It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
menyerah menikah atau yang lain
makin pelik jika rafly muncul
@bowamz : thansk Bro! hug!!
@darkrealm : yeee. . . udah dibilang @ferdiRF belom officially nembak gw lho?! wkwkwkwkwk. . . . ntar kalo udah, nagihnya ke dia aja ya?hihihihi. . . .
Semula kukira Ummi dan Abi hanya bercanda saat mengatakan bahwa mereka kesepian dirumah. Sampai akhirnya aku berada disini. Saat ini Ummi masih berada di rumah sakit dan aku memutuskan untuk pulang dan beristirahat sejenak. Saat aku bangun, baru aku tahu kalau mereka benar.
Rumah kami yang besar terasa lengang dan sepi. Yang terdengar hanya kicauan beberapa ekor burung peliharaan Abi, serta petok ayam. Tak ada suara manusia.
Ya Tuhan, seperti inikah suasana yang harus mereka jalani setiap harinya? Apa yang Ummi lakukan saat Abi bekerja? Apa yang beliau kerjakan untuk mengusir kesepian ini?!
Aku berjalan keluar dari kamar. Celingukan sebentar, sampai akhirnya kudengar suara tak jelas dari arah belakang. Aku menghampirinya dan menemukan Mbok Sri dan putrinya Rukmini sedang memasak didapur. Beliau adalah pembantu kami yang berasal dari Jawa. Sudah bekerja pada Ummi semenjak aku kecil.
"Masak apa Mbok?" tanyaku pelan.
Mbok Sri jadi sedikit kaget dengan sapaanku. Dia memegang dadanya dan menghela nafas, sementara Rukmini cuma tersenyum malu-malu. Dia seorang gadis berkulit coklat manis yang berusia 2 tahun dibawahku. Dan kudengar dia sudah berkeluarga dengan adik Pak Rahmat, sopir kami.
"Duh Mas Dimaz! Mbok ya jangan gitu! Bikin Mbok Sri kaget wae. Ini lho, mbok mau bikinin telor petis kesukaan Mas Dimaz. Nanti dihabisin yo?" kata beliau.
"Mas Dimaz ingin sesuatu?" tanya Rukmini.
"Bikinin jus jeruk ya Mbak?" pintaku lalu duduk di kursi dapur dan memperhatikan mereka melakukan pekerjaannya.
"Mas Dimaz berapa hari ndek sini?" tanya Mbok Sri lagi.
"Nggak tahu Mbok. Mungkin sampai Abi keluar. Kayaknya nggak lama Mbok. Lagipula, disini kok sepi banget ya?"
"Ya gimana ndak sepi, lha wong mas Dimaz anak satu-satunya malah tinggal di Jakarta!" seloroh Mbok Sri dan tertawa kecil. "Mas Dimaz baru saja datang sudah gak kerasan. Coba bayangin Bapak sama Ibu yang tinggal disini setiap harinya. Kadang suka kasihan lho Mas kalo melihat mereka. Duduk bengong berdua. Gak ada temen. Mas Dimaz mbok ya cepet-cepet nikah gitu lho!"
"Aduuuhh!! Mbok juga ngomongnya kok gitu?! Kemarin Abi sama Ummi juga ngomongin hal yang sama. Memang nggak ada yang lain?" gerutuku.
"Lha mau apa lagi tho Mas? Mas Dimaz sudah punya semuanya kan?"
"Kuliahku belum selesai Mbok!"
"Kenapa ndak kuliah disini saja Mas?" celetuk Rukmini. "Kan bisa sekalian nemenin bapak sama ibu!"
"Iya Mas! Terus nikah gitu lho! Jadi rumah ini ndak sepi. Mas Dimaz sudah punya pacar tho?" tanya mbok Sri.
"Sudah Mbok! Tapi aku juga nggak mungkin nikah sama dia," sahutku pelan teringat akan Jeffry.
"Berarti ya bukan jodoh Mas! Kalau memang sudah ndak ada jalan, mungkin sudah waktunya Mas Dimaz mencari yang lain. Hidup ini apa yang dicari tho Mas? Mau nyari harta terus juga buat siapa kalo kita ndak punya keturunan? Semua orang itu kan butuh seseorang buat nemenin hidup. Bersama sampai tua. Melihat anak dan cucunya tumbuh. Bagi Mbok, itulah yang disebut bahagia!"
"Tapi bagaimana kalau orang yang kita cintai itu justru orang yang salah Mbok? Misalnya seorang gadis yang jatuh cinta sama suami orang. Bapak yang jatuh cinta sama anak tirinya? Atau laki-laki yang suka sama laki-laki juga?"
"Lhah dalah Maaaaass!! Kalau Mbok bilang itu sih bukan cinta. Tapi cobaan!" ujar Mbok Sri sembari mengangkat telur yang sudah ia rebus dan memasukkannya ke dalam panci berukuran sedang yang berisi air dingin. Beliau membawanya dan duduk didepanku.
"Maksudnya Mbok?" tanyaku dan mengambil 1 telur untuk membantu Mbok Sri mengupasnya.
"Lha yang seperti mbok bilang tadi, mungkin itu bukan jodoh Mas Dimaz. Mungkin aja itu cuma salah satu ujian yang Allah kasih sebelum Mas menemukan jodoh yang sebenarnya. Kalo bukan jodoh, ya nggak bisa dipaksa Mas. Kalau Mas jatuh cinta pada orang yang salah, mungkin Mas harus belajar merelakannya. Karena mungkin hal itu berarti bahwa kebahagiaan orang itu, tidak berada ditangan Mas. Tapi ditangan orang lain," jelas Mbok Sri.
"Tapi bagaimana kalau kebahagiaan saya, justru bergantung pada orang itu Mbok?" tanyaku ngotot.
Mbok Sri tersenyum. "Kadang kita memang kudu rela sakit demi orang yang kita sayangi Mas. Kalau dengan memaksanya tetap bersama kita justru bikin banyak orang terluka, apa ndak egois namanya? Beberapa diantara kita, kadang harus mau berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Karena itu kita harus ikhlas. Belajar untuk berkorban demi orang lain. Bukankah akan lebih indah kalau kita bisa melihat orang yang kita sayangi bahagia? Daripada dia berada disisi kita, sementara dia dan banyak orang lain malah menderita. Kalau kita sayang seseorang, kita harus siap untuk kehilangan. Karena nggak ada yang selamanya jadi milik kita. Suatu saat, hal itu akan diambil oleh yang Kuasa!" kata Mbok Sri bijak. Siapa sangka, seorang pembantu seperti beliau memiliki kemampuan berpikir seperti itu. Pengalaman hidup rupanya telah mengajarnya dengan baik.
"Lalu bagaimana kalau aku dan dia benar-benar saling menyayangi, tapi. . . ,kebersamaan kami justru akan membuat keluarga kami tersakiti Mbok? Haruskah kami memperjuangkan kebahagiaan kami?"
Mbok Sri tersenyum mendengar pertanyaanku. "Apa yang lebih utama, membahagiakan diri sendiri atau orang tua? Ibadah atau dunia? Lagipula, kalau kita menjalin suatu hubungan dengan seseorang, bukankah muara akhirnya adalah dalam pernikahan? Kalau memang Mas Dimaz dan kekasihnya ndak akan bisa bersatu, bukankah itu sudah satu pertanda kalau kalian ndak berjodoh?"
Aku terdiam oleh pertanyaan balik itu.
"Percaya saja sama Allah kita Mas. Kadang ada saat dimana akal kita sudah ndak bisa berpikir lagi. Kalau pikiran kita sudah ndak bisa menemukan jalan keluar, kembali saja pada ajaran agama kita. Kembalikan semua pada Allah. Yakin saja bahwa apapun yang dianjurkan oleh Allah itu yang terbaik. Mas Dimaz ndak perlu ragu," kata Mbok Sri dengan senyum polosnya.
Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya. "Mbok Sri nggak perlu kuliah, sudah pinter ya?" selorohku.
"Lha namanya saja orang tua Mas. Mbok Sri kan belajarnya dari jalannya hidup Mbok Sri sendiri. Kadang juga suka nanya ke Bapak. Lagian ilmu kan ndak hanya berada dibangku sekolah tho. Mas Dimaz lho malah sudah kuliah, harusnya lebih bisa membedakan mana yang bener sama yang ndak."
"Aku belum bisa melepasnya Mbok," kataku pelan setengah melamun.
Mbok Sri menatapku dengan sedikit iba. Meski tak detil yang kuceritakan, sepertinya beliau tahu kalau aku memiliki masalah yang pelik. "Mungkin sudah saatnya Mas Dimaz belajar akan arti pasrah dan ikhlas," pungkas beliau lalu bangkit membawa panci kecil berisi telur-telur yang sudah kami kupas tadi.
Aku terpekur disana dengan pikiran yang penuh dengan kata-kata Mbok Sri. Kebijaksanaan yang beliau miliki memang ditempa oleh kerasnya hidup. Kudengar kehidupan beliau ditanah Jawa dulu cukup pahit. Aku tak tahu apa persisnya. Yang jelas hal itu memaksa Mbok Sri beserta suaminya untuk hijrah ke sini.
Begitu larutnya aku dalam pikiranku hingga aku tak mendengar sapaan Ummi yang beberapa kali memanggilku. Aku baru terhenyak kaget saat beliau memegang bahuku.
"Mi. . . ," sapaku pelan dan cepat-cepat bangkit untuk mencium tangannya.
"Dimaz sudah lapar?" tanya Ummi dengan senyum lelahnya, membuatku semakin merasa teriris perih. Bahkan saat fisiknya payah, beliau masih sempatnya bertanya tentangku.
"Nggak kok Mi. Ini lagi ngobrol sama Mbok Sri. Ummi istirahat ya? Kelihatannya capek banget," bujukku.
"Ummi masih ingin ngobrol denganmu. Temani Ummi duduk didepan ya? Mbok, bikinin teh manis ya?" pinta Ummi dan langsung mendahuluiku keruang tengah.
"Ummi tidur saja. Nanti sakit lho!" bujukku lagi.
Beliau yang terduduk dengan kaki diluruskan di sova kembali tersenyum. "Mau pijitin kaki Ummi?" pintanya yang segera kujawab dengan anggukan. Aku segera duduk di sebelah beliau dan meletakkan kaki Ummi di pangkuanku.
"Abi gimana Mi?" tanyaku.
"Tadi sudah tertidur waktu Ummi tinggal. Dokter bilang, 2 hari lagi sudah boleh pulang. Kamu sudah shalat?"
Pertanyaan yang suah biasa ku dengar dari beliau. Biasanya akupun enteng saja menjawabnya. Tapi tidak kali ini. Aku tak bisa mengatakan pada Ummi bahwa semenjak aku bersama dengan Jeffry, aku tidak pernah lagi mendirikan shalat. Aku merasa terlalu kotor. Rasanya aku menjadi orang yang munafik kalau aku tetap saja shalat, sementara aku masih melakukan hal yang jelas-jelas dilarang oleh Allah. "Belum Mi! Nanti saja. Kan waktunya masih panjang!" elakku.
"Jangan suka menundanya Maz!"
"Kan masih mijitin Ummi," cengirku membuat Ummi tergelak kecil.
"Kalau gitu, sebentar lagi harus shalat dulu ya? Setelah itu kita makan bareng. Ngobrol apa tadi dengan Mbok Sri?"
"Soal pernikahan Bu!" celetuk Mbok Sri yang tiba-tiba nongol. Aku menggerutu pelan mendengarnya. Apa lagi saat kulihat Ummi langsung menatapku dengan intens. Aku segera mengalihkan pandanganku, pura-pura konsen memijiti kaki beliau.
"Dimaz masih kepikiran soal permintaan Ummi dan Abi?" tanya Ummi setelah keheningan yang lama. Aku tak menjawabnya. Bukan karena tak mau, tapi lebih karena tak tahu harus mengatakan apa. Aku tak sanggup melihat kekecewaan dimata beliau kalau aku jujur. Aku lebih memilih dibuat pingsan daripada harus melihat mata itu kembali berair.
Ummi menghela nafas saat aku tak juga menjawabnya. "Mungkin menurut Dimaz kami egois. Tidak memperdulikan perasaan anak sendiri. Tapi. . . , apa permintaan kami itu berlebihan?" tanya Ummi lagi.
Aku hanya menggeleng pelan dengan leher tercekat.
"Coba Dimaz dengarkan baik-baik suara disekitar rumah ini," ujar Ummi.
Aku menurutinya dan hanya mendengar suara serangga-serangga pohon dan unggas dibelakang rumah.
"Sepi kan Nak? Seperti inilah kehidupan yang Abi dan Ummi mu jalani selama hampir 5 tahun ini. Mencekam. Tak ada yang bisa diajak bicara, bercanda ataupun kami marahi. Kau putra kami satu-satunya. Anak kami satu-satunya. Tapi kau lebih memilih menuntut ilmu di pulau seberang. Abi dan Ummi mu sudah mengalah dan mengijinkanmu pergi. Tapi sekarang, kami membutuhkanmu Nak! Ramaikan rumah ini. Isi rumah ini dengan suaramu. Akan lebih baik kalau kau juga membawa menantu yang bisa menemani Ummi saat kau pergi bekerja atau sekolah. Lalu segera beri Ummi cucu yang bisa Ummi manjakan. Ummi janji, Ummi akan menyetujui siapapun gadis yang akan kamu bawa kesini. Apapun latar belakangnya. Ummi akan mendukung kalian sepenuhnya!" ujar Ummi.
Aaaaaah Ummi, desahku dalam hati nelangsa. Tak pernah ada gadis dalam hidup putramu. Aku hanya mencintai satu orang saja. Dan dia seorang lelaki Mi! Ummi tak akan bisa menerima atau mendukung putramu ini. Ummi tak akan mampu mengerti, karena bahkan Dimaz sendiri juga tak mengerti, kenapa Dimaz bisa jatuh cinta pada lelaki.
"Dimaz sudah ada calon?" tanya Ummi.
Aku menggeleng untuk menjawabnya.
"Sungguh Nak?"
"Dimaz belum punya gadis Mi!" jawabku pelan dengan kepala yang masih tertunduk. Semantic. Permainan kata-kata.
"Kalau Dimaz tak keberatan, biar Ummi dan Abi yang mencarikanmu jodoh Nak. Dimaz bersedia?" tanya Ummi lagi.
Aku tak langsung menjawab, berpikir keras harus mengatakan alasan apa yang tepat agar mereka mau mengurungkan niat mereka. Tapi tak ada satu hal pun yang bisa menurutku tepat. Semua alasan yang terpikir olehku justru membuatku makin merasa bersalah dan terasa konyol. "Beri waktu Dimaz buat berpikir Mi!" pintaku akhirnya setelah kediaman yang lama.
Kudengar Ummi menghela nafas panjang. "Baiklah Nak! Silahkan berpikir. Sekarang, shalat dulu ya? Ummi mau melihat ke dapur," pungkas Ummi dan bangkit.
Baru saat beliau menghilang dari ruang tengah aku bisa menarik nafas panjang. Masih terasa sesak. Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus aku katakan? Pikiranku seakan berada didalam ruang persegi dimana kesemua sisinya ditutup oleh tembok baja hitam yang tak bercelah. Dinding yang beku dan gelap. Tidak menawarkan sedikirpun cahaya ataupun celah. Karena tak ada apapun yang bisa kupikirkan, akupun bangkit untuk shalat seperti kata Ummi tadi. Kalau tidak segera melaksanakannya, Ummi akan terus menanyakanya.
Yang mengejutkanku, saat bilasan pertama air wudhu membasahi mukaku, kurasakan sedikit sentakan disudut hatiku. Dan semua hal, hidupku selama ini berkelebat cepat di pikiranku bagai kalaeidoskop hidup. Terbayang semua hal yang telah dilakukan oleh Ummi dan Abi. Bagaimana mereka mendidikku, membesarkanku, dan mengajarkan semua yang peru aku ketahui.
Kilasan itu terus berlanjut dengan masa-masa remajaku. Sampai aku bertemu Rafly, pindah ke Jakarta, hingga saat aku bersama Jeffry.
Allah!!
Begitu banyaknya dosaku! Begitu jauhnya aku dari diriku yang dulu. Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang Kau inginkan dengan semua yang terjadi? Kenapa aku harus memiliki perasaan ini? Kenapa aku harus mencintai pria? Kenapa aku harus berbeda?
Perbedaan yang kumiliki telah menyakiti banyak orang. Kejadianku dengan Rafly membuatku menjauh dari orang tuaku. Membiarkan mereka hidup berdua dalam rumah kami yang besar namun lengang. Aku lebih memilih hidup di Jakarta. Menghabiskan waktuku dengan menuntut ilmu dan bekerja dengan orang-orang yang bisanya hanya memamerkan keindahan fisik mereka. Sampai aku bertemu Jeffry dan jatuh cinta padanya.
Dalam sujud aku menangis!
Allah!!!
Aku tahu semua firman Mu. Semua ayat-ayat Mu yang disampaikan oleh Nabi Mu. Ayat-ayat yang mengutuk hubungan yang kumiliki bersama Jeffry. Kalimat-kalimat yang tidak hanya membuatku merasa miris, tapi juga ngeri.
Aku menyayanginya Allah!
Menyayangi pria itu dengan segenap perasaan tulus yang bisa tercipta dari seorang hamba Mu. Bagaimana ini bisa salah, bila Kau sendiri yang menumbuhkan perasaan ini dalam diriku?
Apa yang harus kulakukan agar bisa menjadi hamba Mu yang baik? Hamba telah mencoba lari dari perasaan ini. Tapi kini hamba Mu ini kembali memilikinya. Haruskah aku berlari lagi? Dan sampai kapan?
Apa yang harus hamba lakukan agar bisa menyenangkan orang tua hamba? Hamba ngeri membayangkan kalau suatu saat, ketika hamba Mu ini telah berstatus seorang suami dan ayah, hamba jatuh cinta kembali pada seorang pria. Seberapa besar dosa hamba jika hal itu terjadi? Betapa zhalimnya hamba pada anak istri nanti?!
Diatas sajadah itu, aku hanya bisa menangis! Membiarkan hatiku berbicara pada sang Khalik!
Dan aku benar-benar kelihatan berantakan setelahnya. Suaraku terdengar serak dan mataku merah bengkak. Kalau Ummi melihat pasti akan ditanyai macam-macam. Padahal aku belum makan malam. Aku bingung bagaimana harus menyamarkannya.
"Dimaz sudah. . . ," kalimat Ummi berhenti sampai disitu. Beliau berdiri didepan mushalla kecil yang ada dalam rumahku dengan ekspresi kaget. Tangannya terangkat, mengusap dadanya. "Ada apa Nak?! Apa masalah yang membuatmu seperti itu?" tanya Ummi khawatir.
Aku diam tak menjawab. Hanya menunduk.
"Apa karena permintaan Abi dan Ummi tadi?" tanya beliau setelah menunggu beberapa saat.
Aku tetap tak menjawab.
Ami mengeluarkan desahan masygul. "Ya Allah, begitu beratkah permintaan yang kami ajukan sampai kau seperti ini nak?" tanya Ummi dengan suara bergetar. Hanya dalam hitungan detik, aku mendengar beliau kembali terisak. Hatiku serasa di lecut dengan keras mendengarnya.
"Ummi!"
Hanya itu yang sanggup kukatakan karena detik selanjutnya aku sudah sujud mencium kaki beliau. Tak ada sahutan dari beliau selain isakan pelannya. Beberapa saat kemudian kurasakan usapan lembut beliau dikepalaku.
"Ummi maafkan Dimaz!" ratapku pelan dan memeluk kaki Ummi erat. "Dimaz anak durhaka. Lakukan apapun keinginan Ummi dan Abi. Apapun!"
"Maafkan Ummi ya Nak!"
Aku menggeleng keras mendengarnya. Mataku semakin sembab dengan kata maaf Ummi itu. "Dimaz . . y-yang. . . seharusnya minta maaf Mi!" kataku sedikit tersendat. "Dimaz tak pernah menjalankan kewajiban Dimaz sebagai seorang anak. Dimaz justru tenggelam dalam dunia Dimaz sendiri. Tak pernah memikirkan perasaan Ummi dan Abi! Dimaz yang salah!"
"Nak. . . "
"Lakukan apapun keinginan Ummi. Dimaz akan menurut. Dimaz janji Mi. Apapun itu," bisikku lirih dengan hati pasrah.
Semua telah berakhir, batinku perih!
Ayank @jay harus bagaimana lagi sih membuktikan ak padamu....hehehehehe
nangis baca part ini...
jadi kepikiran juga...
kata2 bijakna nancep bgt didada...
hiks..
@darkrealm: harap dicatat, belom ada 'tembakan' resmi!! wkwkwkwk. . . .
@darkrealm: we'll see hehehe. . .
@all : mo sedikit ngejelasin nih.
ada bbrp teman yg kirim email dan pamit untuk gak baca lg krn Dimaz jd normal!
sigh. . . .
sama seperti waktu kalian protez soal Rafly, pada dasarnya setiap karakter itu menulis cerita mereka sendiri.knp bgt? kalian bisa baca pada ending kisah ini.
n gw jelas gak bisa menulis cerita sesuai keinginan masing2 pembaca. jd maaf kalo gak berkenan.
jd, all l can say, thanks udah mampir. n kalo kalian ingin segala sesuatunya sesuai dg harapan kalian, saran gw TULIS CERITA SENDIRI!! buat cerita sesuai dg keinginan kalian. kreativitas kalian. bebas kok!
gitu aja.
semoga diterima.