It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@lulu_75 @adrian69 @digo_heartfire @rama212
@o_komo @RakaRaditya90 @boyszki
@QudhelMars @akina_kenji @Secreters
@Algibran26 @rama_andikaa @DafiAditya
Selama membaca...
Jantung ini berdetak sangat kencang, dengan peluh yang membasahi badanku. Nafasku tersengal-sengal seperti seseorang pelari atletik jarak 100 km. Aku melirik kearah jam dinding yang baru menunjukan pukul empat lewat lima pagi. Terlalu cepat buatku untuk bangun di pagi yang sedingin ini. Aku menekan dadaku sambil berusaha menormalkan detak jantungku yang berdetak tidak karuan. Perasaanku berubah tidak enak setelah mendapatkan mimpi yang aku anggap buruk ini.
Aku meraih ponselku sambil mencari kontak Reza. Aku tidak yakin apakah Reza akan menjawab atau tidak. Dia pasti terlelap dalam mimpi saat ini. Nada sambung masih berbunyi, membuatku harap-harap cemas karenanya. Belum ada jawaban dari Reza membuatku memutuskan panggilanku sambil meremas rambutku. Ini mengerikan, mimpi yang amat buruk.
Aku kembali menelpon Reza kembali. Nada sambung tersebut masih berbunyi sehingga aku sedikit kesal, bedecak berharap Reza akan segera mengangkat panggilanku. Ayolah Reza...
"Hallo?" jawab Reza di seberang sana dengan suara khas bangun tidur. Sesak di dadaku hilang seketika. Syukurlah Reza tidak apa-apa. "Ada apa yank?" tanyanya, tak lupa menguap dengan keras. Pasti dia juga memgucek-ucek matanya sambil berdecak malas.
"Nggak apa-apa yank. Kangen aja," jawabku. Reza terdengar terkekeh di seberang telepon.
"Baru juga semalam bertemu, udah kangen aja."
"Ya gimana lagi Za, hati kan nggak bisa diajak kompromi," jawabku ngasal. Reza terdengar tertawa. "Kok malah ketawa sih? Ini serius."
"Iya-iya aku tahu. Saking kangennya sanpai nelpon subuh-subuh gini," ujarnya geli. Aku tersenyum masam mendengar katanya. Aku tidak hanya kangen, tapi aku juga takut akan kehilangan dirimu Za.
Gue menggigit bibir, "mmm..., Ntar pagi kita barengan ya?" tanyaku ragu-ragu. "Aku ingin ketemu."
Reza terdiam sejenak. "Aku kuliah siang yank," jawabnya.
"Nggak bisa ya Za? Aku harap aku bisa ketemu kamu, walau hanya sebentar."
"Mmmm..., Baiklah. Aku jemput kamu seperti biasa ya yank?" Reza terdengar menguap di seberang sana, "aku lanjut tidur lagi ya yank. Sampai ketemu nanti pagi."
Aku mengangguk, "sampai ketemu nanti pagi. I love you Za," ujarku dari hati yang paling dalam. Tidak ada jawaban seperti biasanya dari Reza. Hanya ada bunyi panggilan terputus, ditengah dinginnya pagi.
Aku meletakkan ponselku ke atas nakas sambil memandang lurus ke arah plafon. Mimpi itu masih terngiang-ngiang di fikiranku saat ini, membuatku kalut dan cemas.
Aku seperti siap melaksanakan Shalat Jumat di masjid kampus. Banyak sekali orang yang keluar dari masjid tersebut. Aku lalu menuju tempat penitipan sepatu di samping pintu utama laki-laki. Aku meletakkan sepatu hadiah Reza saat anniversary kita yang pertama disana.
Aku dapat melihat sepatuku di tempat penitipan sepatu. Tidak ada sepatu lain di sana, hanya ada sepatuku terletak di tengah-tengah. Aku hampir meraihnya, sebelum seketika seseorang pria menyambar sepatuku dengan kilat. Aku terpekik, lalu meneriaki pria itu mengatakan bahwa dia salah mengambil sepatu. Itu sepatuku, sepatu hadiah dari Reza di ulang tahun anniversarykita. Dia tidak menghiraukan seruanku sambil tetap terus berjalan, meneteng sepatuku.
Aku lalu mengejar pria itu sambil berteriak memanggilnya untuk mengembalikan sepatuku. Kakiku panas menginjak aspal si siang hari, sehingga aku tersungkur dengan lutut dan telapak tangan yang mendarat di aspal. Kaki, lutut dan telapak tanganku seperti melepuh. Aku meneriaki pria itu seraya menggapainya. Air mataku bercucuran. Dia menoleh ke arahku, menatapku dan menatap sepatuku bergantian. Pria itu tersenyum sambil mematut-matut sepatuku, mengejekku senang penuh kemenangan.
Aku berusaha mendekatinya sambil merangkak sebelum pria itu melemparkan begitu saja sepatuku ke tong sampah. Dengan telapak kaki, lutut dan telapak tangan yang melepuh, aku merangkak menuju tong sampah memungut sepatu hadiah dari Reza. Aku meraih sepatu itu, dan mendapatinya sudah rusak, penuh duri. Sepatu tersebut melukaiku dengan durinya yang tajam, membuat telapak tanganku yang telah melepuh berdarah sehingga aku meletakkan sepatu tersebut kembali ke tong sampah dengan air mata bercucuran.
---
"Kamu kenapa sayang?" tanya Reza membuyarkanku dari lamunan. Aku masih memikirkan mimpi mengerikan tadi pagi. Aku yakin mimpi hanyalah sebuah keinginan yang tidak dapat terealisasi di kehidupan nyata. Hanya sebuah bunga tidur yang tidak berarti apa-apa. Tapi aku tidak dapat menafikan kalau mimpi pagi tadi seperti pertanda buruk bagiku, pertanda bahwa aku akan kehilangan Reza.
Aku menggeleng sambil berusaha mengulas senyum ke Reza. Aku harus berusaha seperti tidak terjadi apa-apa di depan Reza. Reza tidak akan pergi dan tidak akan meninggalkanku. Aku yakin itu.
"Za...," panggilku. Reza menoleh kearah kaca spion sambil menatap kearahku. Lihatlah mukanya sekarang, muka khas bangun tidurnya yang selalu membuatku gemas. Apalagi bau badannya saat bangun tidur, membuatku betah berlama-lama memeluknya. Baunya bagai morfin yang memabukkan. Tak salah para ahli berpendapat bahwa cinta berawal dari hidung terus turun ke hati.
Aku menggigit bibirku, mengatur kata-kata yang pas. "Proposal PKMnya udah siap Za?"
"Sedikit lagi hampir selesai. Kenapa yank?"
"Kalau PKMnya udah selesai, kita jalan-jalan ya Za. Aku udah lama nggak pergi jalan-jalan kayak dulu, aku ingin menghabiskan hari denganmu," jawabku sambil menyembunyikan wajah di balik punggungnya. Pasti mukaku memerah.
Reza tertawa, "baiklah, yang sabar ya sayang. Kamu mau kita kemana?" Great! Dadaku tiba-tiba seperti mengembang, dan rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan kegembiraanku.
"Gimana kalau kita ke pantai? Atau ke puncak? Atau... Oh ya ... Objek wisata yang baru diresmikan oleh gubernur kemarin. Gimana?"
"Semangat banget sih Pak?" goda Reza kepadaku. Aku tersenyum malu-malu dengan sikapku tadi. Aku tak ada bedanya dengan anak-anak yang dijanjikan hadiah oleh orang tuanya.
"Hehe, soalnya mau jalan-jalan sama kamu sih Za, jadi aku semangat gini deh."
"Jadi kamu maunya yang mana nih yank? Pantai, puncak, atau objek wisata baru itu? Nanti aku cari waktu yang pas, yang nggak bentrok dengan jadwal kuliah."
Aku mencebikkan bibir, cemberut. "Lah kok cari waktu dulu sih? Biasanya juga hari ini kepikiran, hari ini langsung pergi."
"Hey, hey. Jangan cemberut gitu dong," Reza mengelus-elus tanganku yang melingkar di pinggangnya, "kita sekarang udah semester berapa? Sekarang saatnya kita fokus buat masa depan. Tapi mau tamat tiga setengah tahun trus wisuda bareng? Jadi nggak ada waktunya lagi buat kita bermain-main," ujar Reza yang membuatku kembali tersenyum. Aku tidak boleh egois, menghabiskan uang dan waktu hanya untuk kesenangan belaka dengan mengenyampingkan akademis.
"Okedeh Za, aku nurut aja. Kapan dan kemana aku terima, asal sama kamu."
"Iya deh, yang sekarang udah pandai ngegombal," godanya lagi sambil menoel daguku dari depan.
"Ya dong, itukan karena ketularan kamu juga," jawabku sambil mencubit pinggangnya. Reza mengaduh kesakitan, membuatku semakin gemas untuk mencubitinya. "Tanggung jawab tuh udah mencemari anak orang."
"Ampun sayang, ampuuun..." pintanya geli, "iya deh, besok-besok Reza bakalan tanggung jawab. Lagian udah dong becandanya, kita udah sampai nih."
Seperti apa yang dikatakan Reza, kita berdua sudah sampai di samping gedung Fakultas Psikologi dengan lambang trisula besar bewarna ungu yang berdiri kokoh di depan gedung. Aku lalu tersenyum jail sambil turun dari motornya dan menyerahkan helm bewarna senada dengan warna fakultasku.
Aku melirik jam tanganku. Masih ada waktu sebelum kelas pertama dimulai. Ditambah lagi dengan sifat Pak Ramadi, dosen Psikologi Perkembangan yang memakai 'jam karet', membuatku leluasa untuk berbincang lebih lama lagi dengan Reza.
"Za...," panggilku ke Reza, membuatnya menoleh ke arahku. "Aku boleh nanya nggak?"
Reza mengangguk, "boleh, nanya apa?" tanyanya antusias. Aku lalu tersenyum sambil bersandar ke dinding bewarna ungu cerah itu.
"Kamu masih sayang nggak sama aku?"
Reza mengerutkan keningnya, "kok kamu nanya gitu sih?"
"Za...," aku memegangi bahunya sambil menatap matanya lekat-lekat. "Za jawab pertanyaanku, kamu masih sayang nggak sama aku?"
Reza tergagap, "a...aku sayang kamu kok. Aku akan selalu sayang sama kamu."
"Kamu nggak akan ninggalin aku kan?"
Reza menggeleng, "nggak, aku nggak akan ninggalin kamu kok sayang."
"Janji?" Aku mengarahkan kelingkingku kearahnya.
"Janji," ujarnya sambil mengaitkan kelingkingnya ke kelingkingku.
Senyum lalu mengembang di wajahku. Aku lalu membuka tasku sambil mengeluarkan sebuah kotak bekal berwarna ungu. Aku harap Reza menyukai masakan yang aku buat tadi pagi. Aku tersenyum-senyum malu sambil menyerahkan kotak bekal yang aku masukan kedalam bungkusan plastik itu ke Reza. "Di coba ya Za," ujarku.
Dengan semangat, Reza membuka kotak bekal berisi nasi godeng buatanku. Aku sampai meminjam kompor dan penggorengan ibu kos -dengan imbalan sepertiga untuknya- demi membuat nasi goreng itu untuk Reza. Supaya dia tidak membeli sarapan di luar atau malah melupakan sarapannya. Reza menciumi aroma nasi goreng tersebut sambil tersenyum puas.
"Baunya enak yank," ujarnya. Pipiku pasti mengembang sekarang. Semoga rasanya juga seenak baunya, sehingga aku tidak mengecewakan Reza.
"Makanya, setelah ini di coba ya," balasku. Reza nampak menguap sambil menggantungkan bungkusan pemberianku di stang motor besarnya. "Lebar banget nguapnya, belum mandi ya?" tanyaku sambil menutup mulutnya
Reza menggeleng lalu nyengir, "belum yank. Bangun tidur langsung nganterin kamu."
"Maaf ya Za, aku ngerepotin kamu."
"Nggak apa-apa kok yank. Lagian aku juga seneng kok dapat makanan dari kamu," ujar Reza sambil melirik kantong plastik yang tergantung di stang motornya.
Aku tersenyum sambil menepuk bahunya pelan. "Yaudah, pulang gih sana, lanjutin tidurnya. Jangan lupa dihabisin ya Za."
Reza tersenyum. "Aku pulang dulu ya yank. Semangat kuliahnya," katanya sambil menggas motornya meninggalkanku di samping gedung ungu.
Aku terdiam sejenak sambil tersenyum kecut, "bye Reza. I love you Reza," gumamku sambil memandang kepergian Reza.
---
Sambil menyodorkan tiga bungkus nasi Padang, aku kembali memohon-mohon kepada Mas Agus si satpam kekar untuk memperbolehkanku masuk. Mas Agus nampak ragu-ragu antara memperbolehkanku masuk atau tidak. Terlebih dengan suapku yang tiga kali lipat lebih menggiurkan kali ini. Bukan hanya gulai tunjang, ada rendang dan dendeng balado yang aku harapkan dapat memuluskan jalanku untuk masuk kedalam kosan elit ini.
Mas Agus nampak berfikir keras sambil sesekali melirik tiga bungkus nasi Padang yang menggugah selera. Bule Norwegia saja ketagihan sampai membuat lagu tentang nasi Padang di negaranya, apalagi Mas Agus yang orang pribumi tidak akan sanggup menolak yang nasi Padang yang aku bawa.
"Ayolah Mas, ada yang harus diambil Mas," pintaku memelas.
"Tapi dek..." Dia nampak bimbang.
"Kalau ada barang Reza yang hilang, bilang aja kalau saya yang ke sini."
"Eh, bukan itu maksudnya dek. Pertama, Rezanya nggak ada di kosannya, tentu kamarnya di kunci. Yang kedua, peraturan kosan ini yang melarang orang yang bukan penghuni kosan untuk masuk, kecuali bersama penghuni kosan."
"Kalau kunci, saya punya kuncinya kok mas," ujarku menggoyang-goyangkan kunci di depan wajahnya. Syukurlah aku punya gantungan kunci yang sama dengan Reza, sehingga aku dapat mengibuli satpam kekar ini. "Ini kunci yang diberikan Reza ke saya. Ada yang harus saya ambil dan kerjakan di dalam. Mas bisa jamin. Atau kalau perlu saya menelpon Reza kala-"
"Owh nggak perlu dek," potongnya sambil mencegat tanganku yang hendak merogoh saku. "Baiklah saya percaya sama adek," jawabnya pasrah.
Aku tersenyum penuh kemenangan. Setelah mengucapkan terima kasih, aku lalu berlalu meninggalkan Mas Agus si satpam kekar dengan perasaan was-wasnya. Palingan sebentar lagi Mas Agus akan masuk ke dalam posnya lalu menikmati tiga bungkus nasi Padang yang aku bawa.
Aku menoleh kiri dan kanan sesampainya di depan pintu kamar Reza, memastikan tidak ada seseorang yang melihat keberadaanku. Aku lalu berjongkok di depan rak sepatu, sambil memasukkan tanganku ke salah satu sepatu tua berwarna hitam mengambil kunci cadangan di dalamnya. Aku tersenyum karena Reza masih meletakkan kunci cadangannya di sepatu tuanya itu. Reza sering kehilangan kunci, sehingga aku menyarankan supaya Reza menyimpan kunci cadangan sehingga Reza tidak terkurung di luar. Dengan kunci cadangan ini, aku lalu membuka pintu kamar kosan Reza dan masuk kedalam kamar Reza.
Kamarnya sangat berantakan. Dengan seprai acak-acakan. Ditambah pakaian kotor yang berserakan di lantai. Aku sampai geleng-geleng kepala melihat kondisi kamar pacarku yang tidak ada bedanya dengan kapal pecah. Ada kotak bekal bewarna ungu yang aku berikan ke Reza tadi pagi, terletak di meja belajarnya, membuatku senyum-senyum sendiri. Aku dapat membayangkan Reza yang memakan nasi goreng buatanku dengan lahapnya.
Aku mulai memunguti pakaiannya satu persatu dan memasukkan kedalam keranjang pakaian kotor. Tak lupa mengganti seprainya dengan seprai yang baru. Aku mulai membersihkan kamar Reza sehingga tidak terasa sudah satu jam aku berada di kamarnya. Aku mengelap keringatku yang bercucuran sambil menatap jam dinding. Aku harus segera pergi dari kamarnya, supaya ketika Reza pulang, dia akan mendapatkan surprise dari pacarnya ini. Aku jadi tersenyum-senyum sendiri membayangkan reaksi Reza nanti. Aku berkacak pinggang sambil mengedarkan pandangan ke penjuru kamar Reza yang telah bersih.
Aku lalu merebahkan tubuhku ke kasurnya yang empuk. Banyak kenangan indah kami di sini. Mulai dari membuat tugas bersama, nonton film terbaru, bahkan terkadang makan bersama di sini. Aku malah tersipu sendiri mengingat kenangan indah kami. Aku lalu menggeleng seraya bangkit dari ranjang Reza. Aku berjalan ke arah meja belajar Reza yang sedikit berantakan. Setelah merapikan, aku lalu mengambil kotak bekal bewarna ungu tadi untuk aku bawa pulang. Tapi ada yang aneh, beratnya masih seberat tadi pagi.
Dengan penasaran, aku membuka kotak bekal Reza. Aku terperanjat melihat isi kotak bekal tersebut masih seperti tadi pagi, penuh tanpa diusik sedikitpun. Kenapa Reza tidak memakan masakan buatanku? Apa Reza tidak suka? Atau Reza lupa memakannya? Ya pasti Reza ketiduran, sehingga dia lupa memakannya. Aku kembali menutup kotak bekal bewarna ungu tersebut sambil memandanginya. Sayang sekali, Reza memakan nasi goreng ini nanti dalam keadaan dingin. Apa Reza sudah sarapan di kampus sekarang ya?
Aku meraih plastik pembungkus kotak bekal tadi, serta beberapa sampah kertas sambil berjalan ke tong sampah yang berada di bawah ranjang. Aku meraih ponselku hendak mengirimi Reza pesan, mengingatkannya supaya tidak lupa makan.
Aku menarik tong sampah dari kolong ranjang Reza sambil tetap fokus menatap ponselku, mengetik pesan untuk Reza. Aku lalu membuang sampah yang aku kumpulkan tadi, sehinga mataku menangkap sebuah benda yang membuatku syok. Sebuah kondom yang telah dipakai, tergeletak diatas tumpukan sampah yang lain. Aku langsung terduduk sambil menutup mulutku tidak percaya. Apa Reza yang memakainya? Kalau tidak, kenapa ada benda yang telah terpakai itu disini. Tidak mungkin temannya datang kesini, bercinta dengan pacarnya lalu membuang kondomnya ke tong sampah Reza, kecuali Reza yang memakainya. Tiba-tiba kepalaku pusing, membuatku bergeser bersandar ke kaki ranjang Reza. Jantungku berdetak kencang dan ucapan Rini di Grand Plaza terngiang-ngiang di fikiranku. Kondom-kondom yang ada di lemari Reza, kotak bekal itu. Apa jangan-jangan Reza....
Ponselku bergetar, nama Doni di sana. Aku sempat ragu untuk mengangkat panggilan Doni atau tidak. Mataku tertuju kembali kepada kondom itu, sebelum aku mengangkat panggilan Doni dengan perasaan campur aduk.
"Lo dimana?" tanya Doni ketus di seberang sana. Dia nampak seperti menahan amarah saat ini.
"Di kosan, kenapa Don?" jawabku se normal mungkin.
"Jangan bohong lo, gue tau lo nggak ada di kosanlo sekarang. Gue lagi sama Dion teman kosan lo nih," sanggahnya, membuatku terpaksa menelan ludah sendiri.
"Hehe, kenapa cari-cari gue sampai ke kosan segala?"
"Ada hal penting yang harus kami bicarakan ke lo. Dimanapun lo sekarang berada, lo pergi ke rumah Rini sekarang. Kita kumpul di sana. Ini tentang Reza," tandasnya sambil menutup panggilan.
Tentang Reza? Ada apa dengan Reza? Dan kenapa Doni seperti orang yang tidak berpendidikan seperti itu. Menutup telepon tanpa basa-basi terlebih dahulu. Ada apa ini?
Aku lalu bangkit sambil meraih tasku di meja belajar Reza sambil menatap kotak bekal bewarna ungu itu nestapa, sebelum melirik tong sampah yang telah aku kembalikan ke posisi semula.
Aku meninggalkan kamar Reza dengan perasaan yang berkecamuk.
Apa yang terjadi Za?
---tbc
R~
Ih kalok aku dah ku cekik cekik kek gitu!!!
kebanyakan makan micin kak
@rarasopi mungkin kombinasi ketiganya kak. Atau ada pendapat lain kk?
@boyszki Untung Reza nggk sama kamu y boy. kalau iya, hihihi nggk kebayang.
@adrian69 mungkin karena udah saking percaya kali om. Secara anak muda zaman sekarang emang gtu. Bahkan password dri akun medsos aj pd tau.
Ntahlah om...
@andrik2007 Makasih bang... Iya nih bang, lagi heboh gegara PKM. Tpi nampaknya minggu bsok udah nggk lagi deh.
@digo_heartfire mungkin kebanyakan makan cinta bang...
http://m.kabarkaltara.co//read/2016/11/12/3010/jual-barang-curian-ke-pemilik-reza-diciduk-polisi
@secreters Wkwkwk. Yg patut d garis bawahi, Reza bkn pemuda pengangguran bang.
Sakit perut gue.
Wow... Bang... @lulu_75