Aku berdiri menatap langit Jakarta yang berhias pencakar langit dari dalam bus TransJakarta. Malam ini indah bermandikan gemerlap lampu. Aku sangat menyukai ini. Berdiri dekat pintu, berpegangan pada hand holder, dan menatap ke arah luar. Menghiraukan sesaknya penumpang, AC yg terlalu dingin, dan terkadang jalan yang tak mulus.
Aku, Aji. Seorang cook di sebuah restaurant Jepang di bilangan jalan Sudirman. Di sebuah pusat perbelanjaan terkenal yang mengklaim sebagai pusat perbelanjaan terbesar di negeri ini. Mengapa aku memilih menjadi seorang cook? Aku senang melihat orang lain tersenyum kenyang. Ya, simple saja. Ketika seorang bersendawa, dan tersenyum, serta menghembuskan nafas puas akan apa yang telah masuk ke dalam mulutnya.
Aku melangkah keluar bus setelah menunggu penumpang lain berdesakakan keluar.
"Ah, masih harus transit.", aku melirik arlojiku. 23.23. Leherku pegal setelah seharian berkutat dengan udang untuk tempura.
***
Comments
Blm nangkep isi ceritanya kmana?
"Ohayou!".
Bang Aziz adalah Chef de Partie di restauran ini selain Kak Nila dan Bang Jerry.
Aku mengecek barang yang aku butuhkan. Udang, OK. Tepung, OK. Sayuran, OK. Telur, OK. Daikon oroshi, OK. Jahe, OK. OK! Ganbatte!
Satu jam kemudian aku sudah berkutat dengan pesanan tamu, seperti biasa waktu makan siang adalah medan perang bagi kami. Itadakimasu!
***
"Apa kabar lo, Ji?", tanya Kak Nila sambil menyuap gado-gado. Kami, aku, Kak Nila, Edwin dan Dery sedang makan siang. Walaupun sudah pukul empat sore tapi ini waktu istirahat kami. Aku bekerja split shift. Lepas pukul enam, aku akan berperang lagi untuk makan malam.
"Baik. Sangat baik bahkan." Aku tersenyum. Edwin dan Dery sibuk dengan handphone mereka. Dasar ansos! Keluar dari restaurant langsung merogoh saku dan mengecek BBM atau twitter. Ck!
"Kakak dengar ada staff baru ya?"
"Iya gitu kak? Kok aku ga tau yah?"
"Ah, lo kan sibuk sama udang udang lo, Ji!", Edwin tersenyum jahil. Dasar!
"Daripada kamu, itu tadi ada tamu yang komplain karena salmon yang kamu panggang terlalu asin. Udah kebelet nikah ya?", balas Kak Nila. Kak Nila ini sudah kuanggap sebagai kakakku sendiri. Edwin hanya menjulurkan lidahnya. Aku merogoh sakuku dan mengambil handphoneku. 2 BBM masuk. Satu Broadcast Message (yang sangat kubenci) dan satu lagi dari Nadia, ajakan nonton weekend depan. Mana bisa aku ikut gabung? Weekend adalah puncak ramainya pelanggan.
"Emang staff barunya kapan datang, Kak?", tanyaku.
"Nanti malam kamu bakalan liat kok. In charge di Teppanyaki side. Cowok, Ji!", ah mulai deh keluar genitnya Kak Nila.
"Kak, inget Mas Anjar nanti malem mau ngejemput!", celetuk Dery disambut tawa Edwin dan aku.
"Hmmm.. Cowok?", aku tersenyum.
"Oh my God, udang gue!", untung masih bisa terselamatkan ebi tempuraku. Segera aku menata di piring dan mengirimnya ke aboyeur lalu berjalan menuju Eka.
"Hai, baru yah?", sapaku. Ia hanya tersenyum sambil mengangguk. "Aji.", aku mengulurkan tangan.
"Adit.", ia menyebut namanya.
"Udah lama di teppan?", tanyaku. Basa basi sih, aku hanya ingin menatap lama deretan gigi yang rapih, dan bibir yang penuh menggoda serta suaranya.
"Lumayan. Udah setahun setengah. Sempet ke Jepang juga.", jawabnya.
"Wow! Seneng dong lo, Ka! Dapet asisten baru dari Jepang.", aku melirik Eka. Ia hanya tersenyum memamerkan lesung pipinya. Kalo bukan karena Eka sudah tunangan, aku embat juga nih! Hehe..
"Ya sudah, aku balik ke section dulu ya. Udangku udah pada kangen."
"Haha! Iya.", Adit tertawa. Ah, renyah sekali tawa itu. Serenyah tanuki pada tempura buatanku.
Sayang aboyeur yg berarti "barking" dlm bhs perancis,...
Kalo nga salah, ada istilahnya dlm bahasa jepang, cuman aku lupa namanya..........
Anyway keep writting and keep up loading yah,.....
Jgn lupa ebi, panko, tempurako, daikon dan sebagainya d siapkan dulu sebelum up date cerita baru......
Salam hangat dr pecinta culinary
haha.. saya juga ga tau aboyeur bahasa Jepangnya apa. Tempura kan ga pake Panko, Mas. kalo pakai panko jadinya ebi furai dong nanti. salam hangat juga! itadakimasu!
apa nih artinya? saya ngga pinter bahasa jepang. taunya komoditi jepang sajaaaa... hihihi
"Baru mau balik, Ji?", tanyanya.
"Iya, tadi ngecek barang-barang dulu.", jawabku.
"Kamu tinggal di daerah mana?"
"Mampang, Dit."
"Yuk, bareng. Aku bawa motor. Kebetulan tadi habis nganter adikku. Jadi ada helm nganggur juga.", ajaknya. Aku tersenyum. Diantar Adit? Naik motor? Hmmm... Aku mengangguk.
"Oke, ganti baju dulu yaaa..", aku segera mengganti Chef's Jacketku. Ah, seperti biasa noda tepung berceceran. Aku meraih polo shirt abu-abuku dari gantungan.
"Yuk!", ajakku sambil memakai baju. Adit mengangguk. Kami berjalan menuju basement 3 tempat parkir khusus pegawai.
"Nih pakai.", Adit menyodorkan helm half face berwarna merah padaku. Ia langsung duduk diatas motor Ninja hitamnya. Deg! Yes! Bakalan nempael nih dadaku ke punggungnya. Bzzzz, Aji! Ngayal apaan sih kamu!
"Pegangan ya!", serunya sambil mengendarai keluar gedung. Aku memeluknya. Mendekatkan tubuhku dengan tubuhnya yg berbalut jaket biru. Aromanya terekam dalam memoriku. Dari kaca spion, kulihat Adit tersenyum sekilas. Aku tersenyum sambil memandangi langit Jakarta. Cerah dengan lampu-lampu pencakar langitnya.
Kyaaaa! Cerita baru! Semangat!
Wah ayooo update trs..
"Belum."
"Makan yuk! Lapeeer.", ajaknya sambil tersenyum. Aku menganggiuk.
"Boleh."
Adit membelokkan motornya ke arah Mega Kuningan. Berhenti di depan warung tenda bertuliskan Sate Madura Cak Abas.
"Cak, sate ayam satu pake nasi. Kamu mau makan apa, Ji?"
"Hmm.. Sama aja deh."
"Minum?"
"Teh tawar hangat."
Kami duduk di meja pojok. Aku masih bisa melihat gedung dengan semarak lampunya.
"Kamu suka ya ngeliatin lampu?", Adit bertanya sambil menatap mataku. Aku menoleh padanya. Pandangan kami bertemu. Aku tersenyum.
"Iya."
"Kamu harus ke Shibuya. Sangat menarik."
"Nggak ah, pengen ke Time Square di New York."
"Ngapain? Liatin lampu aja?"
"Ngga, aku juga mau buka restaurant Indonesia di New York. Di Manhattan. 5th Avenue.", ujarku.
"Wow! Catch your dream! Terus, kenapa sekarang kamu kerja di restaurant Jepang?"
"Passion. Aku terinspirasi oleh dosenku. Beliau memiliki skill khusus di Japanese cuisine. Dan, masakan Jepang menurutku cantik dan berfilosofi."
"Apa?"
"Misalnya aja daikon oroshi untuk tempura. Dibuat mengerucut dan dituruh parutan jahe kan ada filosofinya. Melambangkan Fujiyama."
"Pinter."
"Kamu ngetes aku, Dit?"
Adit tersenyum jahil.
"Dimakan tuh satenya.", kata Adit sambil menyendokkan nasi kemulutnya. Pengamen menemani makan malam kami. Aku sesekali melirik Adit. Tersenyum ketika Adit menjilat bumbu sate disekitar bibirnya. Ia tertawa.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas lebih ketika aku membuka pintu kamar. Aku tinggal bersama kakakku di sebuah apartemen. Kakakku bekerja sebagai Marketing and Communication Manager di sebuah lembaga pembelajaran bahasa Inggris dan membuatnya sering pulang larut malam. Aku menyalakan lampu dan berjalan ke arah kamarku. Aku ingin segera mandi dan tidur! Handphonelu berbunyi, ada BBM masuk. Siapa ya? Adit? Tadi kami memang bertukar pin. Iya dari Adit ternyata.
'Oyasuminasaai, Ajichan! '
Apa? Ajichan? Ergh. Emangnya aku anak kecil apa? Cewek pula!
'Ja mataashita, Aditsan. '
Aku mengetik dan menekan tombol enter. Tak sampai semenit Adit nembalas.
':)'
Hanya emoticon. Aku tersenyum. Memejamkan mata. Oyasuminasai!
***
dialnjutin ya