BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Night, and The Day - END - page 111

14647495152117

Comments

  • @silverrain silvy blom dapet ya wangsit crita. perlu sesajenan malam jumatan kayakx. bantuin tuh @yuzz
  • haghaghag..
    si silvy masih gak enak badan @idhe_sama n all..

    jadi mohon dimaklumi ya.... GWS buat silverrain.. :-*
  • edited November 2012
    Alvin's View

    "Gimana sudah semua belum?"
    Mama mengedarkan pandangannya ke seisi kamar, memeriksa dengan teliti seluruh sudut kamar.
    "Kenny, Kevin, makasih loh sudah bantu beres beres! Nanti kalian ke rumah ya? Tante mau masak buat kita, itung itung syukuran juga!"
    Ujar Mamaku lagi sambil tersenyum ke arah Kevin dan Kenny yang mengangguk sopan.
    "Yahh, akhirnya, kamu keluar juga dari rumah sakit sayang!"
    Sebuah belaian lembut mendarat di atas kepalaku. Tangan mamaku membelaiku dengan lembut.
    "Yeah, bisa pulang, akhirnya, ga perlu lagi bolak balik rumah sakit, mama juga bisa istirahat lagi..."
    Arvin berceletuk sambil mengangkat sebuah koper ke atas kasur di sampingku.
    "Yeah, setelah ini kami semua bisa lebih santai deh! Kevin juga pasti bakal lebih fokus untuk kudeta hmpffhh..."
    Kenny segera membungkam mulutnya dengan tangan kanannya saat Arvin dan Kevin melotot ke arahnya.
    Kudeta?
    Akhirnya mereka bergerak?
    Sudah sejauh mana mereka mengetahui hal itu?
    Ah, entahlah.
    Masa bodoh dengan urusan itu.
    Aku sudah bertekad untuk tidak akan menyentuh game itu lagi.
    Jyo...
    Apa kabarmu sekarang?
    Apa yang terjadi setelah pertempuran di Valerie?
    Aku benar benar ingin tahu bagaimana dengannya sekarang, tapi jelas tidak mungkin aku bertanya kepada Kevin maupun Kenny.
    Mereka pastinya akan bertanya tanya apa hubunganku sebenarnya dengannya.
    Ya kan?
    "Haii...!!"
    Sebuah suara yang cukup kencang mengagetkanku, kami semua serentak menoleh ke arah pintu, seorang lelaki dengan celana jeans biru dan kaos polo kuning memasang senyuman lebar dari arah pintu.
    "Ah, dokter! Sampai datang kemari!"
    Pria itu tersenyum malu sambil menggaruk garuk kepalanya, kemudian menunjuk ke arahku.
    "Iyah, aku baru selesai shift, kudengar Alvin mau pulang hari ini, jadi aku sempatin kemari buat ngobrol sama Alvin!"
    Dia kembali tersenyum jenaka, memamerkan deretan gigi yang terawat rapi.
    "Tante boleh pinjam Alvinnya? Nanti saya kembalikan..."
    "Ahahaha, dokter ada ada aja! Boleh! Dibawa aja!"
    "Tapi ma, Alvin kan masi belum sembuh..."
    "Udah, ga apa apa Ar..."
    "Tapi nanti kalo lukanya terbuka lagi?"
    "Ga mungkin, Dokter pasti akan menjaga Alvin lah, ya kan dok?"
    Mama mengangguk ke arah dokter tanpa memperdulikan Arvin yang masih tampak tidak setuju membiarkanku pergi keluar.
    "Yasudah, kalo gitu Mama mau urus administrasi rumah sakit dulu, kalian tunggu aja disini ga apa apa."
    Mama mengangguk sambil tersenyum lagi ke arahnya, kemudian segera berjalan keluar dari kamar.
    Aku segera mengenakan sweater abu abuku, kemudian beranjak berdiri.
    "Dok, bisa temani aku? Aku mau ke taman."
    Wajah tampannya kembali mengangguk riang, kemudian segera membantuku berdiri.
    "Aku titip pesan ke Mama ya, kalo aku ada di taman..."
    Arvin mendengus sebal, tampaknya dia tidak setuju, entah kenapa sikapnya terlihat aneh, biasanya dia selalu terlihat santai dan tidak pernah emosi.
    Entahlah.
    =======================================
    Silver's View

    "Hei, Arvin, kamu kenapa sih? kayaknya lagi sensi banget?"
    "Iyah, iyah bener!"
    Kevin dan Kenny saling berpandangan kemudian saling mengangguk sambil menatap Arvin yang masih memandangi pintu kamar dengan geram.
    "Entahlah, entah kenapa aku tidak menyukainya, aku merasa Alvin tidak sebaiknya berdekatan dengannya...."
    Arvin menggeram, seakan Alvin adalah barang berharga yang barusaja direnggut darinya
    "Hei, kenapa sih, sudahlah, mungkin cuma perasaanmu..."
    "Entahlah, mungkin..."
    Arvin mengangkat bahunya, kemudian kembali mengemasi kasur dengan santainya.
    "Hmm...."
    Arvin berjongkok, menarik keluar sebuah Emblem berwarna perak.
    "Emblem Harmonia? Ini milikmu, Ken?"
    "Apa?! Bukan, aku bukan! Ini punyaku...!"
    Kenny dengan panik segera menarik keluar emblem yang dipasangnya di tas pinggangnya.
    "Oh, Kamu Kev?"
    "Enggak, punyaku ada nih..."
    "Terus?"
    Ketiga orang itu berpandangan dengan penuh tanda tanya, meneliti lambang yang berada di tangan mereka.
    "Warna ini..."
    =======================================
    Alvin's View

    Aku segera berdiri, mengenakan alas kaki, kemudian berjalan keluar.
    "Wah, syukurlah, aku sempat takut kamu ga bakal keluar dari rumahsakit! Hahahaha!"
    Dokter muda itu tertawa lepas, saat ini kami sedang menyusuri lorong rumah sakit menuju gerbang belakang yang langsung mengarahkan kami menuju taman.
    "Kemarin kamu sempat jadi bahan pembicaraan lho, di ruang dokter, karena kamu gamau makan sama sekali. Hmph, kenapa sih?"
    Aku hanya mengangkat bahuku, dan terus berjalan beriringan dengannya.
    Sebentar lagi sampai di pintu luar, mungkin ini kali terakhir aku akan duduk di pinggir danau ini, aku ingin menikmatinya untuk terakhir kalinya.
    Aku meremas kedua kepalan tanaganku, dan mengatupkan rahangku dengan kuat, karena sebersit rasa perih kembali menyeruak di dalam dadaku.
    Kupercepat langkahku, semakin cepat, berharap semua rasa sakit ini dapat beralih dari dalam dadaku, tertinggal karena aku berlari.
    Sial, tidak ada yang berubah, semakin aku berusaha lari, yang ada aku malah semakin sakit karenanya.
    Sial.
    Aku masih terus meremas kepalanku, saat sebuah lengan merangkul ringan di bahuku.
    "Dokter...?"
    Pria muda itu tersenyum, kemudian mengusap rambutku dengan lembut.
    "Kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"
    "Tidak..."
    "Jangan bohong, sepintar pintarnya kamu menutup ekspresimu, jelas aku lebih pintar membacanya. Ga apa apa, cerita aja, jangan ditahan..."
    Dia tersenyum ramah, sambil terus membimbingku ke sebuah kursi besi putih di tepi danau.
    "Ayo, cerita aja..."
    Dia memandangiku.
    Sejenak aku tertegun, wajahnya terlihat familiar padaku.
    Campuran rasa yang aneh menyeruak di dalam dadaku.
    Sakit.
    Tapi entah kenapa terasa begitu rindu, yang membuat rasa sakitnya semakin mendalam.
    "Sulit ya?"
    Tanpa kusadari dia telah membekapku, membenamkan kepalaku di dalam dadanya.
    Sensasi rasa yang aneh kembali menyeruak di dalam dadaku.
    Tidak, ini bukan perasaan biasa.
    Rasanya begitu perih, penuh dengan keraguan dan harapan kosong, tapi juga begitu bahagia.
    Rasa apa ini?
    Aku akhirnya membenamkan mukaku semakin dalam di dadanya.
    "Kok basah, kamu nangis Alvin?"
    Kugelengkan kepalaku dengan lemah, mengingkari apa yang sedang terjadi di bawah sini.
    Aku tidak mampu membendung airmataku, perasaan yang begitu sakit, Jyo, dan semua yang sudah terjadi, rasanya begitu sakit di dalam dadaku, dan entah kenapa saat ini memaksa keluar di dalam pelukannya.
    "Oh, kamu ga menangis ya, yaudah, sini..."
    Dia membelaiku lembut, membiarkanku tetap berada di pelukannya tanpa bertanya lebih lanjut.
    "Hmm, semakin hari kamu semakin berubah, kamu sudah ga keras dan tertutup kayak waktu pertama kamu ada disini..."
    Dia berbicara dengan santai, seakan aku tidak mengalami apapun, mungkin terkesan tidak perduli, tapi justru hal itulah yang membuatku merasa enakan.
    "Udah ga jutek lagi, udah sering senyum juga, aku perhatikan. Hahahaha..."
    Dia berbicara dengan riang tanpa melepaskan dekapannya di kepalaku, membiarkanku tetap menggali ke dalam pelukan hangatnya.
    "Ah, aku punya sesuatu untukmu!"
    Aku merasakan tangannya berpindah dari kepalaku, kemudian merogoh tas kecilnya.
    "Nih..."
    Aku menegakkan wajahku, menatap sebuah barang kecil yang ada di hadapanku.
    Sebuah boneka berbentuk oval dengan warna merah tanpa mata dan wajah aneh disodorkannya padaku.
    "Kamu tahu ini apa? ini boneka Daruma. Kupikir cocok untukmu, karena kamu selalu murung.."
    Aku mengernyitkan dahiku, memandangi boneka aneh yang ada di tanganku, tampaknya sebuah pemberat diletakkan di bagian bawahnya, seingga boneka akan terus berdiri walaupun digulingkan.
    "Lihat boneka itu, dia terus berdiri walau digulingkan, lihat kan? itu pesan dariku untukmu, seperti boneka ini, walaupun dia terus...."
    "Terus dijatuhkan dia akan terus berdiri, kamu memberitahuku untuk seperti boneka ini, supaya terus berusaha walaupun gagal berkali kali, aku harus terus berdiri...?"
    Dia menatapku sambil terbengong, kemudian kembali tersenyum jenaka sambil menggaruk rambutnya.
    "Wah wah, sudah ketahuan ya...?"
    Dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
    "Tapi dia punya satu keajaiban lagi..."
    "Apa itu?"
    Pria muda itu tersenyum, mengambil sebuah spidol dari dalam tasnya, kemudian meletakkan boneka itu di telapaknya, dan mengatupkan kedua matanya.
    "Aku berharap, Alvin bakal selalu tersenyum suatu hari nanti..."
    Aku melongo melihatnya tersenyum ke arah boneka seakan boneka itu mengangguk padanya.
    Dia membuka tutup spidolnya, kemudian menggambarkan sebuah mata di mata kanannya.
    "Boneka ini juga dipakai untuk membuat permohonan. Aku menggambar sebuah mata, berharap dia mengabulkan permintaanku, dengan berjanji, kalau sudah terkabul aku akan kembali dan menggambar sebelah lagi mata untuknya.."
    Dia memberikan boneka itu kembali padaku sambil tersenyum.
    "Aku memohon senyumanmu, karena aku sudah pernah bilang kan, kamu lebih cocok tersenyum..."
    Dia memberikan boneka itu ke tanganku sambil tersenyum lembut, mengacak acak rambutku sejenak, kemudian segera berdiri.
    "Yahh, sudah sore banget! Aku harus pulang...."
    Dia menepuk dahinya dengan terkejut, kemudian segera membalik tubuhnya, dan berjalan berlalu dariku.
    "Dokter!"
    Aku tanpa sadar memanggilnya, dia menoleh, menatap ke arahku, senyuman riangnya kembali merekah di wajahnya.
    "Terimakasih! Sampaikan salamku untuk Dokter Rio..."
    Dia mengacungkan jempolnya sambil memamerkan deretan giginya padaku.
    "Dok, kalau ada waktu, datang ke rumahku.."
    "Pasti!"
    Dia memberikanku acungan jempol dengan sebelah tangannya lagi.
    "Terimakasih, dokter.... um....."
    "Christ!"
    Dia tertawa, kemudian kembali tersenyum lebar padaku, sebelum akhirnya melihat jam, kembali menepuk dahinya, dan segera berlari pergi.
    =======================================
  • lhooohhhhh.....???? kok malah christ.?? walahh... udah dikira itu rioo...huaaaa...

    ada typo tuh

    "Alvin berjongkok, menarik keluar sebuah Emblem berwarna perak." Harusnya kan Arvyn.

    dan

    "Wah wah, sudah ketahuan ya...?"
    Dia mengedipkan sebelah matanya padamu. Harusnya padaku.

    Poto mana poto?? kasi yg pantatnya lega itu ya..wkwkwk =))
  • Emblem td punya Christian ‎​♡≈Ўªãª≈♡ ??
    Updatex tambah lg donk ƳαЛġ byk. =D
  • @silverrain itu ogud pan dimenyen tp kaga ada notip dah, ngapa yak? Btw thanks ya brader udah dimensyen. Lop yu :*
  • hwaa... diupdate... thank u @silverrain. hari2ku nambah asyik nech...

    btw si christ tuh lord marty ya? aku kira dia asistenx lord jyo
  • edited November 2012
    Rio's View

    Brrrmmm
    Kuputar kunci yang tergantung di motorku, dan secara otomatis suara deruman motorku menghilang sesaat sambil terbatuk batuk.
    Aku turun dari motorku, dan merapikan rambutku.
    "Rio! Hei! Rio!"
    "Ah, Christ!"
    Pria yang ada didepanku merapikan tarikan nafasnya yang tadi tersengal karena berlari ke arahku.
    "Akhirnya kita bareng bareng shift pagi juga! Lama ga ketemu yah!"
    Aku hanya menggeleng sambil menghela nafas.
    Dasar anak lebay, baru juga 3 hari ga ketemu karena beda shift sudah bilang lama.
    "Barusan juga 3 hari ga ketemu!"
    "Oh, iya yah, kamu kurusan ya...!"
    Aku kembali menghela nafasku.
    Emang ada ya orang yang bisa mendadak kurus dalam 3 hari?
    "Berlebihan kamu! Hahahaa!"
    Aku merangkul bahunya perlahan, kemudian membimbingnya keluar dari tempat parkir rumah sakit.
    "Hmm, kamu lebih santai ya hari ini?"
    Christ berujar sambil berusaha melepaskan diri dari dekapan tanganku.
    Aku semakin memperkuat dekapan tanganku.
    "Maksudmu?"
    "Yeah, kan pasienmu berkurang satu, Alvin, ingat?"
    Oh, iya benar juga.
    Alvin ya?
    "Yeah, kurang satu, hehehe..."
    "Kenapa malah murung? Enak kan pasienmu berkurang satu?"
    Christ menatapku dengan bingung sambil memegangi lehernya, tampaknya bekas dekapanku meninggalkan bekas di lehernya.
    "Yeah, hahaha! Asik, lebih santai ya..."
    Aku berbicara seadanya, sambil terus berjalan beriringan dengannya.
    "Yeah, asik ya, kemarin waktu mereka mau pulang, aku nyempatin diri ngobrol sama Alvinnya. Dan kamu tau? Kembarannya kayaknya ga suka ama aku. Oh, ya, dia juga titip salam untukmu, katanya kita diajak datang sesekali."
    Aku hanya mengangguk dan tersenyum simpul.
    Aku tahu, yeah, aku tahu semuanya, kamu yang tidak tahu...
    ==============flashback===================
    "Dokter Rio? Ada apa? Anda hari ini libur kan?"
    Seorang perawat menatapku dengan bingung karena aku tiba tiba muncul di pintu rumah sakit.
    "Iya, aku libur hari ini..."
    Aku tersenyum ke arahnya.
    "Lalu kenapa? Apa dokter mau bertemu dengan Dokter Kepala?"
    "Ah, tidak! Aku cuma mau membesuk temanku disini..."
    "Ohh, ya! Silahkan! Hehehe."
    Perawat itu segera mempersilahkanku meneruskan perjalananku.
    Aku pun tidak mengerti kenapa hari ini aku ada disini.
    Padahal satu jam yang lalu aku masih bersantai di rumah sambil mendengarkan musik dari mp3 ku.
    Entah kenapa tiba tiba terbersit pikiran bahwa Alvin akan pulang hari ini, dan tanpa dikomando otakku segera memerintahkanku untuk bergerak ke rumah sakit.
    Aku memandangi lorong utama yang tampak lengang dari pengunjung, mungkin karena ini memang bukan jam besuk, sehingga hanya penjaga pasien yang mungkin berada di dalam lingkungan rumah sakit ini. Aku masih berpikir, apa yang tadi mendadak membuatku berangkat.
    Perasaan tidak rela? Perasaan apa itu?
    Mengapa aku merasa tidak rela saat aku berpikir Alvin akan pulang hari ini.
    Hmm..
    Mungkin cuma perasaanku?
    Lagipula, aku juga masih ada satu hal yang harus aku konfirmasi.
    Tentang si pirang kecil itu.
    Ya.
    Kenny.
    Aku harus mencari informasi darinya.
    Aku yakin emblem yang aku ambil saat itu ada hubungannya dengan Harmonia.
    Aku yakin dia pasti punya informasi dimana Arsais yang lama berada.
    Alvin.
    Hmm?
    Nama yang kebetulan sama?
    Aku menggeleng kuat, kemudian segera fokus pada tujuanku.
    Mana mungkin Alvin yang dirawat di rumahsakit ini adalah Arsais, kalau memang benar, tidak mungkin dia bisa memimpin perang dengan keadaan tubuh seperti itu.
    Aku masih menapaki langkahku menembus lorong rumah sakit ini, saat aku mendapati Ibu Alvin masih mengantri untuk pembayaran di kasir rumahsakit.
    Syukurlah, berarti mereka pasti masih ada dikamar!
    Nyaris saja, sebentar lagi aku pasti terlambat!
    Aku berlari lari kecil untuk mempercepatku sampai ke kamar Alvin, karena ruangannya memang terletak di sisi terujung dari rumah sakit ini.
    "Syukurlah..."
    Aku bernafas lega saat aku mendapati kamar Alvin masih terbuka, dan sayup sayup aku mendengar ada yang berbicara di dalam kamar.
    "Kenapa sih Ar? Kamu keliatan sewot banget ama dia..."
    Hmm? Suara itu
    Kenny, ya, aku yakin itu Kenny.
    "Permisi..."
    Aku mengetuk pelan pintu kamar Alvin sambil berjalan masuk dengan hati hati.
    Tiga pasang mata segera menatapku dengan waspada.
    Aku nyaris tertawa saat menatap mereka.
    Tatapan itu, bukan tatapan anak SMA biasa, mereka tampak jauh lebih awas dan waspada untuk anak yang tidak pernah berkelahi.
    Mungkin perkiraanku benar? Mereka adalah orang orang Harmonia?
    Lagi lagi pikiran gila.
    Hahaha
    Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan.
    Di dalam ruangan hanya ada Kevin, Kenny, dan Arvin, sedangkan ranjang Alvin sudah kosong dan tertata rapi.
    Apa Alvin sudah pulang?
    "Dokter Rio?"
    Arvin menoleh ke arahku dan menatapku dengan bingung.
    "Katanya dokter hari ini ga masuk?"
    Aku mengangguk ke arahnya, dan tersenyum ramah.
    "Yeah, aku cuma mau nemuin Alvin aja, kan hari ini kalian pulang, mau kasih salam perpisahan juga..."
    Aku menjelaskan maksudku, Arvin tersenyum ramah.
    "Oh, Alvin? Barusan aja dia keluar sama temannya dokter. Dokter umm... Siapa ya..."
    "Christ?"
    "Oh ya, Christ!"
    Arvin menjentikkan jarinya, kemudian memasang senyuman lebar ke arahku.
    Christ?
    Christ mengajak Alvin keluar? Tumben sekali dia mau mengunjungi orang yang bukan tanggung jawabnya.
    Ada apa ya?
    "Kayaknya mereka mau ke taman tadi..."
    Arvin menunjuk ke arah jendela, tepat ke arah taman yang ada di seberang jendela.
    "Oh, ya, oke, makasih ya, kalau gitu aku nyusul kesana aja..."
    "Hmm, dokter!"
    Aku menoleh ke arah kananku, dan senyuman Kenny segera merekah saat wajahnya bertemu denganku.
    Dia mengangguk angguk dengan bersemangat.
    Apa maksudnya?
    Hmm, aku ingin sekali menanyakan apa yang dia tahu tentang Harmonia, tapi aku yakin, kedua orang disini tentu adalah anggota Harmonia juga, dan jika aku mengambil resiko menanyai Kenny, mungkin mereka akan segera waspada dan mengunci mulut dengan rapat.
    Hmm.
    "Ada perlu apa ketemu Alvin?"
    Pertanyaan Kevin sontak membuatku terkejut dan membangunkanku dari lamunanku.
    Kevin menatapku dengan dingin, tanpa ekspresi.
    "Ah, cuma mau mengucapkan salam perpisahan, lagipula mungkin nanti belum tentu akan ketemu lagi kan..."
    Kevin mengangguk singkat, tanpa melepaskan tatapannya dariku.
    Anak satu ini, benar benar menunjukkan ketidaksukaannya padaku secara frontal rupanya.
    Kenapa dia tidak suka padaku?
    Ah, entahlah.
    Lebih baik aku menyingkir dari anak ini.
    "Aku permisi dulu kalau begitu!"
    Aku mengangguk ramah, dan mereka bertiga membalasku dengan anggukan juga, walaupun Kevin masih menatapku dengan tatapan tidak suka.
    Aku bergegas keluar, dan berjalan ke arah pintu belakang.
    "Hmm...?"
    Dari kejauhan, aku melihat Christ dan Alvin berjalan di depanku.
    Hmm
    Christ tampaknya merangkul Alvin kuat sambil berbicara sesuatu, entah apa yang mereka bicarakan.
    Aku memutuskan untuk tidak mengganggu pembicaraan mereka dan berjalan perlahan mengikuti mereka.
    Mungkin nanti begitu sampai di taman aku baru akan bergabung dengan mereka.
    Mereka mengambil sebuah kursi di tepi danau, tidak jauh dari tempatku sekarang berdiri.
    Setelah mengamati keadaan, aku akhirnya memutuskan kalau itu saat yang tepat untuk bergabung dengan mereka.
    Tepat pada saat aku hampir mencapai mereka, Christ mendadak memeluk Alvin di dadanya, membuatku membatu dalam keterkejutan.
    Hah?!
    Apa apaan ini?
    Setahuku mereka tidak pernah berhubungan.
    Apa Christ dan Alvin saling kenal?
    Enathlah, mungkin mereka keluarga, benar kan?
    Hmm...
    Entah kenapa ada sebersit perasaan tidak suka muncul di dalam dadaku.
    Hmm, perasaan apa ini?
    Apa karena aku merasa cemburu pasienku lebih dekat padanya?
    Tidak, ini jauh lebih dalam.
    Hmm...
    Mungkin aku mulai menyukai Alvin...?
    "Shoot...."
    Aku mengumpat pelan.
    Sebegitu mudahkah aku melupakan Arsais?
    Aku mengutuki hatiku.
    Apa aku benar benar semudah itu melupakan seseorang?
    Hmm...
    Christ memberikan sebuah boneka berwarna kemerahan kepada Alvin.
    "Persetan..."
    Aku melangkahkan kakiku pergi dari tempatku berdiri, memutuskan untuk tidak meneruskannya, karena hatiku memerintahkanku untuk lebih baik menjauh.
    Aku sebaiknya tidak meneruskan melihat ini.
    Karena semakin aku cemburu semakin aku mengakui kalau aku menyukai Alvin.
    dan itu berarti aku mengkhianati Arsais.
    Aku melangkahkan kakiku, masuk kembali ke dalam gerbang belakang lorong rumah sakit, dan menyandarkan punggungku di teralis besi yang menjadi penutup gerbang saat malam turun.
    Aku memejamkan mataku, dari sini pun aku masih bisa mengamati apa yang dilakukan oleh Christ dan Alvin dari kejauhan, tapi aku menutup mataku, dan memusatkan pikiran untuk tidak memikirkannya.
    "Dokter Rio...?"
    Aku membuka mataku, melihat ke hadapanku.
    Anak ini...
    Kenny menatapku dengan bimbang, tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi tampaknya dia menyimpannya di dalam hatinya.
    "Ah, Kenny! Ada apa...?"
    Kenny menyunggingkan senyuman ke arahku, tampaknya dia sedikit menjaga jaraknya dariku.
    "Kenapa dokter sedih...?"
    Ahh, anak ini, benar benar kekanak kanakan! Tapi karena sifat polosnya, justru dia jadi lebih peka ya?
    Hmm, mungkin aku harus lebih peka didekatnya.
    "Ga, aku ga kenapa kenapa, ada apa Kenny?"
    "Ga, aku cuma mau minta maaf tadi Kevin jutek ke dokter, ya kan? Maaf ya dok..."
    Kenny memain mainkan jari telunjuknya, sambil menundukkan kepalanya.
    "Ahh, ga masalah, kamu juga ga ada salah kok, oke, jangan dipikirkan!"
    Aku tersenyum, berusaha sebaik mungkin menutup wajah murung dari ukiran mukaku.
    "Yaa, Makasih! Hmm, ini punya dokter?"
    Kenny menghunjukkan sebuah benda yang membuatku tertegun.
    Sebuah emblem berwarna putih, dengan lambang yang begitu kukenal.
    Ya, lambang yang sampai sekarang menjadi misteri bagiku.
    "Apa itu? Kamu dapat dimana?"
    "Di kamar, hmm, bukan punya dokter? Ketemu di kasur Alvin tadi, apa mungkin punya Dokter yang satunya ya?"
    "Christ?"
    "Ah, mungkin! Soalnya selain dokter cuma dia yang datang..."
    "Bukannya ada Mamanya Alvin dan dua temanmu itu? Mereka juga pernah kemari kan?"
    "Ga, itu bukan punya Mama Alvin, dan juga pasti bukan milik Kak Yujii atau Marco..."
    Hmm, Kenny tampaknya memberiku sebuah petunjuk.
    Yujii? Marco?
    Kenapa Kenny begitu yakin?
    Dari perkataanya aku bisa menyimpulkan kalau dia tahu jelas arti emblem ini.
    Apa dia menjebakku?
    Atau dia benar benar tidak tahu?
    Kuperhatikan Emblem itu.
    Semuanya terlihat persis dengan Emblem miliknya, hanya warnanya berbeda.
    Apa ini menunjukkan Grup tertentu?
    Berarti Kenny dan semua temannya berada dalam satu grup.
    Dan seseorang yang dicarinya, yang memiliki Emblem ini, adalah anggota grup lainnya.
    Kalau benar ini milik Christ, berarti Christ mungkin adalah salah satu dari rombongan lainnya itu.
    Dan mungkin Alvin disana pun terlibat.
    "Ah, Lambang ini, familiar untukku, mirip lambang mainanmu kemarin kan? Apa ini lambang geng gitu?"
    Kenny melotot menatapku.
    Dia masuk jebakanku.
    "Apa ini lambang grup tertentu? Lambangnya, kelihatan di desain dengan teliti, apa ini lambang penting?"
    Kenny tampak kehabisan kata kata sejenak.
    "T..Tidak, ini bukan kok..."
    "Hmm? Tapi kayaknya ini rahasia banget ya? kemarin sampe disembunyikan gitu?"
    "A..Ahh....."
    "Ga ada rahasia, kami cuma mau tau ini punyamu atau bukan..."
    Kevin?
    Dia menatapku dengan dingin dan penuh waspada.
    Kevin berjalan dengan cepat, mengambil emblem putih keemasan itu, kemudian memberikannya padaku.
    "Kami menemukannya, bukan milik kami..."
    Kevin mengamit tangan Kenny, kemudian dengan hati hati membawanya pergi.
    Semakin membuktikan perkiraanku.
    Dan sekarang, aku tinggal membuktikan semua teoriku, dan mencari informasi dari mereka, dimana Arsais sekarang, dan siapa Arsais sebenarnya.
    Mungkin Arsais adalah salah satu diantara mereka?
    Who Knows?
    ============end of flashback=================
    Yeah, dan sekarang mungkin akan sulit untuk mencari informasi, karena sekarang mereka sudah tidak mungkin berada di rumah sakit ini.
    "Oh yeah, Alvin mengundang kita untuk datang ke rumahnya sesekali."
    Voila!
    Kebetulan yang menyenangkan!
    Alvin memberiku jembatan untuk mengorek lebih banyak informasi.
    Dan sekarang, aku hanya perlu mengorek informasi dari Christ.
    "Christ, kemarin mereka menitipkan ini padaku, katanya mungkin ini milikmu yang ketinggalan di kamar Alvin..."
    Aku mengangkat tinggi emblem berwarna putih dengan corak emas di pinggiran ukirannya, menunjukkannya dengan bebas ke arah Christ.
    Bila Emblem ini memang benar penting dan mungkin berbahaya jika di tunjukkan, aku yakin ekspresi Christ akan sama seperti Kenny saat itu.
    Christ sejenak memicingkan matanya, mengamati dengan seksama benda itu.
    "Yeah, benar, itu milikku..."
    Dia menjawab pertanyaanku dengan santai, mematahkan semua praduga praduga dan pertanyaan lanjutan yang akan aku berondong ke padanya.
    Dia dengans santai mengulurkan tangan, memintanya dariku, kemudian mengamatinya sejenak dan kembali meletakkannya di dalam sakunya.
    "Thanks..."
    "Itu Lencana ya? Apa lencana grup mu?"
    "Well, yah, lencana ini? Yah, semacam itulah..."
    Christ menjawab pertanyaanku lagi lagi dengan nada tenang dan riang seperti biasanya, seakan percobaanku untuk mengejutkannya barusan hanyalah sebuah hal biasa.
    Apa memang tidak ada yang penting?
    Tidak, Christ bukanlah orang bodoh, pasti dia sudah lebih dulu mengantisipasinya saat dia melihatku mengacungkannya.
    Aku kenal Christ, dan dia tipe orang yang berpikiran cepat dan pandai menyembunyikan emosinya.
    Jadi, hal barusan tidak bisa aku jadikan kesimpulan berarti.
    Aku harus mencari tahu lebih lagi, dan orang yang cocok untuk itu adalah Kenny, ya, aku harus bisa memisahkannya dari rombongannya dan menanyainya, aku yakin aku bisa mendapat jawaban yang memuaskan darinya....
    =======================================

    Silver's View

    "Leknaat..."
    Wanita cantik dengan mata selalu tertutup itu membalikkan tubuhnya dari hadapan bola kristal di hadapannya.
    "Windy...?"
    "Hahaha, Bahkan dengan mata tertutup kau bisa melihatku?"
    "Ini karena karakterku memang memiliki mata yang buta, tapi aku bisa melihatmu dengan jelas, walau begitu..."
    "Yeah. Aku tahu..."
    Seorang wanita lain yang terlihat sedikit lebih tua, dalam balutan jubah putih dan merah muda berjalan perlahan.
    "Kamu mengawasinya? Ada hal menarik yang sedang terjadi belakangan..."
    Windy mendudukkan dirinya di salah satu dari kedua takhta yang ada di ruangan itu.
    "Yeah, kita adalah Game Master, tidak mungkin aku melewatkannya. Perang Harmonia, benar?"
    Windy mengangguk.
    "Wah, kamu sudah mengetahuinya?"
    "Yeah, bahkan mungkin aku sudah ikut terlibat di dalamnya..."
    Ujar Leknaat
    Windy menghela nafasnya.
    "Wah, padahal seharusnya kita, Keeper of the Gate tidak seharusnya ikut terlibat,,,"
    Leknaat tersenyum simpul.
    "Seharusnya, tapi entah kenapa, perang ini menyeret banyak orang untuk berdiri di salah satu sisinya. Banyak negara sudah mulai bersekutu dengan kedua sisi, dan aku pikir perang besar mungkin tak terelakkan..."
    "Menarik sekali..."
    Windy mengamati dengan takjub ke dalam kristal yang berpedar lembut.
    "Jadi, saudaraku, haruskah kita ikut bergabung kali ini...?"
    Leknaat menggeleng.
    "Entahlah, tapi kalau ke 27 True Rune terkumpul dan ikut berperang, mungkin, akan jadi perang yang begitu besar..."
    Windy terkekeh pelan.
    "Satu dari mereka ada pada kita..."
    "Dan satu yang terkuat, Circle Rune ada pada Harmonia, Beast Rune pun bersemayam di dalam Great Temple. Kekuatan keduanya tidak bisa dibandingkan dengan Kelima Element Rune yang kekuatannya hampir sebanding dengan Rune biasa..."
    Leknaat berbicara dengan tenang sambil memutar kristal di hadapannya.
    "Bila waktunya tiba, kita Watcher of Balance pasti akan terlibat..."
    "Begitukah?"
    Leknaat mengangguk pelan, kemudian mengusap bola kristal di hadapannya dengan kedua tangannya, dan bola itu menghilang di udara.
    Windy menatap ke arahnya.
    "Jadi, saudaraku, sisi mana yang kau pilih...?"
    Leknaat menoleh, kemudian tersenyum simpul.
    "Aku masih menunggu..."
    "Menunggu?"
    "Menunggunya, Sang Pangeran, yang sudah membuatku tertarik untuk terlibat dalam peperangan ini..."
    Windy menatapnya dengan penasaran.
    "Pangeran? Bukankah orang yang kau bantu itu sudah terbunuh dalam perang pertama?"
    "Dia hanya beristirahat, dia sudah menyatakan semua rencananya padaku, benar benar seorang ahli strategi brillian, dia bahkan merencanakan semuanya, dan tidak ada satu pun luput dari pandangannya. Semua perang ini bahkan sudah diramalkan olehnya. Aku yakin dia akan membawa kemenangan bagi pihak yang dipilihnya..."
    "Dan kita akan bergabung di sisi nya?"
    Leknaat menjawab pertanyaannya dengan anggukan.
    "Dan sisi mana yang dipilihnya...?"
    "Tidak keduanya..."
    "Maksudmu?"
    "Dia akan menyelesaikan perangnya, tapi tidak akan berada di sisi keduanya. Dia hanya berkata 'Aku akan mengembalikan apa yang sudah aku rebut' entah apa maksudnya..."
    Windy menggigit bibir bawahnya, berusaha mencerna maksud perkataan barusan.
    "Bingung? Entahlah, dia orang yang menarik..."
    "Menurutmu bila kita menggunakan Gate Rune kita, apakah tidak akan membuat perang ini timpang?"
    Leknaat menggeleng
    "Harmonia sudah menjadi terlalu kuat, para pemegang Rune mulai berdatangan dan bergabung ke arah mereka. Entah apa yang dilakukan Kelima bishop hingga mereka bergabung dengan Aronia, tapi aku yakin itu adalah bagian dari rencana Pangeran. Mempertimbangkan hal itu, Gate Rune kita pun mungkin masih tidak akan sebanding dengan kekuatan mereka..."
    Leknaat dengan yakin menjawab pertanyaan Windy.
    Leknaat kembali menghela nafasnya, kemudian berjalan ke dinding di sisi takhtanya.
    "Masih ada satu rune yang belum terbangun, dan itu akan jadi Rune sang Pangeran..."
    "Hahaha! Tampaknya anak satu ini benar benar menarik perhatianmu sampai kau menganak emaskan nya ya, ingat kita Game Master dan tugas kita untuk tidak berat sebelah."
    Leknaat hanya tersenyum.
    Windy memandang ke arah dinding yang ditatap Leknaat, tempat dimana 27 batu berpedar, beberapa diantaranya berwarna merah.
    "Apa yang berwarna merah itu?"
    "Mereka yang bergabung dengan Harmonia..."
    "Sebanyak itu? Sudah 10 True Rune?"
    "Yeah..."
    Windy menunjuk ke arah baru paling depan yang berwarna Putih.
    "Ini, Beginning Rune, Milik Cardinal dari Aronia?"
    Leknaat mengangguk.
    "Dan yang kau maksud Rune untuk sang Pangeran adalah yang ini?"
    Windy mengarahkannya ke barisan terakhir, tempat satu satunya batu yang tidak menyala.
    "Yeah..."
    Leknaat mengangguk, mengiyakan pertanyaan Windy.
    Senyuman penuh arti merekah di bibir Windy, ia mengelus dagunya sambil tersenyum.
    "Menarik. Kita lihat, apa "Pangeran"mu mampu mengendalikannya..."
  • edited November 2012
    dopost
  • edited November 2012
    -
  • wuohh.. ni bocah...! tidur!
  • wow...wow...wow... @silverrain kamu yang terdepan. good job...
Sign In or Register to comment.