It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@RinoDimaPutra makasi udh membaca. Pantengin terus biar inget lagi :v
@lulu_75 asal jangan cemburu buta aja :v
@kikyo Alfa : hahaha maklumin ajalah bro. Kalo sampe harga rokok naik gue langsung tobat :v
@Aurora_69 sip. Pantengin terus yo :v
@Abdulloh_12 makasi udah membaca. Hahaha, kalo jimmy buat kamu trus aku buat siapa? Lol :v pasti dimention kok
@QudhelMars pasti. Makasi udah membaca :v
@Wildeinz pasti itu. makasi udh membaca yo
@Abdulloh_12 siapa yg lari? Orang mau run kok :v
@kikyo sabar dulu yo :v
@CouplingWith sip. Makasi sudah membaca :v
Bagian #5
"Tapi kalo dilihat - lihat Arsha keliatan cocok kok sama Icha" kata Jimmy santai sambil menghisap rokoknya.
"Kamu jangan jadi kompor, Jim" sungutku dengan tatapan tajam. Aku mencoba mengedarkan pandanganku mencoba mencari keberadaan mereka berdua. Hasilnya nihil. Pergi kemana mereka?
"Bukan maksud jadi kompor, kok. Cuma pengen bilang apa adanya" sahutnya cuek. Aku menghentikan pencarianku dan sibuk menatap mata Jimmy yang berkilat tenang.
"Diem nggak? Gue tonjok juga lu" ketusku kesal sambil menatapnya kesal.
Jimmy langsung memasang mimik muka takut tapi malah kelihatan tidak natural dan dipaksakan banget. Aku kontan nggak bisa menahan tawa karna melihat ekspresinya itu.
"Sialan! Kenapa susah banget marah sama kamu, hah?" Tanyaku tak habis pikir sambil berkacak pinggang.
"Jelaslah. Lu marahnya sama cowok ganteng sih makanya susah" sahut Jimmy sambil nyegir.
"Alah, ganteng apaan! Kepedean amat jadi cowok. Dibanding kamu masih gantengan juga kodok di sawah!" Balasku mencibir.
"Kalo emang ganteng pacaran sana sama kodok sawah. Sekalian lu kawin sama dia" balas Jimmy terkekeh.
"Ogah. Lu pikir gue sinting apa!" Ketusku.
"Kali aja lu mau. Lagian kan hebat tuh. Lu bisa terkenal, Fa. Bisa masuk koran suaka margasatwa" ejek Jimmy sambil terkekeh. Jimmy jelas sekali memaksakan tawanya hingga kedengaran dibuat - buat. Cowok ini memang tipe cowok aneh. Hidupnya kayak penuh pemaksaan banget!
"Duh, ketahuan yang suka baca koran suaka margasatwa. Gue aja baru tahu ada jenis koran kayak gitu. Ckckck... salam ya buat saudara lu di ujung kulon sana" ledekku dengan tawa yang lebih keras dan lebih dipaksakan dari tawa Jimmy barusan. Mungkin saking kerasnya beberapa orang melempar pandang kearahku dan Jimmy. Sementara aku berusaha menahan malu, Jimmy tertawa terpingkal - pingkal melihatku ditatapi banyak orang. Sialan si Jimmy! Bener kata pepatah bergaul dengan orang baik menjadi baik, bergaul dengan orang jahat menjadi jahat, bergaul sama Jimmy, jadi orang gila!
"Udah berhenti ketawa kamu. Seneng banget kalo udah dikasih ngetawain temen" kataku padanya. Jimmy cuma nyengir padaku.
"Habis kamu lucu, sih. Nggak sia - sia aku ngajak kamu kesini"
"Yee.. gue sikut juga lu" sungutku sebal.
"Jangan disikut dong, Fa"
"Trus mau lu apa?"
"Mau dicium" sahutnya dengan tampang polos dan tak berdosa. Di sahuti dengan jawaban nyeleneh begitu aku langsung memasang muka datar.
"Lu mau gue bunuh, ya?"
"Tapi kalo dikasi nggak nolak, kan?" Tanya Jimmy lagi - lagi dengan alis naik - turun plus tampang polos tak berdosa.
"Gue tonjok kepala lu baru tahu rasa lu" sungutku sebal sementara Jimmy terkekeh saja. Aku mencoba mengedarkan pandanganku dan kudapati Icha tengah berkumpul bersama beberapa cewek sedang mojok sambil cekikikan dan tertawa - tawa khas cewek. Kalo Icha ada disitu, Arsha pergi kemana? Aku kembali celingukan berusaha mencari keberadaan Arsha dan tepat saat itu Arsha, Tommy, Dimas, Evan dan anak - anak yang lain sedang berjalan beriringan menuju kearahku.
"Disini toh kalian kita pikir udah pulang" kata Evan cerah.
"Nggaklah. Makanannya belum juga habis" sahutku iseng. Tommy geleng - geleng kepala.
"Jadi lu kesini cuma pengen makan doang? Ckckck.. pulang sana pulang!" Kata Tommy pura - pura mengusirku.
"Yaudah gue pulang dulu. Tapi gue pengen minta kantong plastik"
"Buat apa?" Tanya Tommy.
"Buat ngebungkus makananlah. Sekalian buat oleh - oleh keluarga di rumah!" Sahutku asal. Yang lain malah terkekeh dan tertawa. Padahal aku nggak niat melucu.
"Astaga, bisa ngelawak juga lu, Fa" kata Dimas disela tawanya. Saat ingin menjawab Jimmy keburu memotongku.
"Jelas aja lucu. Si Alfa kan pemain topeng monyet terbaik sedunia" sahut Jimmy yang disambut tawa dari yang lain. Aku melihat Arsha yang ikut larut dalam tawa itu dan berusaha menahan diri untuk tidak menerjang dan memukuli Jimmy habis - habisan.
"Oh, ya jadi main remi nggak, nih? Dari tadi ketawa mulu" ajak Dimas pada yang lain.
"Jadilah. Kalian berdua harus ikut ya?" Kata Tommy.
"Ayo, siapa takut?" Sambar Jimmy cepat.
Lalu semua duduk dilantai teras yang beralas karpet. Kita duduk melingkar dengan sebuah meja kecil di tengah - tengah. Dari arah dalam rumah datang Evan dengan membawa tiga botol minuman keras dan beberapa gelas kecil dalam sebuah nampan kayu. Tommy mengocok kartu dan mulai membagikannya dengan pemain yang lain. Aku membuka kartuku membentuk kipas dan melirik kartuku yang kebanyakan berwarna hitam.
"Setiap pemain yang kalah wajib minum minuman ini dalam satu teguk. Oke?" Tantang Tommy dan semua berseru oke. Dan permainan pun dimulai.
Di putaran pertama Dimas kalah. Tommy dengan wajah sumringah menuangkan minuman sewarna es beku itu kedalam gelas dan memberikannya pada Dimas. Kemudian Dimas dalam satu kali teguk menghabiskan minumannya. Pemain yang lain bersorak merayakan kekalahan di putaran pertama.
"Gila! Gue kayak minum bensin rasanya. Keras banget!" Seloroh Dimas. Yang lainnya cuma tertawa.
Permainan dilanjutkan dan kali ini giliranku yang kalah.
"Ah, brengsek!" Sungutku kesal. Tommy dengan tampang sumringah menyodorkan minuman itu padaku.
"Habisin, Fa." Katanya. Aku memandang minuman itu sekejap lalu tanpa pikir panjang segera menghabiskannya dalam sekali teguk.
Benar kata Dimas. Rasanya memang kayak menelan bensin. Meskipun aku nggak pernah minum bensin sebelumnya tapi itu perumpamaan paling sepadan dengan minuman ini.
"Gue yakin ini beneran bensin! Sumpah rasanya! Ckck" sungutku. Permainan pun berlanjut.
"Hahai, gue menang lagi. Ayo, Sha minum lagi!" Seru Evan provokatif. Dia menyodorkan segelas minuman itu pada Arsha dan cowok malang itu meneguknya dalam sekali teguk. Permainan dilanjutkan dan lagi - lagi Arsha yang menjadi korban. Kini Arsha sudah benar - benar mabuk. Wajahnya memerah dan pandangan matanya layu sekali.
Aku kasihan sebenarnya melihatnya. Beberapa kali aku meminta Arsha berhenti saja karna sudah mabuk tapi dia tak perduli. Aku dan Jimmy beruntung karna kita sama - sama baru kalah dua kali. Jadi kita tidak terlalu mabuk.
"Target lu udah lupa daratan, tuh" bisik Jimmy di telingaku.
"Iya aku tahu. Lama - lama kasihan juga padanya. Dia nggak bakal bisa menang kalo mabuk seperti itu" sahutku berbisik.
Tiba - tiba saat permainan Arsha bangkit meski dengan tubuh sedikit terhuyung - huyung. Evan yang duduk disampingnya berusaha menahan tubuh Arsha.
"Lu mau kemana?" Tanya Evan pada Arsha.
"Gue mau ke toilet. Pengen muntah" sahut Arsha.
"Yaudah, sini aku anterin" kataku menawarkan diri. Aku menghampiri Arsha dan membopongnya perlahan.
"Kamu masih bisa jalan, kan?" Tanyaku. Dia mengangguk padaku.
"Ya sudah. Kita jalan pelan - pelan saja" kataku padanya.
Selama perjalanan Arsha terus saja meracau tanpa bisa kutahu artinya. Akhirnya aku sampai di toilet dan kubukakan pintu untuknya. Aku tuntun dia masuk kedalam lalu Arsha berkata padaku.
"Hmm.. Fa menurutmu aku ganteng, nggak?" Tanya Arsha padaku. Eh? Aku berhenti mendadak.
"Kenapa kamu nanya kayak gitu?" Tanyaku sambil masih memapahnya.
"Nggak pa-pa. Aku cuma pengen tahu" sahutnya singkat.
"Hmm.. ganteng sih tapi sedikit" sahutku cuek. Arsha menatapku tak percaya.
"Masa cuma sedikit? Matamu pasti bermasalah, Fa" sungutnya dengan pipi memerah khas orang mabuk.
"Enak aja nuduh mataku bermasalah! Kamu emang gantengnya dikit kok. Syukuri ajalah" sahutku enteng.
"Nggak! Nggak! Coba lihat lebih dekat" katanya sambil berusaha mendekatkan wajahnya kearahku. Aku sontak memundurkan kepalaku ke belakang. Arsha berdecak sebal.
"Kepalamu jangan mundur - mundur dong!"
"Mukamu terlalu dekat sama mukaku tau!" Sungutku tak kalah sebal. Duh, kenapa jantungku jadi mendadak berdebar - debar kayak gini sih?!
"Lah,memangnya kenapa? Kalo dekat kan bagus" sahut Arsha enteng.
"Bagus apanya? Yang ada aku bisa kena serangan jantung mendadak!" Sungutku padanya.
"Serangan jantung?" Kata Arsha membeo. Lalu dengan polosnya dia menempelkan tangan kanannya di dadaku. Tepat di jantungku. Aku sontak kaget dan tanpa sengaja menepis tangannya dari dadaku.
"Kamu ngapain sih?!" Kataku dengan agak keras. Dan dengan polosnya Arsha berkata padaku.
"Jantungmu berdetaknya kencang banget. Kayak volume sound yang di setel maksimal" Aku nyaris menganga lebar dan menjatuhkan rahangku ke lantai.
"Ya namanya juga mahluk hidup, Sha. Pasti jantungnya berdetak. Kalo nggak berarti dia mati" kilahku sambil berusaha menenangkan diri sendiri. Gila, disentuh Arsha segitu aja aku udah degdegan kayak gitu. Lama - lama aku bisa kena serangan jantung beneran nih!
"Masa sih? Coba deh kamu bedain sama detak jantungku" katanya sambil meraih tangan kananku dan menempelkannya di dadanya. Tepat di dadanya.
Detak jantung Arsha begitu teratur kurasa.
Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Deg. Beda banget dengan detak jantungku sekarang. Yang sudah mirip tabuhan genderang perang aja!
Baduum! Baduum! Baduumm!
"Cuma beda sedikit. Jantungmu aja yang berdetaknya lambat" kataku berusaha sesantai yang aku bisa. Arsha tetap mengernyit padaku.
"Kamu grogi, ya dekat - dekat sama aku?" Tanya Arsha dengan tangan mencengkram bahuku. Wajahnya perlahan mendekat kearahku. Aku menggeleng.
"Nggak kok. Ngapain juga aku harus grogi sama kamu" kataku santai. Arsha makin menghimpitku ke tembok dan ujung hidung kami kini saling menempel.
"Kamu ngga bisa bohong sama aku, Fa" katanya dengan senyum tipis. Jantungku berdetak makin tak karuan. "Hei, coba lihat! Mukamu jadi merah! Wah! Jadi kamu beneran grogi dekat aku nih?" Cengirnya girang.
Aku nggak bisa berhenti melongo dan merasa tak percaya. Cowok ini beneran mabuk, kan?
"Nggaklah. Mana mungkin" Kilahku berusaha mengalihkan wajahku dari wajahnya.
"Tuh, kan mukamu makin merah" ejeknya lalu tangannya meraih pipiku dan mengalihkannya menghadap wajahnya lagi. Lalu dia melemparkan sebuah senyum yang menurutku teramat manis.
Aku cuma bisa menatap matanya saat jempol tangannya mengusap pipiku lalu beranjak turun mengusap bibir bawahku. Nafasku makin pendek dan tak teratur.
"Bibir kamu lembut juga, Fa" bisiknya. Dan aku cuma bisa mematung saat hidung Arsha yang semula menempel di hidungku kini miring mengikuti gerak wajahnya. Dalam sekejap aroma alkohol itu menusuk hidungku dan dalam sekejap pula semua itu terjadi.
Arsha menempelkan bibir tipisnya diatas bibirku yang terkatup rapat. Lalu dalam waktu sekilas detik bibir Arsha melumat bibirku. Dia mengecup bibirku dengan tempo yang berubah - ubah. Kadang cepat dan kadang lambat. Aku cuma bisa terpana dan mematung di cium seperti itu. Mungkin Arsha merasakan kepasifanku makanya dia berusaha 'menggodaku'.
Tangan kirinya mengusap tengkukku sementara tangan kanannya mengelus dadaku. Bagai menyiram bensin dalam kobaran api Arsha membuatku lupa diri. Aku membalas ciumannya tak kalah agresif. Bibir saling berpagut. Lidah saling beradu dan tangan yang saling mengusap. Mengelus.
Kemudian tanpa aba - aba pintu toilet terbuka. Aku langsung terpana. Rasanya seperti mati rasa. Ciuman kami terlepas. Aku dan Arsha sama - sama tak bisa berkata - kata.
Dia masih berdiri di depan pintu toilet dengan ekspresi yang tak tertebak. Perasaanku seperti diremas - remas. Ada sinar kekecewaan dimatanya.
Dia.. dia perempuan yang aku kenal baik.
Icha
"Icha" seruku tanpa sadar. Aku dan Arsha berdiri saling bersisian, sama - sama kebingungan. Icha masih berdiri disana. Dengan ekspresi yang tak bisa aku tebak. Kemudian dia menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyum yang dipaksakan.
"Sori, gue kira nggak ada orang" katanya kikuk lalu bergegas berbalik dari tempatnya.
"Icha!" Seru Arsha kemudian. Aku sempat melihat badan Icha tersentak sebelum berbalik. "Tunggu dulu biar aku jelasin semuanya"
"Penjelasan apa? Nggak ada yang perlu di jelasin" sahut Icha cuek.
"Kamu salah paham, Cha. Apa yang kamu lihat nggak benar!" Seru Arsha serak. Hatiku tersentak. Arsha berusaha berjalan mendekati Icha meski tubuhnya sedikit limbung.
"Aku nggak melihat apa - apa. Udahlah nggak usah dibahas" ketus Icha cuek lalu hendak berbalik. Arsha berusaha menahan tangan Icha, tapi Icha buru - buru menyentak tangannya.
"Apa lagi maumu, hah?!" Kali ini Icha berseru dengan nada penuh amarah. Aku bisa melihat wajahnya yang menegang dan tangannya yang mengepal kuat. Sorot mata Icha begitu tajam dan kelihatan rapuh dan terluka. Tapi kenapa Icha harus terluka? Maksudku kenapa dia bisa terluka? Arsha diam mematung begitu juga denganku.
"Jangan mencoba menahanku untuk menjelaskan apapun. Asal kamu tahu semuanya sudah jelas sekarang!" Nada bicara Icha meninggi. "Aku benar - benar sudah muak!" Ketusnya lalu dengan langkah menghentak dia berbalik dan berlalu begitu saja.
Di lain pihak, Arsha cuma bisa terdiam dengan ekspresi wajah tak tertebak. Aku mencoba mendekati Arsha. Kemudian secara perlahan menyentuh bahunya.
"Arsha" kataku lemah. Dia memandang kearahku dan aku tak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Mata Arsha nanar dan memerah. Nafasku tercekat. Aku sama sekali tak bisa melihatnya seperti ini.
"Arsha.. maaf" lirihku. Dia tersenyum tipis sekali.
"Kamu nggak perlu minta maaf. Nggak ada apa - apa kok" sahutnya berusaha setenang mungkin. Tapi jantungku malah tak bisa tegar. Hatiku malah menjerit dan seperti ingin minta tolong.
"Aku minta maaf sama kamu. Gara - gara aku, kamu sama Icha bertengkar" kataku lemah.
Arsha menggeleng kemudian dia mengusap pelan kepalaku seraya tersenyum. Mata coklatnya menatap mataku.
"Sudah jangan dipikirkan. Kamu lanjut saja mainnya" kata Arsha lembut. Aku mengangguk seperti bocah penurut. Kemudian dia pergi meninggalkanku.
Saat Arsha menghilang dari pandangan aku merasakan kehampaan merasukiku. Rasanya benar - benar tidak nyaman. Aku menyenderkan tubuh ke tembok. Memikirkan semua yang telah terjadi. Adegan demi adegan berkelebat di kepalaku. Mulai dari ciuman itu, kebingungan dan pertengkaran itu. Semuanya. Aku menghela nafas panjang berusaha sekuat mungkin menenangkan perasaanku. Dalam hati aku merenung. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?