It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sipo2 kakak, d tunggu yes.
@b_hyun Semoga nggk lama lgi bang, ini lgi proses produksi bang. Walau sering tersendar waktu n ide.
@QudhelMars Mau apa dek? Mau d tembak juga?
@hikaru Sipo2 kakak.
Aku baru saja keluar dari pekarangan gedung ungu sebelum sebuah motor hampir saja menabrakku. Beruntung, aku dapat langsung menghindar seraya mengumpati si pengendara motor yang malah tertawa tanpa ada rasa penyesalan karena hampir saja mencelakaiku.
"Setan lo Don!" aku menoyor kepalanya yang terlindungi helm. Dia tertawa sambil memegangi perutnya, sesekali memukul-mukul pahanya. Dia terlihat sangat senang dengan kekagetanku karena hampir ditabraknya. "Kalo gue beneran ketabrak gimana, lo mau tanggung jawab?" lanjutku.
Dia menatapku sambil menahan tawa. "Tunggu dulu. Kok gue yang harus tanggung jawab sih?," kilahnya yang membuatku menyerngitkan dahi, "sama Gaga gih sono minta tanggung jawab. Kan semalaman lo sama dia. Jadi apa yang terjadi, lo minta tanggung jawabnya sama dia, bukan sama gue."
Aku memutar bola mata jengah dengan ocehan Doni yang mulai ngawur. "Apa hubungannya ketabraknya gue sekarang dengan Gaga yang semalam dengan gue?" tanyaku sambil bersandar di tepi pagar. Melihatku yang bersandar di tepi pagar, Doni lalu mematikan motornya dan menepikannya ke tepi trotoar.
"Ya kali aja lo...," dia menatapku dengan genit. Terlebih tatapan matanya membuatku ingin sekali memukul wajahnya.
"Ya kali apa?"
Doni menepuk dahinya sendiri. "Ya Tuhan, masak lo nggak faham sih maksud gue. Udah gede juga," ujarnya.
Lagi pula, cowok mana yang tidak faham maksud dari pembicaraannya itu. Tapi aku lebih memilih berpura-pura tidak faham untuk saat ini. Mimimal dapat membuatnya mengalihkan topik pembicaraan.
Doni tidak mau menyerah begitu saja. Dia kembali menggodaku sambil mengulang pertanyaannya yang tidak masuk akal itu. Aku menyerah sambil memutar bola mataku jengah. Doni terkekeh puas lalu mendekatkan wajahnya ke arahku, "eh lu nggak apa-apain dia kan?" tanya pria itu dengan suara pelan. Aku tahu maksud dari ucapannya itu. Ogah-ogahan, aku menggeleng malas sebelum topik pembicaraannya semakin liar merambat kemana-mana. Dia tersenyum nakal sambil menyenggol gue dengan sikunya.
"Beneran lo nggak ngapa-ngapain dia? Secara dia kan..."
"Lo apa-apaan sih Don," potong suara seorang wanita di belakang Doni. Serempak aku dan Doni menoleh ke arah sumber suara yang sukses membuat kami kaget itu.
"Lu nanya berbobot dikit dong Don," lanjut Rini berlipat tangan di atas motornya. Doni terlihat tidak terima dengan pernyataan Rini yang ada benarnya itu. Gadis manis itu lalu mendorong motornya sedikit ke tepi trotoar, persis di belakang motor Doni.
"Lo jalanin otak lo deh Don," dia ngelirik gue sejenak sebelum kembali menatap Doni. "Gue yakin sejuta persen kalau sodara kita ini nggak ngapa-ngapain Gaga, karena dia udah tidur duluan. Lo nggak lihat historinya Gaga semalam? Malah masuk akal kalau Gaga yang apa-apain dia. Ya itu kalau temen se fakultas lo itu sama gilanya kayak lo."
Doni mendengus di akhir perkataan Rini yang sebelas dua belas dengan ocehan Ibuku pas marah. Aku tidak bisa menahan tawaku melihat Doni yang tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah di kuliahi Rini. Dia nampak kesal sebelum melirik Rini kembali dengan ujung matanya.
"Gaga itu normal," bisik Doni.
"Lagian lo sejak kapan ada di belakang gue?" tanya Doni mengalihkan pembicaraan. "Lo udah kayak setan aja, tiba-tiba udah ada di belakang gue," lanjut Doni berpura-pura merinding. "Jangan-jangan lo jelmaan jejadian lagi," tandas Doni yang sukses membuatku tertawa.
Memang, kehadiran gadis berambut panjang yang mendadak dan tidak di sangka-sangka itu membuat kita berdua kaget sekaligus ngeri. Saking kagetnya Doni saja tadi sampai terlonjak dari motornya. Mungkin mulai dari sekarang, aku dan Doni harus ekstra hati-hati ketika hendak menggunjingkan Rini.
"Lebay deh," Gadis berhelem merah muda itu menoyor muka Doni. Gadis itu lalu menatapku, "nggak usah gitu deh ketawanya," ujarnya yang membuatku terdiam seketika. Aku tidak berani membuat perkara dengan Rini.
"Lagian gue udah lama kok. Kalian aja yang nggak sadar-sadar," Rini menggeleng-gelengkan kepala, "pantesan aja sampai sekarang masih pada jomblo, cewek secantik gue ada di belakang aja nggak sadar, apalagi kode dari cewek," sindir Rini yang membuat Doni terusik.
"Nggak usah bawa-bawa jomblo di sini."
Rini terkikik sambil menggoda Doni, "tersindir ya?" tak lupa tangannya mencolek pria yang telah lama sendiri itu.
"Apaan sih lo," Doni menepis tangan Rini. Rini nampak puas sambil menahan tawanya. Berbeda dengan Doni yang cemberut dengan bibir yang maju kedepan.
"Ciee..., Doni ngambek," goda Rini. Doni mendengus memasang tanpang yang masih sama, cemberut dengan bibir yang maju kedepan.
"By the way, bukannya siang ini lo ada acara sama Alfi ya?" tanyaku kepada Rini sekaligus mencairkan suasana yang mulai menegang. Gadis itu menghembuskan nafas berat sambil memasang muka bete. Dia melipat tangan di atas stang motor sambil merebahkan kepalanya di atasnya.
"Rencananya sih iya, tapi mendadak Alfi ada rapat sama Ketua BEM, jadinya mau nggak mau acara kita batal deh," jawabnya sambil meniup-niup rambutnya yang terurai dari sela helm. "Makanya gue ke sini mau ngajak lo jalan, tapi rupanya gue udah keduluan sama Doni."
"Yang sabar ya bu, kalo istri pejabat emang gitu. Sering di tinggal," ledek Doni sambil menepuk-nepuk bahu Rini.
Rini hanya bergumam sambil menyapu pandangannya ke sekeliling. Seperti mengingat sesuatu, dia lalu menoleh ke arahku, "Oh ya, gimana makalahnya? Di tolak lagi?"
Mendengar pertanyaan Rini membuat senyum langsung terukir di bibirku. Aku lalu mengeluarkan tugas yang tadi di periksa Pak Samsul dari dalam ransel dan menyerahkannya ke Rini. Gadis itu nampak antusias sambil menerima tugasku.
"Waw, A+ tanpa coretan," gumam gadis itu membalik-balik halaman tugasku itu. "Hebat lo ya."
Doni memandangiku hina, "ya maklum aja A+ Rin, makalahnya kan di bikinin Gaga," ujar Doni.
Aku mengulum senyum sambil menggaruk-garuk rambutku yang tidak gatal. Harus aku akui bahwa aku tidak berperan aktif dalam pembuatan tugasku kali ini. Berbeda saat aku dengan Reza dulu. Aku harus berjuang membuat makalah, dan Reza mengoreksi makalah yang aku buat itu. Rini mengembalikan makalahku sambil tersenyum penuh arti kepadaku.
"Apaan lo senyum-senyum?" tanyaku dengan bibir terseyum malu-malu. Tak lupa aku mengayunkan makalahku ke lengannya supaya dia berhenti menggodaku.
"Ciee dia salah tingkah tuh," goda Rini. "Udah semalam berdua, paginya di jemput, terus dapat nilai amat memuaskan, boleh dunk traktir kita-kita," ujar gadis itu.
"Apaan sih, ini pertengahan bulan loh neng. Gue nggak ada duit," jawab gue sejujur-jujurnya.
"Anjir dah, pelit banget lu jadi orang. Dasar anak kosan," Rini menggeleng-gelengkan kepala.
"Sombong banget lo jadi manusia, mentang-mentang tinggal bareng orang tua," tukas Doni. Pria itu tidak terima dengan perkataan Rini tadi, yang seperti menghinanya.
"Sekali-sekali yang tinggal bareng orang tua traktir gitu."
Rini terlihat berfikir seperti menghitung-hitung sesuatu. Beberapa saat dia lalu memandangi kami berdua bergantian.
"Ya udah deh, kita ke KF* yuk! Karena kalian pasti nggak punya uang, biar gue yang traktir," ujar Rini sambil menghidupkan motornya. Aku dan Doni berpandangan sebelum teriakan Rini menyadarkan kami berdua. Sudah dapat aku pastikan, senyum telah mengembang dari bibir kami berdua.
---
"Aksi kemarin luar biasa ya, sampai jutaan orang gitu," celoteh Rini sambil menggeser layar ponsel dengan tangan kanannya. Aku yang tengah membaca buku Psikologi yang aku pinjam dari perpustakaan kemarin, tertarik untuk mendekat ke arah Rini. Memang aksi yang bertajuk bela Islam kemarin sukses menjadi sorotan dunia.
"Hooh, katanya sih mencetak rekor Muri," jawabku sambil melihat layar ponsel Rini yang menampilkan ribuan orang berjejer rapi di Monas. "Tahun 2016 tahun yang panas ya," celetukku lagi.
"Apa yang panas?" ujar Doni meneteng napan besar berisi pesanan kami. Dia lalu menunjuk ke arah segerombolan cewek yang mejanya tidak jauh dari meja kami. "Mereka?"
Aku dan Rini saling berpandangan sebelum kami akhirnya tertawa berbarengan sambil menggelengkan tangan. "Bukan," jawabku dengan tawa lepas. Doni lalu meletakkan napan sambil menatapku antusias. "Kami nggak tertarik dengan yang begituan ya."
"Oh ya gue lupa, kalo kalian sukanya cowok-cowok ganteng," Doni mentertawakan dirinya sendiri, "sampai lupa gue."
"Ya, kita-kita nggak mesum kayak lo juga ya Don. Nampak yang wah langsung jelalatan," celetuk Rini sambil menahan tawa.
"Terserah kalian deh," jawab Doni sambil mencomot sepotong ayam goreng. "Jadi yang panas di sini apa ya? Masalah cowok?"
"Bukan," jawabku. "Kita lagi ngebicarain aksi kemarin," jawabku seadanya. "Kan sekarang negara kita lagi panas-panasnya."
"Owh itu, gue kira apa tadi," sahut Doni acuh tak acuh dengan jawabanku. Dia lebih tertarik menatap gadis-gadis tanggung berbaju kurang bahan yang beberapa meja dari kami, dibanding topik pembicaraanku dan Rini.
"Asalkan bukan kita aja yang panas, biarin aja deh," gumamnya sambil mengedipi salah satu gadis berbaju kurang bahan yang kebetulan menoleh ke arah kami.
"Ya deh," bisikku sambil menatap ke arah pintu gerai cepat saji tersebut. Seseorang di sana menarik perhatianku.
Rini menyenggol lenganku, "Lo ingat nggak, Taufik anak Fisika murni yang sekelas dengan kita saat MKU bahasa Indonesia dulu?" ujarnya penuh semangat.
"Cowok item manis yang berjanggut tipis itu?"
"Hooh, katanya dia ikut aksi kemarin ke monas. Padahal Selasanya, dia baru di tembak cewek bohay anak sejurusannya. Hebohlah anak FMIPA gegara latar belakang si Taufik yang anak Rohis.
"Trus, gimana?"
"Tapi syukurlah si cewek itu Jumatnya klarifikasi kalo dia cuma bercanda, dan lagi ngetes si Taufik aja. Hebatnya si Taufik tetap ikut aksi ginian walaupun lagi dilanda cobaan keimanan."
"Owh...," Aku mengangguk mengiyakan cerita Rini yang mengingatanku kembali dengan kejadian di atas mobil Gaga tadi pagi. Aku yang tidak suka melihat kedekatan anak ibu kosku yang genit dengan teman sefakultas Doni yang baru saja aku kenal. Aku bahkan sampai melakukan hal yang mempermalukkan diriku sendiri. Terakhir ajakan Gaga yang mengajakku berpacaran membuatku terdiam beberapa saat.
"Woi ngelamun aja lo. Mikirin Gaga ya?"
"Apaan sih lo Gaga Gaga mulu, lu suka ama dia?"
Dia terkikik, "ya nggak lah say. Alfi tetap di hati mah." Dia mengambil beberapa potong kentang goreng. "Gue kepo aja."
"Ya gue cuman mikirin si Taufik yang mungkin aja ikut ginian untuk menambah keimanan. Terbukti kan, si cewek itu akhirnya ngaku juga."
"Bisa jadi sih. Tapi yang gue denger-denger dia emang udah niat sejak dulu sih untuk ikut aksi ginian."
"Patut diacungi jempol juga tuh si Taufik. Setiap hal yang telah terniat di hati, emang harus dilaksanakan, walaupun kita dalam masalah," ujarku.
Kami berdua akhirnya sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku yang memikirkan kejadian tadi pagi dan Rini dengan fikirannya sendiri.
"Ngomong-ngomong soal Gaga, ada gerangan apa sampai-sampai dia ngejemput lo tadi pagi?" tanya gadis itu seraya memakan kentang goreng yang dia ambil tadi. Tidak lupa dia menyodorkan beberapa kentang goreng ke depan mulutku. Aku menghembuskan nafas sambil mengingat-ingat kejadian tadi.
"Nggak ada apa-apa kok," jawabku sambil mencomot kentang yang di sodorkan Rini. Aku melirik Doni yang sedang main mata dengan cewek bohay bertanktop merah jambu di seberang sana.
"Lo nggak ada apa-apa sama dia kan?"
"Nggak lah. Ngapain juga gue ada apa-apa sama dia. Lu kira gue cowok apaan?"
"Ya mana tau aja lo lagi dekat sama dia, sampai di jemput-jemput gitu," Rini memandangiku penuh arti, "atau jangan-jangan Gaga yang suka sama lo lagi?"
"Nggak!" sanggahku dan Doni bersamaan. Aku dan Doni saling berpandangan sebelum terdengar suara kikikan Rini.
"Barengan banget ngomong enggaknya?"
"Gaga itu normal," ujar Doni dengan suara pelan. "Lo jangan asal tuduh aja," ujarnya lagi, sedangkan aku turut membenarkan.
"Gaga itu normal kok," timpalku sambil mengingat kejadian tadi pagi. Dia hanya berpura-pura menembakku. Syukurlah melihat ekspresi tidak percayaku, dia langsung mengakui bahwa dia hanya bercanda.
"Ya gue kan hanya berspekulasi. Bentar lagi kan tahun baru, lo masih betah menjomblo kayak Doni?"
Aku terkikik sambil melirik Doni yang tidak suka di ledek Rini. Dia mengendus lalul melengos membelakangi kami, menatap kembali kumpulan cewek bahenol di seberang sana.
"Liat aja ntar, gue bakalan punya pacar pas malam tahun baru," gerutunya.
"Lo harus lupakan Reza dan buka lembaran baru ya," ujar Rini sambil menggenggam tanganku.
Aku mengangguk. Aku memang berusaha untuk melupakan Reza dari hidupku. Move on memang tidak semudah mengatakannya. Butuh perjuangan hati dan fikiran untuk melupakan kenangan indah kita dengan orang yang kita sayangi. Sehingga banyak orang yang mencari pelarian demi move on dari orang yang disayang.
"Terus panggilan kakak ke Gaga itu maksudnya apaan?"
Aku memandangi gadis itu sedikit kebingungan, "hmm... Apa ya, gue nggak faham juga sih. Yang jelas Gaga nyuruh gue manggil dia kakak, alasannya sih supaya dekat."
Rini mengerutkan kening memandangiku lekat-lekat, berusaha mencerna jawabanku yang seadanya tersebut. Setelah beberapa detik berlalu, gadis itu tersenyum sambil kembali mencomot kentang goreng yang ada di meja. "Owh gitu..." Dia nampak tidak percaya dengan jawabanku.
"Lo jangan berfikiran yang aneh-aneh, jangan salah sangka dulu. Gaga itu gue pastikan normal. Dia nyuruh gue manggil kakak karena dia pengen dekat dengan gue, karena dia nganggap gue adiknya," lanjutku. Rini mengangguk-angguk sambil tersenyum simpul.
"Lo juga apa-apaan sih, tadi sama Doni lo bilang Gaga nggak mungkin apa-apanya sama gue, sekarang lo malah berfikiran kalau Gaga suka gue. Lo sehat?"
Rini tertawa kecil. Dia memandangiku sejenak sebelum kembali tertawa. "Lo apaan sih Rin, aneh gini?"
"Nggak kok," dia menggeleng. "Seperti yang gue bilang tadi, lo nggak mungkin macam-macamin si Gaga, tapi bisa saja kalo sebaliknya. So gue nggak menampik kalau Gaga bisa aja suka sama lo kan?" terang Rini.
Aku menghembuskan nafas sambil memandang kearah pintu masuk. Aku tidak begitu memikirkan perkataan Rini tadi. Spekulasi yang nggak mungkin terjadi, setelah peristiwa tadi pagi di atas mobil Gaga. Mataku sejak tadi selalu tertarik kepada sosok di samping pintu masuk, seorang satpam berbadan kekar yang mengingatkanku dengan mas Agus penjaga kosan Reza. Apakah ada orang lain yang menyogok dia dengan nasi Padang selain aku? Mengingat itu aku hanya tersenyum sembari menatap keluar gerai cepat saji.
"Nah lo aja senyum," tuduh Rini.
"Apaan sih lo," ujarku sambil menggigit ayam goreng yang ada di depanku. Rini tertawa kecil sambil menghabiskan kentang goreng yang dia pesan.
Aku mendengus sambil merogoh sakuku, membuka aplikasi Instagram. Biarlah Rini dengan dugaannya yang tidak berdasarkan kenyataan, sedangkan aku lebih baik menghibur diri dengan media sosial yang telah melambungkan namaku. Banyak foto-foto keren dari beberapa orang yang aku ikuti. Ada beberapa buah foto yang mungkin menarik perhatian Rini, sehingga aku menyenggol gadis itu.
"Rin," panggilku. Rini yang bergeming membuatku menoleh ke arahnya. "Woi, ada apa sih?" tanyaku padanya yang tengah fokus melihat sesuatu. Seperti tersadar dia menoleh ke arahku dengan ekspresi yang tidak dapat aku gambarkan.
"Eh nggak, nggak ada apa-apa kok."
"Jangan boong lo Rin. Lo liat apaan sih?" tuduhku sambil menoleh ke arah yang di lihat Rini tadi. Rini berusaha mencegah namun penglihatanku telah menangkap sosok seorang pria yang sangat aku kenal. Pria itu, memakai jaket denim bewarna biru gelap yang sangat aku sukai dulu. Dia nampak beriringan dengan seorang pria kewanita-wanitaan menuju tempat pemesanan makanan. Mataku langsung terpaku pada sosok itu sehingga Rini mengguncang-guncang tubuhku.
"Lo nggak apa-apa kan?" tanya Rini. Aku menatap Rini, sambil berusaha mengendalikan diriku sendiri.
"Gue nggak apa-apa," jawabku dengan senyum yang dipaksakan. Siapa yang tidak kaget melihat sang mantan dengan selingkuhannya ada di depan mata. Aku kembali mengamati mereka yang sedang memesan makanan.
"Ada apa?" tanya Doni yang masih terfokus pada gadis dengan rambut panjang yang dicat pirang. Aku tidak menjawab dan tidak ada sahutan pula dari Rini. Doni kembali mengulang pertanyaannya sekali lagi sebelum dia menoleh ke arah kami. Doni terlihat keheranan lalu juga turut melihat ke tempat pemesanan makanan.
"Si brengsek itu!" Doni menggeram sambil menggepalkan tangannya. Aku langsung menoleh ke arahnya. "Minta di kasih pelajaran tuh orang," ujar Doni hendak bangkit dari kursinya. Aku dan Rini langsung menahan Doni yang nampak mulai kesetanan itu. Dia dapat bertindak yang aneh-aneh di tempat ramai seperti ini.
"Don, udah Don. Nggak usah cari gara-gara," Rini bersuara sambil menuntun Doni duduk kembali. "Lo bisa berurusan dengan pihak berwajib ntar."
Mendengar kata pihak yang berwajib, Doni menjadi gentar lalu menatapku iba. Aku tersenyum menenangkan Doni yang emosinya tengah tersulut itu. "Gue nggak apa-apa kok," ujarku, "anggap aja mereka nggak ada. Lo nggak usah marah, gue aja biasa aja kok."
Dengan ujung mata, Doni menatap dua sejoli itu dengan wajah yang penuh amarah. Aku kembali menatap layar ponselku. Keinginanku untuk memperlihatkan foto bagus ke Rini hilang sudah. Yang ada di fikiranku hanya Reza dan Alvin yang ada di tempat pemesanan makanan. Apa yang harus aku lakukan apabila mereka melihatku ada di sini.
Aku kembali melirik mereka dengan ujung mataku. Mereka yang telah meneteng makanan, nampak kebingungan mencari tempat di tengah keramaian gerai cepat saji di jam istirahat. Alvin nampak mengedarkan pandangannya sebelum dia menunjuk ke arah meja kami. Mataku bersirobok dengan mata Reza, membuatnya nampak ragu-ragu. Walau dengan semangat empat lima, Alvin menyeret Reza ke arah meja kami. Aku langsung mengalihkan pandanganku kembali ke arah layar ponselku. Berharap mereka (lebih tepatnya Alvin) tidak mengincar kursi kosong di mejaku.
"Kami boleh gabung dengan kalian?" terdengar suara pria itu di seberangku. Nampaknya pengharapanku tidak terwujud. Aku dengan tenang meletakkan ponselku di atas meja sambil menatap mantan pacarku dan selingkuhannya itu bergantian. Aku jadi heran dengan jalan fikiran selingkuhan Reza, yang tanpa malu meminta duduk bersama mantan dari pacarnya.
"Ngapain lo kesini?" tanya Doni setengah berteriak, membuat beberapa orang di gerai cepat saji itu melirik kami. Termasuk aku yang langsung mempelototinya supaya dapat menahan emosi. Aku lalu kembali memandangi Alvin yang terlihat menantang Doni.
"Mau makan lah, nih kita bawa makanan kan, kakak lihat sendiri kan?" jawab Alvin. Aku dan Rini saling berpandangan, terkaget-kaget dengan jawaban Alvin yang lugas itu. Doni malah ternganga, mati kutu tidak dapat menggertak lagi. "Kebetulan meja yang ada di sini udah pada penuh, dan meja kakak masih ada kursi yang kosong," dia melirik Reza yang membuang muka, "bolehkan gue sama 'pacar'gue duduk di sini?" tanya Alvin sambil menekankan kata pacar dengan suara pelan, menatapku, atau lebih tepat menantangku.
Aku menggigit bibir sambil meremas tanganku sendiri. Sambil tersenyum, aku mengangguk sambil mempersilahkan mereka berdua untuk duduk. Doni dan Rini langsung mempelototiku tidak terima. Terlebih Doni yang tengah menahan marah kembali menoleh ke arah Reza seperti ingin menghajarnya.
Aku mengambil ember makanan kami dan meletakkan kedua potong ayam goreng yang tersisa ke piringku dan piring Rini. "Don, bisa gue minta tolong sebentar," ujarku menatap matanya, "makanan kita nampaknya kurang nih, boleh gue minta tolong pesankan?" Aku menyodorkan ember plastik itu.
Tanpa berkata apa-apa, mahasiswa FE bangkit dari duduknya sambil meraih ember yang aku sodorkan. Dia nampak menatap gue sejenak sebelum beranjak pergi menuju tempat pemesanan makanan. Aku dapat bernafas lega untuk beberapa saat.
Aku kembali tersenyum menatap dua sejoli yang telah bermain api di belakangku itu. Reza hanya diam sedangkan Alvin menyambut senyumku dengan senyum penuh kemenangan. Alvin hendak mempermainkanku rupanya.
Aku meneguk ludah sambil melipat kedua tanganku di atas meja. Aku tidak boleh gentar dengan perasaanku sendiri. Walau mataku telah terasa panas, dan jantungku telah berdetak tidak karuan, tapi aku harus tegar menantang mata Alvin yang ada di depanku. Bila aku terlihat lemah di depannya, pasti si jalang itu merasa bahwa dia telah memenangkan permainan ini.
"Bagaimana hubungan kalian? Udah resmi?" tanyaku menatap mata Alvin lekat-lekat. Pria kewanita-wanitaan itu nampak kaget dengan pertanyaanku yang mungkin tidak dia sangka sebelumnya. Dia menoleh ke arah Reza sambil mengamit tangan Reza yang hanya diam begitu saja.
"Udah resmi kok," Alvin tersenyum sambil menoleh kembali ke arah Reza, "ya kan yank?"
Reza mengangguk mengiyakan. Dia terlihat dingin saat ini.
Aku menoleh ke arah Rini yang menatapku takjub. "Syukurlah kalau begitu," ujarku lagi. Doni datang sambil membawa beberapa potong ayam goreng di dalam ember plastik bewarna merah putih.
"Nih pesanan lo," ujar Doni sambil menghempaskan ember makanan yang dia pegang. "Gue ke toilet dulu, gue muak dekat-dekat sama mereka," dia menatapku dan Rini lalu pergi meninggalkan kami berempat.
Aku memandangi Doni memastikan kalau dia memang benar-benar ke toilet, bukannya kabur. Dia dapat berbuat yang aneh-aneh atau malah hal nekat apabila tidak dijaga disaat sedang marah. Aku kembali menoleh kearah dua sejoli yang ada di depanku sambil mengangkat bahu. "Jangan di ambil ke hati, dia emang gitu kok kalo lagi marah. Iya nggak Rin?" umpanku ke Rini yang hanya dia balas dengan anggukan. Aku kembali tersenyum sambil mencomot ayam goreng yang di pesan Doni tadi. Sehingga di piringku terdapat dua potong ayam goreng.
"Eh ayo dimakan pesanannya, masak di anggurin sih. Kalo kurang nih masih ada banyak kok," aku menyodorkan ember berisi ayam goreng ke hadapan Reza yang memandangiku datar. Mungkin Reza heran denganku saat ini. Apa mantan pacarku itu berfikir bahwa aku akan menangis saat ini? Tidak Za, kamu salah besar. Aku tidak akan menangis di depan selingkuhanmu yang jalang itu.
"Kakak terlihat bahagia saat ini?" Alvin menanyaiku saat aku sedang memakan ayam goreng. Mendengar pertanyaan Alvin (yang menurutku tidak tahu diri itu) membuatku kaget hingga terbatuk-batuk. Rini langsung menyodorkanku segelas soda. Nampaknya emosi gadis itu terpancing dengan pertanyaan Alvin tadi. Lihatlah matanya yang mendelik menatap Alvin yang malah tersenyum sumringah itu.
Aku menarik nafas dalam sambil menatap matanya lekat-lekat. "Kakak memang bahagia sekarang dek, kamu bisa lihatkan kakak bahagia sekarang," jawabku dengan senyum kecut, "kemarin memang kakak agak sedikit down karena di selingkuhi mantan pacar kakak," aku melirik Reza, "tapi ya sekarang nggak lagi. Ngapain juga meratapi bajingan yang tengah dimabuk asmara dengan si jalang selingkuhannya itu," tandasku.
Reza nampak terkejut dengan perkataanku yang tidak biasanya kasar seperti ini. Dengan sudut mata aku melirik muka Alvin yang memerah dan Rini yang berusaha menahan tawanya. "Ya... Seperti yang bisa kamu lihat sekarang dek. Ayam aja ada dua potong di piring kakak," lanjutku sambil tertawa di ujung kalimat.
"Baguslah kalau begitu kak, gue nggak perlu khawatir lagi kalau ada yang akan menggoda pacar gue lagi," sahut cowok Akuntansi itu. Kata-katanya mengisyaratkan kalau aku akan menggoda pacarnya yang telah menyia-nyiakanku dulu.
Aku tersenyum tipis. "Kamu nggak perlu mengkhawatirkan itu dek. Malah yang harus kamu khawatirkan itu pacar kamu saat ini." Aku memandangi Reza yang nampak kusut tidak bersemangat. Rambutnya yang mulai panjang dan tidak terawat. Hatiku bergemuruh melihatnya seperti ini. Dia menatapku tanpa ekspresi.
"Apa kamu sakit Za?"
"Kak Reza agak sibuk sekarang," tukas Alvin dengan nada tidak suka. Ya, Alvin telah masuk permainanku.
"Owh, pasti sibuk PKM itu ya?" sindirku. Aku menatap mata Reza. Dia nampak menyedihkan sekarang. Apa yang telah terjadi sehingga dia bisa seperti ini, membuatku ingin memeluknya dan menanyakan apa yang telah terjadi. Aku tidak dapat mendustai hatiku saat ini.
"Bagaimanapun sibuknya kamu Za, yang namanya makan itu wajib hukumnya. Istirahat yang cukup, jangan begadang, supaya kamu nggak sakit," ujarku sambil memberikan dua potong ayam goreng kepadanya. "Gih dimakan!"
Aku kembali teringat momen-momen kebersamaanku dengannya dahulu. Saling berbagi makanan. Sehingga logikaku terus mengutuki hatiku yang mulai luluh melihat keadaan Reza saat ini.
"Nanti kamu ke pangkas rambut ya Za, rambut kamu udah panjang." Tidak sengaja, tiba-tiba tanganku membelai rambut Reza yang langsung di tepis oleh Alvin. Aku terkesiap sambil membuang muka, menyembunyikan tanganku di balik meja yang telah lancang mengkhianati akal sehatku sendiri. Aku malah terbawa permainanku sendiri.
"Maaf," gumamku sambil membuang muka.
Reza nampak tersenyum menatapku. Aku bisa melihat rasa bahagia yang terpancar dari sorot matanya. Jujur aku tidak bisa menyembunyikan rasa bahagiaku ketika melihatnya tersenyum seperti itu.
Rini terdengar berdehem sebelum gadis itu memulai kata-katanya.
"Jujur, gue liat lo belakangan ini nampak kurusan deh Za. Tersiksa batin lo?" tanya Rini sarkas. Aku menoleh kepadanya keheran. "Lo gue liat juga lesu nggak bersemangat gitu deh semenjak putus dari sobat gue. Apa gara-gara keseringan ngentot tiap hari kali ya?" Rini terkekeh di ujung perkataannya. "Jadinya tenaga lo abis terkuras," tandas Rini. Aku tahu kalau mulut Rini memang tidak dapat ditahan apabila sedang emosi. Tapi yang aku herankan, kata-kata yang tidak sepatutnya diucapkan oleh wanita itu keluar begitu saja dari mulutnya. Tidak biasanya gadis itu berkata kasar di depan orang lain.
"Nggak usah ikut campur lo. Gue lebih tahu tentang pacar gue dari lo berdua," bentak Alvin. Matanya menyalang-nyalang menatapku dan Rini bergantian. Beberapa orang yang ada di sekitar kami menoleh ke arah meja kami, bahkan ada yang berbisik-bisik dengan sorot mata tertuju pada kami.
"Udah Rin," bisikku, "malu dilihat orang."
Rini memandang Alvin dengan tatapan nista. "Gue cuman nanya aja sama Reza bro, tapi pacarnya malah marah-marah," ujar Rini.
"Kasihan banget lo sih Za." Rini menggeleng-gelengkan kepala.
Aku melirik Reza yang emosinya telah tersulut mendengar kata-kata Rini. Reza yang sama nekatnya dengan Doni bisa saja membuat gaduh gerai cepat saji ini.
"Yank, kita pergi dari sini yuk!" Alvin menggamit tangan Reza. Mantan pacarku itu menatap Rini. Untungnya Doni belum kembali, sehingga tidak adanya adu fisik.
Mereka terlihat bersiap hendak pergi ketika ponselku yang ada di depanku tiba-tiba bergetar. Entah siapa yang meneleponku di situasi yang tidak tepat ini. Reza yang hendak bangkit dari kursinya terdiam sambil menatap ponselku. Aku langsung menyambar ponselku sambil langsung mengangkat panggilan tersebut tanpa melihat si penelpon terlebih dahulu.
"Halo?" ujar suara yang begitu familiar di telingaku. Aku langsung melihat layar ponsel sekedar memastikan bahwa aku tidak salah orang.
"Halo kak," jawabku.
"Kamu dimana sekarang dek?" tanya Gaga di seberang sana. Terdengar suara lalu lalang kendaraan bermotor yang menandakan dia sedang berada di luar ruangan. "Kakak jemput ya?"
"Kakak jemput?" Aku menoleh ke arah Rini. "Nggak usah kak, aku lagi sama Rini sama Doni kak. Lagi makan siang," jawabku lagi.
"Siapa?" bisik Rini penasaran. Aku membisikkan nama Gaga ke telinganya sebelum kembali merapatkan ponselku ke telinga.
"Halo kak."
"Halo dek, kamu masih di sana?"
"Masih lah kak," jawabku. "Maaf ya kak."
"Nggak apa-apa kok dek."
"Kakak udah makan?"
"Belum nih dek, makanya mau ngajak kamu. Tapi karena kamu nggak bisa, ya kakak makan di rumah aja deh."
"Maafin aku ya kak, kita nggak bisa makan siang bareng."
"Nggak apa-apa dek, nggak usah minta maaf gitu lah, kamu nggak salah kok."
"Ya deh, yang jelas kakak jangan lupa makan ya, nanti sakit loh."
"Iya adekku."
"Kak, i miss you," ujarku sambil mengulum senyum.
Gaga terdengar tertawa di seberang sana. "Jangan bercanda deh dek. Kamu balas dendam ya, karena tadi pagi kakak kerjai?"
"Mmmm..., Anggap aja begitu deh," ujarku sambil melirik Reza yang mukanya telah merah padam. "Ya udah kak. Hati-hati ya nyetirnya, jangan ngebut-ngebut. Trus jangan lupa kasih kabar kalau udah sampai ya."
"Siip bos."
Aku terkekeh, "ya deh. Bye kak," tandasku sambil memutuskan panggilan Gaga. "Muuuach..." Aku memberikan ciuman perpisahan setelah yakin panggilan dari Gaga telah terputus, sambil melirik Reza.
"Siapa dia?" tanya Reza menatapku dingin.
"Bukan siapa-siapa kok," jawabku acuh tak acuh. "Lagian ini bukan urusanmu juga kan. Aku bukan siapa-siapamu lagi." Aku memasukkan ponselku ke saku celanaku.
Dia menggeram sambil bangkit dari meja. Matanya berkilat-kilat menatapku. Aku berpura-pura tak acuh sambil menikmati daging ayam goreng yang ada di depanku, walaupun sebenarnya aku sangat takut jikalau Reza berbuat nekat di gerai cepat saji ini.
"Vin, yuk kita pulang," ujar Reza seraya berbalik meninggalkan mejaku.
"Nggak dihabisin dulu makanannya? Mubazir loh." Sindir Rini sambil menahan tawa. Alvin bergeming sambil menyusul pacarnya yang meninggalkannya.
"Kenapa dia?" tanya Doni yang baru kembali dari toilet. Dia nampak kebingungan sekaligus gembira melihat kepergian Reza.
"Cemburu mungkin," jawab Rini melirikku. Aku hanya tersenyum kecut sambil menatap punggung Reza yang menghilang di balik pintu.
Maafkan aku Za. Maaf.
--- tbc
R~
@lulu_75 @digo_heartfire @rama212
@o_komo @RakaRaditya90 @boyszki
@QudhelMars @akina_kenji @Secreters
@Algibran26 @rama_andikaa @DafiAditya
@viji3_be5t @riordanisme @happyday
@CouplingWith @andrik2007 @josiii
@master_ofsun @Feri82 @RenataF @Satria91
@aris_ @b_hyun @Alvinchia715 @ArDewa @afihmd @hikaru
Selamat membaca...
Bagi yang nggk mau di mention lagi, bilang ya.
Cerita After You Go bisa teman-teman baca di Wattpad dengan judul yang sama.
@lulu_75 Bisa dunk kk, kan masih cinta. eaa
Salam kenal ya semua
Salam kenal ya semua