It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ditunggu we lah ntr malm.
(htur nhun bwt eza yg udh minjmin kompi'y.meni ngajak ribut pisan kompi teh za,merangkak pisn lah)
siapa lagi yang belum ke mensyen ngacung..w suka lupa. jangan lupa kiripiknya ya
On the train, 06.00 wib
“Gil...kita mau kemana sih?” tanyaku dengan mata terpejam.
Dia tak menjawab, mungkin hanya tersenyum manis. Aku masih ngantuk sekali. Tadi jam setengah 4 pagi dia membangunkanku tanpa alasan yang jelas. Aku memang semalam dipaksanya untuk menginap di rumahnya. Karena sekarang aku sudah gak kerja di resto, aku iyakan saja. Setelah tragedi aku memukul kang bara tempo hari, besoknya aku ke resto dan bilang mau berhenti. Awalnya aku tak diizinkan berhenti, karena katanya kau cukup cekatan. Aku sendiri heran, untuk pertama kalinya aku melihat teh ninih tidak seperti biasanya. Selalu cemberut, cerewet dan sangat menyebalkan. Mungkin hari ini dia mengalami kejadian tak biasa yang membuatnya sedikit berbeda.
Tapi kukatakan saja bahwa sebentar lagi aku akan ujian, dan akhirnya teh ninih mengizinkanku berhenti dan bilang aku boleh melamar lagi ke resto kapan saja. Dan setelah pamit ke semua karyawan, teh ninih memberiku sebuah amplop. Wah, lumayan nih dapat pesangon. Pasti isinya lumayan, karena teh ninih terus memujiku di depan yang lain.
Dan waktu aku berpapasan dengan si ucup, dia tampak selalu menunduk. Kulihat kang bara juga hanya diam tanpa berani memandang kearahku. Mungkin dia takut aku membongkar aibnya di hadapan teh ninih. Tapi mana mungkin aku bilang ke teh ninih, karena ucup juga pasti akan kena imbasnya. Aku lebih memilih diam, toh ucup juga lebih memilih disini. Sudahlah, tak usah kupikirkan lagi.
Dan ketika keluar hendak menuju si beng-beng, si ucup datang menghampiriku.
“saya teh gak bisa ngasih penjelasan apa-apa bob. Saya..”
“ssttt..udah cup. Yang pasti gua yakin apa yang lo pilih itu adalah hasil pertimbangan lo. Dan yang pasti lo mesti siap nerima resiko atas pilihan lo. Gua gak punya hak maksa lo ninggalin tempat ini. Karena lo udah gede. Lo pasti udah bisa bedain mana benar, mana salah. Dan kalo lo butuh gua, lo tinggal hubungin gua aja.”
Dia menatapku dengan tatapan berkaca-kaca. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi urung dikatakan.
“gua pamit ya” kataku lagi.
Aku lalu membuka mataku dan kata-kata si ucup waktu itu masih memenuhi kepalaku.
“kok malah bengong? masih ngantuk?” tanya ragil membuyarkan lamuananku.
“hah? Iya. Lagian aneh-aneh aja jam segini udah di kereta”
Dia hanya senyum-senyum gak jelas. Aneh, pikirku. Tapi tak apalah, lagipula hari ini hari minggu. Kutanya mau kemana jam segitu, dia hanya menyuruhku mandi. Jelas aja aku ogah. Mandi jam setengah tujuh aja agak malas-malasan, apalagi jam setengah empat.
Badanku masih meliuk-liuk dan telingaku masih menangkap suara lokomotif. Ya, aku dan dia sekarang sedang berada di atas kereta. Aku gak tau dia akan bawa aku kemana , yang pasti aku masih mengantuk dan masih ingin tertidur. Lalu aku merasa kepalaku dipegang dan disenderkannya ke bahunya. Aku merasa nyaman sekali. Suara-suara di sekitarku terasa semakin tak terdengar, dan akupun tertidur lagi, di pundaknya.
*****
“bob, bangun...” kataku sambil mengguncang-guncang tubuhnya.
Kulihat dia mulai membuka matanya kemudian menguceknya.
“udah sampai?” tanya dia dengan mata merem melek.
“udah..buruan bangun..” lalu aku mengambil tas punggungku dan tas selempang dari kain miliknya.
Kubantu dia bangun, lalu kami berjalan melewati penumpang-penumpang lain. Sesekali kulihat dia menabrak penumpang lain, dan orang yang ditabraknya misuh-misuh, tapi dia masih saja merem melek. Kasian juga sebenarnya, semalam dia emang tidur jam dua malam. karena ada tugas yang harus dikumpulkan hari senin. Aku memang memintanya menginap di rumahku, rumah tanteku sih sebenarnya. Dengan agak ragu, mungkin karena ada bayu, akhirnya dia mau juga.
Kami berdua bergegas turun karena kereta akan melanjutkan lagi perjalanannya.
“kircon?” tanya dia penasaran setelah sadar dan membaca plang di stasiun Kiara Condong bandung.
“iya.” Jawabku singkat.
“emang mau kemana?”
“kira-kira?”
“gatau..aku mah ngikut aja we lah..” katanya masih terkantuk-kantuk.
Aku hanya senyum-senyum sendiri. Aku sebenarnya gak biasa ngasih kejutan sama dia. Entahlah, dia suka ato enggak, yang pasti aku mau ajak dia jalan-jalan hari ini. Mumpung aku sudah kelar ujian nasional dan hari ini hari minggu. Toh dia juga sudah gak kerja lagi di resto.
Kami lalu naik angkot dan setelah dudukpun dia masih saja terkantuk-kantuk. Aku beberapa kali menahan tawa karena beberapa kali dia hampir terantuk dan terjeduk ke kaca jendela, mengaduh sebentar, tapi terantuk lagi. Kupegang kepalanya untuk menidurkannya di bahuku, tapi kepalanya malah terjatuh kepahaku. Untung saja tas punggungku kutaruh diatas pahaku, jadinya lumayan empuk. Dan diapun kembali tidur dengan pulasnya.
****
Aku lalu membuka mata dan baru sadar bahwa aku tertidur diatas sebuah benda yang empuk. Ini kan tas ragil. Secara spontan aku bangun dan melap pipiku, hwa...tasnya basah. Aku ngilerin tasnya? Hajuh, aku malu..kulihat dia tertawa geli. Aku hanya cengengesan dan kuambil tasnya lalu kuusap dengan kaos yang kukenakan. Hihihi, aku jadi gak enak..kulihat sepasang muda-mudi sedang cemberut dan ketika melihat tingkahku dia tertawa sebentar lalu manyun lagi. Ah, mungkin mereka lagi berantem. Masa bodo ah, gak kenal ini.
Kami berdua lalu turun. Kuedarkan mataku, suasananya hingar bingar sekali. Disepanjang jalan sampai ujung tampak pedagang-pedagang melayani para pembeli yang berdandan macem-macem. Ada yang memakai baju trening seperti mau olahraga, ada yang seperti mau konser dangdut dengan make up pol-polan, ada yang masih menggunakan baju tidur, ada pula yang mengenakan kostum seperti mau pengajian dan banyak lagi kostum-kostum lain.
Yang berjualan pun macem-macem, dari makanan, asesoris, sampai kacamata perempuan ada. Dari ikan asin sampai sosis panggang juga banyak. Huh, kusebutkan satu-satu gak muat satu page.
“ini lapangan Gasibu bob..”
Oh..ini toh yang namanya gasibu...baru ngeh. Ternyata tempatnya ramai sekali, jauh lebih ramai dari kerkhof yang ada di garut. Kami berdua lantas berkeliling. Banyak sekali barang-barang unik dan antik yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tiba-tiba kulihat ada yang berjualan miniatur Vespa. Warna dan bentuknya mirip sekali dengan si beng beng, vespa butut legendaris milikku. Aku lantas berhenti sebentar. Ragu juga aku untuk jongkok dan sekedar bertanya berapa harganya. Akhirnya dengan ragu kupegang miniatur vespa itu dan kuperhatikan dengan seksama. Bentuknya detail sekali. Ini benar-benar beng beng yang berukuran kecil. Mungkin kalau si beng beng bisa punya anak, ini adalah anaknya. Tapi tentu saja bukan aku yang menghamili si beng beng. Aih, ngaco ah.
Kutengok, ternyata orang yang disebelahku juga sedang menilik-nilik miniatur vespa warna hitam. Mendengar harga yang ditawarkan si penjual membuatku urung berlama-lama. Ah...kenapa Ragil mengajakku kesini..? Duitku pake ketinggalan lagi... Udahlah, mungkin belum waktunya. Nanti kalo ada waktu, aku baru kesini lagi. Tapi gimana kalo ini limited edition dan pas kesini lagi ternyata udah dibeli orang? Haduh? Masa aku pinjam dulu uang ragil? Enggak. Kalo emang udah jodoh, Beng beng junior akan berakhir di tanganku. Kalopun enggak, ya sudahlah.
Aku lalu berdiri lagi dan ragil tampak tersenyum padaku. Kamipun lantas melanjutkan perjalanan. Beberapa kali aku melewati para pedagang dengan senyum kecut. Aku memang harus pakai kacamata kuda sekarang. Tahan bob..tahan..
Aku melanjutkan perjalanan dan langkahku kembali terhenti ketika aku melihat ada wayang ukuran kecil. Entahlah nama wayangnya siapa, aku tak begitu faham tentang wayang. Tapi dari mukanya yang rupawan, mungkin itu arjuna dan pasangannya, siapa namanya ya? Srikandi kali ya? Aku menatapnya, tapi karena aku sama ragil, kurang pas kayaknya kalau arjuna-srikandi. Mungkin arjuna-rahwana? Aku arjuna, dia rahwana? Hahah. Yang pasti ragil lebih cocok jadi arjuna, karena dia memang jauh dan sangat jauh lebih tampan dan manis daripada aku. Tapi aku juga gak mau jadi rahwana. Jadi apa aja lah asala jangan rahwana. Arjunawan aja lah. Arjuna dan Arjunawan, hahay.
“suka bob?” tanya ragil.
Aku mendongak lalu tersenyum. Sebenarnya sih suka dan mau, tapi berhubung kantongku lagi gak ada isinya, aku pura-pura bilang gak suka.
“aku lebih suka cepot.” Kilahku.”yuk lanjut” kataku lagi.
Dan kami melanjutkan perjalanan lagi. Cukup jauh juga dan kulihat ragil pun sudah mulai keringetan. Dia pasti kecapean.
“mau istirahat dulu gil?” tawarku.
Dia hanya tersenyum.
“lanjut lagi aja. masih banyak da yang lebih bagus teh” katanya lagi.
Lalu kamipun melanjutkan perjalanan lagi. Tanganku sering gatal dan sesekali menjawil atau sekedar memegang. Dan sampai sejauh ini memang kami belum beli apa-apa. Tentu saja, aku memang gak niat beli apa-apa.
“eh bob, liat, hiasan-hiasan indian. Bagus ya” kata ragil sambil menarik lenganku.
Aku mengikutinya dan kami melihat-lihat hiasan-hiasan dinding yang khas indian, ada juga gantungan kunci, hiasan-hiasan dinding dan juga tas dari bulu bison. Warnanya meling sekali. Aku memang penyuka tas. Kalau sedang ada duit aku biasanya beli macam-macam tas, dan yang paling aku suka tas-tas selempang macam begini.
“berapaan ini mang?” tanya ragil.
“yang itu mah lumayan mahal den. Tujuh las setengah”
Tujuh belas ribu lima ratus? Halah, murah banget. beli ah..aku kan masih megang tiga puluh tujuh ribu lima ratus, masih cukup sama buat ongkos balik kayaknya.
“Tujuh belas ribu lima ratus mang?”
“hahhaha. Seratus tujuh puluh lima ribu atuh den..masa iya barang begitu Cuma segitu..”
Aku membuang nafas. Haduh..ternyata..tapi bagus banget si tas nya, wajar lah.
“kamu mau bob?”
“hhmm? Enggak..lagian juga punyaku masih bagus kok. Yuk ah” kataku tak mau lama-lama. Daripada sakit hati kalo lama-lama disini. apalagi kalo liat tas yang aku pengen itu dibeli sama orang lain. Aku gak rela...
“bentar. Yang jaring-jaring ini bagus loh.” Katanya lagi.
Lalu aku melihat benda yang dipegang ragil. Lingkaran ukuran sedang itu pinggirannya dibalut kain dan didalamnya dibuat jaring dari bahan nylon. Dan ditengahnya ada bulu-bulunya serta beberapa butir biji apa yang tak kutahu biji apa itu, tapi terkesan unik dan natural sekali. Tapi yang pasti bendanya bagus kalau dipajang di dinding kamar kostku. Aku menarik nafas lagi, tahan..tahan..
Sebenarnya aku paling tak tahan kalau sudah melihat hiasan dinding macam begini, tapi ya sudahlah.
“mau?”
“gak ah. Lagian ntar kalo ada waktu senggang bikin sendiri aja. gampang. Nylonnya tinggal minta dari tukang sol sepatu, bulu-bulu ayamna mah ganti we sama bulu jembut” kataku ngasal.
“huhuhu. Dasar kamu mah ih, ceu asum mulu (mesum mulu)”
Aku tahu, kalau aku bilang suka dia pasti akan membelikannya untukku, tapi aku termasuk orang yang lebih suka menabung cukup lama daripada diberi oleh orang lain. Bukan berarti aku orang miskin yang sombong, tapi pesan ibuku yang terakhir, tangan diatas itu lebih baik dari tangan dibawah. Tapi ketika keberadaan materi membatasi, cukup dengan membuat orang lain tersenyum saja itu sudah lebih dari cukup.
“udah laper bob?” tanya ragil.
Aku mengangguk, malu. Geleng-geleng, perut udah keroncongan. Aku ingat-ingat dulu, aku tadi bawa duit berapa ya? Buat makan sama ongkos balik ke Garut mah cukup kayaknya.
“makan apa yang enak ya?” tanyaku.
Sebenarnya itu pertanyaan paling konyol di bandung. Kenapa? Karena di sini itu surganya makanan enak. Dari makanan bintang lima sampai kaki lima, gak ada yang gak enak. Tak heran, orang jauh-jauh datang dari jakarta, bahkan dari luar pulau dan membuat bandung semakin sesak di hari libur hanya untuk berburu makanan.
“udah nyobain lontong kari?”
Lontong kari? Lontong itu makanan bulat panjang yang dibungkus daun pisang kan? (ya iyalah) Lontongnya siapa yang dikasih kari? Haduh, imajinasinya liar juga lontongnya dikasih kari. Hehehe.
“boleh”
Dan setelah melihat-lihat tempat makan yang cukup enak, kami lalu duduk dan memesan dua porsi. Tapi kayaknya satu porsi saja kurang buatku. Yadah, ntar kalo dia ke toilet, aku tambah satu porsi lagi.
Tak lama dua piring lontong kari sudah siap disantap. Sebenarnya kupat sayur, tapi yang membedakan kuahnya saja. Dan baru saja kami menyup beberapa sendok lontong, datang lah seorang pengamen. Dandanannya tidak seperti pengamen pada umumnya. Dia terlihat seperti hiphoper dengan sweeetr hitam, celana skater dan topi yang digeser ke samping..
Dan untuk pertama kalinya aku melihat orang ngamen menyanyikan lagu hip hop. Biasanya kan lagu pop, atau dangdut.
Dan diapun mulai menyanyikan lagu yang entah itu liriknya siapa, yang pasti liriknya nyeleneh tapi terdengar enak di kuping.
Tak diragukan lagi kualitas seni warga bandung. Pantas saja banyak sekali musisi-musisi hebat negri ini berasal dari Bandung. Seni dan masakan unik rupanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Bandung.
Setelah satu porsi lontong kari habis disantap tanpa sisa, kami melanjutkan perjalanan. Dan dia mengajakku ke tempat yang bernama Museum Perjuangan Jawa Barat.
Aku disuruhnya berpose di depan museum itu. Aku yang sebenarnya sama sekali tak fotogenic, beberapa kali diarahkan olehnya. Tapi masa bodo ah orang-orang pada ngeliatin juga. Emang kenal gitu. Lalu aku memasang aksi norak dan dia selalu saja tertawa melihat tingkah norakku.
Tak apa aku diketawakan orang lain, yang penting senyum dan tawa kamu tetap kulihat sepanjang kebersamaan kita gil.
Setelah puas poto-poto, kami segera meninggalkan lapangan gasibu. Dan ketika lewat tukang jualan vespa itu, aku berhenti sebentar, hanya untuk melihatnya, karena mungkin ketika aku kembali kesini miniatur itu sudah tak ada.
Ya sudahlah.
******
Aku balas dengan senyum pula. Aku mulai menyukai yang namanya kejutan. Ya, dia mulai senang membuatku terkejut dengan apa yang dia perlihatkan padaku.
Sekarang kami berdua sedang naik angkot. Entahlah jurusan mana, aku tak terlalu ambil pusing. Aku mah ngikut ajah..
Kondisi jalannya lumayan padat, padahal hari masih pagi. Dan haripun mulai cukup panas. Kulihat dia dari tadi dia mengulum senyum terus.
“yuk turun” katanya.
Udah sampai, cepat juga pikirku. Lalu kami berdua turun dan ragil langsung bayar angkotnya. Kemudian kita nyebrang jalan dan mulai memasuki sebuah gang. Kutengok kanan-kiri rumahnya rapat sekali, gak seperti di garut yang tak terlalu rapat.
Ragil lalu berhenti di depan sebuah rumah tingkat dua yang berukuran cukup besar. Lalu dia menggeser pagar besi nya dan kami berdua masuk. Rumah siapa ini, pikirku.
Tepat didepan mataku ada kolam ikan dan disekelilingnya ada tanaman-tanaman yang dipadupadankan dengan serasi. Berbagai macam tanaman termasuk anturium ada disini. Aku yakin si mpunya rumah tahu betul bagaimana menata taman minimalis ini dengan sangat baik.
Kami berdua lantas masuk lewat pintu samping. Jadi rumah ini memiliki dua pintu masuk. Satu pintu untuk tamu dan satu pintu lagi untuk penghuni rumah.
“asalam alaykum..mah..” kata ragil.
Mamah? Jadi ini rumah mamahnya yang di bandung? Dodol..kenapa aku gak mikir itu dari tadi ya? Lalu kudengar ada suara langkah kaki dari atas tangga. Lalu muncullah seorang ibu yang kutaksir umurnya sekitar tiga puluhan. Tapi masa iya? Ragil aja sekarang sudah delapan belas? Aih...mamahnya masih cakep aja. Kulitnya putih bersih, matanya bulat hitam, bibirnya tipis dan hidungnya kecil. Tapi jujur menurutku cewek berhidung kecil, mungil sih sebenarnya itu terkesan lebih manis. Mungkin itulah yang membuat beliau terlihat awet muda. Pantas saja ragil sama bayu cakep-cakep, emang turunan ibunya. Tapi kok kayaknya gak imbang banget ama pak unsur ya? Jadi jomplang keliatannya. hahaha
Beliau lalu tersenyum ke arah kami.
“aa teh yah kalau mau kesini teh kabarin dulu atuh...”
“hehehe. Kan kejutan ai mamah..”
“euleuh...mainannya kejutan sekarang mah anak mamah teh? Eh ini teh siapah?”
“temen aa mah, boby”
Aku lantas tersenyum lalu mencium tangan beliau. Beliau lalu mengusap rambutku. Senang sekali rasanya rambutku dielus olehnya. Seperti dielus oleh ibu sendiri.
“si teteh gak diajak a?”
Teteh? Bayu kali ya?
“enggak mah. Ini teh da lagi ngajak temen maen ke gasibu tadi.”
“uluh..terus borong apa aja atuh tadi teh?”
“gak borong apa-apa kok mah..Cuma liat-liat aja.”
“si aa mah udah lupa lah sama bandung teh. Udah lebih dari sebulan nya gak kesini?”
“hehehe. Pan aanya lagi sibuk uji kompetensi sama Ujian nasional ai mamah”
“ah...jangan-jangan udah kecantol sama orang garut ya..”
“ah mamah mah..” katanya manja.
“pasti si aa sama boby teh laper ya? Udah nyarap belum A?”
“udah mah tadi. Emangna mamah teh masak apa?”
“aa pengennya makan apa buat makan siang ntar?”
“jengkol aja tante.” Kataku tiba-tiba.
Aku emang penyuka jengkol kelas wahid. Mulai dari semur jengkol sampai jengkol goreng.
“jengkol?” tanya ragil dan mamahnya serempak dengan ekspresi tak percaya.
“iya..orang sunda kalo gak makan jengkol teh kayaknya kurang apdol da” jawabku pede.
“hehehe. Yaudah atuh, mamah mau nyiapin dulu. Aa mandi dulu yah, bau acem ih”
“ah mamah mah. Masih keringetan atuh..ntar we nya”
“ih jangan-jangan waktu di garut si aa jarang mandi ya?”
“enggak atuh ih. Ya udah, aa ke atas dulu ya mah..yuk bob”
Aku tersenyum sambil mengangguk sama mamahnya ragil yang cantik itu. Lalu kami pun naik ke atas. Ketika meniti anak tangga, aku mendapati ada beberapa poto dan hiasan dinding dipajang. Foto ragil-bayu waktu kecil, dari orok sampai remaja seperti sekarang. Tapi tak ada poto keluarga lengkap bersama Pak Unsur. Palingan hanya poto bertiga.
Secara arsitektur dan desain, setiap sudut rumah ini terlihat manis sekali . Dan ketika aku menjejak di anak tangga terakhir aku melihat sebuah ruang keluarga yang cukup nyaman. Tak ada sofa, hanya sebuah meja pendek dan beberapa kursi sofa dan dibawahnya dialasi karpet Extacy. Di depannya ada sebuah rak yang diatasnya terpampang sebuah tivi ukuran standar, 21 inch.
Di atasnya dipampang sebuah lukisan surealis dan di kanan kirinya ada kain-kain batik dan sutra. Lalu beberapa poto dan lukisan juga menghiasi dinding ruangan ini. Dan disudut ruangan dipajang bunga-bunga hiasan yang terbuat dari kulit jagung. Manis sekali.
Dan yang paling membuatku terkesan adalah ada rak buku yang menepel di dinding yang dijejali buku-buku tebal berisi novel-novel ternama dan biografi orang-orang besar serta akuarium miniatur. Memberikan kesan bahwa si penghuni rumah berpendidikan.
“yuk ke kamar” ajak ragil mengagetkanku yang sedang mengagumi rumahnya.
Lalu aku mengikuti dia yang sudah lebih dulu masuk kamar.
Aku melihat kamar ragil tampak sederhana. Tak terlalu banyak ornamen. Aku malah mendapati diatas kasurnya ada beberapa buah boneka. Dan yang paling mencolok adalah boneka anjing seukuran gambreng dan juga beberapa boneka monyet ukuran sedang. Hadeh, dasar. Masak cowok hobinya boneka? Tapi khusus buat ragil mah gapapa suka boneka juga. da dia mah istimewa. Hahay.
Aku lantas duduk di kasurnya yang empuk. Kulihat disamping kasurnya ada meja belajar yang didalamnya dipajang cukup banyak buku tebal dan beberapa komik. Dan yang paling aku suka adalah action figur manga yang dipajang di atas lemarinya.
“bob, aku mandi dulu yah. Gerah pisan lah. Kamu nonton tipi we nya.” Kata ragil mengagetkanku.
“yadah, sono mandi. “
Dia lalu mengambil handuk dan baju ganti lalu masuk ke kamar mandi.
Aku lalu berkeliling sebentar. Bukan untuk mencari lokasi buat ngepet, tapi untuk menikmati suasananya yang enak ini. Aku lantas keluar dan mendapati view yang menghadap ke bukit. Aku berdiri di balkon sambil berpegangan ke pagar yang dirancang minimalis ini. Pasti indah sekali kalau malam, pikirku. Dari sini pasti terlihat lampu-lampu di perbukitan itu. Dan ketika aku melihat ke pojok, aku melihat ada dua ekor kucing. Entahlah kucing apa, karena aku tak terlalu mengenal jenis-jenis kucing. Yang aku kenal persis adalah kucing garong, yang selalu mencari sasaran, main sikat, main embat, apa sing liwat, ayye.
Aku lalu mendekati kucing itu. Ada dua ekor kucing, yang satu berwarna putih coklet dan satu lagi hitam polos dengan bulu-bulu panjangnya. Terlihat menggemaskan sekali.
Aku dekati kedua kucing itu dan kucing yang berwarna coklat putih itu mendekat dan mengeong dengan lucunya. Aku lalu membuka pintu kandangnya lalu mengelus-elusnya punggungnya dan kucing itu tampak keasikan. Dia mengeong-ngeong manja. Lalu kulihat di sebelah kandang itu ada pakan kucing. Ckckck. Biaya makan kucing sama makanku kayaknya mahalan makanan kucing deh. Kalau aku miara kucing palingan kukasih makan ikan asin tiap hari, itu juga hanya kepalanya aja.
Kuambil pakan itu lalu kutuangkan ke wadah makannya. Dan dia langsung makan dengan lahapnya. Senang sekali melihat kucing coklat ini makan dengan rakusnya. Tapi namanya siapa ya? Ah kupanggil aja ubay, soalnya dia kalo makan rakus kayak si bayu, hehehe.
Lalu mataku tertuju ke kucing yang warna hitam. Kucing ini cenderung diam. Kuperhatikan wajahnya selalu terlihat sendu. Kucoba buka pintu kandangnya tapi kucing itu masih saja meringkuk di pojokan. Aku lalu mencoba mengulur tanganku agar bisa mengelusnya. Tapi kucing hitam itu masih saja diam di pojokan. Hmm, ternyata kucing yang satu ini pemalu juga. kukasih nama siapa ya? Hmm..milky aja deh? Tapi milk kan warnanya putih? Yang ni item? Gapapa lah, suka-suka aku aja, kan aku sendiri yang nyebut.
Lalu tangan kiriku mencoba mengelus dari luar kandang dan kucing itu sempat menoleh kearah tanganku tapi hanya diam lalu kembali menatapku. Aku tersenyum padanya dan mencoba menirukan suara kucing.
“miaw..miaw..”
Dan anehnya kucing itu menyahut dengan suara pelan.
“miaw..”
Hahaha. Ternyata aku hebat juga bisa berkomunikasi dengan kucing. Kutirukan lagi suara kucing sambil tangan kananku mencoba mengelus kucing itu dan ternyata kucing itu mendekat ke arahku meski keliatan ragu. Dan setelah mendekat, kuelus kucing itu. Dia melihat ke arahku dan aku tersenyum sambil terus mengelus tengkuk dan punggungnya dan sesekali melakukan pijatan kecil. Saking gemasnya karena kucing ini malu-malu, aku lalu angkat kucing itu dengan kedua tanganku lalu menimang-nimangnya. Keelus dan kukelitiki leher bawahnya dan si melky tampak senang dan meliuk-liukan kepalanya. Aku tertawa sendiri melihat tingkahnya.
Kulihat si ubay, dia malah masih asik makan dengan rakusnya. Dasar. Persis sekali sama bayu kalau udah liat makanan. Aku lalu masukan lagi si melky ke kandangnya dan matanya tampat merengut. Mungkin masih ingin kugendong dan kuelus-elus. Aku ambil makanan kucing lalu kutuangkan ke wadahnya dan dia tampak ragu. Cukup lama dia diam tak mau makan seperti si ubay. Aku lalu ambil pelet itu dan kutadahkan tanganku ke arah mulutya. Si melky tampak ragu tapi kemudian dia mendekat dan akhirnya makan dari tanganku. Aku tertawa-tawa karena geli akibat tanganku bersentuhan dengan mulut dan lidahnya. Aku masih asik saja memberi makan si melky tanpa sadar mamahnya ragil sedang memandangiku.
“kamu temen sekolahnya ragil bob?”
“eh tante. Iya tan.”
“sekelas sama ragil?”
“enggak. Boby mah masih kelas satu tan”
“oh...tumben si item mau makan. Biasanya teh si item tuh paling susah kalo makan. Makanya dia teh kurus begitu. Rambutnya juga suka rontok.”
“masa sih tan? Tapi si melky lucu ya tan”
“melky?”
“maksud boby teh kucing yang item ini. Boby kasih nama melky gapapa kan tan?”
“melky? Heheh, kayak personil bajaj ya?”
“boleh gendong lagi kan tan”
Mamahnya ragil hanya tersenyum.
Aku lantas mengggendong si melky lagi dan kembali bermain-main dengannya. Kuelus, kukelitiki dan kupijit-pijit kecil. Dia tampaknya keenakan dan mengeong-ngeong.
“kamu teh punya ilmu apa sih bob?”
“maksud tante?”
“si item tuh gak mau digendong sama orang lain selain tante sama ragil loh.”
“masa tan?”
“iya...dulu waktu kami bertiga jalan-jalan ke gasibu, si aa liat kucing. Dan dia memang suka kucing, makanya tante beliin. Dan herannya si aa malah beli si melky kata kamu itu. Padahal kata penjualnya si melky itu kucingnya pendiam. Dan si mamang penjualnya juga bingung kenapa ketika ragil mengulurkan tangan, kucing itu langsung nyamperin ragil. “
“masa tan?”
“iya, terus bayu ikut-ikutan beli deh. Biar ada yang nemenin si melky item itu katanya. Kamu kasih nama siapa?”
“yang coklat putih ini? Boby kasih nama ubay tante”
“kok kedengarannya kaya nama bayu ya”
“hahaha. ah tante mah bisa aja”
“iya, kalau si ubay mah, kucingnya teh periang dan gak susah makan”
“kok kayak bayu sama ragil ya tan?”
“iya, makanya tante heran waktu si melky langsung apet sama kamu.” (apet = nurut)
Aku hanya terdiam. Apakah si melky itu adalah representasi jiwa ragil? Aku tak tahu dan tak mau berpikir yang lain-lain.
“yaudah, minumannya tante taruh di meja. Tante turun dulu ya” kata beliau lalu beliau berlalu meninggalkanku.
Kupandangi lagi si melky, lalu aku terdiam sejenak. Benarkah dia itu seperti ragil? Ya, dia itu pemalu, dia itu mungkin benar kata mamahnya ragil, hanya beliau yang bisa bikin nyaman. Dan sekarang ragilpun udah ngerasa nyaman sama aku dan aku juga nyaman sama dia.
Aku lalu masuk lagi kedalam rumah dan ternyata ragil juga telah selesai mandinya.
“udah gil?”
“udah. Mau mandi sekarang pa ntar nih?”
“ntar dulu aja deh. Males ah masih dingin..” kilahku.
“dasar jorse ih”katanya lalu dia masuk kamar dan menutup pintunya.
Aku lalu berjalan hendak melihat poto yang tertempel di samping tangga dan telingaku mendengar ada suara yang sedang bercakap-cakap. Kok rasanya aku kenal suara itu?
“tapi mah..”
“teteh...mamah ngerti..tapi..”
“mah..teteh sayang sama dia..dari dulu teteh selalu ngalah buat si aa..tapi buat yang satu ini, apa teteh harus ngalah juga?”
Sekarang tak terdengar percakapan lagi. Mereka diam. Apa mereka sedang ngomongin hubunganku sama ragil? Aku tak berani turun, aku hanya bisa mendengarkan dari atas sini saja. sebenarnya terdengar samar, tapi masih bisa kutangkap apa yang sedang mereka bicarakan.
“mah..ini memang salah teteh karena teteh dulu yang maksa boby buat deket sama si aa sampe ujian. Tapi teteh yakin boby Cuma sayang sama teteh. Dan mudah-mudahan si aa keterima di itb dan dengan intensitas ketemunya berkurang, si aa bisa lupain boby.”
“tapi si aa minta ke mamah biar diizinin kuliah di garut”
“terus mamah ngizinin?”
“belum..tapi..”
“mah, kita emang perempuan. Tapi buat sekarang, kesampingin dulu perasaan. Kita gunain logika. Si aa itu salah mah kalau suka sama cowok lagi. Dan kita orang terdekatnya harus bantu dia buat kembali ke jalan yang semestinya..”
“kamu mirip ayah kamu teh..”
“mah..teteh Cuma..”
“...”
“mah...”
“mamah mau masak dulu buat makan siang”
Aku lalu segera berjalan ke arah kursi dan duduk memikirkan percapakapan bayu dan mamahnya barusan. Ragil mau kuliah di garut? Aku tau persis itb adalah cita-citanya dari dulu. Dan demi aku dia lebih memilih buat nerusin kuliah di garut? Dan kenapa bayu bisa tau aku kesini bahkan menyusulku kesini? Ah, aku pusing memikirkannya. Aku lalu segera masuk ke kamar.
“dari mana bob?” tanya ragil sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk
“hmm..hmm..dari liat-liat we.”
“dari liat-liat?” tanyanya dengan ekspresi aneh.
“hehe. Gil, kamu jadi kan ke itb?”
Dia hanya senyum.
“yang namanya belajar itu gimana kitanya bob. Di harvard sekalipun kalau kita gak bener-bener niat belajar, percuma. Toh banyak kan orang-orang besar yang lulusan almamater yang tak punya nama?”
Aku hanya terdiam. Memang benar, tapi rasanya terlalu sayang untuk mengorbankan cita-cita lama itu. Ya, ragil memiliki potensi untuk menjadi orang besar karena kecerdasannya. Dan sebuah lingkungan pendidikan yang baik dengan fasilitas yang layak harus dimilikinya.
“udah, sekarang kamu mandi dulu gih.”
Aku hanya terdiam sambil melihatnya dalam-dalam dan dia tampak salah tingkah.
“kok ngeliatnya kayak gitu sih?”
“hah? Gak kok. Eh, kita tuh pacaran udah berapa lama sih?”
“hah? Pacaran? Hmm..berapa lama ya? Hampir empat bulan kayaknya. Kenapa emangnya?”
“empat bulan ya? Tapi kok kita belum pernah mandi bareng ya?”
“hah?” katanya kaget.
“aku kan juga pengen dimandiin sama kamu gil..” kataku memanja.
Kulihat mukanya tampak merah dan semakin salah tingkah.
“gil...” kataku setengah berbisik.
“hhh?” dia menjawab dengan wajah semakin merah.
“mandiin donk..” kataku manja.
“...”
“giilll..masa kamu gak mau liat aku telanjang sih..? ntar kamu yang nyabunin aku yah..”
Kulihat mukanya semakin merah. Lucu sekali kelihatannya.
“gill..” kataku semakin menggodanya.
“aahhh..boby...aku udah mandi nih..”
“hahaha..masa segitu aja udah basah..”
“aahh...”
“hahaha. Yaudah, aku mandi dulu ya. Tapi kalau kamu mau kencing, pintunya gak aku kunci loh..”
“aahh...boby..”
“aku buka baju disini ah...” kataku lantas berdiri sambil pura-pura hendak membuka kaos yang kunakan.
Kulihat matanya melotot.
“jangan jangan jangan..” katanya sambil mendorong tubuhku ke kamar mandi.
Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang gelagapan. Dasar ragil...segitu aja udah salting.
*****
“gil...sletingnya macet..bantuin donk..” kataku manja.
Dia kembali melotot ke arahku.
“iihh..susah..” kataku lagi.
Dia lantas berjalan kearahku. Lalu dengan ragu berjongkok didepanku. Dia sesekali mendongak ke arahku dan wajahnya semakin memerah. Dia lalu memegang resletingku dan entah sengaja atau tidak, dia menyenggol dedeku.
“tuh kan..nakal..” kataku.
“iihhh..gak sengaja kok..”
“ah..tuh kan...jadi we dedenya bangun..” kataku lagi.
Dia tampak kikuk karena melihat dedeku mulai menggeliat. Dia semakin salah tingkah.
“hayo, lanjutin...”
“hmm..hmm..” dia tampak ragu.
Dia lalu mengambil resleting itu dan celanaku semakin menggembung. Wajahnya semakin memerah.
“mau lihat?” tanyaku nakal.
Dia hanya diam.
“buka aja...” kataku pelan.
Dia dengan ragu membukanya dan dia membelalak ketika dedeku mencuat. Dia gelagapan dan dengan tangan gemetar memegang dedeku. Aku mulai was was. Aku tak menduga ternyata sudah sejauh ini. Aku mulai mendesah ketika dia mulai memaju-mundurkan tangannya. Badanku mulai memanas dan tanganku bergetar, aku mulai merasakan hangat dan basah. Ada rasa geli dan..entahlah.
“aa..” aku mendengar mamahnya ragil memanggil dari bawah.
Aku tersentak. Dan dia gelagapan. Dia lalu berdiri dan tampak salah tingkah. Aku segera merapikan diri. aku lantas duduk dengan perasaan was was. Kami berdua tampak kikuk.
“ya mah..bentar..aa masih ganti baju..” katanya berbohong.
Kami berdua saling diam. Aku memandangnya sebentar dan dia terlihat salah tingkah waktu memandangku.
“hey, ayo turun ke bawah. Udah ditungguin.” Kataku mencoba bersikap biasa.
“...” dia masih diam tak beranjak.
“kok diem aja? jangan-jangan cenggur ya, hahah. Ntar masih ada kan malem..”
“apaan sih..” jawabnya malu-malu.
Aku hanya cengengesan. Lalu kuraih tangnnya dan dia pun berdiri. Kami berdua lantas segera turun ke bawah dan ragil tampak kaget karena melihat bayu sedang duduk di sofa sambil memegang remot dengan wajah cemberut. Aku hanya diam saja tak menyapanya. Dan sekarang dia memandangku dengan pandangan aneh. Aku mengalihkan pandanganku menghindari tatapannya.
Lalu tiba-tiba telepon rumahnya berdering dan dengan isyarat mata mamahnya ragil menyuruh bayu untuk mengangkatnya.
Lalu dengan malas bayu mengambil telepon itu.
“haloh. Iya wa. Si mamahnya lagi di dapur. Kenapa? Tunggu bentar ya wa. Mah, si wa Ita minta accesoris sama pernak-perniknya dikirimin ke rumahnya.” kata bayu.
“oh, mamah mau ke butik sekarang teh. Ada customer yang mau order barang lumayan banyak. Item-nya juga variatif teh. Teteh aja atuh yang anterin ke rumahnya wa Ita ya, sekalian silaturahmi. Pan udah lama gak kesana.” Kata mamahnya sambil cuci tangan.
Bayu hanya merengut.
“males ah mah...teteh lagi capek”
Lalu mamahnya berjalan menghampiri bayu dan mengambil telponnya.
“halo Ceu, iya. Ntar ragil kesitu. Apa? Heeh. Yaudah ceu nya. Salam’alaykum. Klik.” Kata mamahnya.
Hah, ragil yang kesitu?
“a, aa anterin barang ke rumah wa ita ya. Sekalian ajakin boby jalan-jalan” kata mamahnya dan ragil hanya mengangguk.
Kulihat bayu tampak kaget dan merengut lalu mendengus-dengus sambil memindah-mindahkan channel tipi. Lalu dia meletakannya.
“teteh ikut ke rumah wa ita ya?” katanya dengan andangan merajuk.
“kan motornya Cuma dua ai teteh. Yang satu mau mamah pake ke butik...lagian katanya teteh capek..” kata mamahnya lagi.
Aku hanya diam. Aku bingung harus gimana. Dan akhirnya aku hanya diam mendengarkan saja. lalu tiba-tiba teleponnya berdering lagi dan mamahnya langsung mengangkatnya.
“halo. Iya ceu? Oh, yaudah atuh yah, sekarang ragil langsung kesana. Klik” mamahnya langsung nutup teleponnya.
“kenapa mah?” tanya ragil.
“katanya si a wildan mau berangkat sekarang. cepetan kesana. Ntar sekalian bawain pesenan mamah ya.” Kata mamahnya sambil berjalan ke arah dapur dan mengambil sebuah dus ukuran sedang lalu menyerahkannya ke ragil.
“bob, kamu bisa bawa bawa motor kan? Ntar si aa yang nunjukin jalan” kata mamahnya ragil.
“bisa tan.”
“Ati-ati. Jangan ngebut-ngebut ya” Kata mamahnya sambil menyerahkan kuncinya.
Ragil langsung berjalan keluar. Aku tatap mata bayu yang semakin merengut. Kucoba tersenyum dan mengedipkan kedua mataku untuk menenangkannya. Dan dia membalas dengan senyum kecut.
“berangkat dulu tan, bay. Salam likum” kataku segera menyusul ragil.
Maaf bay, aku gak tau mesti gimana sekarang. aku bingung. Aku Cuma pengen bahagia dan aku ngerasa bahagia sama ragil. Meski bahagia ini salah, tapi aku hanya ingin tersenyum dari hati dan melihatnya tersenyum, itu saja. sederhana kan? Maaf karena aku gak bisa tegas nentuin pilihanku. Semuanya udah menjadi kadung. Aku gak salahin kamu. aku juga gak salahin ragil dan juga keadaan ini. Aku salahin diriku sendiri, kenapa aku bisa menaruh rasa sayang ke ragil. Tapi bukankah tuhan tak pernah salah menitipkan rasa pada mahluknya? Ntahlah, aku bingung. Biarkan semua terjadi tanpa perlu kuduga.
(kaliamat terakhir akucopas dari komen pembacaku, mamax.w suka kata”nya)
*****
“gil, ke kiri pa ke kanan?”
“kanan bob”
Aku lantas membelokkan motorku kearah yang diinstruksikan ragil. Dan cuacanya lumayan sejuk, padahal ini udah siang. Aku toleh kanan-kiri sambil berusaha mengingat-ingat jalan dan bangunan atau tempat yang mencolok. Barangkali suatu hari nanti aku kesini, kan gak nyasar.
“nah itu taman lansia, kalo yang itu museum geologi.” Katanya, “habis itu kita ntar bakal lewat gasibu lagi sama gedung sate.”
Aku hanya ngangguk-ngangguk lalu kami lurus ke arah yang kata ragil namanya jalan sunlanjana sampai prapatan dago lalu belok kanan.
“habis ini kita bakal lewat yang namanya taman cikapayang.” Terangnya lagi.
Aku hanya angguk-angguk gak ngerti. Sesekali dia menjelaskan nama tempat, dulunya apa sekarang jadi apa, dipakai buat apa dan tek-tek bengek lainnya. Aku hanya menimpalinya dengan oh, wah, masa, asik donk, dan ungkapan-ungkapan serupa. Dan secara keseluruhan aku suka gaya bangunan kota bandung. Terkesan oldist sekali dan beberapa tempat kental sekali belandanya, sisa kekuasaan belanda sebelum kemerdekaan.
“lewat mana lagi nih?”
“lurus aja sampai pertigaan jl ganesa dago,terus depan RS brome belok kiri.” Katanya lagi.
Lalu aku diminta berhenti didepan sebuah rumah yang terkesan tua. Aku lantas menghentikan motorku dan kubuka helmku. Kuhirup nafas dalam-dalam. Wah, asri sekali tempatnya.
“ini rumah uwa kamu itu gil?” tanyaku.
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum padaku. Aku balas dengan senyuman paling tulus, biar dia tahu kalau aku tulus sayang sama dia.
******
Aku coba pencet bel dan kulihat boby masih memarkirkan motornya. Tak lama keluarlah Wa Ita. Uwaku yang satu ini memang duplikatnya mamah. Umurnya pun hanya terpaut sekitar empat tahun sama mamah. Wa ita tinggal disini sama suami serta dua anaknya, yang satu masih tinggal di pondok, dan yang satu lagi sedang kuliah di UGM, jogja. Tapi katanya hari ini anaknya itu sedang pulang ke bandung dan ada pesanan accesoris dari jogjakarta. Ya semacam tukar menukar accesoris, karena mamah juga ngambil barang dari beberapa daerah termasuk jogja.
“eh..ragil.” Kata beliau.
“iya wa. Kumaha damang wa?” kataku sambil mencium tangannya dan disusul oleh boby yang ikut mencium tangannya wa ita.
(gimana kabarnya wa?)
“alhamdulillah gil. Ini teh temennya?”
“iya. Temen sekolah di garut. Ini wa pesenannya mau ditaruh dimana?.” Kataku sambil membawa dus isi accesoris.
“oh iya, ditaro di meja aja gil. Tunggu sakedap nya. Uwa ambil heula pesenan si mamah. Wildan..turun dan, ada ragil” Kata beliau sambil berjalan ke atas.
(sakedap = sebentar, heula= dulu)
“iya mah..” kudengar sahutan dari atas.
Lalu dari atas turunlah seorang pemuda sambil tersenyum kearahku. Aku tersenyum melihatnya. Dia adalah sepupuku yang kuliah di jogja. Dulu juga dia sekolah di garut, tapi bukan di stm-ku. Dia sekolah di SMA yang letaknya dekat lapangan kerkof yang terkenal sebagai sma favorit di garut.
“eh gil. Udah lama?”
“baru ge nyampe. Akang lagi liburan ini teh?”
“iya gil. Lagi pengen liburan ke bandung. Kangen sama suasana bandung eung. Kalo di jogja mah panas pisan da. Eh kamu teh kelas tiga kan sekarang teh? Mau diterusin kemana? ke kampus sebelah?”
Aku hanya tersenyum dan kulihat boby memandangku.
“gimana ntar aja kang. Tapi kayaknya agil mau kuliah di garut aja ah.” Kataku pasti.
“kok? oh...pasti udah kecantol sama orang garut yah?”
Aku hanya malu-malu. Tadinya aku mau bilang kalo aku kepincut sama orang yang sekarang sedang duduk di sampingku.
“jadi kalian lagi liburan ini teh?” tanya kang wildan.
“iya kang. Pengen liat gasibu.”
“oh, baru sekali ini ke bandung? Halah, gil ajakin ke ciwalk atuh. Terus ke lembang. Banyak lah tempat-tempat bagus di bandung teh.”
“sip kang’ jawab ragil.
“tapi kok akang kuliahnya di jogja? Padahal kan itb teh gigireun pisan kang?” tanyaku penasaran.
Sebenarnya aku heran dengan pilihan kang wildan yang lebih memilih kuliah di jogja, padahal itb itu hanya berjarak beberapa puluh meter saja dari rumahnya. Dan tentu saja dia mampu, bahkan aku berani memastikan dia bisa masuk ke itb.
“ya..pengen aja. Eh akang ge dulu punya temen da di stm kamu teh” jawabnya simpel.
“sipa kang?”
“aga. Kita sama-sama paskibraka dulu teh. Kalaugak salah adenya juga sekolah disitu kan?”
“oh..iya kang. Sekrang teh cepi kelas dua.” Jawabku.
Aku masih mengamati dia. Dari penampilan fisiknya kang wildan ini sangat menarik. Dia tinggi kurus. Sebenarnya tidak kurus, tapi proporsional. Tapi karena tingginya lima senti diatasku, jadi terlihat cukup ramping. Rambutnya ikal lebat dan aku suka ngeliat giginya. Kecil-kecil dan dua gigi depannya itu terlihat manis, sering orang sebut gigi gawang. Jadi dua gigi depannya cenderung masuk kedalam. Bibirnya juga unik. Tidak tipis, tapi sedikit tebal dan pendek, dan bibir bawahnya terkesan belah ditengah. Dan setiap dia mengucapkan kata yang ada huruf ‘R’ aku mengernyit, terdengar lucu sekali. Matanya juga belo, dan cara dia mengedip itu yang terkesan dia anak rumahan. Padahal yang kutahu dia suka mendaki dan juga kemping.
Tapi aku menangkap ada raut aneh ketika dia melihat kami sekarang. jangan-jangan dia tahu kalo kami pacaran lagi?
Sesekali kulihat kang wildan tampak memerhatikan kami berdua. Aku tetap menjaga sikap biar kang wildan tak curiga. Dan justru hal itu yang membuatku terlihat sedikit salting.
“gil..kamu..” kata kang wildan terputus.
Aku gelagapan dan untung saja wa ita segera datang menghampiri kami.
“gil ini titipa buat si mamah. Bilangin gituh, varian-nya ditambah. Di jogja pada suka”
“iya gil. Temen-temen akang pada suka. Tapi kalo bisa katanya harganya disesuain dikit sama kantong mahasiswa.”
“hehe. Iya kang, wa, ntar agil bilangin ke si mamah. Yaudah atuh wa, agil pamit dulu. “
“mau kemana atuh gil, baru ge jam segini. Kan udah lama gak main”
“itu mah…dia mau ngajakin TEMENNYA keliling bandung” kata kang wildan dengan menekankan kata TEMAN.
Aku hanya tersenyum dag-dig-dug. Ya, aku yakin kang wildan tahu. Mungkin kehidupan mahasiswa sudah banyak hal yang seperti ini.
Kami berdua lantas berdiri dan segera pamit. Tapi ketika kami berdua sudah sampai pintu, aku dipanggil kang wildan.
“gil, sini bentar.”
“a..apa kang?”
“kalo kamu udah mantap sama pilihan kamu, kamu mesti siap sama konsekuensinya”
Aku hanya terdiam. ya, mungkin dia tahu kalo aku sakit.
“dunia seperti ini emang gak mudah. Pasti banyak sekali cobaannya. Kalo ada apa-apa, kamu gak usah malu hubungin akang. Kamu simpen nomer hape akang ya, kalau-kalau nanti kamu butuh bantuan akang, jangan malu-malu nya” katanya
Dan aku hanya tersenyum yang kupaksakan. Jujur, aku belum siap orang lain, selain bayu dan didit tahu kondisiku. Aku lantas ketikan nomer yang dia sebutkan. Aku lantas pamit dengan perasaan was was.
*******
“enggak kok. Beberapa puluh meter aja. Ntar sekalian kita sholat di mesjid salman, mesjidnya itb.” Jelasnya lagi.
Dan akupun memarkirkan motornya didepan sebuah bangunan tua yang ada tulisan Warung Pasta.
“Warung..Pasta?” tanyaku heran.
Makanan apa itu? Setauku yang namanya pasta ya pasta gigi, odol.
“yuk masuk” kata ragil.
Kami berdua pun masuk dan aku hanya cengo saja waktu duduk. Kuedarkan mataku menilik semua ruangan dan properti disini. Nyaman sekali. Jauh lebih tertata dari resto tempat kerjaku dulu, banyak sekali ornamen yang dipajang. Mulai dari lukisan-lukisan kota dan perahu, sepertinya di sungai atau kanal, ya seperti bergaya itali, lampion-lampion yang menggantung besar, unik tapi elegan diatas meja. Cita rasa italinya kental sekali.
Lalu datanglah seorag pramusaji menghantarkan menu.
“silahkan akang-akang. Mau langsung pesan atau pilih-pilih dulu.”
“Pilih-pilih dulu aja kang” jawab ragil
“oke.kalau sudah siap mau pesan apa, silahkan panggil saya.”katanya lalu berlalu meninggalka kami dengan senyum ramah.
“pesan apa bob?”
“hmm..apa ya? Da gak ngerti atuh makanan apaan ini teh”
“hmm..spageti?”
“alah jiga mie ya. Bosen ah di kostan ge makanna emih mulu. “
“hahah. Beda atuh bob. Ini kan pasta.”
“pasta gigi? Lada atuh.”
“tuh kan..kamu mah apa-apa teh dibecandain wae. Pasta teh makanan jiga spageti, makroni, “
“ah..aku mah nyobain spagetos we lah. Sama lasagna, jigana mah enyak pisan. Aya dagingna kan?”
“yap. Aku mah ini aja” katanya tanpa menyebutkan apa.”minumnya?”
“hmm..jus jambu we lah”
“yaudah atuh. Kang..”
Lalu tampak seorang pramusaji menghampiri kami tetap dengans enyum pepsodent.
“kami pesen bla bla bla, bla bla bla..” kata ragil.
Aku hanya tersenyum mendengar nama-nama makanan yang terengar aneh ditelingaku. Masa bodoh h, yang penting mah perutku gak keroncongan lagi.
Setelah pesanan datang, aku hanya cengo melihat apa yang didepanku. Mungkin karena aku belum terbiasa mencium baunya dan juga sajiannya, aku sedikit mengernyit dan penasaran gimana rasanya.
“kenapa bob?”
“haha. Gapapa. Aku cobain ya yang namanya lasagna teh siga kumaha” kataku langsung menyendoknya.
Aku mengernyit ketika makanan yang namanya lasagna menyentuh lidahku.
“enak?”
“huah…mendingan mamam bubur ayam da. Ini mah rasa naon? Aneh begini.”
“hahaha. Da kamu mah bet mesen ini atuh. Tapi abisin ya.”
“atulah..”
“yaudah..kamu yang bayar?”
“hah? Emang berahaan ini teh?”
“40”
“anjrit…mending beli beras da sumfah. Dapet mereun sepuluh kilo mah.”
“hahaha.”
Aku lantas memakan spagetiku dan ternyata rasanya lumayan lah, tapi masih kalah telak sama mie yayam telkom garut. Aku makan dengan lahapnya. Maklum pamiarsa, terakhir makan nasi itu kemarin, da makan lontong kari gak dianggap. Secara orang indonesia kalo gak makan nasi teh asa belum makan. Haha
Kumasukkan satu lembar terakhir dan tersenyum lega telah menghabis kannya dan baru sadar bahwa ragil tertawa geli melihatku.
“kenapa gil?”
“kamu mah yah, makan teh kayak orang yang belum makan dari SD”
“haha. Biarin we ah, da lapar. Eh gil tau gak cara minum yang asik?”
“hah? Gimana bob?”
“gini” kataku lalu menyedot minumanku dengan sedotan sampai sedotannya penuh, dan langsung kupencet. Lalu kuangkat dan kumasukkan ujung bawahnya kedalam mulutku. Pencetan tangnnya kulepas dan mengalirlah air dari dalam sedotannya.
“begitu gil”
“hahaha. Dasar.”
“cobain gera. Kita nikmati minum ala fisikawan.”
“fisikawan?”
“iya. Kan itu teh menggunakan hukum fisika, hukum tekanan dan grapitasi”
“haha. Aya-aya wae lah kamu mah”
Dan sepanjang kami menghabiskan makanan yang aneh itu, kami terus saja bercanda. Tapi apapun makanannya, asalkan sama orang yang kita sayang, semua akan terasa enak. Sambal pun terasa manis.
******
Setelah sholat dzuhur, aku duduk di teras masjid sambil memerhatikan beberapa mahasiswa yang tampak asik berdiskusi tentang suatau masalah.
“bob, dulu aku sering sengaja sholat disini. Aku suka ngeliat orang-orang tampak asik mendiskusikan tugas, membicarakan tentang hukum ini hukum itu menurut islam, melihat mahasiswa yang tampak sederhana, rutinitas yang tampaknya mengasikan. Dan sejak itu aku bertekad untuk bisa kuliah disini. Mencari ilmu di tempat yang telah melahirkan orang-orang besar.”
“gil, kamu mesti kuliah disini. Jangan karena aku sekolah digarut, kamu jadi ninggalin cita-cita kamu. toh seminggu sekali atau kalo kamu senggang, kamu bisa ke garut atau aku maen ke bandung”
“aku..gak bisa bob. Aku gak bisa dan gak mau jauh dari kamu”
“gil..”
“ini terdengar bodoh dan sangat egois. Tapi dengan ada di samping kamu, aku tinggal di gubukpun gak masalah.”
“hey, aku gak mau karena aku cita-cita kamu dan masa depan kamu di korbanin..aku..”
“bob, cita-cita aku sekarang itu adalah hidup sama kamu, dan masa depan aku itu kamu..” kataku lirih.
Aku hanya diam, diapun juga hanya diam. Jujur, ini memang terdengar filmis, tapi aku sendiri sudah tak peduli akan semuanya. Bahkan aku sudah tak peduli apa dan bagaimana nasib akan membawaku. Setidaknya aku bisa bahagia, bahagia bersama orang yang kusayang. Tak perlu materi, karena materi itu hanya pelengkap. Dengan melihat dia tersenyum saja aku sudah bahagia.
“ya udah, sekarang kita pulang. lagian juga kasian bayu sendirian di rumah” katanya lagi.
Bayu, ya bayu. Aku baru sadar bahwa dulu dia sangat mencintai bayu. Aku jadi bertanya-tanya, apakah dia masih sayangsama adikku itu? Apakah dia benar-benar mencintaiku dan sudah melupakan bayu?
“bob..”
“hhh?”
“aku..boleh nanya gak?”
“nanya apa?”
“kamu..ke bayu..”
“kenapa? Kamu mau nanya gimana perasaanku ke dia sekarang?”
Aku hanya diam. Dari perhatian dia sekarang, sebenarnya aku yakin kalo boby sayang sama aku, tapi rasanya tak mudah melupakan cinta pertama. Karena boby sendiri pun adalah cinta pertamaku, cinta monyetku. Orang yang mengenalkan aku akan rasa rindu. Ya, dan aku mencintainya bukan karen amasa kecilku, tapi karena masa sekarangku.
“aku harus jujur sama kamu gil. Bayu itu cinta pertama aku. Dan seseorang yang mengenalkan kita akan yang namanya cinta itu pasti susah unntuk dilupain. Terlepas dari apakah cinta pertama itu jadi orang paling jahat sekalipun, ketika dia sedih, pasti ada rasa ingin menghiburnya. Bahkan ketika dia melukai kita pun, pasti kita akan membuka pintu maaf untuknya, seberapa sakitpun luka itu”
“jadi..”
“aku gak bisa kasih jawaban yang pasti. Aku sayang sama kamu, itu aja yang aku ingin bilang sekarang.”
Aku hanya diam. Ya, aku tahu, jauh di lubuk hatinya dia masih sayang sama bayu. Tapi aku gak marah. Toh aku gak punya hak buat itu. Mencintainya saja itu sudah salah, apalagi melarang dia mencintai seorang wanita, bahkan itu adikku sendiri, pasti jauh lebih salah. Walaupun aku sebenarnya tak rela harus berbagi dengan siapapun.
“aku Cuma minta satu hal sama kamu, gil. Kamu tetep harus kuliah di itb. titik.”
Aku Cuma tersenyum kerahnya. Aku tak tahu kemana angin kehidupan akan membawaku dan juga membawa hubungan kami. Hubungan terlarang yang bahkan hanya sedikit sekali pasangan bisa menemukan kebahagiaan yang lepas.
*****
Aku masih membolak-balik novel ini. Tebal sekali, judulnya The da Vinci Code. Dan kulihat boby tampak asik bermain dengan si item, kucingku. Dia mengelus-elusnya, mengelitikinya, dan sesekali terliahat gemas dan menggendong-gendingnya. Dan si item yang dia panggil melky pun tampak senang sekali.
Aku tersenyum melihatya. Ya, untuk pertama kali aku meliaht si item mengeong-ngeong dengan lucunya. Dan seorang bobylah yang mampu melakukan itu. Begitupun denganku, dia telah menyentuh titik nyamanku. Dia dengan kesederhaannya, dengan sikap cueknya, dengan tingkah konyolnya telah membuat aku tak mampu berpikir logis. Aku suka kemandiriannya. Aku suka prinsip hidupnya.
“bayu kemana gil?” tanya boby sambil mengelus-elus si item.
“lagi di butik sama mamah. Eh, kamu laper ya bob?”
“hah?”
“dari sini aja kedengeran atuh bob” kataku sambil tersenyum melihat
“hahaha. Atuda tadi makan teh asa nyelap doang di gigi.” Katanya tersenyum ke arahku.
“yaudah atuh, kita cari makan yuk” katanya lagi.
“cari makan? Emang siapa yang buang makanan?”
“hahaha. Kamu mah ih. Katanya ada tempat makan yang asik di kebon nanas.”
“di rumah aja atuh makannya gil..”
“ga mau. Kamu kan tamu, dan tamu itu adalah raja. Jadi kamu gak boleh nolak ..” kataku lagi dengan sedikit melotot.
“ya udah atuh” katanya dengan raut tak enak.
Aku hanya tersenyum kecil. Ya, aku ingin melakukan dan memberikan yang terbaik untuknya.
*******
Aku masih melajukan motornya sambil lirik kanan kiri. Aku gak tahu sekarang ada dimana, karena ragil yang menyetirku. Belok kanan bob...kiri bob..lurus aja..hadeh.
Aku lantas membelokkan motor matic miliknya dan aku melihat ada bsi.
“nah ini jalan ahmad yani. Ntar belok kanan ke jalan cimuncang”
“kemana lagi nih?” tanyaku lagi.
“kiri. Jalan phh mustofa. Lurus terus, ntar di perempatan pahlawan ada pasar cicadas, belok kanan, lewat universitas widyatama”
“nah ini smk 5 bandung. Toko kue JNC. “ katanya lagi
Dan kulihat ada plang bertuliskan Bojongkoneng. Rasanya nama itu cukup familiar, pikirku.
“ini bojongkoneng?”
“yap. Tau?”
“bukannya ini tempat latihan TNI?”
“dulu sih iya”
“masih jauh tempatnya?”
“lumayan, palingan dua jam lagi” jawabnya sambil memeluk pinggangku lebih erat.
“hwa...bobo dulu ah..”
“hahaha. Bentar lagi atuh bob."
Hawanya memang semakin dingin. Aku masih melajukan motor dan ketika menemui turunan, ragil berbisik padaku setengah gemetar karena kedinginan. Memang hawanya lumayan dingin. Pasti karena sekarang kami lagi ada diatas bukit.
“tuh yang ada lampunya kita masuk. Disitu tempatnya.”
Akupun mengikuti instruksinya. Aku lalu masuk ke sebuah resto yang ada di atas bukit. Kuparkirkan motorku dan otomatis mataku menjelajah tempat ini.
Kulihat pohon-pohon tertata dengan rapi dan dihiasi lampu-lampu hias yang tampak seperti tetesan air hujan itu semakin menambah keindahan tempat ini.
“yuk masuk”
Aku lantas menggosokkan kedua tanganku lalu ikut masuk. Mataku masih beredar mengamati tempat ini. Indah sekali, dan hawa dinginnya benar-benar bikin bergidig.
“selamat datang di de Tuik akang-akang. Silahkan mau pilih tempat dimana? Di anjungan atau di saung?” kata seorang greater menyambut kami dengan senyum hangatnya.
Aku balas dengan tersenyum dan kulihat ada beberapa buah saung dan didepannya ada anjungan tanpa atap. Di anjungan itu ada beberapa buah meja dan kursi kayu yang mengelilinginya. Dan kesan natural tampak sekali. Si mpunya resto pasti ingin memberikan efek alam dianjungan ini. Tampak sederhana tapi cukup nyaman.
“anjungan aja gil. Di situ tuh” kataku sambil menunjuk ke arah anjungan yang letaknya paling pojok, mepet ke pagar.
“di situ aja kang” kata ragil.
Lalu kami berdua pun berjalan ke arah meja yang ku tunjuk tadi. Suasananya temaram, hanya ada beberapa buah lampu tapi penerangannya cukup. Aku lantas menuju ke pagar pembatas dan baru sadar bahwa anjungan ini disangga oleh tiang-tiang yang cukup tinggi. Aku pegangan ke pagar dan melihat kota bandung yang terhampar. Lampu-lampu tampak kecil seperti kunang-kunang, berwarna-warni dan tampak indah.
“inilah bandung di malam hari” katanya.
“indah ya gil. Tapi kamu gak kedinginan gil?”
“aku gak pernah ngerasain hawa dingin yang sehangat ini bob” ujarnya sambil tersenyum manis.
Akupun ikut tersenyum. Ya, hatinya pasti terasa hangat, begitupun hatiku. Aku merasakan damai yang sangat. Bukan karena senyapnya tempat ini, tapi damai karena aku sekarang bersama orang yang kusayang. Orang yang dulu pura-pura kusayang demi seseorang, dan kini orang ini telah memenuhi rongga-rongga dadaku.
“ini menunya akang-akang. Mau langsung pesan atau pilih-pilih dulu?”
“pilih-pilih dulu aja kang. Nanti saya panggil” kata ragil.,
“baik, kalau sudah mau pesan, panggil saja saya, Maman. Silahkan” katanya
Lalu waiter itu meninggalkan kami berdua. Aku menilik-nilik menunya. Aneh-aneh sekali namanya.
“kamu mau pesan apa bob?”
“hmm..apa ya? Aku mah rakyat jelata. Kamu dulu deh..”
“hmm..aku mah ngikut kamu aja”
“jangan atuh. Pan ntar biar bisa saling nyicipin”
“ya udah atuh” katanya
“aku mah ikan bakar aja ya.”
“hm..aku cumi aja dah. Kamu aku pesenin banana katsu ya” katanya
“hah? Si cumi dimakan? Kasian atuh? Sakalian we sama si hilceu, si ceuceu juga. Kita musnahkan cumi girlz dari muka bumi ini. hwahwahwa”
“hehe.dasor kamu mah. Minumnya apa bob?”
“hmm..apa ya..apa ini, terong? Ahihihi, terong belanda teh kayak apa sih gil?”
“kayak apa ya, ya kayak terong”
“hah, kayak terong titit kuda yang warna ungu itu? Halah, harot pisan atuh. Hahaha”
“dasor...ceu asum mulu ih kamu mah..”
“hihi. Tapi naha muka kamu jadi merah gitu gil? Lagi pengen terong juga ya..”
“aahhh..boby..udah ah, aku pesen hot chocolate aja”
“tuh kan...kamu mau terong yang warna coklat...yang ada lelehan kejunya, rasanya asin siah”
“ahh..boby boby boby..”
“hahaha”
Lalu ragil memanggil waiter tersebut dan memesan makanan tadi. Aku menatap waiter tadi dan waiter tadi tampak salah tingkah.
“heh, kamu kok liatin dia kayak gitu? Suka ya?” katanya sambil sedikit cemberut.
“kasep sih. Tapi kayaknya hitutnya udah pwoh..udah gak bunyi pret lagi. Hahaha”
“ih dasar jorse...”
“haha. Nggak, aku teh Cuma inget aja sama resto kalo liat waiter teh. Ntar aku mau kasih tip sepuluh juta ah..”
“haalah..dasar, tapi aku seneng bangt tau. Sejak Kamu gak kerja di resto, kamu kan jadi punya banyak waktu buat aku..”
“idih..dasar. ntar aku juga pasti kerja lagi. Da ini mah mau ujian aja. jadi we brenti dulu. Kalo kerja sambil ujian, takutnya nilaiku ancur, lenyaplah beasiswaku.huhu”
“iya atuh. Aku mah dukung apa aja pilihan kamu.”
Tak lama, pesanan pun datang. Waiter pun mulai menyajikan piring-piring berisis makanan pesanan kami diatas meja.
“silahkan dinikmati. Kalau butuh apa-apa panggil aja”
Ragil lanatas tersenyum . Lalu aku dengan semangat 45 segera mencicipinya. Pertama aku cicipi jus terong belandanya. Dan ketika jus itu menyentuh lidahku, mataku mengerut, emmhh..acem..gak enyak...nyesel juga pesen ini. Kulihat ragil tertawa melihatku.
“kenapa? Gak enak ya?”
“gak..enyak kok..” kataku berbohong.
“gapapa. Kalo gak enak, pesen lagi aja”
“gapapa kok. Terong sini emang gak enak. Tapi entar malem kan aku mau makan terong coklat..hahah”
Dia tak menjawab, hanya tersipu dan malu-malu. Kulihat mukanya merah sekali. Aku memang senang sekali menggodanya. Aku suka liat ekspresi wajahnya waktu malu-malu, sikap salah tingkahnya dan gerakan matanya yang tampak malu-malu tapi mau. Terlihat konyol tapi menggemaskan.
Lalu sebuah intro musik yang sudah sangat kukenal terdengar mengalun dengan merdunya. Lagu yang sering kudengar tipa rabu malam di rex fm garut.
Another summer day
Has come and gone away
In Paris and Rome
But I wanna go home
Mmmmmmmm
May be surrounded by
A million people I
Still feel all alone
I just wanna go home
Oh, I miss you, you know
And I’ve been keeping all the letters that I wrote to you
Each one a line or two
“I’m fine baby, how are you?”
Well I would send them but I know that it’s just not enough
My words were cold and flat
And you deserve more than that
“kok senyum-senyum sendiri bob?” tanya ragil.
“aku suka lagunya gil. Tipa denger lagu ini aku pasti langsung inget kampug halamanku.” Kataku.
Dia tampak mendengarkan lagunya dengan seksama.
Another aeroplane
Another sunny place
I’m lucky, I know
But I wanna go home
Mmmm, I’ve got to go home
Let me go home
I’m just too far from where you are
I wanna come home
And I feel just like I’m living someone else’s life
It’s like I just stepped outside
When everything was going right
And I know just why you could not
Come along with me
’Cause this was not your dream
But you always believed in me
“iya ya, emang sih, walaupun kita ada di negri yang indah sekalipun, pasti kita akan rindu kampung halaman.”
Aku tesenyum mendengarnya. Lalu akupun menynyika lag ini dengan pelan sambil tersenyum. Dia ikut tersenyum.
Another winter day has come
And gone away
In even Paris and Rome
And I wanna go home
Let me go home
And I’m surrounded by
A million people I
Still feel all alone
Oh, let me go home
Oh, I miss you, you know
Let me go home
I’ve had my run
Baby, I’m done
I gotta go home
Let me go home
It will all be all right
I’ll be home tonight
I’m coming back home
Dan lagu Home Michael Buble inipun kembali mengingatkanku akan janji lamaku atas seseorang, bahwa suatu hari nanti aku akan membawanya ke tempat eksotis seperti ini. Ya, aku akan mengajak bayu ke Bukit Alamanda, tapi bukan untuk menyatakan cintaku seperti yang kuikrarkan dulu, tapi aku ingin menegaskan perasaanku dan juga hubunganku dengannya.
*****