kami bertemu dengan tentara patroli saat kami bergerak ke arah North Wall. Dan akibatnya?
    Bisa dipastikan semua rencana ini akan gagal.
    "Oke, persiapkan diri kalian sekarang. Aku juga akan bersiap, sesaat lagi kita akan berangkat ke North Wall. Aku akan menghubungi pasukan Rex."
    Windy mengangkat tangannya, dan dengan segera ia menghilang dalam sebuah lingkaran cahaya.
    Semua orang berpencar, segera satu persatu menyibukkan dirinya, entah dengan mempersiapkan divisi mereka, membeli berbagai perlengkapan, maupun mulai menyiapkan pasukan untuk berbaris rapi agar mempermudah perjalanan kami.
    Aku sudah mempersiapkan semuanya, dan kurasa para Bishop sudah melakukan Organizing pasukan lebih dari yang aku perlukan, jadi aku hanya perlu menunggu waktu untuk berangkat berperang pukul 17 nanti.
    Aku berjalan menyusuri perkemahan, mencari sosok Arvyn yang tadi lebih dulu menghilang saat kami berpencar.
    "Ah, Arvyn!"
    Akhirnya aku menemukan sosoknya sedang bersandar di bawah pohon besar sambil mengikat sepatu boot cokelatnya.
    Dia mengigit sebuah buku mantra sambil menyanggakan dirinya di batang pohon untuk memudahkannya mengikat sepatunya.
    "Oh, Cardinal, ada apa...?"
    "Hmm, ga, cuma mau ngobrol, ngisi waktu..."
    Arvyn menatapku dengan curiga, tapi dia akhirnya menghela nafasnya, dan menggeser tubuhnya untuk memberikanku celah duduk.
    "Silahkan..."
    Dia menggumam pelan.
    Arvyn, aku cukup mengenalnya.
    Sebelum menjadi Bishop dia adalah seorang penyihir yang cukup terkenal. Dia dulu menjadi pemimpin divisi penyihir saat perang Aronia lama melawan Harmonia, dan reputasinya sebagai seorang petarung memang tidak bisa diremehkan.
    Sekarang setelah menjabat menjadi bishop, dia masih tetap ditakuti sebagai ahli dalam menggunakan sihir.
    Mungkin memang tidak bisa mengalahkan Arsais lama dalam bertarung, tapi jika menggunakan sihir, kemampuan Arvyn pasti akan jauh lebih baik daripada Arsais lama.
    Dia juga terkenal karena kemampuannya menggunakan Scroll sihir, membuat dirinya bisa menggunakan beragam rune secara tidak terbatas.
    Kesimpulannya, dia adalah salah satu lawan yang tidak kuharap akan kutemui di pertarungan satu lawan satu, karena aku juga adalah pengguna sihir, dan lebih mengandalkan sihirku daripada serangan fisik.
    "Hmm, akhirnya kita berperang lagi ya...?"
    Aku membuka obrolanku sambil menatap jauh ke depan.
    Tempat kami duduk sekarang berupa sebuah bukit kecil tak jauh dari tempat pasukan kami berkemah.
    Dari sini aku bisa melihat matahari senja yang berwarna kemerahan bergerak menuju ujung pandangku untuk segera menutup hari ini.
    Arvyn menggumam pelan sambil mengangguk, dia juga melihat ke arah yang sama denganku.
    "Apa kita bisa menang...?"
    Arvyn kembali mengangguk.
    "Ya, kalau Rex bilang kita bakal menang, berarti kita bisa menang..."
    Aku melirik ke arahnya, mulai mengarahkan pembicaraanku ke arah yang aku inginkan.
    "Apa yang membuatmu begitu yakin?"
    "Emang kamu ga merasa yakin begitu dia bilang?"
    Aku terdiam sejenak.
    Benar juga
    Setelah tadi Rex menjelaskan semua rencananya, dan dia berkata yakin akan memenangkan perang ini, dengan otomatis aku langsung merasa yakin dan tidak takut kalau kami kalah dalam peperangan ini.
    "Kamu juga merasa begitu kan?"
    Arvyn bertanya lagi sambil tersenyum.
    "Dia punya aura pemimpin yang kuat, dia selalu bisa mengumpulkan dan membuat tertarik banyak orang, ya, begitulah orangnya..."
    Arvyn tersenyum sambil berbicara, pantulan sinar matahari membuat wajahnya terlihat benar benar mirip Alvin.
    "Tapi dia tidak mau jadi pemimpin..."
    Ujarku sambil melirik ke arahnya.
    dan tepat seperti yang kuduga.
    Raut wajah Arvyn segera mengeras, berubah 180 derajat dari rautnya yang semula santai.
    pasti ada sesuatu yang terjadi.
    Apa betul itu karena aku?
    "Yeah, dia tidak pernah mau jadi pemimpin semenjak perang restorasi Harmonia bertahun tahun lalu..."
    Aku membuat mukaku seakan akan bingung, aku menatapnya dengan kening kukerutkan.
    "Oh ya? Bukankah perang itu dipimpin oleh Marty?"
    Arvyn menggeleng.
    "Bukan Marty yang memimpin, tapi Rex, atau yang dulu dikenal sebagai Alvin..."
    ==============flashback===================
    Arvyn's View

    "Final Flame!"
    Salah satu dari mereka hampir saja berhasil menebas tubuhku, tapi aku lebih cepat.
    Kugunakan Scroll api untuk menciptakan ledakan besar di sekelilingku, menghanguskan belasan orang menjadi tumpukan abu.
    "Heh, Lemah!"
    Aku menyeringai, kukibaskan abu yang menempel di jubahku.
    "Canopy Defense"
    Untuk berjaga jaga aku memasangkan rune pertahanan pada diriku, siapa tahu tiba tiba ada musuh yang muncul di belakang kan?
    Aku berjalan menerobos istana tua ini.
    Puluhan tubuh prajurit yang tak mampu lagi bertarung tergeletak di sepanjang aula.
    Hah, Alvin bodoh.
    Dia memerintahkan kami untuk mengurangi jumlah korban sebanyak mungkin.
    Alvin meminta kami untuk melumpuhkan, tapi tidak membunuh pasukan musuh.
    Tapi untukku?
    Itu tidak berlaku.
    Maaf maaf saja, tapi semua sihirku membunuh mereka dalam satu serangan.
    No Survivor.
    Heh.
    Aku kembali menyeringai, kutapaki jalan istana itu.
    Suasana perang masih terdengar jelas di luar sana.
    Aku sudah selesai menghabisi elite guard mereka, berarti yang tersisa hanya High Priest mereka.
    Alvin pasti bisa menghabisinya sendirian, walaupun dia bodoh.
    Tapi kupikir untuk jaga jaga lebih baik aku memeriksa keadaannya.
    "Hmm..."
    Aku menyandarkan tubuhku di belakang sebuah pilar di dekat aula utama istana yang aku yakin bernama Valerie ini.
    Alvin tampak terlibat pembicaraan serius dengan seorang lelaki tua.
    Aku yakin orang itu adalah High Priest Aronia.
    Bunuh dia, dan semua masalah selesai.
    Ya kan?
    Bruk!
    Eh?
    Lelaki itu mendadak jatuh ke tanah dan menghilang, sementara sosok Alvin perlahan berubah menjadi sebuah sosok berpakaian putih dengan ukiran emas berlambang Harmonia.
    Jadi Alvin sekarang menjadi Pontiff Harmonia.
    Aku harus minta uang yang banyak padanya!
    "Ah.."
    Aku menggeser tubuhku, bersembunyi dari Richard, kepala pasukan penyerang yang mendadak datang dari arah depanku.
    Dia terus berjalan ke arah Alvin, tampak dari wajahnya kalau dia sedang menyimpan kekesalan yang amat besar.
    Aku kembali mengintip.
    Richard dan Alvin tampaknya terlibat pembicaraan serius.
    Richard berkali kali tampak berbicara dengan tajam ke arah Alvin, tapi raut wajah Alvin tetap tenang, Alvin terlihat terus berusaha menjelaskan kepadanya tentang apa yang terjadi.
    Aku berusaha bergerak mendekat, untuk mendengar pembicaraan mereka.
    Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?
    Aku melesat maju ke pilar selanjutnya secepat mungkin.
    Syukur kasutku terbuat dari kain, sehingga langkahku sama sekali tidak berbunyi saat aku berlari mendekati mereka.
    "Bunuhlah aku."
    Hah?
    Apa yang dikatakannya?
    Membunuhnya?
    Dia menyuruh Richard untuk membunuhnya?
    Mereka berdua tampak berdiri bergeming.
    Alvin berbicara dengan nada yang pelan.
    Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
    yang aku tahu hanyalah Alvin menyuruh Richard untuk membunuhnya.
    Untuk apa?
    "Dengan begitu kamu bisa menjadi kepala negara Harmonia yang baru..."
    Apa?
    Hanya untuk itu?
    Tidak mungkin Richard akan melakukannya!
    Aku terus menguping pembicaraaan mereka, tapi tampaknya mereka tidak berbicara satu sama lain.
    Apa yang terjadi.
    Aku mengintip sedikit.
    Richard menarik keluar belatinya, dan melesat ke arah Alvin.
    TIDAK MUNGKIN!
    Manusia satu itu!
    Dia benar benar binatang!
    Aku segera mengambil tasku, merogoh mencari scroll apapun yang bisa kugunakan untuk membunuh Richard saat ini juga.
    "UUKH..."
    Tidak.
    Aku terlambat.
    Aku tahu semuanya sudah terlambat saat aku mendengar pekikan Alvin.
    Richard dengan mantap menusukkan belatinya ke tubuh Alvin.
    Dia mencabut, kemudian menikamkan kembali belatinya ke tubuh Alvin.
    "Tak kusangka ada cara semudah itu...!"
    Ujarnya sambil tertawa.
    Dia iblis!
    Aku menggeram marah, kuremas genggamanku dengan geram.
    Aku tidak menyangka akan menemukan pengkhianat di dalam pasukan kami.
    Kusembunyikan tubuhku, sosok Richard perlahan berubah, menjadi sosok berjubah putih kekuningan.
    Sosok itu, Pontiff...!
    Aku tidak rela kalau dia yang menjadi Pontiff!
    Segera setelah Richard pergi, aku segera menghampiri Alvin yang tergeletak lemah di lantai.
    Darah mengucur dari dalam mulutnya.
    Pendarahannya cukup lebar, dan dilihat dari kondisinya, dia sudah tidak mungkin diselamatkan.
    "Arvyn...?"
    Alvin membuka matanya, menatap kepadaku dari dalam celah matanya.
    "Alvin! Kamu bodoh! Apa yang sudah kamu lakukan!"
    Alvin tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya terkulai lemas, dan kembali menutup matanya dalam senyuman lemahnya.
    "ALVIN! BANGUN! KAMU BISA BERTAHAN!"
    Aku mengguncangkan tubuhnya, tapi tampaknya itu semakin memperparah keadaan, karena darah mengalir semakin deras.
    Lantai tempatku berlutut saat ini digenangi oleh darah dari tubuhnya.
    "Alvin... Kamu harus memimpin Harmonia! Ayo Alvin! Bangun!"
    Aku berteriak dengan putus asa, tapi tampaknya teriakanku tak terdengar lagi olehnya.
    ".... Aku.... Mencintaimu....."
    Dua patah kata itu keluar dari mulutnya, sebelum tubuhnya berpedar, dan menghilang menjadi butiran cahaya yang melayang ke langit.
    "Alvin..."
    ==============end of flashback===============
    Yue's View

    Aku masih menganga menatap ke arah Arvyn yang hanya memandang sedih ke arah langit senja.
    "Ya, itulah yang sebenarnya terjadi..."
    Aku masih mengerjap tak percaya mendengarnya.
    "Jadi, Pontiff Marty adalah?"
    "Ya, dia adalah Richard yang membunuh Alvin untuk mendapatkan posisinya sebagai Pontiff..."
    Aku menggeram, kukepalkan kedua tanganku dengan kuat.
    "Tidak bisa dimaafkan!"
    "Yeah..."
    "Tapi, apa maksud kata kata terakhirnya...?"
    Arvyn mengangkat bahunya.
    "Entahlah, aku juga tidak mengerti apa maksudnya, hanya saja, apa mungkin itu ditujukan untuk Richard?"
    Arvyn terdiam, dia tampak berpikir keras.
    Ya, mungkin dia belum mengetahui siapa Alvin sebenarnya, sehingga baginya untuk menerima orientasi seksual Alvin adalah sesuatu yang membingungkan.
    "Yeah, mungkin, apa menurutmu itu menjijikan...?"
    Arvyn menggeleng.
    "Enggak, semua orang bebas menentukan pilihannya, ya kan? Lagipula, dia adikku..."
    Dia kembali menatap nanar pada matahari yang sudah hampir sampai pada kaki langit, sinar kemerahan menyebar ke seluruh padang rumput, membuat sekeliling kami bersinar dalam cahaya keemasan.
    "Kalau begitu, berarti Marty menggunakan perasaan Alvin untuk memanfaatkannya, begitukah...?"
    Arvyn mengangkat bahunya lagi.
    Entah deh, mungkin iya, mungkin enggak, tidak ada yang aku tahu, kita juga ga tau siapa yang sebenarnya dimaksud oleh Alvin..."
    Aku hanya diam, walaupun aku tahu yang sebenarnya tentang orientasi seksual Alvin, tapi aku memilih untuk tidak berbicara terlalu banyak padanya.
    Kalau memang benar apa yang terjadi, semua kemarahan Alvin padaku selama ini beralasan.
    Dia trauma, dan takut kalau aku kembali melakukan apa yang sudah dilakukan oleh Richard padanya.
    Dia melindungi hatinya agar tidak dihancurkan sekali lagi oleh orang yang dicintainya.
    Dan ironisnya, dia memilih untuk menjauhi orang itu.
    Dan Marty.
    Apa yang dipikirkan orang ini?
    Bisa bisanya dia menggunakan perasaan tulus Alvin untuk kepentingannya sendiri.
    dan lagi, setelah Harmonia berjaya, dia bahkan menyingkirkan Alvin.
    Bila dia benci atau mungkin tidak merasa nyaman dengan Alvin, dia seharusnya bisa mengatakannya secara langsung ke pada Alvin, tidak dengan menggunakan cara cara kejam seperti ini.
    Aku ingin tahu orang seperti apa yang memiliki hati begitu kejam sepertinya.
    "Matahari sudah hampir terbenam, ayo, kita pergi sekarang, sebentar lagi kita harus berangkat!"
    Arvyn melompat dari tempat duduknya, kemudian segera berjalan ke arah perkemahan.
    "Tunggu apa lagi? Ayo!"
    Arvyn melambaikan tangannya memanggilku.
    Aku segera berdiri, kemudian berjalan menyusulnya ke arah perkemahan.
    Leknaat tampaknya sudah mengorganisir pasukan dan menyusun mereka dalam barisan rapi.
    "Semuanya! Ke North Wall!"
    "OOOOOOO!!!!"
    Aku dan para pemimpin pasukan berjalan di depan pasukan kami, memimpin mereka bergerak menuju North Wall.
    "Wind, Accelerate, make us move like a shadow! Accel Gust!"
    Arvyn mengeluarkan skill pendukung yang membuat kami berjalan semakin cepat menuju north wall.
    Jika perjalanan kami mulus, dalam 30 menit hingga 45 menit, kami pasti akan segera mencapai North Wall.
  • PERTAMAXXXXX!!!! :D
  • Wuahhhhhhhhhh !!!
    *kencengin iket kepala* *ikut perang*
  • edited December 2012
    One Shoot - Old Book Vol. 4
    Life of the Strategist Lady

    Kanna's View

    "Selamat siang, Kanna..."
    "Alvin...? Ada apa? Apa kamu mau belajar? Dimana bukumu?"
    "Tidak..."
    "Apa?"
    Aku menatapnya penuh selidik
    "Apa yang kamu inginkan, Alvin...?"
    Pria berambut kuning emas dengan pakaian khas para Sage, Sebuah terusan putih dengan tudung kepala dari kain kasar, dengan sebuah tali pengikat di pinggangnya.
    Pria kecil itu menatapku dengan serius.
    "Aku mau pergi...."
    Aku langsung menatapnya tajam.
    "Apa maksudmu?"
    "Aku ingin pergi bertualang..."
    "Alvin! kamu yakin? kamu baru aja dapat promosimu sebagai Sage, dan kamu bilang sekarang kamu mau pergi?"
    ucapku Sage muda di hadapanku.
    Wajah tampannya menampakkan keteguhan, dia mengangguk sambil mengulum bibir bawahnya.
    "Yeah, Kanna, maaf, kupikir aku sudah cukup kuat sekarang. lagipula, aku Sage, bila ada apa apa aku bisa menyembuhkan diriku sendiri"
    Aku hanya bisa menghela nafasku.
    Apa yang sedang dipikirkannya?
    Saat ini keadaan Suikoworld sedang kacau.
    Terutama daerah Harmonia.
    Kudengar sedang ada pembantaian besar disana, dan beberapa daerah lain juga mulai memecahkan perang dengan tetangganya.
    "Kamu tahu? di utara sedang ada perang besar, dan kamu mau pergi kesana? apa yang kau kejar?"
    Lelaki muda itu menggeleng, kemudian menatapku dengan pandangan bersungguh sungguh.
    "Aku tahu, tidak ada yang kukejar, Kanna. Kamu sebagai guruku, dan aku menghormatimu, tetapi sekarang kupikir aku ingin bertualang."
    "Aku sudah tidak setuju dengan langkahmu sejak awal. Kamu jenius dalam strategi perang, tetapi tidak menunjukkan ketertarikanmu untuk bekerja di medan perang, dan sekarang kau memilih jadi Sage dan pergi bertualang?"
    Pemuda itu hanya mengangguk mantap.
    Ya.
    Aku begitu mengenalnya.
    Dia adalah anak yang benar benar keras kepala.
    Kalau sudah begini, aku yakin dia pasti tidak akan bisa dipengaruhi siapapun.
    "Terserahmulah!"
    Aku menghardiknya dan membiarkannya lepas dari diriku.
    Pemuda itu hanya tersenyum tipis, kemudian membungkuk dan mengucapkan terimakasih padaku, dan meninggalkanku.
    "Alvin, suatu hari kita pasti bisa bertemu kembali..."
    Ucapku saat aku menatap punggungnya yang menjauh perlahan dari tempatku berdiri.
    Ya, aku pasti akan kesepian.
    Pada dasarnya aku memang bukanlah siapa siapa, dan aku tidak benar benar berniat untuk memainkan game ini.
    Awalnya aku hanya ikut bermain karena anakku memainkan permainan ini.
    Kupikir sebagai seorang ibu, aku harus bisa mengawasi anakku, dan tugaskulah untuk menjaga agar anakku tidak salah bergaul dimanapun kan?
    Apa aku terlalu berlebihan?
    Yah, itu maksudku pada awalnya.
    Tetapi, ternyata aku malah harus menjadi guru ahli strategi anak itu.
    Sungguh aneh memang, entah darimana aku mendapatkan berbagai keahlian berperang, hingga aku digelari si Phoenik Tertidur, karena keahlianku dalam mengatur strategi perang.
    Dan sekarang akhirnya dia pergi meninggalkanku.
    Apa yang aku lakukan sekarang?
    Kuhela nafasku, kuputuskan untuk menunggunya di desa ini, sambil sesekali mengirim orang untuk melihat keadaannya.
    Tak seberapa lama setelah kepergiannya, aku mendengar kalau dia akhirnya terlibat dalam sebuah perang dan menjadi pemimpin perang itu.
    Hmm, anak itu sudah berubah banyak.
    Apa yang sudah mengubahnya?
    Bukankah dia dulunya tidak tertarik sama sekali dengan seni berperang?
    Sungguh disayangkan pada awalnya, karena otak briliannya menolak untuk menerima ilmu strategi dariku, walau aku yang terus terusan mencekokinya dengan berbagai strategi dan seni berperang.
    Tapi sekarang, dia terbukti menggunakan semua kepintarannya untuk berperang.
    Apa yang dia pikirkan?
    Hari demi hari yang aku dengar, karirnya semakin menanjak, hingga dia mencapai jabatan tinggi dan menjadi seorang Bishop di Harmonia yang didirikannya.
    Wow, sungguh luarbiasa.
    Jujur saja, semua catatan prestasinya membuatku sangat tertarik.
    Bukan untuk melihatnya, tapi untuk mencobanya.
    Ya, untuk mencoba melihat setangguh apa dia sekarang.
    Dan itu hanya bisa dilakukan dengan satu cara.
    Menjadi musuhnya.
    Entah keberuntungan darimana, atau mungkin berkat kesabaranku, aku akhirnya mendapatkan kesempatanku itu.
    Perang besar pecah di Harmonia dan Aronia, kedua negara yang menurutku cukup besar.
    Aku sudah memperhatikan banyak negara dan perkembangannya, dan menurutku Aronia bukanlah musuh yang sebanding bagi Harmonia.
    Entah kebodohan apa yang mengantar mereka untuk menantang Harmonia, tapi yang jelas mereka pasti akan habis terbantai dalam sekejap.
    Apalagi Alvin berada di pihak Harmonia.
    Akhirnya aku memutuskan untuk mengirim surat pada seorang anggota Parlemen Aronia, menjelaskan jati diriku, dan analisaku dalam perang mereka, serta tawaran untuk membantu mereka dalam perang ini.
    Ya, tujuanku hanya satu.
    Aku ingin mencoba kekuatan Alvin.
    Tak lama setelah aku mengirim pesan pada mereka, seorang utusan Aronia, seorang lelaki gempal yang memperkenalkan dirinya dengan nama Seagent datang dan berbicara denganku.
    Aku tidak menyukainya, benar benar tidak menyukainya, tapi karena aku sudah terlanjur mengirimkan suratku padanya, maka mau tidak mau aku harus menerima ajakan ini.
    Aku dibawa menuju Rupanda, Ibukota Aronia, dan disana aku dikenalkan dengan Yue, Cardinal sekaligus pemimpin Aronia Holy Kingdom.
    pertama kali dia melihatku, aku tahu, dia adalah orang yang tulus dan menarik, jika dibandingkan dengan Seagent yang sedaritadi terus berceloteh tentang diriku, aku lebih tertarik untuk memberikan pelayananku padanya.
    Pada malam sebelum perang dimulai, aku bertemu dengan Cardinal, dan berbicara padanya mengenai keadaan Aronia.
    Sungguh orang yang sangat menarik.
    Dia berbicara dengan penuh wibawa dan ketulusan, membuatku nyaman berbicara dengannya.
    Dari pembicaraan kami, aku mengetahui kecurigaannya tentang semua yang terjadi, dan kecurigaannya tentang seseorang yang mencoba mengadu domba Aronia dan Harmonia.
    Hanya dari ceritanya, aku sudah bisa membaca semua yang terjadi, dan menjelaskan kembali padanya, beserta semua analisisku, dan juga rencanaku untuk menghabisi Seagent.
    Cardinal setuju, dan mengangkatku menjadi penasihat pribadinya, sementara seseorang lagi yang bernama Keith, seorang Pendeta muda dengan Rune Shield dan Rune Sword di kedua tangannya, diangkat menjadi pelindung pribadinya.
    Keith adalah pribadi yang benar benar kuat dan tangguh.
    Dia begitu loyal pada Cardinal, dan melakukan semua penyelidikan diam diam tentang keterlibatan orang dalam pada perang ini.
    Kami bertiga akhirnya merencanakan sebuah strategi matang untuk menyingkirkan Seagent. Kami merencanakan dengan matang agar semuanya terjadi dengan bersih, sehingga kematiannya murni karena peperangan.
    Entah perasaanku, atau entah memang benar terjadi, tampaknya Cardinal sedikit lebih pendiam akhir akhir ini, dan dia sedikit lebih pemurung.
    Aku biasanya tidak pernah salah saat aku membaca raut dan perasaan seseorang.
    Apa dia patah hati?
    Tidak, bukan itu.
    Kurasa dia kesepian, tapi kenapa?
    Aku tidak mencoba menanyakannya pada Cardinal, karena kurasa pertanyaan seperti itu adalah sebuah pertanyaan yang bersifat pribadi.
    Mungkin bermasalah dengan pacarnya di dunia nyata?
    Entahlah.
    Aku harus fokus pada perang di hadapanku.
    Setelah sekian lama kami melakukan banyak perang perang kecil dan kontak ringan, akhirnya perang besar pecah di Harmonia.
    Seagent telah berhasil kami singkirkan.
    Alvin, atau Arsais sendirilah yang akhirnya membunuh Seagent dengan tangannya.
    Kupikir itu bagus.
    ya kan?
    Dan sekarang giliranku untuk mencoba kekuatan Arsais dengan mata kepalaku sendiri.
    Kupikir ini akan menjadi sebuah perang yang menarik.
    Tapi aku salah.
    Arsais mempertontonkan padaku, sebuah kengerian yang sebenarnya dalam peperangan.
    Aku hampir ternganga saat dia memutuskan untuk terus bertahan walaupun 4/5 pasukan Harmonia ditarik mundur dari komandonya.
    "Mustahil, Cardinal, hentikan perang ini, Arsais tidak mungkin bisa bertahan..."
    Aku berkata dengan panik pada Cardinal.
    Cardinal sama setujunya denganku, tetapi tampaknya para Parlementer korup itu berkeinginan lain.
    Bukannya berhenti, mereka malah semakin bernafsu untuk merebut Valerie dari Arsais.
    Itu cukup membuat Cardinal geram, dan menghabiskan hampir satu jam bagiku untuk menenangkannya.
    Perang itu berjalan sesuai dugaanku, Arsais kehilangan bentengnya dalam waktu kurang dari satu jam.
    Aku dan Cardinal tidak bisa berbuat apapun, kami hanya terdiam saat para Parlementer itu berteriak teriak bagai kesetanan memerintahkan seluruh pasukan untuk membantai habis pasukan Arsais.
    Cardinal berkali kali menyerukan pasukannya untuk berhenti, tapi tampaknya teriakan para pria pria hina itu jauh lebih sesuai dengan nafsu para prajuritnya.
    Arsais yang sudah kehilangan harapannya menggunakan True Runenya untuk menyelamatkan pasukannya dari tentara Aronia.
    Aku dan Cardinal akhirnya memerintahkan pasukan kami untuk mundur, tapi Arsais malah menampilkan kengerian selanjutnya bagi kami.
    Dia menggunakan True Earth Runenya untuk bertempur sendirian melawan kami. Dia membangkitkan ribuan boneka tanah yang berderap berlari ke arah kami.
    "Cardinal, tidak ada cara lain, gunakan Rune mu, hancurkan semua summonnya, dia sudah kehilangan akal sehatnya...."
    Aku sungguh kecewa, tapi di sisi lain aku benar benar bangga, karena walaupun dia kehilangan kontrol atas dirinya, dia masih tetap menomorsatukan teman temannya.
    Cardinal menggunakan True Runenya, dan menghancurkan bala tentara boneka tanahnya.
    Arsais terlihat menengadah dan menggunakan kekuatannya lagi.
    Apa yang dipikirkannya?
    Haruskah kami menggertaknya agar mereka lari dan selamat?
    "Cardinal, mereka tampaknya tidak berniat kabur. Perintahkan pasukan pemanah untuk memanah mereka. Itu akan cukup untuk membuat mereka lari, tapi tidak untuk membunuh mereka."
    Cardinal mengangguk, kemudian ia mengambil panahnya dan berjalan ke deretan pemanahnya.
    "Archer! Cast! Shot!"
    Ratusan anak panah segera beterbangan, dan mengarah pada mereka.
    Seperti dugaanku, mereka segera tunggang langgang menyelamatkan diri mereka.
    ya, mereka semua, kecuali Alvin.
    Dia menggunakan kekuatan Rune terakhirnya untuk berubah menjadi monster.
    Alvin benar benar kehilangan kendali atas dirinya.
    "MEREKA MELARIKAN DIRI!"
    Sial!
    Seorang lagi anggota parlemen beteriak dengan bodohnya, menyadarkan setiap orang termasuk monster besar yang segera mengamuk sejadi jadinya dan menciptakan badai pasir besar.
    Kami kehilangan pandangan kami, dan saat badai itu mereda, tampak semua pasukan Valerie sudah menghilang dari pandangan kami.
    "MEREKA MELARIKAN DIRI! KEJARR!"
    Ingin rasanya aku membunuh orang yang berteriak itu.
    Daritadi satu demi satu anggota parlemen itu memperburuk suasana, membuat Cardinal harus berkali kali mengatur nafas untuk meredakan kemarahannya.
    Kami terus mengikuti pasukan kami menuju Valerie, sebuah istana megah di tengah padang tandus.
    Istana itu tampak sudah hancur disana sini karena efek badai pasir, pekarangannya tampak rusak, dan beberapa batu hancur dan lepas dari tempatnya.
    "Cari mereka, tidak ada jejak mereka pergi ke Central, habisi siapapun yang kau temukan...."
    Seorang dari parlementer itu memberikan perintahnya dengan lugas, dan segera disambut dengan teriakan paham dari pasukan kami.
    Cardinal hanya bisa ternganga, menatap semua kekacauan tanpa bisa berkata apa apa.
    "Cardinal, ayo, temukan mereka lebih dulu, sebelum pasukanmu menemukan mereka..."
    Cardinal mengangguk, Aku, Keith dan Cardinal bergegas masuk ke dalam kastil.
    Bagian dalam kastil tampaknya sudah dirubah dengan sihir menjadi sebuah mozaik dari batu.
    "Arsais, dia mencoba mengulur waktu..."
    Cardinal bergumam, kemudian dia menoleh ke arah Keith, yang hanya mengangguk paham maksud tuannya.
    BRUK!
    BRUK!
    BRUK!
    Keith menghancurkan dinding itu satu persatu dengan Rune nya, dan aku dengan segera kembali menutup dinding itu dengan menggunakan skill Craftsmanku agar tidak ada yang mengikuti kami.
    Setelah sekian lama menembus dinding satu demi satu, kami menemukan Arsais berdiam di tengah Mozaik itu.
    Tubuhnya tampak terluka parah, tapi dia tetap menantang Cardinal untuk bertarung.
    Cardinal hanya menatap lemas padanya.
    Tunggu dulu.
    Apa maksud pandangan itu?
    Bukan kasihan yang ada di dalam matanya.
    Cinta?
    Apakah mereka memiliki hubungan khusus?
    Sedaritadi mereka terus berbicara serius, dan dari pembicaraannya, aku mengetahui kalau ternyata mereka sebelumnya saling dekat tanpa mengenal identitas satu sama lain.
    Tapi, sedekat apa hubungan mereka?
    Kenapa Arsais tampak begitu kecewa?
    Arsais akhirnya memaksa Cardinal, ia menyerang Cardinal dengan sisa sisa kekuatannya.
    Kekecewaan, dan Kesedihan tampak jelas di wajah Arsais.
    Apa mereka sahabat dekat?
    Tubuh Arsais akhirnya menyerah untuk bertarung.
    Arsais roboh di pelukan Jyo. Kami terlibat beberapa pembicaraan serius dengan Arsais.
    "Aku masih mencintaimu..."
    Kata kata itu membuatku seakan disambar petir.
    Apa maksudnya?
    Mereka?
    Kekasih?
    Jyo memeluk Arsais dengan sekuat tenaganya, airmata mengalir dari mata keduanya.
    Apa benar yang aku kira?
    Arsais dan Jyo adalah sepasang kekasih?
    Berarti, mereka gay?
    Tubuhku terasa lemas, aku tidak mampu berkata apa apa lagi, seiring dengan tubuh Arsais yang menghilang menjadi butiran cahaya dan terbang ke udara,
    =======================================
    Kututup harian yang barusaja selesai kubaca.
    Aku menghela nafas.
    Ya, kenyataan yang harus kuhadapi adalah, Alvin adalah seorang gay, dan Jyo adalah kekasihnya.
    Awalnya aku tidak bisa menerima hubungan ini.
    Tapi, lama kelamaan, aku semakin bisa mengerti dan memahami.
    Tidak ada yang berbeda, hanya saja, kemana mereka meletakkan cinta mereka, itulah yang berbeda.
    Lagipula, cinta bisa tumbuh dimanapun, kan?
    Apalagi mereka berdua tampaknya benar benar serius dengan hubungan mereka.
    Kesungguhan Yue tampak jelas setelah kepergian Alvin.
    Yue tampak lebih murung, dan sering melamun.
    Aku semakin lama semakin bisa menerima kenyataan itu.
    Tidak ada yang salah jika kupikir.
    Aku tersenyum, kuletakkan kembali buku itu di rak buku kamarku.
    Kubuka option menu game ku.
    "Wah, sudah jam segini? Aku harus log off!"
    =======================================
    Aku menekan tombol log off, kemudian kumatikan komputerku dan kulepaskan semua perangkat dari tubuhku.
    Aku berjalan keluar dari kamarku, sosok gadis kecil menatapku dari atas meja makan.
    "Malam Ma! Ayo makan!!"
    Senyumanya mengembang, aku membalasnya dengan sebuah pelukan dan kecupan kecil di keningnya.
    "Selamat malam juga Grace. Bik! Bibik! Tolong Alvin dipanggil kebawah, Bilang dipanggil Mama Makan!"
    Aku mengambil kursi di dekat anak gadisku.
    Sosok lelaki muda dengan rambut berantakan turun dari tangga sambil memicingkan matanya.
    "Alvin! Ayo cuci muka! Kita makan bareng!"
    Anak itu hanya mendengus sebal, kemudian segera berjalan ke washtafel.
    Ya, anakku, dia adalah anakku, tidak perduli walaupun dia berbeda, tapi dia tetap anakku. Tidak ada alasan bagiku untuk membencinya.
    Aku terus tersenyum saat mataku mengikutinya berjalan dari washtafel hingga duduk di meja makan.
    "Apa?"
    Tanyanya santai.
    "Ayo makan..."
    Aku membelai rambutnya perlahan, senyuman tipis mengembang dari bibir merahnya
    =======================================
  • hwaa ... mama alvin keren...

    @yuzz im in your top now. menyerahlah...
  • Ternyata mamanya Alvin hobby main game online jg haahaha
  • @idhe_sama kamu bukan lg naikin yuzz
    yg km naikin itu aku....
    #maunangis
    @adysamuel iya
    wkwk


    oia jgn lupa
    kmrn aq apdet 2x
    ada crta lg d atasnya.
  • @silverrain haa... benarkah? dah terlanjur, lanjutx saja...
    #dapat bonus berlebih nih
  • @idhe_sama no no no no.... [-X
    ente ga liat sapa yg nulis pertamax diatas sana..
    ane tetep yg on your top.. >:)

    Aduh..perang maning perang maning...
    #pagi2 sarapan tnntd
  • Waa kampret bin sialan. Kuntilanak kudisan! Dari kemarin mau ikutan komen ini cerita + kenalan sama TSnya malah gagal trus. Giliran ngetik test doang bisa.
  • WOW lagiii !!! Mama Alvin kanna ? ASTAGA .. Asli gokill . Kaget aku . Masih sambil planga-plongo ini .
  • WOW lagiii !!! Mama Alvin kanna ? ASTAGA .. Asli gokill . Kaget aku . Masih sambil planga-plongo ini .
Sign In or Register to comment.