It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku baru aja revisi dan edit beberapa bagian dichapter-chapter sebelumnya yg aku rasa harus diperbaiki.
Hanya saja untuk 5 chapter awal aku pengen lihat dulu respon readers dan nunggu 250 viewers baru bakalan post lanjutannya dua chapter sekaligus.
Per chapter rata-rata aku buat 1000-2000 kata, jadi bakal bikin kalian puas.
Kami berhenti disebuah atap gedung dan duduk ditepi dengan kaki menjuntai kebawah.
Menikmati indahnya landscape malam hari.
"Sebenarnya bukan terbang. Hanya saja kau lebih banyak menutup matamu. Aku dapat melompat jauh dan tinggi. Berpijak dari satu gedung ke gedung lainnya. Imajinasimu saja yang berlebihan." ia membuka obrolan.
"Yeah, I know. Aku hanya sedikit takjub dan antusias. Waktu kecil dulu aku sering berimajinasi dan ingin sekali bisa terbang."
"Klasik!" ia tertawa singkat.
Aku memutar badanku menghadapnya. "Hei, aku berencana untuk mencari pekerjaan disini. Aku tak dapat terus menerus memakai uangmu. Dan sebaiknya kita cari hotel murah dan biasa saja, atau bahkan semacam flat."
"Buat apa? Uangku masih banyak dan cukup untuk kita berdua. Lagipula biar aku saja yang bekerja!" ia menggerutu.
"Hei asal kau tahu, aku dari kecil sudah biasa kerja. Sejak usiaku tujuh tahun. Lagipula dengan berkas-berkas yang telah kita urus kemarin dan ijazah palsu yang kita pesan ke orang itu, aku dapat mencari kerja walau aku tak pernah sekolah sebelumnya." aku berusaha meyakinkannya. Ia tampak menimbang-nimbang.
"Lagipula kenapa kau begitu peduli padaku sekarang? Berlebihan!" tukasku.
Ia tampak gugup, "Baiklah! Tapi apa yang bisa dilakukan bocah sepertimu, hah? Kau mau kerja apa?"
"Jangan meremehkanku! Aku sudah dewasa. 16 tahun itu cukup dewasa." aku tak mau kalah.
Ia menarik kedua telingaku hingga memerah. "Bocah ya bocah saja! Lebih baik kau kursus atau kuliah. Aku akan membiayai semuanya!"
"Sakit tahu!" aku memukul perutnya pelan pada bagian yang sakit. Ia mengaduh kesakitan.
"Buat apa kuliah? Buang-buang uang saja! Ingat, kita harus hidup berpindah-pindah dan masih fokus mencari anak-anak.
Cukup mencari pekerjaan Bachelor Degree saja untuk sementara. Lumayan kan uangnya... Bagaimanapun juga kita masih menunggu dimana tepatnya keberadaan mereka. Kita butuh uang selama tinggal disini."
Ia menghela nafas. "Maksudku kau ambil program pendidikan online untuk karyawan. Kau hanya perlu sesekali pergi ke kampus dan selebihnya semuanya online dari jarak jauh. Kau juga masih bisa kerja. Dasar bocah! Tahumu apasih?" ia menjelaskan dengan tak sabaran. Aku menatapnya seperti orang pedesaan yang baru pertama kali melihat Ble.
"Ada ya yang seperti itu?"
"Ada bodoh! Sejak jaman baheula juga sudah ada." Ia tampak lelah berbicara denganku.
"Ya aku kan tak pernah sekolah, mana mungkin aku tahu hal-hal seperti itu. Aku hanya tahu berladang bersama Ayahku." aku membela diri.
"Kau tahu, pekerjaan Bachelor Degree sekarang ya pekerjaan kasar. Buruh pabrik, pelayan cafe dan semacamnya. Lagipula kau tak bisa memakai ijazah palsu itu terlalu lama, berkali-kali dibanyak perusahaan. Cepat atau lambat sebaik apapun dibuat, palsu tetaplah palsu." ia beranjak dari tempat duduknya. Merentangkan tangan, melemaskan tubuhnya yang letih.
"Terserahlah! Urus saja semuanya!" aku tak mau memperpanjang obrolan ini.
Tiba-tiba tetesan air dari langit berjatuhan. Kian lama kian deras.
Hujan... Hujan pertama yang kurasakan diplanet lain.
Butiran air hujan segar yang sudah lama tak kurasakan di Bumi memecah kesegarannya.
Aku beranjak, merentangkan tangan merasakan kesegarannya. Aku menengadah ke langit, merasakan percikan air hujan yang meledak dikulit wajahku. Aku tersenyum bahagia.
"Hei, jangan hujan-hujanan! Ayo mencari tempat berteduh!
Kepalamu itu masih sakit!" omel Neil, namun aku tak menghiraukannya.
"Dasar bocah!" ia tertawa geli melihat tingkahku yang seperti anak kecil.
Namun tiba-tiba kepalaku pening lagi. Neil segera menghampiri dan menggendongku. "Kita pulang sekarang!"
"Aku tak apa! Kita cari tempat untuk berteduh saja!" mataku mulai berkunang-kunang. Neil segera melompat dari gedung itu dan mencari tempat berteduh sementara disebuah atap gedung yang lain.
"Neil, aku telah mendapatkan dimana lokasi mereka!" seruku, yang sebelumnya memikirkan mereka dan mencoba membaca pikiran mereka lagi.
"Benarkah? Kita bahas ketika dihotel saja, okay? Bagaimana kepalamu sekarang? Jangan malah memakainya untuk melacak mereka!"
***
Cahaya pagi hari membuatku terbangun. Perlahan membuka mataku yang terasa begitu berat. Kepalaku masih sedikit pening.
Aku berada dikamar hotel. Terbaring dengan balutan selimut.
Aku mengedarkan pandang sembari memegangi kepalaku yang sakit. Perbannya sudah diganti dengan perban baru. Dan bajuku, ada seseorang yang mengganti pakaianku.
Apakah Neil? Kemana ia sekarang?
Ada nampan berisi sepiring sandwich dan mug berisi hot chocolate dimeja. Aku meraih mug itu dan meminumnya sedikit.
Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka. Neil muncul dari sana dengan singlet dan short pant hitam.
Ia duduk ditepi ranjang dan melepas sepatunya. Tubuhnya bercucuran keringat. Bau khas pria dewasa merebak keseluruh ruangan.
"Aku habis gym sebentar dilantai bawah." ia membuka obrolan sebelum aku menanyakannya.
Aku memandangi baju yang sedang kukenakan. "Kau yang memakaikan ini?"
Ia mengangguk singkat, beranjak dan meminum segelas air mineral.
"Aku tak punya banyak pilihan. Semalam kau muntah dan pingsan. Bajuku dan bajumu penuh dengan muntahan." jawabnya enteng.
"Dimana kau tidur semalam?" tanyaku menyelidik. Ia menggerakkan alisnya, mengarah pada ranjang yang sedang ku duduki.
"Oh, God...! Apa kita..." aku meremas kepalaku.
"Bercinta dengan mayat hidup bukanlah kebiasaanku." tukasnya enteng.
"Jadi kau hanya tidur saja?" tanyaku masih tak puas. Berbagai pikiran negatif mulai menyeruak.
Ia menghampiriku dan menggigit sandwich yang ada dipangkuanku.
"Yap! My first time!"
"Tapi kau sudah melihat tubuhku!"
Ia menghela nafas, "Apa itu masalah? Kita sama-sama pria, itu hal biasa."
"Tapi kau seorang gay!"
Ia menatapku tak percaya, "Apa yang kau pikirkan tentangku? Aku pria baik-baik dan kau bukan tipeku." nada bicaranya terdengar sedikit tersinggung.
Ia melepas singlet, berjalan menuju kamar mandi dan menutupnya cukup keras.
Sepertinya aku berlebihan. Apa dia marah padaku? Apa yang harus kulakukan sekarang...?
Andai saja dia straight, mungkin segalanya akan lebih mudah. Kita akan jadi teman baik seperti biasanya tanpa hal-hal menyebalkan seperti ini. Dan aku tak perlu lagi berfikiran macam-macam padanya.
Ia masih mandi. Aku beranjak, mencuci muka dan membersihkan gigiku. Aku berganti pakaian, memasukkan beberapa file dan barang yang aku butuhkan ke dalam ransel.
Aku mengikat tali sepatuku asal-asalan dan segera meninggalkan hotel itu.
Aku segera menuju Sky Train Station, hendak mengirim lamaran pekerjaan dibeberapa tempat. Sebenarnya juga ingin jalan-jalan ke beberapa tempat.
Ini jalan-jalan pertamaku seorang diri. Aku menikmatinya...
Setelah mengirim beberapa lamaran, aku melihat kios es krim dengan brand yang sama seperti yang pernah Neil beli. Aku membeli dua, satu kumakan dijalan dan satunya lagi dibungkus hendak kuberikan sebagai permintaan maaf pada Neil.
Namun tiba-tiba diatas nampak sebuah Ble yang terlihat oleng. Seperti akan segera jatuh disuatu tempat.
Ia menghantam lintasan Sky Train, lalu akan segera jatuh ke tanah dari ketinggian kurang lebih 1000 kaki.
Sontak aku segera memfokuskan pikiranku dan mengarahkan tanganku kesana. Aku melakukan Telekinesis dan berusaha menghentikannya.
Cukup sulit untuk menahannya. Namun akhirnya Ble itu tak jadi menghantam tanah.
Aku segera berlari menuju kesana. Nampak seorang pria membuka pintu dan aku segera membantunya keluar dari sana.
"Kau tak apa?"
Ia memperhatikanku beberapa detik. "Aku tak apa!"
Sejumlah orang mengamati kami, terlebih aku. Aku lupa, harusnya aku tak melakukan itu didepan umum.
Sebagian orang sudah merekamnya dengan perangkat elektronik mereka.
Aku memfokuskan pikiranku, membuat beberapa perangkat komunikasi seperti ponsel itu melayang-layang dan menghantamkannya ke tanah dengan kuat. Hingga pecah berkeping-keping.
Orang-orang itu semakin heboh melihat apa yang telah kulakukan.
"Kita harus segera pergi!" sontak aku menarik tangan pria itu paksa dan mengajaknya berlari melewati beberapa blok hingga kami cukup jauh dari mereka.
Kami berdua tersengal. Saling menatap, lalu bersandar disebuah bangunan.
"Thanks! Ka... Kau sudah menyelamatkan nyawaku. Entah apa yang akan terjadi bila kau tak menolongku?!" pria bermata elang itu membuka obrolan.
"Ya!" aku masih tersengal-sengal, berusaha mengatur nafasku.
Ia terlihat baik-baik saja. Hanya ada luka kecil dikening dan sikunya.
Aku mengajaknya duduk disebuah bangku, mengeluarkan wet tissue dan segera membersihkan lukanya.
Ia sedikit merintih. Aku melakukannya dengan cepat.
"Ayo kita ke rumah sakit!"
"Tak usah, aku tak apa!" ia tersenyum ramah padaku.
Aku menatapnya seakan memaksa. Ia tetap menolak.
"Ba... Bagaimana kau melakukan itu?"
Aku menghela nafas, "Kau tak perlu tahu. Tak penting! Yang terpenting kau selamat sekarang.
Jangan beritahu siapapun!"
"Tentu!" jawabnya mantap.
"Nope, promise me!" aku menatapnya serius. Ia mengangguk.
"Baiklah, kau tak apa kan sekarang? Aku buru-buru... Aku harus pergi ke suatu tempat!" aku beranjak dari tempat dudukku lalu menyandang ranselku.
"Kemana? Kenapa harus cepat-cepat? Setidaknya beritahu aku namamu dan terimalah ini sebagai permintaan terimakasihku! Walau memang ini tak seberapa dan aku tak bermaksud buruk dengan ini. Ambillah!" ia menyodorkan sejumlah uang padaku.
Aku menolaknya baik-baik. Ia sedikit memaksa. "Benar-benar tak usah!"
"Aku Alan!"
"Aku Miro!" ia mengulurkan tangan. Aku menjabatnya singkat.
"Aku harus per..."
Ia memotong kalimatku. "Setidaknya biarkan aku mengantarmu. Aku mohon!"
Aku menimbang-nimbang. Aku merasa tak enak melihatnya menatapku memohon seperti itu.
"Baiklah!"
Ia tersenyum lebar. Ia pun segera menghubungi seseorang dan tak lama kemudian seunit Ble mendarat didepan kami.
Seorang Driver keluar dan membukakan pintu untuk kami. Ia memanduku masuk.
Didalamnya didesain sedemikian rupa hingga seperti mini room dengan beberapa barang dan perabot mahal.
"Kemana kau akan pergi?" tanyanya.
"Rellix Hotel, Juaven."
"Aku tahu hotel itu. Kau tinggal disana?" aku mengangguk. Ia segera memberitahu Driver nya. Kami pun mulai meluncur.
"I see. Ehmm... Apa yang harus ku lakukan untuk berterimakasih? Tolong biarkan aku melakukan sesuatu! Kau sudah menyelamatkan nyawaku." pria berambut cokelat itu menatapku serius.
"Nothing!"
"Aku mohon!" ia sedikit memaksa.
Aku memikirkan sesuatu. "Benar-benar tak ada!
Ehmm... Aku tahu ini tak ada hubungannya, tapi sebenarnya aku sedang mencari pekerjaan. Aku butuh pekerjaan paruh waktu, tak ada yang lain."
Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celana hitamnya. Sebuah card name.
Ia memberikannya padaku. "Bekerjalah dikantorku! Kebetulan aku juga sedang membutuhkan karyawan bagian Administrasi. Kau bisa bekerja paruh waktu disana.
Hubungi saja aku jika kau mau."
Aku memeriksanya. "Miro Corp."
"Ya! Perusahaanku bergerak dibidang perangkat informasi dan komunikasi, serta alat-alat elektronik lainnya." terangnya.
Aku menatapnya tak percaya. "Wow! Ini berlebihan. Aku tahu perusahaanmu sangat luar biasa, tapi aku hanya seorang Bachelor.
Aku benar-benar butuh pekerjaan. Adakah posisi petugas kebersihan atau apapun yang sedang kosong?"
Ia tertawa kecil. "Tak ada, Alan!"
"Tak masalah! Aku akan menerimamu bekerja paruh waktu bagian Administrasi dikantorku.
Datanglah jika kau mau!"
"Thankyou so much!" aku benar-benar senang.
Ia tersenyum simpul, "Nope! Aku yang seharusnya berterimakasih padamu. Ini bukan apa-apa, Alan! Sungguh...!"
Kami mengobrol beberapa hal hingga kemudian sampai tepat didepan halaman hotel.
Ia ikut turun dan mengantarku hingga lobby.
"Ehmm... Alan! Satu hal lagi, kalau kau tak keberatan?"
Aku berbalik menatapnya. "Ya, Mr. Miro?"
"Panggil Miro saja!" tukasnya.
"Sebagai ucapan terimakasih, tolong datanglah makan malam di Apartment ku! Aku akan menyuruh Driver ku menjemputmu. Jumat malam, kau bisa kan?" ia menunggu jawabanku.
Aku berfikir sejenak... Ia tampak berharap aku meng'iyakan.
Tak lama kemudian aku mengangguk.
"Yay!" serunya puas.
"Jumat malam!"
Aku tersenyum, "Ya, jumat malam!" lalu berbalik dan menuju elevator.
Aku membuka pintu. Neil yang tengah rebahan diranjang segera menghampiriku dan langsung memelukku. Sontak aku begitu kaget.
Ia melepas pelukannya, memegang pundakku dan menatapku cemas.
"Kau darimana saja? Aku sangat cemas dan seharian mencarimu kemana-mana.
Kenapa kau tega pergi tanpa pamit? Kalau terjadi apa-apa padamu bagaimana, hah?"
"Kau masih mandi tadi. Kau juga tadi tampak marah padaku. Aku tak mau mengganggumu.
Aku memang berencana melamar pekerjaan hari ini dan aku sudah mendapatkannya." terangku. Aku mengeluarkan snow bag berisi se-cup es krim.
"Ini untukmu. Jangan marah padaku!
Aku tak tahan bila melihatmu marah apalagi membenciku. Maafkan..."
Ia memelukku erat dan mengusap kepalaku. Membuat kata-kataku terpotong. Sontak aku menjatuhkan snow bag itu ke lantai.
"Aku tak pernah marah dan tak mungkin membencimu. Justru aku cemas dan seharian sekarat mencarimu kemana-mana.
Aku memikirkan banyak kemungkinan buruk yang mungkin akan terjadi.
Berjanjilah! Berjanjilah kau takkan pernah melakukan ini lagi!"
Aku mengangguk dalam pelukannya. Kepalaku tepat menempel didadanya yang bidang.
Aku dapat merasakan dan mendengar degup jantungnya yang berdegup kencang tak beraturan. Aku dapat merasakan debar itu.
Aku pun entah kenapa merasakan jantungku juga berdegup lebih cepat dan darahku berdesir.
Tatapan matanya tadi entah kenapa aku merasa tatapan itu berbeda. Bukan tatapan Neil yang seperti biasanya.
Tatapan penuh kegelisahan itu membuat jantungku berdebar-debar.
Beberapa saat kemudian aku mendengar sesuatu. Samar-samar...
Suara hati Neil...
Aku sudah lama tak dapat membaca pikirannya sejak terakhir aku membacanya di Aleios Room. Sepertinya ia sengaja selalu menjaga pikirannya tetap kosong saat bersamaku dan ia selalu berhasil melakukannya.
Namun sekarang aku dapat membacanya kembali.
Apakah ia tanpa sengaja dan tak sadar memikirkan sesuatu begitu dalam hingga tak menyadari bahwa aku saat ini sedang mendengarkannya?
Apa dia lupa bahwa aku dapat membaca pikiran oranglain, suara hati orang lain?
Apa maksud kata-kata yang ada dipikirannya saat ini?
- Alan... Entah kenapa meski aku baru mengenalmu beberapa minggu tapi aku merasa nyaman ketika bersamamu.
Suara renyahmu, bentakan, omelan, teriakan, canda tawamu, bahkan suara tangismu pun aku sudah terbiasa mendengarnya. Sudah terbiasa hari-hariku diisi oleh suaramu. Sehari saja tanpa mendengar suaramu rasanya hidupku hampa seperti sebelumnya.
Kepolosanmu... Kebodohan dan tingkah konyolmu mengubahku yang semula selalu bersikap dingin, acuh pada sekitar dan tak pernah tersenyum.
Kau lah satu-satunya orang yang dapat membuatku tertawa setelah lima tahun terakhir.
Hanya dalam beberapa minggu, kehadiranmu dapat membuatku merasakan warna baru dalam hidup.
Kau lah orang yang membuatku mulai bangkit dan mengerti betapa berartinya hidup ini. Sudah berapa banyak waktu yang kusia-siakan dalam kesendirian dan kepedihan yang ku simpan dalam-dalam...
Entah apa yang sedang kurasakan dan kupikirkan. Tapi yang aku tahu, saat ini sepertinya aku mulai menyukaimu dan aku tak ingin seharipun tanpa mendengar suaramu. -
"Neil, apa maksudmu?" aku memegang tangannya dan melepaskan pelukannya.
Aku menatapnya dalam, menuntut jawaban darinya.
***
"Hah, maksud apa? Yang mana?" ia tampak kebingungan.
Aku menggigit bibirku, "Tak ada! Lupakan!"
Ia menaikkan kedua alisnya. "Apasih?"
Aku berjalan meninggalkannya, menuju ranjang empuk itu dan segera merebahkan tubuh letihku.
"By the way, kapan kau siap? Aku sudah mendapatkan lokasi Shin dan Oscar."
Ia duduk ditepi ranjang, "Mereka ada dimana?"
"Ifulos. Kurang lebih 720 km ke utara dari Asphyrel. Sekitar 280 km dari sini."
"Okay, kita berangkat besok minggu saja!" jawabnya mantap.
"Baiklah!"
***
Dua hari kemudian aku tengah bersiap-siap untuk menghadiri acara makan malam itu.
Neil yang dari tadi sibuk dengan berkas-berkas yang ia kerjakan tiba-tiba memperhatikanku.
"Mau kemana kau? Kenapa berdandan dan berpakaian rapi?"
"Dinner!" jawabku singkat, yang tetap menatap bayanganku dicermin.
"Hah, dengan siapa? Dimana? Sampai jam berapa?" tanyanya menyelidik.
"Kau berisik sekali sih! Kenapa memang? Kenapa kau begitu peduli, ha?
Aku akan dinner dengan kekasihku!"
Ia tampak kaget. "Bo-bohong! Ayo katakan yang sebenarnya!"
Ia berdiri didepan pintu saat tahu aku sudah selesai bersiap-siap dan langsung menyandang ranselku.
"Aku takkan mengijinkanmu pergi sebelum kau mengatakannya!"
Aku menghela nafas. "Memangnya kau siapa? Ibuku? Cepat minggir!"
Ia tetap bersikukuh melarangku. Aku berusaha membuatnya menjauh, tapi bahkan aku tak dapat membuatnya bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri. Hingga akhirnya aku memberitahu dan menjelaskan semuanya dengan detail seperti yang ia mau.
Ia tampak tak suka dan berat memberiku ijin. Aku tak terima dan terus mengomel hingga akhirnya ia membiarkanku pergi.
Jam 20:00 tepat sudah ada Driver berdiri didepan lobby. Ia segera mengantar dan membawaku ke sebuah gedung Apartment megah dan mewah, yang gedungnya menjulang tinggi ke langit.
Ia mengantarku ke lantai 47 dan kami berhenti disalah satu pintu.
Setelah seseorang membuka pintu tersebut ia segera pergi meninggalkan kami.
Miro mempersilahkanku masuk dan langsung membimbingku ke meja makan.
Ia terlihat tampan dengan setelan kemeja maroon dan jeans hitam.
"Sebentar, aku masih memasak makanan untuk kita. Sebentar lagi selesai." ia segera menghilang ke belakang.
Tak lama kemudian ia mendorong sebuah meja stainless berisi dua piring pasta, sebotol champagne beserta goblet glasses.
Ia pun segera menghidangkan sepiring pasta yang tampak begitu lezat tersebut, ditemani dengan segelas champagne.
Ia duduk tepat dihadapanku. "Kau tampak begitu manis dengan setelan itu."
"Thanks! Kau juga terlihat tampan dengan kemeja itu."
Ia tampak senang. Ia memanduku mengambil segelas champagne, kami mendentingkannya seperti gaya jaman dulu dan meminumnya.
"Okay, mari makan!"
Aku pun segera menyantap makanan yang sejak tadi menggodaku untuk segera mencicipinya.
"Enak! Pasta terenak yang pernah kumakan!" seruku.
Ia tersenyum lebar. "Aku senang kalau kau menyukainya. Makan yang banyak! Masih ada banyak dibelakang."
"Ya, pasti aku akan menghabiskan semuanya dan membawa pulang beberapa." kelakarku. Ia tergelak.
Musik klasik mulai mengalun. Menambah suasana dinner ini menjadi lebih mewah.
"Hei, bagaimana dengan tawaranku itu?"
Aku masih mengunyah, lalu segera menelan makananku. "Tentu aku akan mengambilnya. Senin depan aku akan mulai kerja."
Ia menggulung senyum, "Bagus! Aku akan menunggumu."
Kami selesai makan. Aku mengeluh kekenyangan sembari mengusap-usap perutku. Ia tergelak melihat tingkahku.
Tak lama kemudian musik berganti. Ia beranjak dari tempatnya dan mendekat kearahku.
"Temani aku berdansa!" ia mengulurkan tangan.
"Hah? Aku tak bisa dan tak pernah." elakku. Namun ia mengambil tanganku dan membawaku ke tengah ruangan.
Aku sedikit ragu dan gugup.
"Aku akan mengajarimu. Ikuti saja!" Ia melingkarkan tangan kanannya dipinggulku dan tangan lainnya memandu tangan kananku berada dibahunya.
Ia menggenggam tangan kiriku dan mulai melangkah, membuat kami mengalun ke kiri dan kanan.
"Hei, awal yang bagus!
Yap, seperti itu!"
Kami berdansa hingga musik berakhir. Aku mengambil remote dan menggantinya dengan musik beat.
Tubuhku langsung menari asal-asalan, berjingkrak-jingkrak menikmati dentuman lagu itu.
Ia tertawa lebar melihat tingkahku dan ikut menggila bersamaku.
Seusai berdansa kami berpindah menuju balkon. Menikmati pemandangan kota yang indah dari atas sini. Kami berbincang-bincang, membicarakan beberapa hal.
"By the way, dari mana kau berasal?"
"St. Andrews, Melbourne. Dan kau?" jawabku.
"Aku sejak kecil tinggal di Asphyrel. Orangtuaku disana. Hanya saja setelah aku menyelesaikan studiku, aku mencoba belajar untuk mandiri dan tinggal disini sampai sekarang. Aku juga harus mengurus bisnis Ayahku disini." terangnya.
"Wow! Enak sekali sejak kecil sudah tinggal di Mars." komentarku iri.
"Iya! Tapi suatu saat nanti aku ingin mengunjungi Bumi. Aku tak pernah kesana dan ingin melihatnya dari dekat."
Ia menatapku. "Kau mau menemaniku bila aku kesana nanti? Aku tak punya siapapun disana."
"Ya, tentu! Kenapa tidak? Aku juga ingin mengunjungi keluargaku." timpalku, yang membuatnya tampak sangat senang.
Aku melihat jam tanganku, "Maaf, tapi aku harus segera pulang."
"Kenapa begitu cepat? Aku pikir kau akan disini lebih lama atau bahkan menginap."
Aku mengernyit, "Haha... Tak mungkin. Pulang larut malam pun aku tak bisa."
"Kenapa?" ia tampak kecewa.
"Aku tinggal bersama temanku. Aku tak bisa membiarkannya sendirian terlalu lama."
"Baiklah! Aku akan meminta Driver ku mengantarmu." ia tersenyum ramah.
"Thanks, Miro!"
"Nope, aku yang berterima kasih karna kau sudah mau datang." tukasnya.
"Senang bisa mengenalmu. Kapan-kapan kau mau kan kemari lagi?"
Aku mengangguk.
***
Aku tiba dihotel pukul sebelas. Saat aku membuka pintu kamar, Neil tengah berdiri diluar. Bersandar dipagar balkon ditemani dengan sebotol minuman soda.
"Hei!" sapaku. Aku berdiri disampingnya.
Ia tampak antusias. "Kau sudah pulang!"
"Kenapa begitu lama?" nadanya terdengar tak suka.
"Lama bagaimana? Ini baru jam sebelas. Aku pulang duluan tadi."
Ia menaikkan intonasinya. "Jam delapan sampai sebelas itu lama!"
"Hei, maaf kalau membuatmu menunggu. Aku sudah berusaha pulang lebih cepat! Malahan dia tadi memintaku lebih lama, bahkan memintaku menginap." gerutuku.
Matanya membelalak tak percaya. "Hah, menginap? Bisa-bisanya dia seperti itu!"
Ia meremas bahuku dan membuatku menatapnya, "Sudah, jangan temui dia lagi! Dan jangan menerima tawaran kerja itu!"
Aku menjauhkan tangannya dari bahuku, "Kau kenapa sih?! Aku akan tetap mengambilnya. Aku butuh pekerjaan. Lagipula karna aku menolongnya dia memberiku pekerjaan bagus."
"Aku sudah bilang berkali-kali biar aku saja yang kerja! Kalau perlu aku akan mencarikanmu pekerjaan yang lebih bagus dari itu!".
Aku meremas kepalaku. "Ada apa sih denganmu, ha? Kau dulu tak seperti ini!"
Aku mulai kesal. "Kenapa... Kenapa kau begitu mengaturku? Kau bukan siapa-siapa! Kau hanya bekas leaderku. Sekarang kita sudah bebas dari sana dan kita hanya teman!"
Aku meninggalkannya dan menjatuhkan tubuhku keatas ranjang.
***
Kami lebih banyak saling diam sejak saat itu. Berbicara hanya seperlunya. Aku masih kesal dengan sikapnya dan dia juga tak mengajakku bicara untuk menyelesaikan masalah itu.
Hingga hari itu tiba. Kami berdua duduk bersebelahan dalam diam dikereta. Perjalanan selama dua jam itu cukup membosankan.
Aku mulai lelah dan mengantuk. Tanpa sadar aku tertidur...
Tak lama kemudian aku terbangun dari tidurku namun aku sengaja tak membuka mata dan pura-pura tetap tidur.
Kepalaku bersandar dipundaknya dan tangannya melingkari tubuhku dan ia menggenggam tangan kananku.
Aku cukup kaget dengan apa yang dilakukannya. Tapi aku tetap pura-pura tertidur.
Pasti ia yang memindahkan kepalaku ke bahunya.
Aku dapat merasakan hembusan nafasnya yamg teratur diatas kepalaku.
Entah kenapa rasa kesalku padanya mulai memudar. Aku tahu ia menyukaiku...
Aku tahu ia hanya cemburu pada Miro. Tapi aku tak suka dengan cemburunya yang berlebihan dan tak beralasan.
Aku butuh pekerjaan itu dan aku tak mau meladeni cemburu butanya.
Lagipula ia bukan kekasihku dan aku bukan seorang gay. Aku tak harus meladeni semua itu.
Tiba-tiba tangannya yang lain mengusap kepalaku lembut. Entah kenapa jantungku berdegup lebih kencang dan darahku berdesir hebat.
Entah karna aku risih berada dipelukan seorang pria atau aku merasa ini aneh. Yang pasti rasa itu bukan berarti aku mulai menyukainya. Tak mungkin. Konyol!
Ia berhenti mengusap kepalaku, namun hal lain malah menghampiri. Membuat jantungku seakan berhenti berdetak beberapa saat.
Ia mencium kepalaku. Ia mencium kepalaku beberapa kali.
Aku benar-benar kaget setengah mati dan tubuhku sedikit bergetar namun aku berusaha rileks.
Ia melepaskan genggamannya dan dengan kedua tangannya memelukku erat.
Tak lama kemudian ia mengusap pipiku beberapa saat. Memutar kepalaku dan mendaratkam ciuman dikeningku. Lalu pipiku.
God! Aku sudah tak tahan lagi. Jantungku serasa copot sekarang dan aku merasa akan meledak.
***