It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@akina_kenji Huhuhu nampaknya ad pengalaman pribadi nih kak. Wkwk
@RenataF Belum tahu juga sih, itukan masih sekedar dugaan.Tapi semoga aja sih iya kan.
@lulu_75 @adrian69 @digo_heartfire @rama212
@o_komo @RakaRaditya90 @boyszki
@QudhelMars @akina_kenji @Secreters
@Algibran26 @rama_andikaa @DafiAditya
@viji3_be5t @riordanisme @happyday
@CouplingWith @andrik2007 @josiii @master_ofsun @Feri82 @RenataF @Satria91 @aris_
Selamat membaca...
Bagi yang nggk mau di mention lagi, bilang ya.
Nada dering ponsel membangunkanku dari tidur. Dengan mata terpejam, aku berusaha meraba-raba nakas yang ada disampingku, mencari keberadaan ponselku yang tetap terus berdering itu.
Setelah menemukan benda persegi panjang yang sering berbunyi itu, aku langsung mengangkat panggilan dari seseorang yang tidak tahu waktu itu dengan mata yang masih terpejam.
"Hallo," jawabku malas, "Ini siapa ya?" tanyaku tanpa basa basi.
"Halo dek." Terdengar suara seorang pria yang terdengar tidak asing di seberang sana. Aku membuka mata sambil melihat layar ponselku, memastikan siapa yang telah menelponku semalam ini.
"Hallo, masih di sana?" ujarnya lagi, membuatku kembali mendekatkan ponselku ke telinga. Tidak lupa aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru kamar sebelum menjawab pertanyaannya.
"Eh iya halo," jawabku sambil memperbaiki posisi tidurku. Sejak kapan Gaga pergi dari kosanku.
"Udah bangun kan dek?"
"Mmm..., aku belum bangun nih kak, masih di alam mimpi," jawabku yang membuat pria yang tengah menghubungiku itu terkekeh. Aku lalu melirik jam yang tergantung di dinding kamar, "Kakak sih nelpon jam segini, ayam jantan aja juga belum bangun."
"Maaf ya dek, kakak cuma mau mastiin kamu nggak kenapa-kenapa kakak tinggal."
"Emang kenapa aku harus dipasiin banget kak?"
"Ya, mana tahu siap adek kakak tinggal, adek di apa-apain sama hantu kan," ujarnya disertai tawa di ujung perkataannya tadi. Aku mendengus menggerutu dalam hati dengan perkataanya yang seolah menyindirku secara tidak langsung.
"Kakak sih, pulang nggak bilang-bilang. Kalau adek kenapa-kenapa, kakak mau tanggung jawab?"
"Maaf ya dek, kakak ada kuliah pagi, jadi dengan terpaksa kakak harus pulang tadi malam. Lagian kamu juga tidurnya nyenyak banget, jadinya kakak nggak enak buat bangunin adek."
Aku mengangguk-angguk mendengar jawabannya. "Jadi kakak yang mindahin aku ke atas kasur?"
"Nggak dek," Gaga menahan perkataannya, "Tadi malam ada hantu ganteng yang mindahin kamu dari meja ke kasur dek," jawabnya geli. Aku tidak bisa menahan senyumku mendengar jawabannya yang nyeleneh itu.
"Oh ya? Kok aku nggak yakin ya?"
"Adek saja sedang tidur, mana tahu di gedong sama hantu ganteng."
Pernyataan Gaga membuatku tidak sanggup untuk tidak tersenyum. Aku tahu bahwa yang dia maksud hantu ganteng itu adalah dirinya sendiri. Pria itu sangat percaya diri dengan kegantengannya -yang memang aku akui itu. Wajahnya sangat tampan, setampan Reza yang dulu berhasil memabukkan hatiku. Wajah dan postur mereka yang mirip, bahkan sifat mereka yang mirip. Aku seperti menemukan sosok Reza di dalam sosok Gaga yang cepat akrab denganku itu.
"Halo dek?"
Aku terkesiap sambil menggeleng-gelengkan kepala. Aku harus ingat, Gaga dan Reza itu adalah orang yang berbeda. Aku tidak boleh menyamakan mereka, terlebih ketika aku sedang berusaha untuk melupakan Reza yang terus menghantuiku saat ini.
"Eh ya kak," jawabku terbata-bata.
"Kok diem sih? Ada apa?"
"Eh nggak ada kak, aku cuman ngebayangin seganteng apa hantu yang menggendongku tadi malam," jawabku asal. Gaga terdengar terkekeh di seberang sana sebelum dia berdehem sejenak.
"Nggak usah di bayangin dek, hantunya mah kalah ganteng sama kakak. Jadi kalau ingin tahu kayak apa hantunya, liat aja wajah kakak."
Aku memutar bola mataku. Pria ini lama-lama dapat membuatku tersenyum lebar dengan tingkat percaya dirinya yang diatas rata-rata.
"Jangan tersenyum ya dek."
"Nggak kok kak, aku nggak tersenyum kok," kilahku sambil menahan tawa. Dia terdengar tertawa di seberang sana.
"Tapi ketawa kan?" tebaknya yang membuatku terkikik.
"Dasar hantu," aku menggigit bibirku gemas, "tahu aja."
Gaga terdengar bergumam di seberang sana.
"Oh ya kak, makasih udah bangunin aku ya. Aku bisa ngeprint tugas Pak Syamsul."
"Tugas kamu sudah kakak print loh dek."
Aku mengerutkan kening sambil melirik mesin pencetak tua yang aku beli di pasar loak setahun yang lalu. "Oh ya kak?"
"Udah kakak jilid malah. Coba deh kamu lihat di meja belajar kamu, ada nggak?" ujar Gaga sehingga aku lalu menoleh ke arah meja belajar. Makalah bersampul ungu nampak terletak rapi di atas laptopku. Aku lalu menuju ke arah meja belajar dengan senyum simpul terpatri di wajahku.
"Maaf ya kak, udah repot-repot memprint dan menjilid segala."
"Nggak apa-apa kok dek. Dari pada kamu keteteran untuk menjilidnya pagi, mendingan kakak tolong aja sekalian."
Aku tersenyum simpul, "makasih ya kak."
"Don't mention it dude. Lagian juga kertas penjilidnya juga ada, ya sekalian aja kakak jilid. Bay the way mau buka bisnis fotocopy ya?"
"Sebenarnya iya sih kak, mulai dari jilid makalah dulu. Tapi sayang nggak ada modal untuk beli mesin fotocopy ," selorohku sambil menahan tawa. Aku lalu membalik-balik makalahku sambil berseloroh kepada pria FE itu. "Jilidnya rapi ya kak, bisa dong jadi karyawanku nanti."
Gaga terdengar tertawa di seberang sana, "terima kasih untuk pujiannya," ujarnya. Dia terdengar terdiam sebelum menarik nafas dalam. "Mmm..., Kamu kuliah pagi dek?"
"Mmm... Iya kak."
"Kakak jemput ya?"
Aku terdiam sejenak memikirkan tawaran seorang Gaga Fernando Januar. Mungkin sebaiknya aku menerima tawarannya itu, untuk menghemat waktu dan uang tentunya. Sayang sekali apabila tawaran tersebut aku tolak.
"Gimana dek?"
"Oke kak, jam setengah tujuh ya. Aku tunggu loh di kosan."
"Oke, setengah tujuh kakak jemput adek ya."
---
Ponselku kembali berdering ketika aku tengah bersiap-siap pergi ke kampus. Aku yang sedang mematut diri di depan kaca, serta merta menyambar ponsel yang tidak jauh dari jangkauanku. Si pemanggil yang tertampang di layar ponselku membuatku mengerutkan kening. Tumben sekali beliau menelponku sepagi ini. Aku lalu mengangkat panggilan tersebut dengan berhati-hati, setelah merasakan sesuatu yang tidak beres dari panggilan telepon itu.
"Hallo Bu De?" tanyaku sambil melirik kalender di meja belajar. "Ada apa ya Bu De?"
"Kamu sekarang lagi dimana ganteng?" tanya beliau dengan nada ramah. Berarti biaya kosku yang dikirim ibu bulan ini sudah sampai ke rekening beliau.
"Di kamar Bu De, ada apa ya?"
"Kamu udah makan nak?"
Aku kembali mengerutkan kening sambil menggaruk tengkuk kepala. Tumben-tumbenan ibu kosku menanyakan hal seperti ini kepadaku. "Belum Bu De."
Ibu kosku itu terdengar berbicara dengan orang lain. Terdengar klasak klusuk tidak jelas sebelum wanita berbadan tambun itu berdehem lalu melanjutkan perkataannya. "Kamu makan bareng Bu De ya di bawah. Kebetulan Bu De masak lebih, sekalian ada yang ingin Bu De bicarakan dengan kamu," ujar beliau.
Aku melirik jam dinding, lalu mengiyakan ajakan langka dari ibu kosku itu. Wanita itu terdengar sangat senang sambil menutup panggilannya. Aku mengangguk-garuk tengkukku kebingungan dengan tingkah ibu kosku yang mendadak aneh.
Aku lalu mengemasi barang-barang yang akan aku bawa ke kampus nanti. Tidak lupa makalah setebal 29 halaman beserta cover, tugas dari Pak Syamsul Bahri aku masukkan kedalam ranselku. Aku juga memeriksa dompetku, memeriksa uang kosanku yang mulai menipis itu.
Setelah memastikan kamarku terkunci rapat, aku lalu turun ke lantai dasar sambil menuju ruang makan Bu De. Fikiranku masih menerawang dengan kemungkinan yang terjadi nanti. Mungkin Bu De hendak menaikan tarif sewa kamar kos, atau yang lebih ngeri lagi berniat hendak mengusirku dengan cara mengajakku untuk sarapan bersama terlebih dahulu. Aku kembali menggeleng mengenyahkan pikiran buruk tersebut dari fikiranku. Bu De mungkin saja sedang mengadakan syukuran sehingga mengundang anak kosnya. Ya pasti itu, bukan yang lain. Aku harus bergegas sebelum sarapan yang disiapkan Bu De tandas oleh penghuni kos yang lain.
Aku mengucapkan salam kepada keluarga kecil tersebut. Nampak sepi. Hanya ada Pak De yang tengah membaca koran. Lalu Sarah, anak Bu De -yang sepertinya sedang menunggu kedatanganku. Ekspresinya langsung berubah ketika aku muncul dari pintu sambil membaca salam. Dan Bu De yang tengah menyiapkan hidangan, nampak tersenyum gembira dengan kedatanganku. Tidak ada penghuni kos yang lain di ruang makan. Mengetahui kedatanganku, wanita berdaster loreng macan dan rol rambut di kepalanya itu langsung menyambutku dan menyuruhku untuk duduk.
"Kamu suka telur dadar atau mata sapi, ganteng?" tanya Bu De yang kembali berkutat dengan wajan penggorengannya.
"Telur dadar saja Bu De," jawabku salah tingkah. Tidak lupa, aku melirik Sarah yang nampak seperti hendak membrondongku dengan pertanyaan.
"Bang," panggil Sarah sambil memutar-mutar ujung rambutnya yang tergerai itu. Dia seperti mengetahui bahwa aku sedang mengawasinya saat ini. "Yang semalam itu siapa abang sih?" tanyanya menatapku penuh rasa penasaran.
Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan gadis kelas XII SMA tersebut. Aku mulai mengerti sekarang. Jadi ini alasan Bu De memanggilku makan bersamanya pagi ini, tanpa mengajak penghuni kos yang lain. Bu De hendak menginterogasiku rupanya. Sama kejadiannya ketika Reza datang pertama kali ke kosanku beberapa tahun yang lalu.
Aku menggigit bibir bawahku sambil tersenyum jahil ke arah gadis baru gede itu. "Dia pacar abang dek," jawabku.
Sarah langsung melipat tangannya sambil menatapku jengah. Nampaknya guyonanku itu tidak mempan lagi untuk keluarga ini seperti setahun yang lalu, saat mereka menanyakan siapa cowok yang menginap di kosanku malam itu. Pak De tersedak dengan minumannya, Sarah yang melongo panjang, dan Bu De yang hampir pingsan di buatnya. Syukurlah Reza saat itu juga turut makan bersama kami berhasil menenangkan suasana dengan mengatakan bahwa apa yang aku katakan, bahwa aku dan Reza berdua berpacaran, itu hanyalah sebuah candaan.
"Jangan becanda ganteng," ujar Bu De sambil meletakan sepiring nasi goreng di hadapan suaminya. Wanita tambun itu duduk di sampingku sambil menyendoki beberapa sendok nasi goreng ke piring, "Cowok semalam siapa ganteng?" tanya ibu kosku itu penasaran. Beliau lalu menjejali piringku dengan sayuran dan sebuah telur dadar besar yang baru keluar dari penggorengan. "Ini di makan."
"Terimakasih Bu De." Aku menerima sepiring nasi goreng tersebut dengan senyum sumringah. Nampaknya beliau sangat penasaran sehingga kembali mengulang pertanyaan yang sama untuk yang kedua kalinya.
"Dia teman aku Bu De," jawabku disertai cengiran. Wanita tambun itu melongo panjang dengan mata menerawang. Mungkin memikirkan pertanyaan lanjutan.
"Anak Psikologi juga?" tanyanya lagi sambil mengisyaratkanku untuk memulai makan. Sarah yang sedang menyendok nasi gorengpun nampak antusias.
"Nggak Bu De, dia anak Fakultas Ekonomi. Kita saling kenal saat menemani Doni ke kota sebelah," jawabku seadanya. Wanita itu mengangguk-angguk dengan senyum puas.
"Namanya siapa bang?" tanya Sarah yang hendak menyendok nasi ke dalam mulutnya. "Semester berapa?"
Aku memandangi gadis itu sejenak. "Namanya Gaga Fernando Januar dek. Kita satu tahun masuk," jawabku.
"Tapi teman abang itu terlihat kebih dewasa deh," Sarah mengecilkan volume suaranya, menatapku berhati-hati, " kalau di banding abang," ujar gadis berambut panjang terurai itu, sehingga sang ibu lalu nempelototinya.
Aku tidak ambil pusing dengan ucapan Sarah tadi. Apa yang dikatakan gadis itu ada benarnya juga. Gaga terlihat lebih dewasa dibanding aku maupun Doni. Walaupun secara kelahiran, dia memang lebih tua daripada diriku 72 hari.
"Emang dia semalam bertemu dengan Bu De?" Aku menoleh ke arah ibu kosku.
"Iya ganteng, semalam sekitar jam dua belasan, anak itu...," Bu De seperti berfikir keras, "siapa namanya?"
"Gaga Bu De," jawabku.
"Ah ya, nak Gaga itu mengetuk pintu rumah mohon izin untuk pulang. Bu De sempat pangling lihat wajahnya sebelum sadar ada orang asing di depan pintu. Bu De lalu memanggil Sarah. Anaknya rupanya ramah dan sopan, meminta Bu De untuk mengunci pintu kamar kamu. Tidak lupa dia juga mengangkat kamu dari meja ke atas kasur. Huh setia kawan sekali kawan kamu itu nak," ujar Bu De sambil menerawang menatap meja.
"Dia perhatian banget sama abang, sampai nyelimutin abang segala. So sweet banget," ujar Sarah sambil bertopang dagu dengan mata menerawang entah kemana. Kedua wanita yang ada di samping dan depanku itu nampak sibuk dengan khayalannya masing-masing. "Temannya aja perhatiannya kayak gitu, apalagi kalau pacar ya," gumam gadis itu lalu terkikik menutup wajah.
Aku hanya bisa melongo, lalu menoleh ke arah Pak De yang sedang menikmati makanannya. Beliau seperti tidak terganggu dengan sikap anak dan istrinya yang mendadak aneh itu.
"Eh ganteng, mobil itu punya dia ya?" Bu De mencubit lenganku dengan semangatnya. Sambil mengelus-elus lenganku yang sakit aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Bu De tadi. Bu De nampak senang sambil melirik anaknya yang sedang menatapku itu.
"Berarti nak Gaga anak orang kaya ya?"
Aku mengedikkan bahu, "nggak tahu juga sih Bu De, tapi nampaknya iya deh."
Mata kedua anak beranak itu kelihatan berbinar-binar. Sarah yang aku tahu sudah mempunyai pacar brondong itu menatapku malu-malu sambil menggigit bibir bawahnya. Tidak lupa memprlintir-plintir ujung rambutnya. "Anu bang. Bang Gaga itu udah punya pacar belum?" tanyanya malu-malu. Pertanyaanya membuatku sedikit kaget. Aku berfikir sejenak sembelum tersenyum ke arahnya.
"Gaga kalau yang kakak tahu udah punya pacar deh Sar," ujarku sambil memegang tangannya. Gadis itu kelihatan kecewa, berbeda dengan hatiku yang mendadak senang setelah melihat ekspresi anak ibu kosku itu.
Ibu kosku mengibas-ngibaskan tangannya. "Udah, nggak usah di fikirkan. Bisa aja salah kan," tukas Bu De yang mungkin bermaksud menghibur anaknya. Wanita itu menoleh ke arahku, "cowok ganteng yang kemarin-kemarin kemana nak? Kok nggak di ajak ke sini lagi?"
Suapanku terhenti mendengar pertanyaan Bu De. Aku tahu pasti yang beliau maksud adalah Reza, karena selain Doni, hanya Rezalah yang pernah aku bawa ke kosanku."
Aku melirik Bu De sekilas, sambil melanjutkan suapanku yang terhenti tadi. "Maksud Bu De Doni?"
"Bukan nak Doni. Tapi siapa itu, teman kamu yang pakai motor gede itu, yang pernah nginap di kosan kamu itu. Ah lupa Bu De namanya."
"Reza maksud Bu De?"
"Ah iya, kenapa dia nggak ke sini lagi?" tanya Bu De.
Aku terdiam cukup lama, saking lamanya, Pak De yang tidak suka ikut campur urusan orang itu juga menatapku. Aku menarik nafas panjang sambil berusaha mengulum senyum. "Doi sibuk sekarang Bu De, maklumlah mau akhir semester. Kebetulan juga dia udah punya pacar baru juga," jawabku sambil menekan kata pacar baru.
"Mungkin pacarnya itu nggak seperti dia harapkan nak," ujar Bu De yang dengan telak berhasil menohokku secara tidak langsung.
Aku tertunduk sambil mengaduk-aduk nasi goreng yang ada di depanku. Nafsu makanku tiba-tiba hilang akibat pernyataan ibu kosku itu.
"Lah loh kok kamu yang sedih sih ganteng?" tanya Bu De membuatku menatap wanita itu lekat-lekat.
"Nggak kok Bu De," elakku.
"Walaupun udah punya pacar baru, sekali-kali ajak juga lah temanmu ini ke sini."
Aku mengangguk sambil tersenyum kecut. Bu De lalu tersenyum sambil melanjutkan makan beliau. Permintaan Bu De terdengar mustahil di fikiranku, setelah apa yang telah di lakukan mantanku itu padaku.
"Tapi yang jelas, bang Gaga sering di ajak ke sini ya bang. Sarah ingin kenalan sama dia," ujar gadis itu bersemangat. "Sekalian pengen di ajakin oleh teman kakak itu jalan-jalan sama mobilnya," ujar gadis itu, sambil menutup wajahnya yang memerah dengan tangan. Bu De nampak mempelototi anak gadisnya yang kegatelan itu.
"Mobilnya warna merah ya," Pak De terdengar bersuara dengan koran pagi yang terentang menutupi wajahnya. Kami bertiga serentak menoleh ke arah pria paruh baya tersebut dengan wajah penasaran.
"Dari mana Papa tahu? Papa kan semalam udah tidur," tanya Sarah sambil menatap wajah ayahnya yang tertutup koran. Pria itu lalu menurunkan koran yang beliau baca dengan malas. Dengan isyarat mata, beliau menggiring pandangan kami kearah satu titik di luar sana. Mataku lalu tertuju ke arah halaman kosan yang tidak seberapa luas itu. Gaga, si pria FE itu nampak keluar dari mobil bewarna merahnya itu sambil menatap ke arah kamar kosanku.
Aku hanya bisa menepuk jidatku sendiri ketika mendengar pekikan tertahan anak ibu kosku sendiri.
Gaga menjemputku di saat yang tidak tepat rupanya.
---tbc
R~
@RenataF Wkwk nampaknya begitu dek, sampai nyuruh sarapan bareng segala.
Lah kok bsa bilang gtu?
@andrik2007 Gimana lagi atuh bang, kodrat manusia zaman sekarang emang gtu yes.