BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

~ P R O M I S E (The End) ~

145791012

Comments

  • “Aduh… sakittt…. Kenapa sih, Nek…? Baru nyampe udah dicubitin….” Gerutu Kiven ketika memasuki rumah nenek.

    “Alah… pake nanya lagi… liat tuh…lo ngapain dahinya Hildy?” kata nenek sambil menunjuk benjolanku.

    “Anu nek… tadi…”

    “Tadi lo dipukulin dia ya?....” sambung nenek tanpa memberiku kesempatan untuk ngejelasin.

    “Bukan nek…..” jawabku singkat.

    Kiven masih meringis sambil mengurut perutnya yang kena cubit.

    “Tadi mobil ngerem mendadak… jadi aku terantuk kursi didepan…..” jelasku lagi.

    Nenek akhirnya terdiam. Aku dan Kiven mengikutinya kedalam.

    “Pokoknya…. Nenek gak mau liat lagi Hildy kenapa-kenapa…. Sumpah nenek belum pernah ketemu orang macam dia… berani berkorban untuk orang lain….” Terdengar ocehan nenek lagi.

    Kiven memandangiku sambil tersenyum. Aku juga tersenyum.

    “Kalo Hildy tuh perempuan…. Udah lama nenek nikahkan kalian…..” kata nenek waktu makan malam.

    “Hukkk… huk…” aku tersedak.

    Perkataan nenek barusan membuatku terbatuk. Kiven menyodorkan segelas air untukku.

    “Ah… nenek ada-ada aja…” kataku.

    Kiven hanya menundukkan wajahnya tanpa suara.

    “Tadi Kiven bersama cewek cantik nek…. “ kataku.

    “Tadi waktu mobil ngerem mendadak dan waktu kepalaku terantuk, kaki cewek itu terpelintir dan dia menjerit kesakitan…. Untung ditolong Kiven…. Kiven emang orang yang mulia nek…”

    Nenek memandangi Kiven. Kiven tersenyum. Tapi nenek terlihat tidak tersenyum.

    “Kamu nolongin cewek itu…. Dan biarin Hildy kesakitan lagi?” kata nenek tajam.

    Aku jadi salah tingkah. Aduh, kenapa jadi gini…. Padahal gue mau nenek ngehargain Kiven…

    “Kamu emang egois…. Mentang-mentang cewek itu cantik…. Lalu lo rela ninggalin Hildy buat nolongin cewek itu? Ck…ck…ck…. Hebat kamu Kiven…” kata nenek barapi-api.

    Kiven hanya menunduk. Kulihat ada penyesalan diwajahnya.

    “Udah nek… bukan salah Kiven kok…. Hildy yang nyuruh Kiven nolongin dia…” kataku menjelaskan.

    Kini nenek yang terdiam.

    “maafin gue, Hil….” Kata Kiven ketika sedang duduk di teras rumah.

    Aku memandangi Kiven dengan heran.

    “Lo minta maaf karena apa?” tanyaku heran.

    “Benar kata nenek…. Gue selalu ngorbanin kamu Hil….” Katanya lagi.

    “Maksud kamu… apa?” tanyaku.

    “Gue harusnya nolongin lo tadi….. lo butuh gue…. Gue malah nolongin orang laen…”

    “Lo udah bener tadi Kiv…. Nurani untuk menolong orang udah ada sejak gue ketemu kamu… gue malah bangga sama lo… suka nolong…” kataku sambil menggenggam tangannya.

    “Gue janji…. Gak akan biarin lo kesakitan lagi, Hil…. “ kata Kiven.

    “Gue gak pernah ngerasa sakit kalo lo bersamaku, Kiv….”

    Kiven meraih kepalaku. Mencium pelipisku. Aku memeluknya.
  • Sorry banget gue baru bisa ngepost lanjutannya
    mohon maklum, soalnya gue harus kuliah dan tugasnya numpuk... tambah lagi harus kerja. :roll:
    nih aja nyuri-nyuri waktu buat nulis.
    sori yah.... :wink:
  • Rexel? itu kan DImas dan MArchel....

    *sial* penulisnya sama..... * cepet2 lari buka thread Dimas n Marchel...*

    sweet story...go back time....kayak Operation Love konsepnya...cuma beda ceritanya....mantep...

    UPz...
  • Lanjutannya mana om?? Jgn lama2 dunk!
  • Lanjutanya mana? Yg free me jga, pembaca setia ni.
  • Kali ini aku benar-benar udah gak tahan lagi ama perlakuan Linda yang memperlakukanku semena-mena. Aku selalu jadi ‘bawang putih’ yang selalu saja menderita seperti dalam cerita. Kali ini handphoneku disitanya tanpa alasan yang tepat.

    “Plis… kembaliin, Lin… ntar temenku nelpon…” bujukku sambil memijit pundaknya.

    Dengan gaya ‘cuek bebek’-nya Linda dengan asik mendengarkan MP3 Playerku yang disitanya bulan lalu.

    “Hey….” Kataku sambil melepaskan earphone dari telinganya.

    “Apaan sihhhh….. ganggu aja…. Pokoknya gak ada telpon-telponan di rumah ini…..” teriaknya.

    “Adduuhhhh… kalo boss gue nelpon gimana?” bujukku lagi.

    Linda mengancungkan ujung jari telunjuknya sambil menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. Aku terduduk lesu… berharap ada ibu peri yang baik hati menolongku…

    Linda memandangku yang terdiam lesu sambil tersenyum. Kemudian dia melepas earphonenya.

    “Okehh…. Baiklah… dengan satu syarat….” Katanya.

    Aku merapat dengan mata yang berbinar-binar sambil melipat kedua tanganku didepan dadaku.

    “A-apa… Lin?” tanyaku H2C.
    “bentar….. tunggu disini..” katanya sambil berjalan ke kamarnya.

    Tak berapa lama kemudian Linda mendekatiku yang masih penuh harap.

    “Syaratnya….. lo nyuci pakaian selama seminggu….”

    “Tapi….”

    “Eit….. dua minggu….”

    “Kok naik lagi…..”

    “Tiga Minggu….. ayo protes lagi….”

    Aku hanya menunduk lesu.

    “Tanda tangan disini…..” katanya dengan wajah bengisnya.

    Ternyata dia sudah menulis perjanjian itu. Aku akhirnya dengan hati yang hancur memikirkan penderitaan mencuci pakaian seisi rumah selama tiga minggu menandatangani kesepakatan israel-palestina.

    Linda menyerahkan HP-ku yang sangat kubanggakan itu mekipun tanpa kamera, tanpa 3G dan tanpa bluetooth. HP itu yang menemaniku selama ini. Menjadi saksi kasih sayangku dengan Kiven.

    “Kiven….. telpon gue skarang….” Harapku.

    Satu jam kemudian….. tak ada telpon dari Kiven. Aku mengerutkan keningku.

    Dua jam kemudian….. tak ada juga telpon dari Kiven. Aku memijit keningku.

    Tiga jam kemudian…. Gak ada juga telpon darinya. Aku mengusap dadaku.
  • Nggak biasanya Kiven nggak menelponku.. padahal mata kuliahnya cuman satu hari ini. Gue tau bener hal itu… Apa dia lagi sibuk? Tapi kenapa nggak beritahu aku?

    “Maaf, Hil… gue sibuk tadi ngerjain tugas di perpustakaan…” katanya menjelaskan ketika sore itu aku menelponnya. Nada suaranya penuh penyesalan.

    “Nggak apa-apa, Kiv….. “ kataku menghiburnya.

    “Mungkin beberapa hari ini gue bakalan sibuk…. “ katanya lagi.

    “Iya…. Gue maklum….”

    Akhirnya minggu itu menjadi minggu yang paling membosankan bagiku.

    Jumat itu bossku memanggilku. Kita bakalan mempromosikan “Gerakan Anti narkoba” di semua perguruan tinggi dengan baju badut. Dan yang paling parah…. Tempat pertama yang dikunjungi adalah kampus Kiven. Aku gemetaran memasuki kampus yang begitu asing bagiku. Baju panda-ku yang sudah diketahui Kiven, tidak bisa menutupi jati diriku.

    Aku menuju ke kerumunan mahasiswa dengan membagikan gelang dan balon ‘anti narkoba’. Aku bernapas lega ketika tak ada Kiven disitu. Aku gak mungkin membuat Kiven malu kalo teman-temannya tau kalo temennya seorang badut.

    Beberapa mahasiswa memintaku melakukan atraksi. Aku mengiakan dengan melakukan atraksi lempar bola. Mereka bertepuk tangan ceria. Aku kemudian menjauh. Aku melepas kepala kostumku dan meneguk segelas air mineral. Taman di kampus ini begitu indah…. Gak seperti kampusku.. Aku mendengar tawa seorang cewek disampingku yang dibatasi dengan pohon bonsai yang rindang. Aku melongok. Lho…. Itu kan cewek yang ditolong Kiven waktu itu? Oh iya…. Dia kuliah disini juga… ternyata dia punya pacar…

    “Kalo gajah…. Apanya yang paling besar?” tanya cowok itu.

    Aku menegang.

    “Gak tau……”

    “Kandangnya….”

    Mereka berdua tertawa riang. Aku yang terduduk kaku tak percaya.

    “Kenapa cicak tuh gak punya alis?”

    Aku tak mampu mendengarnya lagi. Perlahan aku menjauh menyeret kostum gede yang terasa berat.

    “Apa dia bohong ama gue beberapa hari ini?” batinku.

    Aku merogoh Hanphoneku disaku celanaku. Menekan salah satu nama di phonebook.

    “Tuuuttt…. Tuutt……”

    Aku melihat kearah mereka. Kulihat Kiven merogoh saku celananya.

    “Halo Hil….”

    Aku masih terdiam. Mencoba mencari kata-kata yang tepat.

    “Lo dimana, Kiv? Jadi gak kita nonton?” tanyaku.

    Kiven terdiam. Ayo jawab Kiv…… jawab kalo kamu lagi di taman sama cewek itu… gue mau lo jujur…

    “Gue lagi di kampus, Hil….”

    “Kan udah jam pulang….. masih ada mata kuliah apa?”

    “Gue lagi sama teman-temen bikin tugas di kampus, Hil… sori yah….”

    Aku menjatuhkan tubuhku terduduk di sudut bangunan itu memandangi mereka
  • ini kisahna hildy...
    tp...
    knapa wktu g baca bagian kiven bohong ke hildy g yg ngerasain sakitnya y??
    anehh...
  • Duh sakit hati gw, jd itw yg namanya cinta semu. Hildy d tinggalin gtu aja. Knapa gw yg sakit hati ya. Y dah dh trusin ja lg.
  • Ah, ktngglan jauh dh crta ny.
    Tpi, wtf?! Ad bgian yg buat didi skit hti.
  • Kasian amat si Hildy....
    :shock: :shock:
  • Sabar, Hil. :cry:
  • Kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal sebelumnya tidak ada yang namanya Gina diantara aku dan Kiven. Apa takdir udah menentukan lain? Apa emang seharusnya Kiven bersamanya, dan bukan ditakdirkan bersamaku?

    “Akh…..” dengusku terputus-putus.

    Tuhan, seandainya aku kembali ngalamin ini untuk mengembalikan fitrah Kiven sebagai lelaki sejati, biarlah aku yang ngalah. Biarlah dia bersama Gina….

    Kupapah tubuhku berdiri menjauh lagi. Aku memandangi Kiven dan Gina yang tertawa riang. Dia bahagia….

    “Bye, Kiv….” Bisikku sambil membalikkan badan.

    “Hil…. Kesiniii….. gue kewalahan nih…. Banyak orang disini…” teriak Anto yang menggunakan kostum Mickey dari seberang taman. Tangannya melambai-lambai kearahku. Kiven memandang kearahku yang cukup jauh dari mereka.

    “Oh, Tuhan…” kataku tersadar.

    Aku membalikkan tubuhku dengan cepat dan menghilang di sudut gedung.

    “Hil…”

    Kudengar suara itu mengejarku. Disalah satu ruangan kuliah aku bersembunyi. Berharap Kiven segera berlalu. Aku membuka penutup kepala kostumku. Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku. Aku terlonjak saking kagetnya.

    “Jangan ngagetin gue kayak gitu ah…. “ kataku kepada cowok yang kini menatapku sambil tertawa. Pasti dia melihat wajah pucatku.

    “Abis…. Lo ngumpet kayak gitu… ngehindari siapa? Fans ya? Hehehe…”

    “Iya…. Makanya, lo harus nolongin gue ya…”

    “Caranya?”

    “Lo make kostum ini trus tolong bagi brosur-brosur ini ke mahasiswa….”

    “Gampang banget….” Katanya sambil tersenyum.

    Aku memandangi wajahnya yang imut untuk meminta persetujuan darinya. Akhirnya dia mengangguk. Aku menarik napas lega.

    “Tapi … ada bayarannya, kan?”

    Aku tersenyum kecut. Kemudian kubuka kostumku dan kuserahkan uang lima puluh ribuan ketangannya. Cowok itu tersenyum renyah. Dipakainya kostum panda itu dan menjauh dariku sambil melambaikan tangannya. Aku hanya tersenyum lega….
    Dengan mengendap aku mencari jalan untuk meninggalkan kampus itu. Dan aku berhasil…

    “Tinggal satu hal yang harus kulakukan untukmu, Kiv… meskipun untuk itu aku harus kehilangan nyawaku…”
  • “Maafin gue, Hil…. Please jangan pergi…” isak Linda.

    Aku memandangnya dengan heran. Bukankah dengan kepergianku dari rumah ini bisa membuatnya lega? Bukankah dengan ketidakhadiranku dirumah ini bisa linda lebih tenang?

    “Gue gak akan yetrum lo lagi… gak akan nyuruh lo ngangkat botol aqua lagi… gak akan nyimpan handphone lo… gue janji…”

    Aku hanya bisa tersenyum kecil sambil memandangi kembali kamarku yang kutempati selama dua tahun sejak aku kuliah. Gue gak bakalan terpedaya sama airmata buaya lo, Lin…., batinku.

    Dengan uang tabunganku selama bekerja, dan sedikit kiriman dari mamaku dari kampung aku bisa menyewa sebuah kamar kosan dengan harga murah. Meskipun tidak sebesar kamar yang kutempati dirumah Linda.
    Setelah mengemasi barang-barangku di kosan aku pergi ke tempat pak Rujito, teman bapakku di kampung dulu. Kini beliau sudah berhasil dengan usaha Air mineral ‘Isi Ulang’ dengan ratusan pelanggannya. Beliu sudah beberapa kali menawarkan pekerjaan itu kepadaku, tapi baru kali ini aku iyakan.

    “Akhirnya kamu datang juga, Hil…” sapa pak Rujito sambil menepuk pundakku.

    “Gimana? Siap kerja?...” tanyanya ramah.

    Aku mengangguk sambil tersenyum. Lumayan, gajinya lebih besar dari tempatku bekerja dulu. Bossku, berusaha manahanku untuk tidak keluar dengan mengiming-imingi kenaikan gaji. Tapi bukan itu yang aku butuhkan sekarang. Aku berusaha untuk menenangkan diri dari apa yang sedang kuhadapi.

    Dari rumah ke rumah aku bersama seorang sopir mengantarkan air ke rumah pelanggan. Cukup melelahkan memang, karena harus memikul lebih dari seratus botol besar setiap hari. Tetapi dengan tekadku aku bisa mengatasinya dengan mudah.

    “Mau aku pasangkan ke dispensernya, Bu” tanyaku kepada Ibu tua yang merupakan pelangganku.

    Ibu itu memandangiku dengan senyum terima kasihnya. Aku tau ibu itu tak akan mampu untuk memasang botol itu ke dispensernya.

    “maaf saya terlambat, pak…. Biar saya bawa sampe ke lantai 3, pak…” kataku minta maaf karena terlambat karena macet.

    Bapak itu hanya bisa memandangiku dengan wajah ceria tak jadi marah.

    Begitulah keseharianku dengan pelanggan yang kini mengisi kekosonganku. Aku bersyukur, Tawaku, senyumku, meskipun hambar… tapi bisa menjadi berkah bagi orang lain.

    “Hil, sopirnya sakit hari ini… “ kata pak Rujito ketika aku masuk kerja hari itu.

    “Oh,…. Maaf pak, tapi saya gak bisa nyupir…. Boleh sih… tapi bakalan nabrak sana-sini….” Kataku dengan kocak sambil menggaruk kepalaku.

    “Hahaha… hil.. hil… gak ah… gak berani aku nyuruh kamu nyupir…”

    Pak Rujito terlihat menekan handphonenya.

    “Rizal… kamu kesini yah… bantuin papa, sopirnya sakit jadi cuman Hildy sendirian dan dia gak bisa nyupir…”

    Terdengar suara di Hanphonenya.

    “Hildy itu pekerja papa yang baru… anaknya teman papa dulu…. Oke papa tunggu ya…”

    Aku menaikkan dua puluh lima botol keatas pick up yang biasa kupakai untuk mengantar air.

    “Tuh, Hildy… bantuin dia ya?” kata pak Rujito sambil menunjuk kearahku.

    Seorang pemuda mendekatiku. Langkahnya terhenti bersamaan dengan langkahku yang berhenti. Mulutnya ternganga sambil tekunjuknya mengarah kepadaku. Aku tersenyum.

    “Halo…. Thanks yah… udah nolongin gue waktu itu…” kataku sambil megatur napasku yang sempat terhenti tadi.

    “Ternyata lo…..” katanya dengan kaget.

    Huh, dasar pemuda mata duitan…, batinku.

    Aku hanya terdiam disamping pemuda yang namanya Rizal itu. Dia juga masih terdiam tanpa bicara ketika mesin mobil dinyalakan.

    “Eh… tunggu…” katanya sambil merogoh saku celananya.

    “Nih uang lo…. Gue cuman becanda aja waktu itu…. Tapi lo udah keburu kabur ketika gue mo ngembaliin uangnya…”

    Rizal menyerahkan uang yang masih terlipat rapih ketanganku. Aku hanya bisa ternganga lagi. oh,… ternyata aku salah sangka…

    “Makasih…..” kataku.

    “Tapi…. Kok uangnya kok tinggal seribuan?”

    Aku memperlihatkan uang seribuan yang terlipat rapih dari tanganku yang memegang uang pemberiannya. Rizal ternganga. Aku hanya tersenyum.

    “Yuk, jalan……” kataku membiarkan Rizal yang masih memandangiku dengan heran.

    “Apa lo gak capek jadi pengantar air kayak gini? Kan dulu cuman jadi badut…” tanya Rizal ketika sudah selesai mengantar air ke semua pelanggan hari itu.

    “Yah… lumayan capek… tapi namanya juga kerja… kalo gak mau capek yah jangan kerja…” jawabku singkat.

    Rizal menghentikan mobil didepan sebuah warung kecil ditepi jalan.

    “Lho… ngapain kita disini?” tanyaku heran.

    “Kita ngobrol sambil makan dulu…..” katanya.

    Aku hanya termangut mengikutinya.

    “ Kenapa lo sembunyi dari Kiven waktu itu di kampus.?” Tanya Rizal.

    Hampir tersembur air jeruk hangat dari mulutku mendengar pertanyaan itu. Aku mengelap tanganku dan bibirku dengan tisue.

    “Hmm… itu….” Kataku sambil mencari-cari alasan yang tepat.

    “Gue tuh punya utang ama Kiven… due juta, waktu bayar rumah sakit dulu… gue baru bayar sebagian.. gue takut dia nuntut gue.. makanya gue lari dari dia… gitu… ngerti kan?”

    Aku berharap “kebohongan” kecil itu bisa memuaskan Rizal yang masih memandangiku. Aku membengkokkan sendok yang kupakai dengan melambai-labaikannya diudara. Aku sering melakukan itu kalau sedang gugup atau memikirkan sesuatu. Aku terkaget ketika Rizal menangkap tanganku dan menarik sendokku yang kini kembali lurus seperti semula.

    “Dia memanggil gue “Hil” waktu gue make kostum itu…” kata Rizal kembali.

    Aku menegang. Tanganku gemetaran. Apa lagi yang dia dengar dari Kiven? Jangan-jangan….

    “Dia bilang…. Maafin gue, Hil…gue selalu saja nyakitin lo…” Rizal menghentikan perkataannya. Memandangiku.

    Mataku yang berkaca-kaca, dilihatnya? Plis, jangan sampe dia tau apa yang terjadi…

    “Lo ama Kiven?” tanya Rizal.

    Akhirnya keluar juga pertanyaan itu. Aku hanya bisa menunduk. Berharap genangan air itu jangan sampe jatuh.

    Terlambat.

    Tetesan itu kurasakan jatuh ditelapak tanganku tanpa bisa kucegah.

    “Gue janji, gak akan ceritain ini ke siapa-siapa…” ujar Rizal yang kuanggap sebuah kata penghiburan buatku.

    “Apa lagi yang dia bilang, Zal…?” tanyaku pelan masih menunduk.

    “Dia bilang… gue sadar, gak mungkin bersama lo selamanya… jadi.. lupain gue….”

    Perkataan terakhir itu seakan mengancurkan duniaku... Menghancurkan mimpiku…
Sign In or Register to comment.