It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
crtaa nya kereen.. lanjutkaaaaann yaaa..
"Hai!", seruku sambil membalik ebi tempura didalam agenabe. Aku menyiapkan piring dan kertas untuk menyerap minyak. Mengangkat ebi dan meniriskannya. Setelah minyak turun, aku menata ebi dengan ekor diatas menjulang seperti gunung. Cantik.
"Ichi ebi tempura out!", aku berseru ketika mengantar ke aboyeur. Arlojiku sudah menunjukkan waktu 3 lebih seperempat. Last call setengah empat. Aku mengecek deretan slip order. Ah, tugasku tuntas. Tak ada yang memesan tempura. Aku berjalan menuju teppanyaki side. Adit sedang memotong tiger prawn atau kuruma ebi.
"Hei!", aku membantunya menata tiger prawn yang sudah dipotong diatas meja.
"Hei juga. Udah ga ada gawe?" Aku menggeleng.
"Beres."
"Kamu semalam sampai rumah jam berapa, Dit?"
"Jam satuan kayanya. Habis aku BBM, langsung tidur?"
"Iya. Hehe. Capek banget."
"Nanti bareng lagi aja.", ajak Adit sambil tersenyum.
"Ngga ah, udah tiga hari ini kan bareng kamu terus. Kamu jadinya makin malem lagi pulangnya."
Aku menolak ajakannya. Sudah tiga hari ini aku pulang bareng sama Adit. Rumahnya memamng searah denganku, di daerah Cinere. Dan tiap malam kami selalu BBMan sebelum tidur. Aku tepatnya yang tidur.
"Ngga papa. Aku seneng kok jadi ada temennya waktu pulang."
Aku tersenyum.
"Teppanyaki order!", Dery berteriak dari aboyeur. Kebiasaan nih, udah mau last call tapi masih ada orderan.
"Hai!", Adit berseru. Ia mengambil slip order. "Satu beef medium rare, satu chicken, satu seafood no squid.", gumamnya sambil menyiapkan items yang ada.
"Selamat bekerja!", aku menepuk bahunya. Kulihat ia tersenyum. Aku berjalan kembali ke sectionku. Bang Aziz sedang membuat daun dari labu untuk nimono. Labu di potong dan diukir menyerupai daun lalu direbus bersama larutan gula dan shoyu. Biasanya aku ikut membantu Bang Aziz. Tapi aku sedang malas. Nanti saja ah. Hehe. Aku segera memasukkan sayuran, daikon oroshi, dan jahe kedalam chiller. Membersihkan working table, dan minyak untuk menggoreng tempura. Mengambil cutting board, container, dan tong lalu beranjak ke sink untuk mencuci semuanya. Aku senang dengan pemandangan dari sink ini. Langsung mengarah ke Jalan Sudirman. Masih lancar lalu lintas dibawah sana. Kak Nila mencolek bahuku ketika aku sedang menggosok container dengan sabun.
"Cepat! Kakak pengen makan mie ayam nih! Lapaaar!"
"Ngidam kak?", aku melirik arlojiku. "Iya, abis ini beres kok."
"Alhamdulilah kalau ngidam.", jawab Kak Nila sambil mencomot age tofu dari piring. Dasar..
Aku melihat ke arah teppanyaki side. Tak ada orang. Yaaah, padahal kan asyik kalau lunch bareng Adit. Ups!
Aku mgeringkan tanganku. Mengambil kartu dan memasukkan ke dalam punch card machine. Kak Nila menggamit lenganku. Dery dan Edwin berjalan di depan kami. Ganti baju, dan langsung turun. Adit masih belum muncul. Yaaaah..
"Ayo buru!", Kak Nila menarik tanganku.
"Iyaa."
masih dalam proses tepatnya...
"Wangi!", Adit masuk ke dalam pantry. Aku tersenyum.
"Hujan nmasih deras. Garing aja ga ada cemilan. Nih, minum.", aku mengangsurkan gelas berisi coklat panas. Adit menghirup aromanya, menengguknya perlahan. TING! Aku membuka microwave dan mengambil roti.
"Mau disini atau sambil nonton?", tanyaku.
"Ada balkon ga?", tanya Adit. Aku mengangguk.
"Yuk!", ajakku sambil membawa piring dan gelasku. Adit mengikutiku dari belakang. Aku sebenarnya tidak menyukai pemandangan ketika hujan. Tapi, aku suka menghirup bau hujan. Bau tanah yang terkena air. Untung balkon tidak basah terkena hujan. Aku menruh piring dan gelasku diatas coffee table dan langsung duduk diatas sofa single seater. Adit duduk dilantai.
"Kotor ih.", ucapku.
"Ngga papa."
"Nih cobain.", aku mengangsurkan piring yang berisi rotiubuatanku. Adit mengambil satu dan langsung menggigitnya.
"Enak!", ucapnya dan Hap! Satu keping roti habis dalam satu gigit.
"Doyan?", tanyaku. Ia mengangguk sambil tersenyum.
"Kamu tau resep ini darimana?"
"Eksperimen. Ini pertama kali aku buat. Liat apa yg ada di kulkas. Eh. Enak juga.", ujarku sambil menggigiti pinggiran roti. Adit berdecak.
"You are the real Chef!", serunya sambil menengadahkan tangan.
"Amen!", aku ikut menegadahkan tangan. Tawa kami bersambut, angin tak mampu menembus tawa kami.
Sudah jam satu. Adit belum pulang. Hujan juga masih betah mengguyur Jakarta.
"Kamu tidur disini aja, Dit. Masih hujan", ucapku sambil mengintip gorden.
"Hmmm.. Ngga papa?"
"Ngga. Kakakku lagi ke Bandung. Aku off hari ini. Kamu kan kerja. Ntar sakit."
"Hmm, aku mau tuker off juga ah! Mau sama kamu!", ucapnya.
Deg! Apa? Ngga salah denger? Adit mengambil handphonenya. Mengetik sesuatu dan tersenyum.
"Aku udah BBM Chef Surya, bilang aku mau tuker off karna ada urusan keluarga."
"Hah? Tengah malam gini?"
"Dia masih di resto kali."
"Oh.. Mana aku tahu?"
"Ji, tell me about yourself."
"Hah? Why me?"
"Just tell me, please.", Adit memberi penekanan pada kata 'please'nya. Aku mengerutkan kening.
"Hmmm.. Let me start.", Adit bersuara. "Indraditya Mahareswara. 23 tahun. Lahir di Surabaya, anak pertama dari dua bersaudara. Ayah kerja disini, Ibu kerja disini juga. Pernah training di Jepang selama setahun buat mendalami teppanyaki, dan lagi dekat dengan seseorang."
Aku terdiam.
"Ayo, giliran kamu.", Adit menopang dagunya. Mendekatkan wajahnya kearahku.
"Aku? Mmmm.. Danang Aji Bawono, lahir di Jakarta 21 tahun yang lalu. Baru lulus tiga bulan yang lalu dan langsung kerja. Anak kedua dari dua bersaudara. Pernah ke KL buat training, di restoran Jepang juga. Ayaaaaahhh..", aku diam. Mengambil nafas, dan menghembuskannya, "Sudah dipanggil Tuhan dua tahun yang lalu. Mama tinggal di Bandung buka butik perhiasan etnik."
"Inalilahi..", Adit menggenggam tanganku. "Maaf. Gara-gara aku kamu harus inget itu lagi."
Aku tersenyum. "Ngga papa kok, Dit."
Adit makin kuat menggenggam tanganku. "Boleh?", tanyanya sambil melirik kearah tangan kami. Aku mengangguk. Malam kian larut. Hujan masih turun. Aku teringat ayahku.
uda mulay suka ama si aditnya.. hhihi
btw,aku juga suka sama si Adit....
Aku terbangun karena merasa ada yang mengelus pipiku. Aku membuka mata dan melihat Adit memandangiku sambil tersenyum.
"Bangun."
Aku menggeliat. Tersentak bangun ketika menyadari tanganku masih menggenggam tangan Adit dan kepalaku ada diatas dadanya. Oh nooo..
"Kenapa?"
"Ngga. Ngga papa.", ucapku. Adit mendekatkan wajahnya dan
"Aw!", Adit mencubit pipiku.
"Gemes!", Adit tersenyum jahil. Aku bangun dari kasur.
"Kemana?", tanya Adit.
"Mau pipis."
"Ikut!"
"Apa sih kamu, Dit? Kok jadi manja gini?"
"Tapi suka kan?"
Aku diam. Adit mendekatkan wajahnya. Cup! Bibirnya mendarat di pipiku.
"I know you like it.", bisiknya.
"Aji?", tanya pria itu.
"Ya?", aku memandang pria itu. Oh, kemeja itu hadiah ulang tahun yang kuberikan enam bulan yang lalu. Dasi itu dasi pilihanku.
"Mau pulang? Kemana?", tanyanya.
"Mampang."
"Ngapain berdiri disini?"
"Nunggu kopajalah!"
"Udah bareng aku aja. Yuk?", dia meraih tanganku dan membuka pintu mobilnya. Kenapa aku harus ketemu dia lagi sih?
"Bukannya kamu masih kuliah yah harusnya?", tanyanya sambil mengendarai mobil. Gayanya masih sama.
"Udah lulus tiga bulan yang lalu."
"Terus, disini ngapain?"
"Kerja."
"Dimana?"
"Daishogun."
"Oh.. Udah lama?"
"Lumayan."
Ogah ogahan aku menjawab. Mataku memilih untuk melihat ke arah luar. Lampu-lampu berubah menjadi garis-garis maya. Mataku berat, dan aku tertidur.
Aku terbangun. Melirik arlojiku. Pukul tiga dini hari. Shit!
"Udah bangun?", tanya seseorang. Aku menoleh. Bagus, ketiduran di mobil. Aku mengecek keadaan tubuhku. Baju masih melekat. Retsleting celana masih tertutup. Bagus.
"Aku ngga ngapa-ngapain kamu. Lagian, kamu ngga berubah yah. Tiap masuk mobilku langsung tidur.", dia tersenyum.
"Kamu masih tinggal di apartemen ini kan?"
Aku mengangguk. Membuka pintu dan keluar dari mobil. Kaca mobil terbuka.
"Nanti malam aku jemput. Tunggu di restaurant!"
Aku mengacuhkannya. Membuka pintu lobby dan langsung naik ke kamar. I need my bed!
Pukul delapan aku sudah berkutat di dapur. Menggoreng sosis dan membuat scrambled eggs. Roti dari toaster sudah ada di piring. Aku berjalan menuju balkon dan menyantap sarapanku. Pikiranku melayang. Ah, Ismail. Kenapa aku harus ketemu dia lagi sih? Ergh.
Siapa Ismail? Iya, dia mantanku. tubuhnya tinggi, berkulit coklat eksotis dan murah senyum. Umur kami berbeda empat tahun. Pertama kali bertemu dengannya di kampus. Ia bekerja sebagai concierge dan mewakili hotel tempatnya bekerja untuk hadir di Job Fair kampusku. Aku sebagai panitia seksi humas wajib mendatangi hotel-hotel yang akan hadir. Awalnya hanya tukar-tukaran nomor handphone. Lalu aku diundang untuk dinner bersama HR hotel tersebut dan Ismail juga hadir. Dari situlah kami dekat. Apalagi setelah masing-masing tahu kalau kami mempunyai account di sebuah jejaring sosial khusus kaum gay. Hubungan kami berlanjut ketika ia mengutarakan isi hatinya di sebuah cafe di Dago. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, Ismail naik posisi menjadi assistant front office manager karena attendance dan prestasi yang selalu memuaskan atasannya. Empat bulan, Ismail membeli mobil. Aku yang memilih warnanya. Lima bulan, enam bulan hubungan kami mulai renggang. Karena pekerjaannya Ismail susah untuk membagi waktunya untukku. Aku yang juga sibuk di semester akhir susah untuk membagi waktu. Kami bertengkar hebat karena aku mendapati Ismail pergi dengan seseorang, yang belakangan aku ketahui sebagai mantannya. Kami mengakhiri hubungan dan tidak saling kontak. Hingga semalam.
@gr3yboy Senpai.. Dah brpa lama nihongo wo benkyoushimashitaka?