BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MEMOIRS II (Dimaz' classic story)+ cerpen valentine(nino's blue valentine)

edited February 2012 in BoyzStories
note: Kisah ini sebetulnya sempalan dari novel yang sedang gw garap. Entah gw bisa upload novel itu suatu saat disini atau enggak. Masalahnya novel itu terdiri dari 4 buku(rencananya) n cerita dibawah ini adalah bagian dari buku ke 2 yang masih belum gw rampungin. Gw lebih terbiasa bikin cerita pake tulisan tangan sih. Lebih ngalir, karena itu lama. Insyaallah, niatnya gw mau upload buku 1 nya doang. Tapi. . . , liat ntar deh.
N sengaja gw ga kasih detil soal setting ceritanya karena gw ga mau ada yang berpikiran buruk pada satu hal yang gw sebutin dalam cerita ini. Ini cuman kisah hidup dari seseorang yang terlempar dalam alur drama kehidupan yang nggak pernah ia rencanakan. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari cerita hidupnya.
Hope u guys can enjoy it to!
Eh kelupaan,benernya cerita ini belom siap gw posting. Tapi berhubung banyak temen2 yg nagih baik dari email or sms, jadi akhirnya gw posting. But honestly, masih belom gw edit plus selesein versi aslinya.
Jadi maaf2 aja kalo ada yang kurang berkenan. N pastinya, gw gak bakalan bias posting tiap hari kaya dulu. Jadi mungkin cuma seminggu sekali. Maaf banget yaaaa??!!
Thanks banget buat temen2 yg udah mau kasih dukungan ke gw buat nulis lagi!



Prolog

Namaku Dimaz. Teuku Dimaz Putra Alamsyah. Tak perlu kukatakan darimana asalku, karena kalian pasti sudah bisa menebaknya. Aku seorang mantan model, pernah beberapa kali jadi bintang iklan dan pernah juga jadi bintang tamu dalam beberapa sinetron. Aku bukan bintang besar tp. . . yeah orang-orang mengenalku. Dan seperti kebanyakan para pesohor/orang terkenal lain, aku juga mempunyai sebuah rahasia yg mati-matian kututupi dari mata khalayak ramai.

Aku gay!

Bukan hal mudah bagiku untuk mengakui hal itu. Bukan hanya karena hal itu tabu bagi hukum adat dan agamaku, tapi juga karena butuh waktu yang lama bagiku untuk tahu dan menerimanya sebagai bagian dalam diriku. Penyangkalan merupakan reaksi pertamaku saat tahu bahwa aku bisa menyukai sesama jenis. Bahkan aku meninggalkan cinta pertamaku tanpa ada satu katapun krn kebodohanku itu.
Disini, aku ingin bercerita. Membagi kisahku dengan kalian. Mungkin beberapa diantara kalian akan berpendapat kalau masalah yang kualami dalam ceritaku ini adalah masalah klasik yang sudah sering kali terjadi. Namun aku sedikit berharap dengan membacanya kalian tak akan pernah melakukan kesalahan bodoh seperti yang aku lakukan.

I

Aku lahir dalam lingkungan yg normal,bahkan cenderung religius. Ayahku memiliki gelar bangsawan dalam suku kami. Dan beliau juga seorang pemuka agama. Beliau orang yang disegani dan mempunyai pengaruh di daerahku. Orang tuaku jg terbilang cukup sukses. Jadi secara sosial ekonomi, aku termasuk baik. Aku dibesarkan dengan cara yang terhormat dalam lingkungan dan adat yang agamis. Dimana para pria dan wanita dipisahkan dan dijaga agar tidak terjadi kekacauan. Dan aku tumbuh dengan normal, tanpa ada satu insiden yg bisa jadi trauma.

Dari SD sampai SMP aku bersekolah di sekolah putra. Baru pada waktu SMA aku bersekolah di tempat yang heterogen. Disinilah aku menapaki dunia baru yang sebelumnya belum pernah ku pahami keberadaannya. Disini aku bertemu dengan berbagai macam anak dengan berbagai macam karakter yang unik dan menarik.

To be honest, aku cukup populer disekolah. Jadi aku tak memiliki kesulitan dalam berteman. Aku dikenal sebagai anak yang santun,sopan dan tak pernah bermasalah. Guru-guru pun sedikit segan padaku. Hal itu juga didukung dengan fakta bahwa ayahku, adalah ketua dari Dewan Komite Sekolah.

Disekolah yang heterogen ini, aku bertemu dengan teman -teman yang baru. Mereka yang dulunya bersekolah ditempat yang juga heterogen Jadi mereka punya sifat yg agak berbeda dg teman-teman SMP ku dulu. Teman-teman cowokku disini lebih ekspresif, jujur, berani dan begitu bebas. Mereka tidak canggung-canggung mengekspresikan apa yang mereka rasa dan pikirkan. Tak ada tameng. Sementara teman-teman cewekku. . . . agak membosankan. Hampir semua dari mereka bersikap sangat ramah, sopan dan mencoba menarik perhatianku. Tindakan yang salah. Karena mereka justru membuatku bosan.
Aku justru lebih menyukai teman-teman cowokku yang unik. Meski ada satu yang boleh dibilang. . . . lain dari yang lain. Rafly.

Rafly Risyad Bayu Kurniawan lengkapnya.

Sejak awal masuk sekolah, dia sudah menjadi topik pembicaraan. Baik oleh guru,kakak kelas, sampai teman satu angkatan. Ceritanya, pada waktu masa orientasi dia datang terlambat. Dasar kakak kelas yang sok, dia dimarahi habis-habisan. Pertama sih dia cuek beibeh.Sampai kemudian dia mendengar kakak kelas itu berkata, "Kamu gak pernah diajari sopan santun sama orangtua mu ya? Mereka gak becus mendidikmu hah? Gak bisa ngajarin kamu baca jam dan. . .
Rafly langsung menghajar senior itu sebelum dia bisa menuntaskan kalimatnya tadi.

Terjadi kehebohan yg hebat hingga akhirnya para guru ikut turun tangan. Hebatnya,selama menjalani pemeriksaan, tak sepatah katapun keluar dari mulut Rafly. Dia benar2 bungkam seribu bahasa. Karena tak bisa mendapat informasi darinya, para Guru mencoba bertanya pada kami, teman satu ruangnya. Mulanya tak ada yang berani bicara. Para guru sudah hampir mencoret nama Rafly dari daftar siswa baru. Hingga akhirnya aku tak tahan dan maju. Aku ceritakan apa yang terjadi dan perkiraan ku kenapa Rafly bisa ngamuk. Bahwa Rafly marah karena kakak kelas itu menghina orangtua nya. Keputusan akhir, para Guru memutuskan untuk tidak memperpanjang urusan itu.


II

Sejak saat itu, Rafly jadi sosok yang ditakuti di sekolah. Jarang ada teman yang mau berbicara dengannya. Baik cowok ataupun cewek. Kecuali saat mereka benar-benar butuh dan perlu bicara dengannya. Itupun biasanya hanya karena ada titipan atau pesan dari guru. Selain dari itu, mereka lebih suka membiarkannya sendiri. Mereka sungguh takut padanya. Hal itu ditunjang oleh Rafly yang cukup mengintimidasi. Rafly bertubuh tinggi besar untuk ukuran anak SMA, dan wajahnya berkesan dingin dan tajam. Pokoknya nyeremin! Orang pasti keder melihatnya. Belom lagi kabar bahwa dia berhasil ngalahin 5 orang kakak kelas yang mencoba mengeroyoknya. Buntut dari peristiwa orientasi waktu itu. Orang pasti mengkeret kalo Rafly sudah menatap mereka dengan tajam. Kebanyakan dari mereka pasti lebih memilih ngacir tanpa menunggunya bersuara.

Maka dengan sendirinya dia terkucilkan.

Tp sepertinya dia tidak perduli. Dia cenderung acuh. Malah seolah olah menikmati kesendiriannya. Yang membuatku salut, pada saat pembagian raport, dia masuk dalam 10 besar kelas. Padahal seingatku, dia tidak pernah aktif di kelas. Selalu datang mepet ke sekolah. Setelah jam istirahat terakhir, aku jarang melihatnya duduk tegak menyimak pelajaran. Lebih sering dia tertidur dibangkunya. Siapa sangka dia bisa masuk dalam 10 besar kelas.
Kami tetap sekelas dikelas dua ini. Rafly tetap konsisten dengan pembawaannya. Jadi baik aku, ataupun teman2 sekelas yang lain memperlakukannya seperti biasa.

Suatu saat, 3 hari berturut-turut dia absen tanpa alasan yang jelas. Pada hari ke-4 wali kelas kami memintaku untuk menyampaikan surat panggilan ke rumahnya, karena aku adalah ketua kelas. Beliau memberiku sebuah alamat.
Maka sore harinya dengan diantar sopir, aku mencari rumahnya. Cukup sulit. Dan butuh waktu 3 jam bagi kami untuk menemukannya. Selain karena letaknya yang 4 km dari sekolah, rumah Rafly juga sedikit tersembunyi. Dia tinggal di daerah pinggiran yang sebenarnya cukup ramai dan padat. Kebanyakan, daerah yang sedikit kumuh itu dihuni oleh para pendatang dari luar pulau. Untuk ke rumah Rafly, kami harus memarkir mobil ditepi jalan raya dan masuk ke gang yang hanya cukup dilewati oleh 2 buah sepeda motor. Dan sedikit berbelok-belok.

Lucunya orang-orang disana tak mengenal nama Rafly. Tapi saat aku menyebut nama lengkapnya, mereka baru paham. Di lingkungannya, Rafly dikenal dengan nama Wawan. Dan disanalah kami. Didepan sebuah rumah kecil yang luasnya cuma 6x8 meter. Aku sedikit ragu untuk mengetuk pintu melihat suasananya yang sunyi. Rumah yang terbuat dari kayu itu tampak lengang tak berpenghuni. Suasana sudah gelap, tapi tak ada satu lampu pun yang menyala disana.
Aku dan sopirku sudah hendak pergi ketika seorang pria berusia 30 tahunan mendekat.
"Maaf Dik. Nyari siapa ya?" sapanya dengan logat Jawa.

Untuk sejenak, aku cuma saling pandang dengan sopirku, ragu. "Anu Pak. Saya nyari rumah teman saya. Rafly Risyad Bayu Kurniawan," kataku akhirnya.

"Ooh Dhek Wawan. Lha bener ini rumahnya," tunjuknya ke rumah itu. "Ada kok didalam. Mungkin ketiduran. Dia kan lagi sakit. Sudah 3 hari ini gak bisa apa2. Kasihan, gak ada yang jaga."

"Sakit? Gak ada yang jaga?" gumamku tak mengerti.

"Lho? Ndak tahu tho? Orang tua Dhek Wawan kan sudah lebih dari setahun meninggal. Kecelakaan. Jadi dia tinggal sendiri. Ayo masuk. Pas bener adik kesini dan ketemu saya. Saya lagi nganter bubur ini buat dia. Ayo. . . ," ajak Bapak-bapak itu dan membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Dia tampak terbiasa dengan rumah itu. Dia segera menghidupkan lampu dan mempersilahkanku duduk. Sopirku segera pamit dan pergi untuk menunggu dimobil.

Aku diam disana dan menatap ke sekeliling ruangan. Ruang tamu itu begitu sederhana. Hanya ada sebuah meja dan empat kursi kayu. Tak ada perabotan atau hiasan didindingnya. Tak ada foto yang dipajang. Tak ada sedikitpun petunjuk yang bisa kutangkap tentang kehidupan Rafly ataupun hubungannya dengan laki2 tadi.

Tak lama kemudian mereka keluar. Rafly dipapah oleh lelaki tadi. Dia tampak lemah,kusut dan kuyu. Begitu tak bertenaga. Matanya yang biasanya tajam dan serem terlihat sayu dan sedikit mengantuk. Melihatnya seperti itu, aku cepat bangkit dan membantunya untuk duduk. Meski terlihat sedikit kaget, Rafly diam saja membiarkan aku membantunya.
"Bener gak apa-apa ku tinggal Wan?" tanya si bapak-bapak, sedikit mengherankanku.

"Iya Mas. Mas Arif pulang saja.Katanya kan ada garapan yang harus diambil besok pagi. Saya sudah mendingan kok Mas. Cuma sedikit lemas. Kan baru bangun," jawab Rafly dengan nada ramah dan akrab. Baru kali ini aku mendengarnya berbicara memakai nada seperti itu. Biasanya dia cuma ngomong dengan singkat dan dingin.

"Ya sudah kalo gitu. Dhek, nanti tolong Dhek Wawan kalo dia butuh bantuan kembali ke kamar ya?" pinta si Bapak yang dipanggil Mas Arif tadi padaku.

"I-iya Pak.Eh. . Mas," jawabku kikuk.

Dia hanya tersenyum, "Panggil Mas Arif aja kayak Wawan. Ya sudah,permisi. Assalamualaikum," pamitnya dan berlalu setelah kami menjawab salamnya.

Untuk beberapa saat lamanya, kami diam. Aku jadi merasa canggung dan bingung harus mengatakan apa. Lucunya, hampir bersamaan kami membuka mulut untuk mengatakan sesuatu.

"Ada apa kesini?" tanya Rafly akhirnya setelah kebisuan yang meresahkan. Nadanya kembali dingin seperti biasa.

"Anu. . . ada titipan dari wali kelas," kataku dan mencoba mencairkan suasana dengan sedikit senyum. Rafly tak membalasnya. Dengan diam dia mengambil amplop yang kuulurkan. Dia hanya menghela nafas setelah membacanya sekilas. "Wali kelas kita nggak tahu tentang keadaanmu Raf. Karena itu beliau mengirim surat. Jangan khawatir, aku akan mencoba menjelaskannya dan. . ."

"Gak perlu!" potong Rafly membuatku langsung terdiam. "Besok aku akan masuk!"

"Jangan maksa Raf. Kamu masih lemes gini," saranku.

"Aku sudah sembuh!" potongnya, membuatku kembali terdiam. Kecanggungan kembali menggelayut. Aku sendiri bingung, karena sepertinya tak ada lagi yg bisa ku katakan.

Aku berdehem, mengumpulkan suara. "Kalo gitu. . ., aku permisi dulu ya?" kataku akhirnya. Karena Rafly tak menjawab, aku pun bangkit, "Kamu butuh bantuan kedalam atau. . .,"

"Aku cuma sakit, bukan invalid!!" tukasnya sedikit tajam membuatku tersipu.

"Maaf. . . .! Kalau begitu, permisi," pamitku dan cepat-cepat pergi.


Malam itu, untuk pertama kalinya, aku tak bisa tidur semalaman memikirkan seseorang. Aku mengingat-ingat potongan-potongan cerita yg diberikan oleh Mas Arif tentang Rafly. Bahwa orang tuanya telah meninggal, dan dia hidup sendiri. Mungkin inilah alasannya kenapa waktu orientasi dulu, Rafly langsung menghajar senior yang menghina orangtua nya. Lalu siapa yang menghidupinya? Menyekolahkannya? Memenuhi dan menyediakan kebutuhannya? Apa lagi sekarang saat dia sakit. Siapa yang akan memasak dan menjaganya?
Semua hal itu berkecamuk dalam pikiranku hingga fajar hampir datang.

III

Keesokan harinya, ternyata Rafly tetap tidak masuk sekolah. Saat istirahat, aku dipanggil oleh wali kelas. Segera saja kuberitahukan apa yang ku ketahui. Bahwa Rafly sakit dan orang tuanya telah meninggal. Beliau sepertinya mengerti dan mengatakan akan melakukan sesuatu untuk memperbaiki catatan Rafly di sekolah.
Aku sendiri,begitu usai sekolah usai langsung menuju tempat praktek dokter pribadi keluargaku dan membawanya ke rumah Rafly.

Seperti sebelumnya, rumah Rafly tampak lengang seperti tak berpenghuni. Setelah mengetuk dan mengucapkan salam bbrp kali tp tak ada sahutan, akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka pintu yang ternyata tak dikunci. Ruang depan kosong, jadi aku ke dalam. Aku menemukan Rafly tergolek pingsan dilantai kamarnya. Ada bekas muntahan didekatnya.

Sedikit kehebohan terjadi!

Dokter segera memeriksa dan mencoba menyadarkannya. Karena dia terlalu lemah, kami memutuskan untuk langsung membawanya ke rumah sakit. 3 jam aku menungguinya. Saat dia sadar dan tahu sedang berada dimana, Rafly marah dan ngotot pulang. Tentu saja pihak rumah sakit menahannya. Karena dia terus berontak, Dokter memberinya obat penenang. Tapi sebelum tertidur dia sempat menggumamkan tentang uang dan biaya perawatan. Sepertinya, itu adalah alasan kenapa dia ingin segera pergi.

Keesokan harinya saat aku kembali, Rafly terbaring tenang meski aku bisa melihat gurat kekesalan di wajahnya. Untuk beberapa saat kami cuma saling diam.
"Dokter bilang, kamu gak boleh makan yang keras-keras untuk sementara waktu," kataku, mencoba memulai percakapan. "Jadi. . . . , aku bawakan roti dan bbrp makanan ringan yang lunak. Juga susu. Aku sudah tanya Dokter, asal bukan susu coklat, kamu boleh meminumnya."

Tak ada sahutan.

"Mengenai biaya rumah sakit, kamu gak usah khawatir," imbuhku. "Pihak sekolah yang akan menanggungnya. Kamu tentu tahu kalau ada asuransi bagi para siswa. Jadi kamu gak perlu khawatir dan. . ."

"Kamu yg memberitahu pihak sekolah?" tanya Rafly tiba-tiba dan memotong kalimatku.

Untuk sesaat aku tercenung mendengar nada suaranya yang tidak ramah. Lebih cenderung menegur dari pada bertanya. "Yeah. . .! Tentu saja. Aku satu-satunya orang disekolah yang tahu keadaanmu kan?" tanyaku balik dan sedikit tersenyum untuk mencairkan suasana. Kembali tak ada sahutan dari Rafly. Aku yang masih canggung akhirnya meraih sebungkus roti dan membukanya. "Coba rasain roti ini deh. Aku suka banget. Tiap pagi aku makan ini lho!" ujarku nyengir dan mengulurkan selapis roti itu padanya.

Semula Rafly ragu. Namun akhirnya, sesaat kemudian dia bergerak hendak bangkit dari tidurnya. Terlihat agak susah karena ada selang infus dan dia juga sepertinya masih lemah.

"Jangan!" kataku cepat menahannya. "Kamu tidur aja! Masih lemes gitu. Biar aku bantu," kataku dan mencuil sedikit roti itu dan menyorongkan ke depan bibirnya. Rafly sedikit tertegun. Aku paham apa yang dirasakannya. Akan tampak aneh kalau aku menyuapinya. Tapi kepalang tanggung. Dan keadaan Rafly juga tidak mendukung. Akhirnya Rafly mau membuka mulutnya meski dengan sedikit enggan. Aku tersenyum agar dia merasa rileks.

Rafly berdehem tanda hendak mengatakan sesuatu. "Jadi. . . apa benar ada ansuransi untuk kasus seperti aku?" tanyanya ingin tahu.Aku diam,tak langsung menjawabnya karena aku tahu kalau aku tidak berhati-hati, akan ada masalah baru.

"Maksudmu apa?" tanyaku balik.

"Aku tahu memang ada ansuransi bagi para siswa disekolah kita. Tapi biasanya pihak ansuransi mau menanggung, hanya jika insiden itu terjadi pd saat proses belajar disekolah. Jika terjadi sesuatu diluar lingkungan dan jam sekolah,bukannya itu jadi tanggung jawab pribadi?"

Seharusnya aku tahu kalau dia tidak bodoh, pikir ku. Tapi tak mungkin kalau aku bilang ke dia bahwa semalam aku minta bantuan ayahku untuk menanggung biaya rumah sakit ini. Bahkan aku merekomendasikan Rafly pada beliau agar dia mendapat beasiswa. Untuk hal itu, masih perlu waktu. Tapi bagaimanapun juga, dia layak mendapatkannya kan? Selain karena prestasi akademisnya, ekonomi Rafly juga memenuhi syarat.

"Apa itu penting Raf?" tanyaku sembari menyorongkan secuil roti padanya. Rafly tak menjawab. Dia menatapku dengan seksama, membuatku jadi canggung dan salah tingkah. Aku tahu orang sejenis dia memiliki harga diri yang tinggi. Kalau dia tahu aku membantunya, mungkin dia akan meledak.

"Aku tak punya pilihan lain kan?" gumamnya kemudian dengan nada pahit, membuatku kembali berpaling pdnya. Rafly sudah membuang pandangannya ke samping dengan ekspresi kalah. Seperti yang kuduga, harga dirinya terusik. Dia sakit hati.

"Tak ada manusia yang bisa hidup sendiri Raf," kataku pelan. "Sekuat apapun seseorang, suatu saat dia akan mencapai batasnya. Dia pasti akan berada di suatu kondisi, dimana dia harus bergantung pada orang lain. Siapapun itu. Orang-orang besar seperti Alexander The Great, Bung Karno, atau bahkan Nabi kita, tidak mengubah dunia sendirian. Ada orang-orang di samping mereka. Para sahabat, keluarga dan yang lainnya. Singkatnya, kita akan selalu membutuhkan orang lain. Jadi. . . tak perlu merasa kalah, lemah. Apa lagi. . . terhina. Hal itu benar-benar wajar kok!"
Rafly kini diam menatapku. Aku kembali tersenyum pada nya. Mencoba menyuntikkan semangat dan kembali menyuapkan roti untuknya. Untuk beberapa lama, sampai akhirnya dia menghabiskan dua lapis roti, tak ada kata-kata yang kami ucapkan. Setelah merasa cukup, aku pun pamit.

"Dimas!" panggil Rafly saat aku hampir mencapai pintu,membuatku kembali berbalik pdnya, " . . . terima kasih," katanya pelan.

Aku mengangguk dan tersenyum,"Besok aku kesini lagi. Mau kubawakan sesuatu?"

Rafly menggeleng, "Datang saja," katanya.

Mendengarnya aku benar-benar merasa lega. Seakan-akan aku telah mendapat restu untuk memasuki dunianya. Kurasa, dia mulai bisa menerimaku.


«13456762

Comments

  • pertamax gan. hehehe. cerita yang bagus. kalau boleh tau, latarnya di aceh ya? atau dimana?
  • Selalu suka sama cerita yg lo buat. Mengalir.
  • @ardjoena : thanks Bro. Kan udah bilang td kalo gw gak mau bikin detil soal settingnya. Takutnya ada yg marah. Kata guru2 SD gw, ga boleh sebut2 soal SARA! hehehe. . . kira2 sendiri aja ya?

    @Adam08 : thanks Bro!
  • Sedikit editing neh... Asuransi mas... Bukan ansuransi....
  • Yeaa crita baru, mas jay posting.a sminggu dua kali aja ath, smnggu skali mh kelamaan, hehe
    :-D
  • Yeaa crita baru, mas jay posting.a sminggu dua kali aja ath, smnggu skali mh kelamaan, hehe
    :-D
  • top dah .. aku suka .. kalau novelnya release boleh donk info dimana belinya .. pesan online juga ga masalah. thanks bro.
  • @fansnyaAdelle : ga janji ya?hehehe. . .
    @just_pie : nah kan?ketemu salah 1 salahnya. kan udah blng belom selesai diedit. makasih y?
    @truefull: doain aja Bro. Semoga bisa gw selesein. Thanks ya?
  • @Jay dody....
    Cerita yg bagus...g kalaah samaa cerita sebelumnya....tp ak rasa ada sedikt kesamaan dgn cerita Mbk Arcclay "memori of him" atau hanya perasaanku saja....
    Tapi g perduli....cerita kamu sungguh bgs.....dan patut untuk d tunggu...
    Oh ya....mas..klu ada waktu luang....mampir lah ke warungku....
    "Akhir Cinta di Ufuk Khatilistiwa"
    Maksh
  • @Ian_sunan: masa sih?
    Insyaallah gw mampir. q ga tau lho kalo itu kamu yg bikin hehehe. . .
  • ‎​​​​​ ˚*•Îγααα•*˚ ...heeheh...
    Ya..ceritanya kurang bgs...tolong kasih komennya ya
  • Ya,!! lanjutkan.
  • Jadi inget Pandu sama Alvinnya mbak @Arcclay ahh akhirnya ada pengobat rindu juga dengan adanya cerita ini. Thank you
Sign In or Register to comment.