BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

The Night, and The Day - END - page 111

14344464849117

Comments

  • wawww.. ajakan indehoy oleh @idhe_sama ini...? aawwrrr... =P~
  • @yuzz gahahaha
    bagus ya bebz
    km ama si @idhe_sama
    #lirik @idhe_sama
  • wkkwkwkwkwkkk... atuttt ayyy ....
    #kaboorrrr.....
    #ngumpet dibalik daster @silverrain :))
  • Wow bonusnya sweet banget makasi ya brader @silverrain *kecup basah*
  • mlm ini update gak ya??
  • @yuzz #kibasdaster
    enak aja
    ay km indehoy ma org lain ya
    bls smsku aay
    @bb3117 #lapmuka
    duhh ga pake kuah gpp loo
    @fian_pkl mungkinn
    masi blm tau nihh
    :D
  • semangattttt.....!!!!!
    mlm ini update ya...
  • Arsais's View (Caesar)

    "Sudah semuanya?"
    Kami, kelima bishop, bersama Axel dan beberapa perwira lainnya bersiap malam itu.
    Kami mengikat semua keperluan kami ke pinggang, sedangkan kebutuhan kecil kami masukkan ke dalam tas ekspedisi kami.
    "Lord Arsais..."
    Axel menarik lenganku dengan lembut, berusaha menarik perhatianku.
    "Ada apa Ax?"
    Axel memberi isyarat padaku untuk mengikutinya, kemudian berjalan ke balik pintu besar Kastil.
    "Yeah? Ada apa?"
    Aku bertanya dengan tidak sabar, karena sebentar lagi kami harus berangkat diam diam tanpa diketahui Lord Marty.
    "Ini, Alvin memberikanku ini, pada malam sebelum perang besar terjadi."
    Axel membuka tas pinggangnya, mengeluarkan sebuah pakaian berwarna merah.
    "Ini?"
    Axel mengangguk padaku.
    "Yeah, Warlord's Suit..."
    "Arsais memberikannya padamu?"
    Axel menggeleng.
    "Tidak, ini adalah Warlord's Suit yang dulu aku beli, ingat?"
    Aku tertegun sejenak, kilasan balik bayangan pahit kelakuanku pada Axel kembali terulang.
    "Yeah, aku ingat, kejadian itu, aku benar benar jahat, maafkan aku..."
    Aku memegang bahunya dan menatapnya, meminta maaf padanya setulus mungkin.
    "Tidak, tidak masalah, sebenarnya aku mau menolaknya pada saat dia memberikannya padaku, tapi dia terus memaksaku."
    Axel menghela nafasnya panjang, kemudian menceritakan semua yang terjadi saat ia berbicara empat mata dengan Arsais lama.
    =============flashback====================
    Axel's View

    "Kamu sudah menemukan dua orang yang akan jadi pembantu kita dalam rencana ini?"
    Arsais menatapku dengan tatapan dinginnya.
    "Sudah, Lord Arsais, aku sudah menemukannya, dan aku yakin mereka akan memegang perintahmu dengan baik."
    Arsais mengangguk pelan.
    "Baguslah, Axel, dengarkan aku..."
    Arsais kembali menatapku, kemudian kembali mengarahkan matanya ke arah peta di mejanya. Kelelahan dan tertekan, itulah yang saat ini aku bisa gambarkan dengan melihat wajahnya.
    "Axel, esok, mungkin aku tidak akan bisa lagi memimpin kalian...."
    Aku berdiri dengan spontan.
    "Apa maksud anda?!"
    Arsais menatapku datar, memberiku isyarat untuk kembali duduk.
    "Ketahuilah, kita tidak berperang dengan orang yang benar benar ingin menghabisi kita. Bila dugaanku benar, semua ini hanyalah rekaan orang di balik layar."
    "Maksud anda Lord Arsais?"
    "Yeah, aku sedikit demi sedikit mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin, esok perang besar tidak akan terelakkan, dan dari apa yang aku baca, jelas bahwa bukan Harmonialah tujuan mereka, melainkan aku, Lord Arsais."
    ". . . . . . . ."
    Arsais menatapku dengan wajah lelahnya, dia menyisir jari rambutnya yang kecokelatan agar tidak menutupi mata cokelat lebarnya.
    "Bila perkiraanku besok benar, bukan mustahil kalau esok kita akan berperang sendirian, dan bukan tidak mungkin kita akan terpukul mundur dari Valerie, rumah kita."
    Arsais menggenggam erat jarinya, membuat ukiran Earth Rune di tangannya berpedar sengit.
    "Aku akan memimpin kalian untuk mempertahankan Valerie esok, Aku bukan tidak memiliki rencana esok, tapi aku memang tidak ingin membuka semuanya sebelum waktunya. Dengan mundurnya Pasukan lain selain Valerie, aku yakin, kita akan mendapatkan bukti yang kita inginkan di Great Shrine.."
    "Maksud anda, Lord Marty dalang semua ini?"
    Arsais mengangguk pelan.
    "Yeah, dan kita tidak bisa langsung menuduhnya begitu saja. Maka itulah, esok, kita harus berpura pura mempertahankan Valerie, dan pasukan kita akan mundur perlahan, sampai ke South Wall, di Central. Kamu ingat para Mercenary yang kita temui di Central? Aku yakin mereka akan menyerang, cepat atau lambat, sebagai umpan untuk melemahkan kita. Sebelum itu semua terjadi, Lord Marty akan bebas dari kesalahan. Maka dari itulah, kita terpaksa mengorbankan Valerie untuk tujuan ini..."
    "Kalau begitu, semuanya pasti akan baik baik saja, ya kan? Kalau begitu Lord Arsais pasti akan baik baik saja juga!"
    Aku berseru dengan yakin, tapi Arsais membalasnya dengan gelengan lemah.
    "Aku tidak yakin. Tujuan utama perang ini adalah aku. Lord Marty bukanlah orang yang bodoh, aku ragu, aku takut kalau semua tidak berjalan sesuai rencanaku. Maka dari itu, aku sudah meminta Lady Leknaat untuk memastikan Caesar akan naik jadi Arsais berikutnya menggantikanku."
    Lord Arsais memijit kepalanya.
    "Tugasmu, apabila memang semua yang kutakutkan terjadi, tetaplah disisinya, dan yakinkan dia, karena dia bukanlah orang yang akan tinggal diam, bahkan mungkin dia akan melakukan hal bodoh bila tahu aku dalam bahaya. Kamu mengerti?"
    Aku mengangguk.
    Segaris senyuman tipis tercetak di wajahnya.
    "Baguslah, dan ini..."
    Arsais merogoh tasnya, dan memberiku sebuah setelan merah tua.
    Aku kenal pakaian itu.
    "Warlord's Suit?"
    Arsais mengangguk.
    "Ya, ini Warlord's Suit yang dulu kau tinggalkan di Capel, ingat? Kupikir sekarang waktu yang tepat untuk mengembalikannya, siapa tahu, esok aku sudah tidak bisa mengembalikannya padamu."
    Arsais terkekeh.
    "Stt, jangan bilang begitu Lord Arsais!"
    Arsais segera memandangku dengan tatapan tajam
    "Aku serius Axel, nanti, berikanlah pakaian itu padanya..."
    "Tapi, dia sudah punya..."
    "Aku yakin dia akan menerimanya, sudah, sana temui dia diluar, aku mau log off..."
    Arsais mendorongku keluar, memaksaku menemui Caesar.
    =============end of flashback===============
    Arsais's View

    "Begitukah?"
    Aku mengerjap tak percaya mendengar semua cerita dari Axel.
    "Yeah, dia sudah meramalkan semuanya dari awal."
    "Lalu, mengapa akhirnya kita jadi terkepung di North Wall dan hampir tewas dibantai? Setahuku Alvin adalah orang yang luarbiasa cerdik dalam berperang."
    "Entahlah, Alvin mendadak berperang seperti orang kesetanan saat itu, jujur, aku juga hampir ga ngenalin sosoknya saat dia mengamuk waktu itu."
    Aku mengangguk setuju. Alvin saat itu memang benar benar aneh.
    Dia biasanya begitu tenang dan penuh perhitungan, hari itu dia bagaikan seekor singa lapar yang tidak perduli keselamatannya dan menerkam ke tengah kawanan banteng.
    "Jadi, kupikir sebenarnya Lord Caesar, eh, Arsais ga bakal merlukan ini, tapi, aku ngasih ini iklas dari hatiku..."
    Axel tersipu malu saat dia menyorongkan pakaian merah itu.
    Aku hanya tersenyum, kemudian menarik pakaian itu dari tangannya, dan meremasnya di kedua tanganku bersama dengan Armor Bishopku.
    "Armor Convert!"
    Aku menggunakan skill Warriorku, sekejap pakaian di tanganku bersinar keperakan.
    "Nah, selesai."
    Axel masih ternganga melihat pakaian yang ada di tanganku.
    Aku hanya tersenyum dan kembali mengenakan pakaian Bishopku yang sekarang memiliki beberapa corak merah, dan terlihat sedikit berbeda dari pakaian Alvin saat dia menjabat jadi Bishop.
    Aku menyatukan kedua pakaian itu, dan hasilnya?
    Not bad....
    "Thanks, sayang..."
    Aku menarik Axel ke pelukanku, mendekapnya erat.
    "I..iyah, sama sama...."
    Axel merapatkan tubuhnya dengan tubuhku.
    Aku benar benar merasa nyaman kalau dia sudah melakukan ini!
    Beberapa saat kemudian, kami melepaskan pelukan kami.
    "Yasudah, ayo, kita harus pergi sekarang..."
    "Kalian, mau kemana?"
    Aku dan Axel seakan membatu, Lord Marty berdiri di hadapan kami, dan menatap kami.
    Senyuman ringan tercetak jelas di wajahnya.
    Aku mengenali wajah ini. Aku pernah melihatnya, tapi dimana?
    "Kami, kami baru akan berlatih bersama, Pontiff..."
    Lord Marty mendelik melihat ke arahku, kemudian ke arah Axel yang hanya bisa menunduk kikuk tanpa berani membalas tatapannya.
    "Oke, selamat berlatih..."
    Lord Marty kembali tersenyum, kemudian pergi meninggalkan kami.
    "Huah! Kupikir dia ga bakal percaya!"
    Axel yang tadi tak bisa bernafas akhirnya menarik nafas lega.
    "Ayo, kita harus bergegas."
    Aku menarik tangannya, bergegas bergabung dengan teman teman kami, kemudian memulai perjalanan malam kami ke Valerie.
    Kami sengaja tidak menggunakan Portal, karena takut keberadaan kami akan dilacak oleh Lord Marty.
    "Melewati perbatasan ini adalah wilayah Aronia Holy Kingdom. Siapa Kalian?!"
    Penjaga dengan tubuh tegap dan tombak di tangannya menghalangi perjalanan kami di South Wall.
    "Aku Lord Arsais, dan ini adalah para perwira perang Harmonia, kami ingin berbicara langsung dengan Cardinal."
    Penjaga itu sejenak mendelik ke arahku, menatapku dengan tidak percaya.
    "Saya akan menghubungi Lord Keith, mohon ditunggu sebentar."
    Penjaga itu memanggil temannya, memintanya untuk menggantikan posisinya menghalangi jalan lewat kami.
    Tak lama berselang, penjaga itu kembali berlari kecil mendapatkan kami.
    "Lord Arsais, para bishop, anda sudah ditunggu oleh Cardinal di Valerie, tapi, bagaimana saya bisa memastikan anda semuanya adalah para Bishop?"
    Sial, jadi kami harus bertemu di Valerie?
    Apa yang terjadi dengan Valerie sekarang?
    Dengan tidak sabar aku dan keempat bishop lain mengangkat tangan kanan kami, tak lama kemudian lambang kelima True Rune tampak jelas bersinar di langit.
    "Cukup? Atau harus kubakar habis tempat ini?"
    Pixel menerobot dengan kasar karena tidak sabar dengan tingkah penjaga gerbang ini.
    "T..tidak! Silahkan, portal anda di sebelah sini."
    Penjaga itu menggiring kami ke portal kecil dengan sinar kebiruan. Aku dan para perwira segera memasuki portal itu, dan dalam sekejap tubuh kami terasa sangat ringan dan segera melesat ke arah Valerie.
    "Aku sudah menunggu kalian..."
    Sosok pria tampan dengan senyuman ramah menyambut kami dari seberang ruangan.
    Pria berpakaian merah tua itu menatap kami dari balik rambut keperakannnya, dia memberikan isyarat untuk mempersilahkan kami duduk.
    "Aku tak menyangka, kalian akan kembali lagi kemari, kupikir Lord Arsais disini sudah benar marah padaku kemarin..."
    Cardinal tersenyum ramah, dia menyilangkan kedua tangannya di atas meja.
    "Apa kita disini untuk membicarakan kerjasama?"
    Matanya menatap teduh ke arahku, sensasinya sama dengan Arsais, begitu menekan, tapi juga begitu menenagkan.
    Benar benar aura seorang pemimpin.
    Aku pasti akan kagum padanya, bila aku tidak tahu dialah yang membunuh Arsais.
    Ya.
    "Kami tidak tertarik untuk bekerja sama denganmu, kami hanya mau tempat tinggal kami kembali, itu saja, dan kamu lebih baik jangan percaya diri dulu! Kami hanya mau membalas dendam!"
    Cardinal tampak terkejut, sejenak kemudian matanya menerawang, ekspresinya tampak sangat sayu.
    "Aku hanya ingin menagih pertanggung jawaban dari dia yang menyebabkan perang ini. Bila semuanya sudah selesai, Aku akan menyerahkan nyawaku padamu. Tidak ada lagi yang kuinginkan selain itu..."
    Sorot matanya menatapku dalam, kesungguhan jelas tercetak di matanya.
    Apa yang ada dipikirannya?
    Mengapa dia tampak begitu tersiksa?
    "Emm, sudah, sudah, yang penting sekarang semuanya disini, Cardinal, kami sudah bicara satu sama lain, dan kami sepakat untuk membantumu dalam perang ini."
    Wyatt akhirnya menengahi adu mulut kami.
    "Yeah, aku sangat memerlukan bantuan kalian, karena tentara Aronia sendiri jelas inferior jika dibandingkan dengan Harmonia, apalagi, pertempuran akan dilaksanakan di Central Distric Harmonia."
    Seorang wanita dengan rambut merah mendadak berbicara dari belakang Cardinal. Dari data yang kuketahui, dia adalah Ahli taktik Aronia.
    Benar apa yang dikatakannya. Pertarungan di Central dengan jumlah yang lebih sedikit jelas sama dengan bunuh diri.
    "Yeah, soal pasukan, aku, Axel dan Arvyn akan kembali ke Central, kami akan berusaha menghasut sebanyak mungkin pasukan untuk bergabung, dan membawanya diam diam kemari..."
    Pixel berbicara sambil menatap Arvyn yang hanya melongo sambil menunjuk dirinya sendiri. Axel tampaknya juga sama terkejutnya, dia cuma bisa menatap sambil melongo bego.
    "Kok mendadak aku ikutan?"
    Ujar Alvin, dia tampaknya tidak terima kalau diperintah begitu saja tanpa persetujuan.
    Pixel hanya menghela nafas, kemudian berdiri dan menyeret Arvyn serta Axel yang masih belum sadar sepenuhnya pergi meninggalkan ruangan.
    "Yah, masalah pasukan kita serahkan pada mereka, hmm, sementara kalian silahkan tinggal disini. Baik, pertemuan kita cukupkan, silahkan beristirahat."
    Cardinal mengangguk kepada kami dengan hormat, kemudian mempersilahkan kami keluar dari ruangan kecil yang dulunya kupakai sebagai markas ahli strategi.
    Kupandangi kiri kanan bangunan yang sangat familiar bagiku.
    Tempat ini, tempat yang sangat kurindukan, tempat dimana kami para Valerian memanggil "Rumah"
    Aku menapakkan kakiku di lorong kastil Valerie, kembali menyegarkan otakku.
    Walaupun tampak hancur di beberapa tempat, tapi bangunannya masih jelas menampakkan Valerie di saat kami masih tinggal disini.
    Tanpa aku sadari, aku berjalan hingga sampai di teras yang biasa didatangi Arsais.
    Pemandangannya benar benar indah, semua Valerie tampak berkelap kelip dari cahaya penerangan di dalam rumah, sementara taman kastil tampak remang oleh kunang kunang yang beterbangan di sekitar kolam.
    "Kamu, merindukan tempat ini...?"
    Aku menoleh ke belakang, Cardinal tersenyum ke arahku, kemudian berjalan hingga tepat di sampingku.
    "Tempat yang indah, aku mengerti kenapa kalian mempertahankannya habis habisan..."
    Aku mendengus sebal.
    "Jangan sok tahu! Tempat ini tidak ada apa apanya dibandingkan semua teman kami yang gugur saat perang kemarin. Aku masih mengingat nama mereka, satu persatu..."
    Cardinal mengangguk, dia menaikan tubuhnya dan duduk di pagar berada.
    "Aku mengerti, sangat mengerti. Mohon maafkan aku karena hal itu..."
    "Hah! Mana bisa semua karakter yang sudah kau bunuh kembali hanya dengan maafmu."
    Cardinal terdiam, dia kemudian memandang jauh ke garis langit.
    "Aku sudah berusaha sekuatku, untuk mencegah hal ini terjadi, tapi tampaknya tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan parlemen memutuskan penyerangan."
    Dia menghela nafasnya.
    "Aku pun kehilangan seseorang yang sangat aku cintai di perang ini, dan aku benar benar menyesalinya..."
    Cardinal menatapku, senyuman teduh dari wajahnya perlahan mencairkan amarahku.
    "Aku hanya ingin, menuntaskan perang ini, sekarang sudah tidak ada jalan kembali, jadi yang bisa kita lakukan hanyalah meneruskannya, sambil menuntut keadilan pada dalang semua ini, apakah kau setuju...?"
    Aku membalasnya dengan anggukan kecil.
    "Bagus... Caesar, namamu, benar? Bisakah aku bertanya padamu...?"
    Aku mengangguk, kemudian menatapnya, menunggu pertanyaan yang keluar dari mulutnya.
    "Apakah di dunia nyata, kamu mengenal Alvin? Maksudku Arsais yang lama...?"
    "Yeah..."
    "Bagaimana keadaannya?"
    "Baik, dia sudah membaik..."
    Cardinal mendadak menarik bahuku, dia menatapku dengan tajam.
    "Membaik? Apa yang terjadi padanya?"
    "Terluka, lumayan parah, dan sempat tak sadarkan diri, tapi sekarang sudah membaik. Apa pedulimu? Bukankah dia begini karenamu? Ga usah sok perhatian..."
    Aku membalasnya dengan ketus, membuat Cardinal menarik tangannya dengan hati hati dari bahuku.
    "Maafkan aku, bolehkah aku tahu, dimana kalian sebenarnya, dan dimana Alvin sekarang?"
    "Kamu terlalu banyak bertanya!"
    Aku mendengus dengan sebal.
    Entah kenapa, emosiku mendadak membuncah saat melayani pertanyaan tentang Alvin, atau mungkin aku memang membenci Cardinal?
    Entahlah.
    Aku menapakkan kakiku keluar dari beranda dengan gontai.
    "Caesar, lambang apa yang ada di dadamu...?"
    "Lambang Harmonia, semua Harmonian pasti memiliki lambang ini..."
    Cardinal tiba tiba sudah berdiri di sisiku, membalik tubuhku agar berhadapan dengannya.
    "Satu pertanyaan lagi..."
    "Apa?"
    "Apa namamu Kenny..?"
    Aku tertegun sejenak.
    Kenny? Darimana dia tahu nama itu?"
    "Bukan."
    Aku menjawabnya sedatar mungkin, mencegah dia mencurigai lebih lanjut.
    Gawat, aku harus lebih memperhatikan Kenny, mungkin saja ada orang yang sudah diam diam menguntitnya!
    "Baiklah..."
    Ujar Cardinal lagi seraya melepaskan cengkramannya dari tanganku.
    Aku berjalan masuk dengan cepat, pikiranku berkecamuk kembali di kepalaku.
    tampaknya lebih serius dari yang kuduga.
    Cardinal disini kemungkinan besar adalah orang yang mengenal kami.
    Dan sebaiknya aku harus mengetahuinya lebih dulu sebelum dia mengenali kami!
    =======================================
  • @silverrain keren... seruu.... arrggghhhh...
  • hehehehehe.... udah baca..... :D
    #pipis dulu ahh.. (sampe nahan pipis dr tadi)
  • yaolloh jyo akhir.a dpet ptunjuk#sujudsyukur
    @silverrain kyak.a ad typo,
    @yuzz oke ntar kita jdi partner in crime#salaman
  • oh iya itu ada salah sebut nama dari arvyn jd alvin tuh..

    @Chachan oke..deal..! >:)
  • Untuk smentara gabisa apdet sampe senin depan atau lebihh yahh....
    >_<"
  • Aaaaa!!!! Nambah! Nambah! Nambah!
Sign In or Register to comment.