Kiv, aku nggak tau kenapa….
sejak kamu gak ada, aku sering terbangun di tengah malam dengan dada yang sesak…
aku memerlukan beberapa menit untuk bisa bernapas normal lagi…
Mataku selalu membengkak dan bantalku selalu basah…
Padahal aku nggak menangis…
Apa dalam mimpiku aku menangisimu? Maafin aku…..
Aku udah berjanji untuk nggak menangis kalo kamu pergi…
Aku udah berjanji menjaga cinta ini sampai kamu kembali…
Tapi orang bilang kamu gak akan pernah kembali lagi…
Bahkan ayah dan ibumu melarangku menyebut namamu…
Kiven…
Aku mau menyebut namamu selamanya dalam hatiku….
Di bus ini aku bertemu denganmu…
Dan aku pernah berjanji dalam hatiku mulai saat itu..
Untuk bersamamu dimanapun kamu berada..
Kini akan kupenuhi janjiku…
Untuk kesana…
Menemanimu….
Comments
“Hey… Apa yang lo lakuin… tahan dia….!!!” Terdengar jeritan seseorang.
Terlambat.
Aku sudah melepaskan tangan kananku dan kini dengan cepat tubuhku melayang keluar dari bus itu. Aku melayang kemudian terhempas dengan keras menghantam sesuatu. Terasa sakit tubuhku sesaat. Dan kulihat Kiven disampingku… memegang tanganku… Aku mengikutinya.. kini hatiku berbunga… aku kini bisa bersama dengannya… Langit ternyata berpihak kepadaku… berpihak kepada cintaku… Aku dibawanya ke suatu tempat.. tempat yang indah sekali dengan pemandangannya yang murni… Dari atas bukit itu aku bisa melihat kedamaian yang sesungguhnya… Dimana semua orang bisa bersama dengan orang yang dicintainya… Kiven menarik tanganku berhadapan dengannya… Aku sangat bahagia memandang lagi wajahnya yang kurindukan… Dia bertanya padaku apakah aku mau bersama dengannya lagi? Dengan cepat aku menganggukkan kepalaku… tetapi…. Kiven mendorongku… Aku jatuh kebawah tebing itu… Kiven melambaikan tangannya…. Aku tak bisa berkata apa-apa…lidahku kelu… suaraku hilang… Aku nggak mau kehilangan Kiven lagi….
“Aduh…” teriakku.
Tangan kiriku mengurut kepalaku yang kurasakan membengkak. Aku terantuk di kursi depanku karena mobilnya ngerem mendadak. Kulihat beberapa orang naik ke Bus. Kursi sebelahku yang kosong dan beberapa kursi kosong kulihat di sebelah kiriku. Jadi pasti kursi disebelahku gak mungkin diduduki. Aku memejamkan mataku saking ngantuknya. Tak kurasakan lagi benjolan di kepalaku.
“Permisi… bisa duduk disini?” terdengar suara seseorang dengan sopan. Suaranya gentle banget. Aku memicingkan mataku sebentar sambil bergeser kekanan.
“Silahkan…” kataku dengan nada mengantuk.
“Terima kasih…” jawabnya lagi dengan suaranya yang indah itu.
Kali ini aku tertidur dengan nyenyaknya tanpa benturan. Aku tersandar pada sesuatu yang empuk. Tapi kurasakan tangan seseorang mendorong kepalaku ke kanan. Ah, karena ngantuk aku tertidur lagi. Kembali tangan itu mendorong kepalaku dengan perlahan ke kanan. Karena penasaran aku jadi terbangun. Dan, astaga….. Aku bersandar pada orang yang disebelahku. Sumpah, demi mak gue… aku malu banget…
Perlahan aku menarik kepalaku dengan pura-pura tidur ke sebelah kanan. Aku memejamkan mataku lagi tapi kantukku ilang sudah… ditelan rasa maluku…
Hil…Hil…. Kenapa sih lo kalo tidur gak pernah liat suasana…. Untunglah orang disebelahku pria yang baek… kalo nggak udah dijitak lagi benjolanku…
Aku meraba botol minumanku yang kutaruh di kantong ranselku.. kemana yah? Kok gak ada? Aku melongok kebawah kakiku…ya ampun udah penyok kuinjak-injak… tutupnya udah lari entah kemana… Aku hanya menelan ludah..Panasnya siang itu membuat rasa gerahku kambuh. Aku melongok keluar bis. Dengan gagahnya sang mentari menatapku dengan panasnya.
“Sadis…” Gumamku dengan agak keras.
“Siapa yang sadis?” terdengar suara itu lagi di sampingku.
“Afgan…” Akhirnya kelepasan juga kekonyolanku.
“Eh.. sori… maksud gue itu tuh….” Kataku menunjuk kearah matahari.
Aku kemudian memberanikan diri memandang orang yang disampingku. Deg!! Dia tersenyum.. manis banget…. Kayak pemain sinetron itu… Cakep abis… gak pernah kulihat sebelumnya… seumur hidupku..
Aku mengelap tanganku ke kaosku sebentar kemudian membalas jabatan tangannya. Hangat tangannya, hm… Dia menatapku… oh iya, aku belum menyebut namaku…
“Justin….” Kataku.
“Jangan panggil ‘Jus’ karena itu nama minuman…. Jangan panggil ‘Tin” karena itu nama cewek…” Sambungku dengan wajah serius.
Kulihat dia tertawa. Ya ampun,… giginya bagus… kayak bintang iklan pepsodent..
“Trus manggilnya apa?” tanya Kiven setelah tawanya reda.
“Bagas…” kataku.
“eit… jangan manggil ‘gas’ karena gak enak mirip kompor…”
Kembali kulihat tawanya. Kali ini tawanya makin keras terdengar.
“Hildy.. Bagus kan nama gue..?” kataku dengan serius akhirnya.
Kulihat dia memegang perutnya sambil tertawa-tawa.
Kiven kemudian terlihat mencari-cari sesuatu di tas ranselnya. Kemudian menggenggam 2 buah minuman kaleng. Aku menatapnya curiga… barusan berita yang kudengar kemaren dan juga saran emak supaya nggak boleh minum minuman yang di kasih orang yang gak kenal..
“Nih…. “ katanya sambil menyodorkan kearahku.
Aku masih menatapnya curiga. Emangnya aku kelihatan orang kaya? Banyak uang? Pikirku.
Aku melihat pakaianku… sederhana kok… kemeja aja gak ada mereknya.. tas kumal… jeans udah kusam warnanya… apa yang dia mau rampok? Ah.. aneh…
“Gak ada obat biusnya kok….” Katanya tiba-tiba mengagetkan aku yang curiga.
Dia membuka kaleng minuman yang satunya lagi dan meminumnya. Aku jadi malu mencurigainya… bibirnya yang indah itu kembali menebarkan senyum.. Aku tambah merasa bersalah…
“Iyah… kayaknya wajah kamu gak pernah gue liat di buser siang deh…” kataku sambil memperhatikan Kiven. aku berharap kata-kataku bisa membuatnya tidak tersinggung lagi.
Dia tertawa kembali… Aku bernapas lega… dan mengambil minuman yang dibukanya tadi untukku.
Jangan dibaca deh...
kalo lebih suka nulis cerita... nulis aja.. lebih enak nulis apa baca ya? tauk ah...
“Ngg… cuman sampingan aja.. sebenarnya aku pesulap..” kataku dengan wajah serius.
Kiven tersenyum lebar banget.
“yahh.. gak caya… sini sisa minuman kamu…” kataku.
Dia menyeahkan sisa minumannya. Aku menuangkan sisa minumannya ke kalengku. Aku meneteskan tetes terakhir minuman kalengnya ke telapak tanganku.
“Kosong, kan?”
Kiven mengangguk. Kini dengan gaya profesional aku membalikkan kaleng minumanku yang kutambah sisa minumannya. Tak ada yang keluar. Mata Kiven terbelalak. Menatapku dengan aneh. Aku menundukkan wajahku agar tak perpapasan dengan matanya yang bening indah. Aku membuang kedua kaleng minumanku lewat jendela yang kemudian terdengar hardikan seseorang. Ternyata kaleng-kaleng tadi mengenai pengendara motor. Aku menunduk dengan cepat sambil kutarik Kiven menunduk bersamaku.
Terdengar ceikikikannya lagi. Aku bisa mencium parfumnya karena posisiku merangkul lehernya kebawah. Kami masih menunduk menghindari cacian pengendara motor tadi.
“Hey… Hil.. gimana caranya sulapan lo tadi?” Tanyanya setengah berbisik.
“Penasaran, ya?... nanti aku bilang rahasianya kalo udah nyampe…”
“Beneran yah….”
Aku hanya tersenyum. Aku mengangkat tubuhku yang menunduk. Kiven mengangkat tubuhnya lagi. Dan kulihat sesuatu menyembul dan keluar dari belahan kaos di dadanya.
Kalung itu!!!
Aku bagaikan tersadar dari mimpiku. Kegundahan hatiku kembali lagi.. rasa kehilangan itu kembali.. tapi…. Yang kuingat… aku melompat keluar dari bus ini… kemudian bertemu dengan Kiven lagi di tempat indah itu...tapi siapa dia? Yang disampingku ini? Kenapa aku kembali lagi di bus ini? Kiven kan udah gak ada lagi…
Aku menghirup angin yang berhembus dari kaca yang terbuka. Aku menutup mataku agar semua hayalan ini segera berlalu dan aku kembali bersama Kiven di tempat yang damai itu…. Tapi aku tak merasakan apa-apa….
Dia menarik pundakku. Aku berbalik menghadapnya namun tetap kupejamkan mataku. Aku nggak boleh melihatnya… dia udah gak ada… dia bukan Kiven…
“Hil.. kamu kenapa? Pusing ya?” tanya dia.
Aku hanya diam. Namun perlahan kubuka mataku juga. Kulihat pandangan matanya yang penuh tanya memandangku. Disodorkanya minyak angin dengan tangan kirinya. Aku menggeleng. Aku membuka tasku mencari sesuatu di dalamnya. Nggak ada…. Tuh kan…Kalung itu nggak ada…. Apa dia mengambilnya? Orang yang mirip Kivenku? Aku memandang kalungnya. Dia kelihatan mengerti apa yang kuinginkan, membuka kalungnya dan menyerahkannya ketanganku.
“Lo mau liat kalung ini ya?” tanya dia sambil tersenyum.
Aku mengamati kalung itu. Kalung yang terbuat dari biji-bijian beraneka macam itu memang kalung pemberian Kiven untukku waktu kenalan di bus ini. Tapi kok gak ada inisialnya? Kan aku udah ngukir inisial ‘K&H’ di salah satu biji kalungnya? Kenapa bisa gak ada? Apa ini bukan kalung itu?.. Aku menyodorkan kembali kalung itu kepadanya.
“Ambil aja…. Lo suka kan?” katanya.
Oh!!!!!,… kata-kata itu aku ingat banget…. Kata-kata yang sama ketika Kiven memberikan kalung itu kepadaku.
Kenapa ini?
Apa yang terjadi?
Apa Kiven benar-benar kembali untukku?
Apa ini dunia lain? Kok sama…
Apa aku diberi kesempatan lagi untuk bisa bersamanya?
Kalo itu benar… aku bisa bersamanya lagi… aku akan menjaganya…. Aku gak akan membiarkannya pergi lagi dariku…
Gak ada seorangpun yang bisa mengambilnya lagi dariku…gak ada….
Aku masih bingung dengan keadaan ini. Kenapa Kiven tidak mengenalku? Kenapa hanya aku saja yang mengenalnya? Apa aku bisa juga mengubah jalan hidupnya? Akan aku lakukan segalanya…. Agar dia gak pergi ninggalin aku selamanya..
“Eh… udah hampir sampe…” katanya membuyarkan lamunanku.
Aku memandang kearah depan. Tanpa kusadari sudah dekat tujuan. Dan sebentar lagi aku akan berpisah dengannya. Kenapa jadi lain sekarang? Padahal yang sebenarnya dia ngasih nomer telponnya… ngantarin aku ke rumah saudaraku… Aku makin gelisah…
“Kenapa, Hil…?” tanya Kiven yang memperhatikan aku.
Aku berusaha menyembunyikan wajah kuatirku.
“Ehm… kebelet…pipis…” jawabku pelan.
“hahaha… pantasan wajah lo kayak cacing kepanasan…” cemoohnya.
“Enak aja… emang gue umpan apa?”
“Umpan yang enak…” katanya menggodaku.
Deg!! Caranya memandangku itu… seperti dulu… meluluhkan semua persendianku..
Tapi kini bus sudah berhenti di terminal. Kembali aku gundah. Kita berdua turun dari bus. Aku memandangnya dengan harapan dia melakukan seperti dulu…
“Eh… udah dulu ya, Hil.. Mobil jemputanku udah datang…senang bertemu denganmu… lo orangnya asik banget…” katanya sambil menepuk pundakku.
Cuman itu aja? Aku lemas seketika. Kiven membalikkan tubuhnya menjauh dariku yang masih mengharapkan sesuatu terjadi seperti dulu… tapi sia-sia…
Dengan lesu aku duduk di kursi tunggu di terminal itu… Tuhan.. kenapa engkau kembalikan aku ke dunia ini lagi tapi bukan bersamanya lagi? Apa artinya….
Aku menundukkan tubuhku memandangi tas ranselku di kakiku… hilang sudah arah tujuanku..
“Es krim…?” kata seseorang sambil menyodorkan sebatang es krim ke wajahku.
Aku memalingkan wajahku masih dengan keadaan menunduk. Akh,… dengan cepat kuangkat tubuhku. Dia kembali.. dia kembali untukku?
“Kiv.. kenapa kembali lagi?” tanyaku heran.
“Lo lom nepati janji sih…” katanya cuek. Tangannya masih memegang es krim yang di sodorkan kearahku.
“Nih… ambil.. keburu mencair…”
Aku tersadar dan mengambilnya dari tangannya.
“Makasih…” kataku.
“Skarang… janji lo…” tagihnya.
“Janji…”
“Iyah…. Janji sehidup semati…” katanya cuek lagi.
Aku memucat memandangnya. Matanya menatapku dengan pandangan serius. Janji sehidup semati? Aku udah rela mati untukmu Kiv…. Apalagi yang kamu mau?
“Hahaha… kok wajahmu pucat gitu…. gak bisa diajak becanda…” katanya sambil tertawa.
Oh Tuhan… kukira beneran…. Hanpir saja kelepasan omonganku.
“Lo janji kan mo ngasih tau gue caranya sulapan lo tadi….”
“Oohhh…” aku melenguh lega. Dengan cepat kualihkan suasana.
“Seorang pesulap yang ngasih tau rahasia sulapannya sama aja dengan bunuh diri….” Kataku dengan gaya pro.
“Eit… kan lo udah…”
“Tunggu dulu….. aku lom selesai ngomong…. Ada tapinya…… demi lo… yang rela nyediain bahunya kutidurin tadi… ngasih minuman kaleng… skarang ngasih es krim… aku rela ngasih tau rahasianya…”
Kiven duduk lebih mendekat lagi. Aku merasakan sentuhan tangannya bersentuhan dengan tanganku.
“Rahasianya….”
Aku mengambil selembar tisue dan kulap bibirnya yang belepotan es krim. Dan kuletakkan ke tangannya. Kiven menggenggam tisuenya terdiam beberapa saat. Kemudian…
“Hahaha….. dasar lo nipu gue… kirain sulapan beneran…”
Aku menjauhkan diriku sambil berdiri.
“Namanya juga sulap….. semuanya gak bener…” kataku bercanda.
Kiven memandangku dengan pandangan matanya yang indah. Aku ingin memeluknya seperti dulu… tapi tak mungkin… dia sekarang gak tau apa-apa.. tar dikiranya aku gila..
Hildy udah nyiapin sulapan itu waktu kepikir untuk menghidupkan suasana. Kalengnya sudah kosong ditaruhnya beberapa lembar tisue di dalamnya tanpa terlihat Kiven. Hildy menggoyang2 kalengnya seolah2 ada sisanya. Padahal udah habis. Diambilnya kaleng Kiven yang memang tinggal sedikit dan dituangnya ke kalengnya. Emang, kalo masih banyak agak susah. Jadi tisue tadi menyerap sisa minuman Kiven. Wakti dibalikkan udah ga ada. Dan untuk menghilangkan jejak, Hildy dengan cepat membuang keluar jendela yang akrirnya mengenai pengendara motor.
Sekian penjelasannya.
Aku jadi melongo. Ah, ternyata terjadi juga….
Aku duduk di bangku belakang sedangkan Kiven duduk disamping sopirnya. Tetapi kemudian dia turun dan pindah kesampingku.
“Tadi emangnya dari mana? Kok gak bawa mobil?” tanyaku.
“Tadi dari rumah nenek. Biasa ngunjungin nenek tiap dua minggu sekali. nenek sih… gak mau tinggal ama kita… katanya gak mau ngerepotin… jadi gue harus ngeliatin dia disana… gue pingin naik bus aja tiap kesana biar lebih santai gitu..” kata Kiven menjelaskan.
Aku hanya termangut-mangut. Padahal hal itu sudah aku ketahui. Bahkan dua minggu kedepan Kiven pasti ngajakin aku ke rumah neneknya disana.
“Eh… nomernya kamu?” tanya dia.
Aku tersenyum kembali. Nah, ini dia… hal yang kutunggu-tunggu.
“Gue miskol deh…“ kataku bersemangat.
Dengan cepat aku menekan nomer Hpnya. Terdengar suara Hpnya. Kiven memandangku dengan pandangan aneh dan curiga. Oh, Tuhan…. Dia belum menyebutkan nomernya… dan aku menekannya karena udah hapal diluar kepala… gimana ini?
“Kok bisa…..?” Tanya Kiven tak percaya.
Hpnya masih berbunyi. Dan jariku tak bisa bergerak sekarang mematikan panggilanku saking takutnya ketahuan.