BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

AFTER YOU GO

12122232426

Comments

  • Belum lanjut ya? :cry:
  • Part 22

    "Ayo dek," Gaga membukakan pintu mobilnya sambil nengulurkan tangannya ke hadapanku. Aku menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyambut uluran tangannya ragu-ragu.

    "Kita ke sini menemui siapa kak?" tanyaku ketika Gaga menutup pintu mobilnya. Setelah memastikan bahwa mobilnya telah terkunci, Gaga memegang kedua bahuku sambil menatapku dengan senyum sumringah, "kakak mau memperkenalkan kamu sama seseorang," jawabnya. Seperti mengetahui kegelisahanku, Gaga melanjutkan perkataannya, "tenang aja dek, kamu nggak bakalan kenapa-kenapa kok."

    Aku mengangguk tanda mengerti. Gaga lalu tersenyum sambil mengelus-elus rambutku. Aku lalu menepis tangan Gaga sambil menatapnya dengan seringaian. Kenapa dia begitu suka mengelus-elus rambutku. Dia cuma tersenyum.

    "Yuk dek," ujarnya sambil meraih tanganku. Aku menatap ke arah kos Reza yang tepat berada di depanku saat ini. Aku menggigit bibir, harap-harap cemas bahwa Gaga tidak akan mempertemukanku dengan Reza, mantan pacar yang telah mencampakkanku. Gaga akan memperkenalkanku dengan seseorang yang tidak aku kenal sebelumnya, bukan Reza yang aku kenal. Aku menoleh ke arah pos satpam tempat mas Agus bermarkas. Semoga dia sudah lupa denganku.

    Gaga tiba-tiba berhenti, membuatku membentur punggungnya. Sekelebat ingatanku tentang Reza menari-nari di fikiranku. Mengingatkanku dengan punggung Reza yang selalu menjadi sandaran kepalaku ketika ada di atas  motornya. Aku terkesiap ketika Gaga menanyai keadaanku dengan cemas. Aku menggeleng mengatakan bahwa aku tidak apa-apa, sambil berusaha mengenyahkan memori-memori indah sekaligus menyakitkan itu dari fikiran.

    Pria Fakultas Ekonomi yang akan berusia kepala dua itu berdehem sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar yang persis berada di samping tangga menuju lantai dua, tempat kamar Reza berada.

    Gaga kembali mengetuk-ngetuk pintu kamar lebih keras dari yang sebelumnya hingga si empunya kamar menyahut dari dalam, sambil menghidupkan lampu kamar. "Siapa?"  sahutnya.  Ia terdengar krasak krusuk mencari sesuatu sebelum terdengar suara kunci kamar yang tengah dibuka.

    "Ini gue kak," jawab Gaga. Gaga melirikku sekilas lalu kembali menatap ke dalam kamar yang pintunya telah dibuka oleh seseorang yang Gaga panggil dengan sebutan kakak itu. Aku tersontak kaget melihat seorang pria  dengan tubuh basah yang hanya berlilitkan sehelai handuk di pinggangnya keluar dari balik pintu. Aku langsung mengalihkan pandanganku dari tubuh sempurna pria tampan yang ada di depan Gaga.

    "Nando?!" ujar pria tersebut sambil memeluk erat Gaga, "tumben lo ke sini," ujar pria itu setelah melepaskan pelukannya. Dia menepuk-nepuk bahu Gaga yang dia panggil Nando seperti kawan lama yang telah lama tidak berjumpa.

    "Emang gue nggak boleh ke kosan kakak gue sendiri heh?" tanya Gaga yang membuat pria yang Gaga panggil kakak itu tertawa, "sebaiknya lo pake baju deh kak, adik gue risih lihat lo nih," lanjut Gaga sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke arah pria sang empunya kamar. Pria itu menatap tubuhnya yang hanya memakai sehelai handuk lalu mengalihkan pandangannya kepadaku yang risih dengan tubuh menggodanya. Pria gay mana yang tidak tergoda melihat tubuh yang terbentuk dengan rambut lebat yang menjalar dari pusar hingga tenggelam di balik handuk bewarna coklat tua.

    "Oh ini adek lo itu?" pria itu menggosok-gosok dagunya menatapku menelisik, "manis juga," gumamnya.  Dia menepuk keningnya seperti tersadar dengan apa yang telah dia katakan. "Astaga, maaf ya dek, silahkan masuk," ujarnya mempersilahkanku untuk masuk. Dia berbalik lalu bergegas masuk ke dalam kamar.

    Aku menatap Gaga meminta penjelasan lebih lanjut sebelum suara pria yang mungkin tengah berpakaian itu terdengar dari dalam, "Ndo, lo ajak adek lo itu untuk masuk, jangan dibiarin diluar aja," ujarnya sambil menekankan kata adek kepada Gaga. Gaga menatapku memohon sambil mempersilahkanku untuk masuk.

    "Masuk yuk, udah di suruh tuh," ujar Gaga. Aku menghela nafas sambil mengangguk menyetujui permintaan Gaga. Aku melepaskan sepatu lalu masuk ke dalam kamar sesopan mungkin.

    Kamar pria yang dipanggil Gaga kakak itu memiliki ukuran yang sama dengan kamar Reza di atas sana. Hanya saja kamar pria ini memiliki perabot yang lebih sedikit, sehingga terlihat lebih rapi. Ada beberapa tumpuk file di atas meja kerja, beberapa helai kertas yang berserakan serta laptop yang masih menyala,  menandakan bahwa dia adalah orang penting yang super sibuk.

    "Kamu mau minum apa dek?" tanya pria yang punya kamar setelah berpakaian. Celana pendek selutut dengan kaus polo bewarna abu-abu.

    "Terserah kakak saja," jawabku sesopan mungkin sambil berusaha menghindari kontak mata dengannya. Dia terkekeh sambil menggerling nakal ke arah Gaga. Si Gaga hanya senyum-senyum malu, membuatku kebingungan.

    Pria yang tengah membuat minuman itu aku perkirakan berusia beberapa tahun lebih tua dari kami. Beberapa sentimeter lebih tinggi dari Gaga, dan tampan.  Rapi, dengan potongan rambut klimis, wajah bersih khas pegawai kantoran. Tubuhnya yang dapat dikatakan sempurna itu menambah nilai plus dari kegantengannya yang sebelas dua belas dengan Gaga. Dari kemiripan wajah keduanya, aku menduga bahwa mereka memiliki hubungan darah.

    "Kamu satu jurusan sama Nando dek?" tanya pria itu sambil menyodorkan segelas teh panas kearahku, "maaf cuman ini yang ada," lanjutnya lagi.

    "Nando?" aku menatap pria itu kebingungan. Kami bertiga sejenak terdiam sebelum dua orang yang ada di depanku lalu  tertawa geli.  Aku menatap mereka bergantian dengan spekulasi bahwa Gaga di panggil Nando di keluarganya.

    "Nando itu kakak dek," jawab Gaga menahan tawa. "Keluarga kakak memanggil kakak dengan nama tengah kakak, Fernando. Tapi, teman-teman kakak memanggil kakak dengan panggilan Gaga karena dulu saat kakak masih SD, kakak punya teman namanya Nando juga," terang Gaga. "Jadi sampai di perguruan tinggi akhirnya kakak lebih dikenal dengan panggilan Gaga dari pada Nando."

    Aku mengangguk faham. Itulah kelebihan orang yang mempunyai nama yang panjang, bisa dipanggil dengan berbagai panggilan yang berbeda. Berbeda denganku yang hanya terdiri dari satu kata. Simpel tidak berbelit-belit.

    "Oh ya, sampai lupa. Pasti kamu bingung di ini siapa," Gaga alias Nando menunjuk ke arah pria hot  yang ada di sampingnya. "Ini kakak kandung kakak dek, kak Aryo, beliau bekerja di salah satu perusahaan milik Papa" lanjut Gaga. Kak Aryo hanya tersenyum sambil menjabat tanganku.

    "Jadi kamu teman satu jurusan Nando dek?"

    Aku menyesap teh melati buatan kak Aryo. "Nggak kak. Aku kebetulan jurusan Psikologi kak. Jadi aku punya teman yang satu jurusan dengan kak Gaga, karena itu kita saling kenal," terangku.

    "Kakak sangka kalian satu jurusan atau satu fakultas," ujar Kak Aryo. "Udah pintar Nando sekarang, udah dapat fakultas lain."

    "Dapat apa kak?" potongku.

    "Dapat teman. Biasanya teman Nando kan cuma anak yang satu kelas atau satu jurusan dia saja," Kak Aryo melirik Gaga. "Kakak setuju kamu sama dia," bisik Kak Aryo dengan senyuk tulus sambil mengacak-acak rambut Gaga.

    "Makasih kak," ujar Gaga dengan senyum sumringah. Dia terlihat bahagia. Seperti baru memenangkan hadiah liburan ke luar negeri untuk satu bulan.

    Cukup lama aku di kosan kak Aryo. Aku tidak menyangka kak Aryo adalah seorang otaku anime akut. Aku hanya bisa mengangguk-angguk takjub ketika dia membahas beberapa anime yang pernah aku tonton. Selain membahas anime, kak Aryo juga membahas tentang prospek kerjaku dimasa yang akan datang. Bahkan dia sempat menawariku untuk bekerja di perusahaannya untuk menjadi psikolog di sana. Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak pula mentidakkan.

    Jarum pendek jam tanganku telah menunjukkan pukul sembilan ketika aku dan Gaga pamit untuk pulang. Kak Aryo menyesali keputusan adiknya yang menolak untuk menginap. Dia beralasan bahwa setelah mengantarku, dia akan pulang ke rumah. Gaga juga menyuruh kak Aryo untuk sering-sering menengok rumah walau papa dan mama mereka jarang di rumah. Aku juga beralasan bahwa pagi-pagi ada yang harus aku urus ke dekanat.

    Setelah berpamitan, aku dan Gaga lalu menuju garasi yang ada di samping kosan. Belum sempat aku masuk ke dalam mobil Gaga, sebuah motor melesat masuk ke dalam bagasi dan berhenti tepat di depanku. Aku terpana. Pengendara motor tersebut menanggalkan helmnya sambil menatapku juga dengan terkejut. Dia menggumamkan namaku.

    Aku meneguk ludah sambil mengalihkan pandanganku darinya. Aku lalu berbalik dan memasuki mobil Gaga. "Yuk kak kita jalan," ujarku kepada Gaga ada di sampingku. Dia tersenyum lalu menutup pintu sambil berputar menuju pintu kemudi. Dia lalu masuk dengan senyum sumringah. Aku tahu, Gaga sedang menutupi rasa penasarannya. Dia memasangkan sabuk pengaman untukku dan untuk dirinya sendiri sebelum keluar dari bagasi kosan elit itu.

    Aku lalu menoleh  ke arah kaca spion, menatap Reza yang berdiri di samping motornya dengan tatapan yang sulit untuk aku jelaskan.

    ---

    Aku baru saja keluar dari ruang tata usaha ketika Reza berdiri tepat di hadapanku. Aku tercekat dengan kedatangannya yang tidak aku sangka-sangka itu. Aku lalu berbalik sebelum tangannya berhasil meraih pergelangan tangan kiriku dan menarikku ke belakang dengan kasar.

    "Lepaskan!" teriakku sambil berusaha melepaskan cengkeramannya. Sayang sekali, kampus ungu telah sepi karena banyak mahasiswa yang telah pulang ke kampung halaman masing-masing. Reza menatapku nyalang sambil mengeratkan cengkramannya di tanganku.

    Aku berontak berusaha melepaskan diri. Tanganku terasa sangat panas dengan cengkramannya. Tangan yang dulu selalu aku rindukan genggamannya, sekarang sangat aku benci karena tengah menyakitiku. Aku tidak menyangka bahwa Reza akan sekasar ini. Terakhir kali, ketika dia tertangkap basah olehku sedang berbuat mesum di kosannya. Saat itulah dia bertindak sangat kasar kepadaku.

    "Lepaskan aku Za..." pintaku lirih sambil meringis kesalitan. Air mataku tidak dapat aku bendung untuk tidak menetes. Aku menyeka air mataku yang telah jatuh membasahi  pipi dengan tangan kananku. Aku bukan cengeng, tapi keadaan membuatku harus seperti ini. Reza luluh. Dia melepaskan tanganku, sambil mundur bersandar pada dinding.

    "Maaf...," ujarnya sambil meremas rambutnya sendiri. Dia nampak frustasi dan ada beban berat yang di tanggungnya sekarang. Mungkin itu adalah hukuman bagi dia atas kesalahan yang telah dilakukannya. Dia menatapku penuh harap, "kita perlu bicara."

    Aku menatapnya sambil menggenggam pergelangan tanganku yang panas. "Tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi Za. Semuanya telah berakhir. Mari kita membuka lembaran baru masing-masing. Anggap saja yang dulu-dulu itu adalah kesalahan yang tidak pernah terjadi," jawabku getir.

    Reza menatapku tidak percaya. "Karena kamu udah punya pria itu kan? Siapa dia? Pacar barumu?"

    "Itu bukan urusanmu. Aku bukan siapa-siapamu lagi. Kamu tidak berhak mencampuri urusanku lagi."

    "Aku masih berhak. Aku pacarmu."

    "Pacar kamu bilang?!" Suaraku mendadak meninggi, "setelah apa yang kamu lakukan padaku dan sekarang kamu bilang aku pacarmu? Kita udah putus Za. Kita udah putus," teriakku. Aku tidak peduli jika ada orang yang menguping pertengkaran kami. "Jadi mohon jangan pernah urus aku lagi, jangan pernah. Urus saja pacarmu yang dapat memuaskanmu itu."

    Pandanganku kabur dengan air mata yang telah membasahi pipiku. Reza terlihat tertunduk, kaget? entahlah. Aku berusaha tegar tidak tampak lemah di matanya.

    "Aku mohon," pintanya.

    "Maaf aku sedang sibuk," ujarku tanpa mau menatap matanya.

    Aku lalu pergi meninggalkannya tanpa memandang wajahnya sedikitpun.  Aku bergegas menuruni anak tangga gedung ungu dengan cepat. Masa-masa indahku dengan Reza berkelebat di fikiranku bak di film-film. Seseorang terdengar menuruni tangga mengejarku di belakang, membuatku mempercepat langkahku menuruni tangga. Tepat ketika aku hendak menuruni anak tangga terakhir, Reza menarik tanganku dan mendorongku ke dinding. Aku berusaha berontak sebelum Reza merapatkan tubuhnya ke tubuhku dan mendaratkan ciumannya ke bibirku.

    Aku berusaha untuk berontak. Tapi Reza  dengan gesit memegangi kedua pergelangan tanganku. Dengan brutal dia berusaha melesatkan lidahnya ke dalam mulutku. Sedangkan tangannya yang lain mulai bermain-main di gundukanku. Permainannya yang sangat lihai, membuatku terangsang. Dia tidak memberiku kesempatan untuk bernafas. Ciumannya membuatku melambung. Pantas banyak temanku yang ketagihan dengan yang namanya ciuman. Memabukkan rupanya.

    Tangan kanan Reza mulai naik, menyusup kedalam kemejaku. Meraba-raba perutku pelan hingga terus menjalar ke arah dada. Dia tersenyum nakal sehingga nafasku terhenti. Sangat pelan, dia memainkan putingku sehingga aku tidak dapat menahan desahanku karena sensasi geli yang Reza berikan kepadaku.

    Reza tersenyum. Dia lalu menuruni leherku dengan perlahan dan tepat di tengah leherku, dia menggigit lalu menghisapnya sehingga memberikan bekas merah disana. Sambil tetap memainkan putingku, dia terus turun dan memberikan beberapa bekas merah di leherku. Otakku buntu dengan sensasi yang aku rasakan pertama kali ini.

    Reza melepaskan cengkramannya. Tangannya menyusuri telinga lalu bibirku, sedangkan yang lain sedang mengerjaiku di bawah  sana. Tangan itu lalu turun dan turun,  hingga berhenti di kancing kemejaku. Dia menatapku dengan senyum kemenangan, lalu mulai melepaskan kancingku dengan perlahan.

    Tiba-tiba aku tersadar, aku telah  dilecehkan oleh Reza. Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga, hingga beberapa kancing kemejaku berguguran. Sebelum pria itu berdiri dengan sempurna, aku melayangkan sebuah bogem mentah hingga bersarang di rahangnya. Ciuman pertamaku direnggut oleh mantan pacar yang telah mengkhianatiku, dan dia berusaha melecehkanku di tempat umum. Celakanya aku malah menikmati pelecehan itu. Aku memegang bibirku dengan nafas tersengal-sengal sebelum mengumpatinya dengan kata-kata kotor.

    Dia tersandar ke dinding sambil menyeka bibirnya yang mengeluarkan darah. "Gue masih cinta sama lo," ujar Reza menatapku lirih, sekaligus kaget.

    "Persetan!" teriakku hendak melayangkan tinjuku sekali lagi padanya sebelum aku ingat bahwa inilah yang aku inginkan dulu. Memberikan Reza hadiah berupa ciuman pertamaku di hari ulang tahunnya, selain kado yang saat ini sudah ada pada Gaga.  Aku terduduk di anak tangga terakhir gedung ungu sambil memegangi bibirku sekali lagi. Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Terlebih bercak merah di leherku tidak akan hilang untuk beberapa hari ke depan membuatku semakin bingung.

    Seseorang memanggil namaku dari halaman kampus, membuatku dan Reza menoleh kepadanya. Aku sangat terkejut dengan kehadiran Gaga yang berdiri tidak jauh dari kami. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit aku mengerti. Aku berdiri sambil menyeka air mataku yang telah berlinangan. Aku memaksakan senyumku ke Gaga. Semoga dia tidak melihat kejadian tadi.

    "Kamu tidak apa-apa kan dek? Kamu nampak kacau," tanya Gaga. "Apa dia menyakitimu?" Pandangan Gaga lalu tertuju pada Reza yang ada di sampingku.

    Aku menggeleng, "tidak apa-apa kak," ujarku. Aku tidak ingin ada pertengkaran diantara mereka karena kejadian tadi. Entahlah bukannya ke geeran, tapi aku berfikiran seperti itu saat ini.

    "Aku harus ke rektorat, ada yang perlu di urus."

    "Kita sekalian saja," ajak Gaga. Dia mulai mendekatiku. Aku menggeleng sambil merapikan bajuku yang berantakan.

    "Nggak usah kak, aku bisa sendiri. Kakak sebaiknya pulang," tolakku. "Kakak sebaiknya pulang," ujarku sekali lagi menekankan kata pulang. "Oh ya Happy birthday, wish you all the best. Semoga kalian dilindungi dan dirahmati oleh  Tuhan," ujarku tulus. Aku lalu berjalan keluar dari gedung ungu lalu melewati gerbang belakang. Gaga mengejarku, namun dia kalah cepat, dan karena tidak faham dengan medan yang dia tempuh. Lika-liku gedung ungu. Hanya aku dan anak fakultas Psikologilah yang tahu dengan detail dari gedung trisula besar ini.

    Aku berhasil keluar dari perkarangan gedung fakultasku. Aku lalu terduduk sambil membenamkan kepalaku ke lutut. Air mataku tidak dapat aku bendung, sehingga aku terisak dalam tangisku. Aku tidak tahu apa yang aku tangiskan. Sedih, marah, kecewa, rindu berbaur menjadi satu. Hanya satu bisa aku ketahui, bahwa semakin lama aku menangis, maka semakin berkurang rasa sesak di dalam dada ini.

    ---tbc
    R~

  • kasihan ... tapi syukurlah udah bisa membeci reza ...
  • makasih udah dilanjut... Cemangat terus aurhor.... Thanks udah mention aku :wink:
  • baru baca...mention ya kak @Aurora_69
  • @lulu_75 Karena membenci orang itu susah bang... (mulai galau)

    @cowokkumal Always semangat atuh. Cuman hati ini yg sering tidak semangat. Eaaa

    @kreteks-jadul Sipoh2 baby. Selamat membaca ya...
  • udah lama ga baca ini sampai lupa jalan cerita gimana wkwkwkw
  • Ya iyalah, bacaannya kemarin kan hukum mendel, mutasi, taksonomi, alat reproduksi. Pantes lupa.
  • Lanjut.. Lanjutt.. Lanjutt
  • lanjut kak! *bakar sempak*
  • edited May 2018
    Uhh.... Udah aku baca lagi dan lagi dan lagi dan lagi lagi lagi lagi lagi lagi lagi lagi lagiiiii
    Semoga authornya cepat update lagi
  • @happyday Sipo2 ;)
    @kreteks-jadul Jangan bakar sempaknya, ntar doi kegesek kn kasihan. :lol:
    @cowokkumal Itu authornya lagi bunting jadi agak sibuk sekarang ngurusin calon Doi junior. :lol:
    Ello jangan lupa di lanjut yes.
  • Part 23

    Aku menggelungkan badanku dibalik nyamannya selimut yang telah menemaniku bertahun-tahun. Panggilan Bu De untuk makan pagi bersama di bawah sana tidak aku hiraukan. Palingan dia masih kepo dengan Gaga yang belakangan ini tidak muncul ke kosan. Semenjak kejadian di fakultas seminggu yang lalu, aku lebih sering mematikan ponselku dari pada mengaktifkannya. Perkuliahan telah selesai dan tidak akan ada lagi tugas maupun perkuliahan mendadak yang sering diinfokan dari ponselku itu. Otomatis aku dan Gaga tidak saling berkomunikasi hingga saat ini.

    Suara wanita sayup-sayup terdengar di depan pintu kamarku. Tak lama suara ketukan lembut terdengar disertai teriakan Doni yang memanggil namaku. Sontak aku terlonjak kaget. Ada apa gerangan si kunyuk itu datang ke sini? Semoga Gaga tidak menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu ke dia, sehingga aku tidak diberondong dengan beratus pertanyaan darinya nanti.

    "Bang, ada bang Doni nih bang," ujar Sarah, anak ibu kosku yang sangat centil terdengar dari luar sana. Aku lalu turun dari ranjang sambil menyambar celana batik yang tersangkut di gantungan baju dan memakainya.

    "Iya, sebentar," sahutku.

    "Oiii lama bener lo, lo coli ya?" teriak Doni yang membuatku menggeram menahan emosi. Terkadang mulut saudaraku itu memang susah untuk dikontol walau di depan wanita.

    Aku membuka pintu dengan wajah acak-acakan. Doni terlihat menahan tawa lalu mengucapkan terima kasih kepada Sarah dengan sedikit godaan khas buaya buntungnya. Gadis kelas tiga SMA itu nampak bersemu sebelum turun ke lantai bawah. Doni langsung masuk menuju ranjang sembari tiarap mengendus-endus sepraiku.

    "Ngapain lo endus-endus njir?"

    Dia tertawa nyengir. "Gue cuma mastiin kalo lo belum keluar," dia melirikku sambil tersenyum genit.

    "Kalo gue belum keluar emang kenapa?" tanyaku sambil berlipat tangan tidak jauh darinya. Dia lalu duduk sambil melirik selangkanganku.

    "Kalo belum keluar mah, kan bisa gue tolong," ujarnya tersenyum nakal.

    "Udah gila lo ya? Makanya cari pacar gih cepetan sana. Lama kelamaan jadi belok juga lo," ujar gue sarkas. Aku tidak terima atas guyonannya yang menjijikkan itu.

    "Gue kan gila gara-gara kemanisan lo."

    Fix, Doni sudah gila. Kemasukan apa dia tadi pagi. Aku memegang keningnya memastikan dia tidak demam atau kepalanya tidak membentur sesuatu.

    Dia malah menepis tanganku sambil menggeram, "gue nggak demam kali."

    "Trus ngapain lo ngegoda-goda gue anjir?"

    "Gue cuma ngetes aja cong," jawabnya santai. "Gitu aja baper lo. Atau jangan-jangan lo malah suka gue godain ya?"

    "Najis," umpatku sambil duduk di sampingnya.

    Doni melirik ke arah luar, "by the way, anak ibu kos lo itu gila juga ya. Lengket banget sama gue njir. Gue godain mau-mau aja dia."

    "Ya emang kayak gitu sifatnya, agak kecentilan gitu." Aku mengedikkan bahu. Aku tidak terlalu bersemangat membahas wanita. "Bukannya lo suka yang tipe-tipe kayak gitu ya?"

    "Suka sih suka, tapi kalau yang ganas kayak gitu mah gue juga fikir-fikir ulang kali. Liat cowok ganteng sedikit aja udah lengket gitu kayak udah kenal lama, apalagi ntar kalo diajak fun pas...."

    "Abaaang..., Bang Doniii, ini ada nasi goreng untuk kalian," teriak Sarah membuat Doni seketika menghentikan obrolannya. Kami berdua kaget ketika gadis itu mendadak ada di depan pintu kamarku dan langsung masuk ke dalam kamar sambil membawa dua buah piring. Doni yang tengah menggosipkannya terlihat salah tingkah, membuatku menahan tawa.

    "Lagi ngomongin apa sih bang? Ngomongin Sarah ya?" Gadis itu lalu menggelayutkan tangannya ke lengan Doni setelah meletakkan dua piring nasi goreng di hadapan kami.

    "Eh anu, i... iya dek, ini lagi ngomongin betapa cantiknya dirimu dek," jawab Doni salah tingkah. Doni menatapku seperti hendak meminta pertolongan.

    "Aaaaaah, bang Doni bisa aja deh," Sarah mengeratkan gelayutannya kepada Doni sehingga pemuda itu sesak nafas. Sarah terlihat senang bak orang yang tengah memenangkan lotre 1 milyar rupiah. "Aku cantik banget ya bang?"

    "Cantik, kayak malaikat yang turun dari Kayangan," jawab Doni horror. Aku terkikik sendiri mendengar jawaban Doni. Sedangkan si Sarah malah merona sambil menggeram bak singa betina lagi horni.

    "Kayangan, memang Mimi Peri," ujarku membatin.

    "Bang Doni bisa aja deh," Sarah mencubit pipi Doni gemas. Pantas Sarah mendadak manja ke Doni, terlihat ada perbedaan Doni dari biasanya. Klimis dan terlihat tampan. Dia mengubah potongan rambutnya dan sedikit bersolek. Si Doni yang mendadak tampan memandangiku meminta pertolongan.

    Aku berdehem sambil menatap Sarah, "dek, abang dengar tadi Bu De manggil tuh," ujarku.
    Sebenarnya ibu kosku itu tidak memanggil anak semata wayangnya, hanya aku saja yang tengah mengarang cerita berusaha menyelamatkan Doni yang nampak tersiksa digelayuti Sarah saat ini.

    "Iya bang?" Dia cukup kaget.

    "Iya, nggak salah abang dengar Bu De manggil nama kamu deh. Cepetan gih, ntar beliau marah lagi."

    Sarah lalu beringsut. Dia nampak tidak rela melepaskan pelukannya dari Doni. Gadis itu melirik Doni yang nampak bernafas lega sejenak, kemudian melirik ke arah luar sebelum akhirnya mohon ijin untuk keluar kepadaku dan Doni. Setelah memastikan bahwa gadis itu telah turun ke bawah, Doni langsung menyerocos bak petasan bulan puasa.

    "Anjiir... Gue baru di peluk Mimi Peri coy," dia bergidik ngeri, membuatku terkikik.

    "Lagian sih lo pakai susuk apaan sampai Sarah sampai pangling ke lo?" Aku menyodorkan sepiring nasi goreng yang dibawakan Sarah ke hadapannya. "Makan gih, ntar keburu dingin."

    Dia menunjuki piring, "nggak ada peletnya kan?" Doni balik nanya.

    "Nggak anjir... Lo yang pake pelet, bukan dia."

    Doni tertawa sambil menyuapi nasi goreng Bu De yang yahud itu. Seperti mengetahui bahwa aku tengah menatapnya, Doni menyeletuk, "kenapa, lo juga ikutan pangling ya lihat gue?"

    "Nggak pangling sih," aku memalingkan wajah salah tingkah, "but you look different."

    "Ah, iyakah? So berarti gue udah bisa dong ngegaet Widia ntar?"

    "Gue kira lo masih betah ngejomblo?"

    "Anjiir, ya nggak lah. Gue juga manusia normal kali, butuh belaian dari lawan jenis." Dia terkawa sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya. Nampaknya dia tidak sadar kalau aku tidak suka secara seksual dengan lawan jenis.

    "Jadi gue nggak normal dong?"

    "Sorry ya, tapi emang benar kok. Cowok kok suka batangan sih. Kita itu diciptakan Tuhan itu berpasangan, cowok sama cewek. Tapi ya, selagi lo nggak suka sama batang gue mah, gue akan nganggep lo normal kok," ujarnya geli.

    "Iya deh pak Ustadz.
    Lagian gue juga nggak suka batang lo kok, kecil begitu."

    "Emang lo udah pernah lihat?" tantang Doni yang sukses membuatku gemas.

    "Belum sih. Tapi kalo lo mau liatin ke gue boleh juga tuh," aku melirik selangkangannya yang terekspos di depan piring.

    "Nah kan, gue curiga sebenarnya lo emang doyan punya gue kan?" Doni meremas dengan erotis selangkangannya hingga membuatku bertambah gemas. Nafasku mendadak tertahan. Tahan, dia itu sobatku, jangan sampai aku lupa diri.

    "Doyan kontol sih iya, tapi doyan punya lo ya gue fikir-fikir dulu deh. Tapi sebagai cowok nggak normal, gue sih mau-mau aja liat kontol lo," jawabku cuek sambil menyuap nasi goreng buatan Bu De. "Nggak usah bahas gituan ah," tandasku.

    "Ya udah," Doni menghembuskan nafas, "jadi lo kemana nanti? Besok udah tahun baru loh."

    Aku melirik kalender yang terpajang di dinding. Nggak nyangka sebentar lagi tahun akan berganti. "Ng... Nggak kemana-mana sih, di kosan aja."

    "Bagus," ujar Doni bersemangat, "temenin gue ya, nyari baju baru buat tahun baruan besok."

    "Manja banget lo minta di nenenin segala. Nggak ah malas gue, pergi sendiri aja."

    "Ayolah, tolongin gue. Masak sobat sendiri lo nggak mau nolongin sih. Kalo nggak sama lo, gue minta tolong sama siapa lagi coba," ujar Doni memelas, "yayaya, please."

    Gue mendadak teringat akan sesuatu. "Beasiswa lo udah cair?"

    Doni nampak tersenyum malu-malu sebelum akhirnya mengangguk. "Turunnya telat sih, dan masih separuh juga. Tapi cukuplah buat membeli keperluan," jawabnya malu-malu. "So makanya temenin gue, ntar lo gue traktir."

    Aku melirik jam yang baru menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku berpura-pura berfikir keras di depan Doni yang menatapku penuh harap. Tidak ada salahnya juga aku pergi menemani Doni, sekedar cari angin. Walau aku tidak akan merayakan tahun baru, mana tahu ada yang bisa aku bawa pulang nanti. Hehehe.

    Aku menghembuskan nafas berat, "yaudah sampai sore ya. Gue mandi dulu."

    Dan Doni berteriak kegirangan.

    ---

    Doni POV

    Gue melajukan motor gue ke Grand Plaza, pusat pertokoan terbesar di kota gue. Gue mengajak sohib gue karena gue tahu selera fashionnya yang berkelas. Dia bisa memberikan gue masukan-masukan supaya tampilan gue keren di depan Widia pas tahun baru nanti. Selain itu, beberapa hari ini dia memilih untuk mengurung diri di kamar, khas manusia-manusia patah hati, membuat gue terpanggil untuk mengajaknya keluar untuk sekedar cari angin berhubung dompet gue lagi tebal saat ini.

    Kita sampai di parkiran Grand Plaza yang telah penuh sesak tepat tengah hari. Gue sudah yakin Grand Plaza sangat ramai hari ini karena besok tanggal 31 Desember. You know what i mean right? Tahun baruan. Setiap manusia yang akan merencanakan tahun baruan besok pasti sedang mencari pakaian baru untuk dikenakannya besok malam.

    Oh ya, soal tahun baru, rencananya gue mau ngajakin Widia tahun baruan bareng gue. Rini sama Alfi juga sudah setuju kita tahun baruan bareng di tugu jam kota. Jangan lupakan sohib gue yang pasti nggak akan gue lupakan dari daftar manusia yang akan ikut tahun baruan bareng gue. Gaga berkemungkinan juga ikutan gabung bareng kita. Dia sudah menjadi anggota tidak tetap dari geng.

    "Yang mana yang cocok buat gue?" tanya gue pada calon psikolog masa depan yang ada di depan gue. Gue menyodorkan dua buah baju yang menarik perhatian semenjak gue masuk ke bagian pakaian tadi. Dia terlihat berfikir keras, sesekali mematut matut gue hingga akhirnya menjatuhkan pilihan ke baju yang ada di tangan kanan. Gue puas karena dia memilih apa yang sesuai dengan hati kecil gue.

    "Lo nggak beli baju?"

    Dia melirik gue sekilas lalu membuang muka. "Untuk apa?"

    "Untuk tahun baruan lah bego. Kali ini gue yang traktir, silahkan lo pilih yang bagus menurut lo. Tapi jangan terlampau mahal."

    Dia menggeleng lemah tanda tidak begitu antusias dengan perayaan tahun baru besok. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang mana dia yang paling heboh diantara kami bertiga.

    "Nggak, makasih. Gue nggak ikut tahun baruan tahun ini deh," tolaknya.

    "Yakin lo nggak bakalan ikut tahun baruan? Gue sama Rini bakalan tahun baruan bareng loh. Kayak yang sudah-sudah."

    "Tapi semua udah berbeda Don," dia menatapku getir, "tidak seperti yang dulu lagi." Dia mengalihkan pandangan menatap baju yang tergantung dengan tatapan hampa. Kenangan masa lalu pasti mengeruak di otaknya sekarang.

    "Pastilah beda njir. Bedanya dulu gue yang jomblo, sekarang lo yang jomblo," ujar gue sambil tertawa kecil.
    Bukannya gue nggak sensitif dengan apa yang terjadi dengan sobat gue belakangan ini, tapi gue tidak ingin dia terus larut dengan kenangannya bersama si kampret Reza.

    "Terserah lo. Lagian emang lo udah punya pacar?" Dia melirik gue dengan senyum mengejek, "Ada juga ya cewek yang mau sama lo?" ledeknya.

    "Bukan pacar sih, calon pacar. Lo doain deh, semester depan gue bisa jadian sama dia."

    "Widia pasti udah lo dukuni," ujarnya sarkas.

    Gue tertawa, "nggak lah, gue nggak percaya hal-hal gituan. Widia sebenarnya adalah wanita beruntung yang dapat melihat pesona ketampanan gue yang sebenarnya."

    Sobat gue mengibas-ngibaskan tangannya sambil berpura-pura muntah, mungkin jengah dengan pernyataan gue yang benar tersebut. "Terserah lo dah, gue iyain aja."

    "Mengiyakan kalo gue tampan kan?" Goda gue sambil menyenggol pinggangnya. Dia cuman diam sambil memilih-milih baju yang ada di depannya, menghentikan pembicaraan diantara kami. Gue lalu membiarkannya untuk memilih baju sementara gue berjalan menuju bagian lain dari plaza tersebut.

    Tiba-tiba mata gue tertuju kepada seseorang yang sangat gue kenal, setelah dia sukses menjadi "papa" alias perebut pacar dari sobat gue. Alvin, cowok sok cantik itu tengah menggandeng seorang lelaki berusia sekitar lima puluhan berbadan tambun dengan manjanya. Mereka terlihat sangat mesranya bak sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara. Kalian bayangkan saja sendiri.

    Gue melirik sekilas sobat gue yang tengah sibuk memilih baju, sebelum akhirnya gue berinisiatif untuk mengikuti dua manusia yang telah putus urat malunya itu. Dari gelagat mencurigakan dua makhluk sejenis tersebut, dari hasil analisa gue, gue yakin Alvin adalah peliharaan dari si om ini, terlepas dari hubungannya dengan Reza saat ini.

    Mereka berjalan ke arah belakang Grand Plaza yang masih direnovasi. Tempat yang sama ketika gue dan Rini menangkap basah Reza tengah berselingkuh dengan Alvin dulu. Pria setengah baya itu dengan semangat menyeret Alvin ke arah deretan ruko kosong yang sarat akan cahaya. Guepun turut mengambil posisi bersembunyi di salah satu bagian dari ruko tersebut.

    Alvin mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia terlihat ragu, sedangkan pria tua tersebut menyentak-nyentak tangan si jalang itu untuk melakukan sesuatu. Gue menahan nafas ketika Alvin meletakkan barang belanjaannya, lalu dengan gerakan cepat membungkuk tepat di depan selangkangan pria yang kita panggil saja dengan sebutan si om. Dia dengan berhati-hati membuka resleting celana yang ada di depannya dan "boom", dia mengeluarkan pistol keramat kepunyaan si om yang telah mengokang menantang Alvin siap memuntahkan peluru hangatnya.

    Dan kejadian yang tidak perlu gue ceritakan secara detail ke kalian terjadi di depan mata gue. Sebagai pria normal, mendadak perut gue mual melihat ekspresi dari si om yang tengah memaju mundurkan kepala Alvin di depan selangkangannya. Dia terlihat sangat menikmati service yang dilakukan Alvin terhadap harta pusakanya itu. Mendadak gue mengingat sesuatu, hingga serta merta gue mengeluarkan ponsel dan merekam detik demi detik bukti kejalangan Alvin.

    Ketika suasana semakin panas, dengan tempo maju mundur yang semakin cepat serta tubuh si om yang melai bergetar hebat, tiba-tiba ponsel gue berdering. Alvin dan si om seketika berhenti dari aktifitasnya sambil menoleh ke arah gue sebagai sumber kegaduhan. Gue mengumpat sambil menyelinap pergi dari deretan ruko yang tengah di renovasi itu. Syukur mereka tidak melihat wajah gue karena remangnya suasana toko. Gue melihat layar ponsel dan nama sobat gue yang tertera di sana.

    "Halo, lo dimana Don?" tanya sobat gue di seberang sana. Nampaknya dia masih di bagian penjualan pakaian.

    "Gue lagi di toilet," jawab gue. "Lo tunggu saja di sana, gue bentar lagi siap," tandas gue sambil memutuskan panggilan sepihak. Gue sedikit kesal dengan panggilan sobat gue itu yang tidak tepat waktu. Seharusnya dia lihat situasi dan kondisi dulu dong kalau mau nelpon orang.

    Gue langsung memeriksa galeri ponsel gue apakah rekaman tadi apakah masih ada atau tidak. Dan syukurlah, rekaman berharga itu tersimpan secara otomatis di ponsel gue. Gue menghembuskan nafas lega dengan senyum licik terpatri di wajah gue yang ganteng ini. Ini akan menjadi barang bukti sekaligus senjata pamungkas untuk menghancurkan si pengkhianat Reza di kemudian hari. Gue merasa sepasang tanduk telah muncul di kepala gue.

    Gue melirik ponsel gue sejenak. Gue teringat akan Rini lalu menelfonnua mengajak ketemuan di kosan sobat gue. Dia terdengar ogah-ogahan sebelum akhirnya menyanggupi untuk datang ke kosan sobat gue nanti sore. Entah kenapa gue merasa bahwa gue harus memperhatikan video menjijikkan ini ke Rini. Gue sangat bahagia karena gue bisa menghancurkan Reza dengan video pengkhianatan ini. Dengan semangat 45 kuadrat, gue bergegas kembali ke bagian pakaian tempat sobat gue berada.

    Gue cukup kesulitan menemukan sobat gue diantara para pengunjung Grand Plaza yang membeludak. Gue merogoh ponsel gue hendak menelponnya ketika gue menangkap sosoknya tak jauh dari posisi gue. Dia nampak sedang berbicara dengan seseorang yang sepertinya gue kenal.

    Gue lalu perlahan mendekati sobat gue yang terlihat salah tingkah. Mendadak emosi gue tersulut ketika gue tahu bahwa pria yang tengah berbicara dengan sobat gue itu adalah si keparat Reza. Pria brengsek itu nampak merayu sobat gue, dan kurang ajarnya lagi dia dengan berani-beraninya menggenggam tangan sobat gue di tengah keramaian seperti ini.

    Sumpah gue sangat marah dengan apa yang tengah dilakukannya saat ini, seakan lupa apa yang telah dia lakukan dulu ke sobat gue. Pria brengsek tidak tahu diri. Sobat gue terlihat luluh dengan rayuan Reza yang nampak menghiba-hiba di depannya. Gue perlahan mendekat lalu berdehem tepat di belakang sobat gue. Dua manusia sejenis itu langsung menoleh ke arah gue dengan muka kaget. Terlebih sobat gue, dia bak penjahat kelas teri yang langsung tertangkap basah melakukan kejahatan untuk pertama kalinya.

    "Doni?" ucap sobat gue menatap gue dengan wajah yang sulit gue fahami.

    --- tbc
    R~

    ------
    Hallo minna, gue mohon maaf karena baru bisa update hari ini setelah sekian lama gue anggurin nih cerita. Bukannya gue nggak mau ngelanjutin cerita ini, nggak, cuman beberapa bulan ini gue agak sibuk dengan aktivitas keseharian gue sehingga waktu yang gue khususkan untuk mengetik cerita ini jadi terpakai. So tentu hal ini berimbas langsung kepada pempublikasian cerita ini.
    Kemudian, kalau ada hal-hal baik itu penulisan atau jalan cerita yang nggak seperti biasa, gue kembali mohon maaf.
    So, jangan lupa vote dan komentar membangunnya. Selamat membaca, selamat berhari libur dan selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan.
    R~
Sign In or Register to comment.