It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ver silver buruan dilanjut..... heuuuu....
aq lagi sakit
T T
need rest a
jadi gabisa apdet dl yaa
mohon ditunggu
diapdet scepatnyaa
Mungkin ke dua nya udah saling tau klo mereka adik kakak . Tapi mereka Ъk ingin semua orang tau ? #ehh
kalo dia mah gk sadarin diri di depan PC karena lemas ga bisa bangun abis nongtong bokep.. )
Wuahahaha dehidrasi ya? Hahahaha *hey brother @silverrain try to smile when you read this joke!* hahahha
CLANG!
dentingan keras hasil pertemuan belati kecilku dengan busurnya menciptakan percikan api.
Aku menarik nafas dengan susah payah.
Aku mati matian mencoba menegakkan diriku.
Dia menatapku dengan datar, tapi tetap tak bergeming, dan masih bertahan di tempatnya.
Aku kembali berteriak marah, melesat maju sambil menghunus belatiku.
TRANG!
"Ukhh..."
Luka menganga di perutku terasa tertarik, dan tak lama kemudian aku mulai merasakan darah segar kembali mengalir dari perutku yang telanjang.
Perasaan perih dan lelah tak bisa memadamkan kemarahan dan kekecewaanku.
Tubuhku terasa sudah sampai pada batasnya.
Aku merasakan detakan jantungku sendiri mulai melemah.
Dengan segenap tenagaku, kembali aku menyerangnya dengan segala kekuatanku.
TRANG!
Sekali lagi dia menahan seranganku dengan sigap.
Tubuhku segera limbung, jatuh tanpa kekuatan.
Semua kekuatanku sudah habis di serangan terakhirku.
Aku tahu sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan.
Tubuhku terjatuh ke dalam pelukannya, dia menatapku dengan sedih.
Cih.
Muka munafik!
pandai sekali dia memasang wajah sedih setelah semua yang sudah dilakukannya pada teman temanku.
Aku menatap sekali lagi wajahnya dengan penuh amarah.
Tapi amarah yang sudah kupupuk sedemikian besar kembali melunak saat aku menatap wajahnya.
Sial.
Aku menghela nafas yang tersisa
Darah terus mengalir meninggalkan tubuhku, membuat kesadaranku semakin menghilang.
Paling tidak aku sudah melakukan hal yang benar, ya kan?
Aku sudah melindungi negara dan teman temanku.
Aku tidak lagi termakan perasaanku seperti saat bersama Marty dulu.
Disini aku sekarang, terbaring, kalah, sekarat, dihadapan musuhku, sekaligus orang yang selama ini benar benar kucintai.
Aku menatap sekeliling, ke ruangan yang hancur dimana mana, ke langit merah keemasan di luar jendela, yang melatarbelakangi pepohonan kering dan bangunan bangunan yang tampak hancur, sesekali aku bisa melihat tentara Aronia berlalu lalang di sekitar jendela.
Senyuman pahit yang bisa aku keluarkan sekarang, semua mimpi dan janji yang aku berikan kepada sahabat sahabatku, sekarang sudah hancur menjadi reruntuhan, tidak ada yang tersisa dari semua kedamaian yang baru kemarin terjadi di sini. Semua canda dan jerit tawa yang biasa aku dengar dari dalam ruanganku, semua yang sudah berhasil aku dapatkan.
Mungkin aku terlalu naif berpikir semuanya bisa aku pertahankan.
Aku memejamkan mataku, kemudian kembali menatap wajah Yue lekat.
"Semoga kita bertemu lagi...."
Kupejamkan mataku, kuletakkan tiara merah yang akan kuhadiahkan padanya di dadaku.
Semuanya sudah selesai.
Peranku disini sudah kuselesaikan.
Aku merasakan semuanya mulai menjauh.
Sakit, bising, semua perasaan itu semakin menjauh.
=======================================
"A...vin..."
"Alvin..."
Aku terbangun, pakaianku sudah basah oleh peluh.
"Arvin?"
Wajah tegang Arvin segera berubah menjadi kelegaan luarbiasa saat aku membalas panggilannya.
"Mimpi buruk?"
Aku mengangguk, pakaianku terasa dingin karena basah oleh keringat dan terkena angin dingin dari AC
"Syukurlah..."
Arvin segera beranjak dan mengambil air minum dan memberikannya padaku.
"Minum, kukira kamu kenapa kenapa, mama sudah lari ke Ruang dokter saat melihatmu mengigau, Mama kira kamu kritis tau! Berlebihan ya?"
Arvin terkekeh pelan, kemudian segera mengambil pakaian bersih dari lemari di dalam ruangan.
"Ayo, aku ganti bajumu, dan perbanmu, basah karena keringat kan..."
Arvin membuka bajuku perlahan, kemudian membuka celanaku, dan melepaskan perban perban yang basah dari perutku dan beberapa bagian tubuhku.
"Ukh..."
"M..Maaf..."
Arvin tampak gugup saat dia tak sengaja menyentuk lukaku.
Dia dengan hati hati melepaskan semua perban, kemudian memasangkan perban baru ke tubuhku.
"DOKTER! DISINI DOKTER!"
Mama masuk dengan panik, sambil membawa dokter muda yang tampaknya masih mengantuk.
"WHOA! MAMA! ALVIN MASIH TELANJANG!"
Arvin dengan panik segera memelukku, dan menutupi tubuhku, sebelum mama dan Dokter muda itu melihat kami.
"Eng... Alvin, Arvin, apa yang kalian lakukan?"
Mama menatap dengan shock ke arah kami.
Mana mungkin ga shock, aku lagi telanjang bulat, dan Arvyn dengan posisi bertelanjang dada menindihku di atas kasur.
"Mama! Alvin lagi ganti baju! KELUAR DULU!"
Arvin berteriak dengan panik.
Mamaku dan dokter itu segera dengan panik keluar dari kamarku, kemudian menutup pintunya.
Arvin segera turun dari atas tubuhku, kemudian menghela nafas dengan berat, sambil mengambil kembali kotak perban yang tadi dilemparkannya saat dia buru buru menutupi tubuhku.
"Sial, ayo , bereskan ganti bajunya.
Arvin mendengus dengan kesal.
Aku memandangi dia yang terus menggerutu sambil membalutkan perban perban di tubuhku.
Lucu, serasa melihat bayanganku di cermin.
Arvin Setiawan, dia adalah kakak kembarku, yang saat ini tinggal bersama dengan sahabat mamaku di China, sekaligus salah satu Bishop di Harmonia bernama Arvyn.
Arvin datang seminggu setelah aku masuk ke rumah sakit, karena mengalami kesulitan untuk segera sampai di Indonesia, sehingga dia baru bisa datang seminggu kemudian.
Kedatangan pertamanya ke Rumah sakit sukses membuat Kenny dan Kevin shock setengah mati.
Jelas saja mereka shock, karena aku tidak pernah bercerita kalau aku adalah anak kembar dan Arvin pun datang tanpa peringatan sebelumnya.
Aku masih ingat bagaimana bodohnya ekspresi Kenny dan Kevin saat mereka melihat Arvin untuk pertama kali.
Kenny melompat dari kursinya sambil melongo, saat dia melihat mamaku membawa masuk Arvin bersama dengan Kevin yang tampaknya sudah lebih dulu shock dan masuk kembali ke kamarku dalam kondisi terguncang hebat karena kenyataan yang dilihatnya (ok, agak berlebihan)
Lucu memang, karena di Game, kami lama sekali berteman, dan tidak saling menyadari jati diri satu sama lain.
Aku dan Arvyn akhirnya saling menyadari identitas kami satu sama lain saat kami sedang minum bersama di Central Valley setelah perang Aronia pertama.
Sebelumnya, kami sudah berteman baik, dan bahkan menjadi rival, karena kekuatan bertarung kami yang seimbang.
Aku dan Arvyn memang bertemu di dalam petualanganku dari Kanakkan untuk mengelilingi Suikoworld, dan dia juga adalah anggota pertama dari guildku sebelum aku bergabung dengan Marty untuk membangun Harmonia baru.
Bahkan, setelah dia mengetahui aku kembali lagi dan menjadi Bishop di Harmonia, dia segera mencalonkan dirinya menjadi Bishop dan dengan cepat mencapai Posisi Elemental Bishop sepertiku. Semenjak saat itu gaya pertemanan kami berubah menjadi rival, walaupun hubungan kami satu sama lain masih sangat dekat, tapi kami selalu saling serang dan mengumpat satu sama lain saat bertemu, dan itu sudah menjadi hal yang lazim dan biasa bagi orang orang sekitar.
"Bumi dan Angin memang ga bakal akur"
Komentar Bishop Pixel saat dia melihat kami bertempur di pasar dan sudah menghancurkan lebih dari separuh pasar menjadi reruntuhan.
Kami akhirnya saling menyadari jati diri masing masing saat kami ngobrol di sebuah rumah minum di Central setelah serangan Aronia pertama kalinya.
Aku dan Arvyn cuma bisa saling tertawa dan akhirnya bercerita banyak tentang kami selama kami terpisah jauh.
Arvin sudah bersama dengan sahabat mamaku semenjak kami berumur 10 tahun, dan jarang sekali dia pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan kami.
Kemarin saat dia mendengar aku masuk ke rumah sakit karena luka parah, dia segera berusaha ke Indonesia secepat mungkin untuk menemaniku di rumah sakit, sampai sampai begitu dia sampai di sini tanpa istirahat dulu dia segera menuju rumah sakit untuk menengokku.
"Yeah, selesai! Ma, Mama! Alvin udah beres!"
Mama segera masuk dengan tergesa gesa sambil menyeret dokter muda itu masuk ke dalam ruangan.
"DOKTER! INI DIA! TOLONG DIPERIKSA!"
Grace yang sedaritadi tidak diperhatikan ikut masuk ke dalam ruangan kami mengekor mama dan Dokter itu.
Dengan paksa aku ditidurkan kembali ke kasur, dan dokter itu segera memeriksa parameter tubuhku, mulai dari suhu, denyut dan berbagai pemeriksaan umum lainnya.
"Gimana Dokter? Apa aku perlu bawa dia ke ICU? Atau harus diberi obat?"
Whoaa! Mama! Keterlaluan!
Aku cuma mimpi buruk!
"Ma, ma, sudahlah! Alvin juga cuma mimpi buruk kok tadi! Jangan keterlaluan gitu! Alvin baik baik aja kok Ma!"
Arvin tampak ikut panik karena sikap berlebihan mamaku dan berusaha keras menenangkan mamaku, sementara mamaku lebih memfokuskan dirinya pada dokter yang sedang memeriksaku.
"Dia baik baik saja kok bu, tidak ada yang berubah kecuali denyut jantungnya yang agak cepat, tadi mimpi buruk ya?"
Dokter muda itu mencubit wajahku dengan lembut, kemudian memberikan selimut padaku.
"Tenang saja, putra anda tidak apa apa, mungkin tadi cuma mimpi buruk...!"
Dokter muda itu tersenyum pada ibuku, kemudian merapikan jasnya dan melangkah keluar dari kamarku setelah mengangguk dan tersenyum pada mamaku.
"Biar saya antar, dokter!"
"Ma, Aku ikut!"
Mama dan Grace dengan tergopoh gopoh berusaha mengikuti dokter itu keluar, mungkin mereka merasa bersalah karena membangunkan dokter jaga itu dari istirahatnya, dan bermaksud mengantar dokter itu ke ruangannya.
"Jadi? Kamu mimpi buruk...?"
Aku mengangguk, kemudian mengalihkan pandanganku ke jendela rumah sakit.
Danau kecil yang biasa aku pandangi sekarang tampak kehitaman, dengan sinar keemasan karena memantulkan bayangan lampu taman yang ada di pinggir kolam.
Riak riak kecil bermunculan, lembut, membawa pikiranku kembali ke saat pertama kali aku bertemu dengan Jyo.
Saat pertama kali aku menemukannya, aku mengira dia adalah seorang wanita, karena rambut panjang dan muka kalemnya, tapi semakin aku memandanginya, semakin aku menyadari kalau kesan pertama itu salah. Wajahnya terlihat sangat teduh dan tenang, memberikan kesan nyaman bagi siapapun yang memandangnya, dan tidak ada unsur kewanitaan sama sekali di wajahnya.
Aku merindukan wajah dan senyumannya, walau aku tahu dia sudah mengkhianatiku, dan aku tahu dia memanfaatkanku untuk mencari info tentang Harmonia, tapi tak bisa kupungkiri, kalau dia memang tidak pernah membuatku merasa terancam, bahkan aku selalu merindukan sosoknya setiapkali aku merasa tidak nyaman.
Aku selalu merindukannya, bahkan sekarang, walau aku sudah menuduhnya, menyerangnya mati matian, tapi sesungguhnya hatiku benar benar sakit saat aku melakukan semuanya.
Seperti saat ini, aku benar benar merindukannya, senyumannya, dan seluruh momen yang sudah kami lalui.
Semuanya selalu terulang di kepalaku.
Dan kilasan balik saat aku harus berhadapan dengannya di Valerie, selalu mengganggu mimpiku, dan membuatku terbangun tiap malam. Tapi malam ini tampaknya memang agak keterlaluan.
Entah sudah berapa lama semenjak aku dirawat di rumah sakit ini, aku masih ingat saat aku tersadar, Mama dan Grace tampak menangis sambil duduk di sisiku, sementara Papa hanya terduduk lemas melihat ke arahku. Kenny dan Kevin si happy couple of the year pun tampaknya sudah berada di sisiku semenjak lama, dan saat aku sadar, mereka masih tetap menemaniku dan keluargaku di rumah sakit.
Hari hariku kuhabiskan dengan memandangi danau kecil yang ada di sebelah kamarku. Entah kenapa, setiap aku menatapnya, aku selalu bisa sedikit mengobati kerinduanku pada Jyo.
Mama selalu memaksaku untuk makan, begitu pula dengan Arvin, yang setiap hari selalu membawakanku berbagai makanan yang dibelinya, tapi tidak pernah kusentuh. Satu dua sendok kumakan, nafsu makanku segera menghilang saat makananku menyentuh perutku. Entah kenapa...
"Alvin..."
Aku melirik ke arah Arvin, yang menatapku dengan nanar.
Dibandingkan Aku, Arvin memang tampak seperti bayanganku di kaca, dan sifat kami pun sangat berkebalikan.
Aku memang cenderung tertutup dan cuek pada segala sesuatunya, sementara Arvin lebih aktif, dan sangat komunikatif pada setiap orang, berbanding terbalik denganku yang susah untuk mengemukakan pikiranku pada orang lain, dan akhirnya membuatku lebih nyaman untuk langsung menyatakannya lewat perbuatan daripada cuma berbicara.
"Sampai kapan kamu mau begini? Kasian Mama..."
Arvin mengacak rambutku dengan lembut, kemudian duduk di sampingku dan menutupi pandanganku dari danau kecil yang biasa aku pandangi.
". . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ."
Sejenak keheningan mengisi kamarku, Arvin tampaknya berpikir keras untuk mengajakku bicara.
"Masih ingat? Waktu kita pertama kali ketemu?"
Arvin terkekeh pelan saat dia bertanya padaku, kemudian mengacak pelan rambutku.
"Saat itu kamu kehabisan uang dan aku membantumu untuk memperbaiki armormu di Blacksmith, ingat?"
Arvin tertawa pelan.
"Kamu waktu itu culun banget! Sudah jelas perlu bantuan tapi tetap aja sok jutek dan ngomong dengan cuek..."
Arvin sejenak mengingat ingat, dia menatap ke langit langit kamar.
"Terus akhirnya kita jadi bertualang bareng ya! Dan kita bahkan ga sadar kalo kita kakak adik!"
Arvin tertawa pelan.
"Aku bahkan pernah bertanya tanya, kenapa kita bisa bermuka kembar! ingat? Malam itu? Malam saat..."
Arvin menahan perkataannya, tampaknya dia sadar kalau dia mulai mengarahkan pembicaraan ke arah yang tidak menyenangkan.
"Malam sebelum kita menang dengan Aronia untuk mendirikan Harmonia baru, ingat?"
Aku mengangguk pelan, Arvin tersenyum puas. Aku tidak pernah membuka apa yang sebenarnya terjadi pada saat aku terbunuh pertama kali di Valerie saat perebutan Harmonia pertama, dimana kami merebut ibukota Aronia, Valerie, untuk mendirikan Harmonia baru. Aku menyembunyikan fakta bahwa sebenarnya orang yang sekarang dipanggil sebagai Lord Marty dan disanjung ditinggikan oleh rakyat Harmonia adalah orang yang membunuhku agar dia menjadi pemimpin Harmonia yang baru sesuai janjiku padanya.
"Yeah..."
Arvin tersenyum mendengar jawabanku, kemudian dia mendekap kepalaku dan menahannya di dadanya.
"Tolong, kembalilah, Kamu ga kasian sama Mama? Grace? Papa?"
Arvin memelukku dengan lembut.
"Aku ga tau apa yang sebenarnya terjadi, kamu boleh cerita ke aku tentang apa yang terjadi sebenarnya, aku siap mendengarkan..."
Aku diam, tak menjawab perkataannya aku hanya memejamkan mataku, dan menyandarkan kepalaku di dadanya.
"Alvin? Kamu tidur?"
Kalimat terakhir yang sayup sayup aku dengar dari bibirnya, saat mataku terasa begitu berat, dan akhirnya aku kembali terlelap di dalam dekapannya.
=======================================
Silver's View
"Dokter, gimana keadaan Alvin?"
Rina, Mama Alvin sekali lagi bertanya kepada dokter dengan pandangan cemas.
Dokter muda itu hanya terkekeh pelan, kemudian menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Ibu Rina.
"Anak ibu baik baik saja, memang tidak ada apa apa, sekarang yang dia perlukan hanyalah makan teratur dan istirahat secukupnya agar dia segera bisa memulihkan dirinya, setelah itu dia bisa segera meninggalkan rumah sakit ini!"
Dokter muda itu tersenyum, kemudian segera melangkahkan kakinya kembali.
"Kalau boleh tahu, kenapa anak ibu bisa sampai terluka seperti itu? Apa karena berkelahi?"
Rina hanya menggeleng.
"Saya juga tidak mengerti, kami menemukan dia sudah pingsan tak sadarkan diri pada saat kami memanggilnya untuk makan malam. Pintu kamarnya dikunci dari dalam, sehingga kami terpaksa mengambil kunci duplikat, dan memaksa masuk."
Rina sejenak menarik nafas, kemudian segera melepaskannya.
"Pada saat saya masuk, yang saya temui cuma Alvin yang tak sadarkan diri bersimbah darah dalam posisi komputer menyala dan dia masih duduk di kursi, tidak mungkin ada maling, karena tidak ada bekas perlawanan di kamarnya..."
Dokter itu mengangguk angguk sambil mengerutkan dahinya.
"Aneh juga ya, bisa seperti itu, apa Alvin sendiri yang melakukannya?"
Rina menggeleng dengan mantap.
Alvin tidak pernah punya masalah serius kupikir, dan selama ini dia anak yang baik, saya tidak habis pikir kenapa dia harus melakukan hal seperti itu. Jadi saya pikir Alvin tidak mungkin melakukan itu.
Dokter itu kembali mengangguk angguk.
"Tapi yang saya dengar dari teman saya, Anak anda punya masalah kepribadian, karena saat dia memeriksa katanya anak itu tidak mengacuhkannya sama sekali..."
Rina mengernyit.
"Alvin memang anaknya agak cuek, apa Dokter penanggung jawabnya yang bilang begitu?"
Dokter muda itu mengangguk.
"Yeah, dokter penanggung jawab anak anda adalah teman saya, dan kemarin dia sempat berbicara soal anak anda."
Rina tertawa sejenak.
"Tidak, Alvin memang anaknya agak cuek, dia memang menolak makan belakangan ini, tapi kalau sikap dinginnya, dia memang seperti itu. Walau akhir akhir ini dia memang sedikit murung."
Dokter muda itu mengangguk angguk kembali untuk kesekian kalinya.
"Apa anda tidak berminat mencoba membawa anak anda ke Psikiater?"
Rina menggeleng, kemudian menghela nafasnya.
"Kupikir dengan sifatnya yang benar benar tertutup dan dingin, Psikiater pun akan angkat tangan kalau disuruh mengorek informasi dari dia..."
Dokter muda itu tertawa, mereka berdua terus menyusuri lorong rumah sakit, sambil sesekali mengangguk pada perawat yang lalu lalang. Lorong sudah sangat sepi, karena saat itu sudah benar benar larut malam.
"Oh, ya, anda muda sekali ya, sudah jadi dokter..."
Rina berbicara memecah keheningan yang sedaritadi mengisi perjalanan mereka.
"Ah, tidak, saya cuma dokter magang, begitu juga dengan dokter penanggung jawab Alvin!"
Rina menepuk dahinya sambil melotot.
"Pantas! muda banget kok sudah jadi dokter!"
Grace yang sedaritadi hanya diam mendengarkan obrolan Dokter muda itu dengan Ibunya ikut nyeletuk.
"Ah, iya dik! Saya cuma magang disini karena kewajiban dari tempat kuliah, bukan dokter asli!"
ketiga orang itu pun tertawa bersamaan.
"Pantas saja, kupikir kenapa bisa begitu muda! ternyata masih magang! Berat ya jadi jadi dokter!"
Dokter muda itu tertawa sambil menggaruk belakang kepalanya
"Tidak kok bu, namanya juga pekerjaan. Ah, sudah sampai! Terimakasih sudah diantar!"
Dokter muda itu membungkuk ringan.
"Iya sama sama, maaf karena sudah merepotkan!"
Dokter muda itu tersenyum
"Tidak, tidak masalah! Sudah tugas saya..."
Rina tersenyum, kemudian mengangguk dengan lembut.
"Oh, ya, Dokter Christ, benar? Dari nametagnya..."
Dokter itu mengangguk.
"Benar, nama saya Christ, Richard Christian, dan dokter penanggung jawab anak anda namanya Rio, Gregorio Giovanny...."
Dokter itu membungkuk dengan sopan, kemudian segera kembali ke dalam ruangannya, dan menghilang dari pandangan Rina dan Grace.
UPDATED
Lanjut lg bang @silverrain..jgn lama2 updatenya