BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

MY BELOVED ASKAR

1131132134136137139

Comments

  • baca di part sebelumnya @QudhelMars
  • baca di part sebelumnya @QudhelMars
  • Cerita ini menarik, tapi lebih menarik pemikiran penulisnya.
  • Aurora_69 wrote: »
    Mengundang,
    @Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3
    @JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo
    @PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova
    @jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro
    @new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18
    @delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia
    @diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku
    @ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan
    @Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie
    @sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday
    @Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran
    @rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto
    @Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream
    @shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji
    @abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar
    @kaha @blasteran @BN @dian_des
    @Pyromaniac_pcy @melkikusuma1
    @asik_asikJos @opatampan @The_jack19
    @ori455 @lukisan_puisi @usernameku
    @dadanello @boncengek3 @earthymooned
    @gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama
    @OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif
    @satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa
    @Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6 @wisnuvernan2 @Riyand @askar_12 @babikapeler @dewa_ramadhanna @yogan28 @the_angel_of_hell @KuroZet @Reyzz9 @RivaldyMyrus @Algibran26 @UiOOp @ktp23 @Apell @Abdulloh_12 @QudhelMars

    Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.


    Part 43

    “Kakak!” teriak Fandi berlari-lari kearah kami yang baru pulang. Dia nampak terengah-engah merunduk sambil mengatur nafasnya yang tidak karuan. Dia lalu tersenyum kearah kami berdua. “Maaf kak, Fandi baru sempat sekarang kak.” Ujarnya tertuju pada Aldi.

    Aldi lalu tersenyum sambil memasukkan motornya kedalam perkarangan rumah gue, diikuti Fandi yang nampak tidak karuan saat ini. Mungkin dia sudah berlari sekencang-kencangnya dari persimpangan kompleks tadi, atau baru dikejar-kejar oleh segerombolan anjing gila yang buas. Entahlah, nampak ada hal penting yang harus dia sampaikan kepada Aldi sekarang juga. Gue jadi penasaran, apakah berhubungan dengan guekah?

    “Kita bicarakan diatas saja yuk!” ujarnya lagi merangkul Fandi yang nampak canggung. Aldi tidak mengacuhkan gue, meninggalkan gue di belakang mereka. Kedua orang tersebut langsung menuju kamar gue, sedangkan gue lebih memilih menemui Mama di dapur sambil menyerahkan pesanan mama tadi.

    “Ini Ma, bahan-bahannya.” Ujar gue seraya menyerahkan sekantong penuh belanjaan. “Kembaliannya dua puluh dua ribu lima ratus Ma, di dalam kantong.”

    “Makasih ya sayang. Aldi tadi mana?”

    “Langsung ke atas Ma, kasihan Dwi sendirian diatas, ntar diculik hantu.” jawab gue terkikik membayangkan bagaimana Dwi yang penakut itu bertemu hantu. Mukanya akan memucat dengan mata melotot, serta melemparkan apapun yang ada disekitarnya.

    “Hus..., nggak boleh gitu ah.” Mama mengibaskan tangan beliau ke muka gue. “Kalau Ian yang ketemu hantu nanti gimana?”

    “Ian pasti bakalan ngadepin tuh hantu Ma.” Jawab gue percaya diri. “Fandi datang kesini loh Ma.”

    “Oh ya? Bareng Ian sama Aldi tadi?”

    “Iya, nampaknya ada yang perlu Fandi sama Aldi bicarain deh, sampai dia lupa menemui Mama dulu.”

    “Iya nggak apa-apa. Nanti suruh Fandi ke bawah ya. Mama udah kangen soalnya. Kan udah lama nggk main ke sini." Mama lalu membuka belanjaan gue tadi. Beliau lalu mengeluarkan barang-barang yang gue beli dan memilah-milahnya. Yang mana yang akan diolah menjadi makan malam, dan yang mana akan disimpan kedalam kulkas.

    Gue lalu mendekati mama, sambil mengambil terung yang akan disimpan lalu mencucinya di wastafel. Kelihatannya sarapan gue sekeluarga besok adalah terong dicabein deh. Wkwk.

    “Ma...” panggil gue.

    “Hmmm...?” Mama memandang gue, nampaknya beliau sibuk dengan tablet yang ada ditangan beliau. Mungkin Bunda udah ngirimin resep masakan sehingga Mama menyuruh gue membeli belanjaan yang lumayan banyak ini ke pasar. “Ada apa nak? Mama lagi baca resep dari Bunda nih, ada untuk makan malam nanti."

    “Ma. Rian mau nanya sesuatu boleh nggak?”

    “Boleh mau nanya apa? Rian mau nanya Rian dilahirin dari mana lagi?” Mama melanjutkan kegiatan beliau yang tertunda.

    Gue tersipu malu mendengar sindiran Mama.
    Sewaktu kecil gue sangat nyinyir dan serba ingin tahu, sehingga pertanyaan aneh-aneh selalu terlontar dari mulut gue. Salah satunya itu, gue keluar dari perut Mama lewat mana. Syukurlah sejak kelas 6 SD gue sudah faham darimana gue keluar. Wkwkwk.

    “Nggak. Bukan itu Ma. Adrian mau nanya, ada nggak hal-hal aneh yang Mama rasain belakangan ini?”

    “Maksudnya hal-hal aneh di rumah kita...” Mama membesarkan mata sambil membuat tanda kutip dengan kedua tangannya.

    “Bukan itu..., maksud Adrian hal aneh seperti Mama seperti diuntiti atau Mama diteror atau email Mama dibajak gitu? Atau ada hal-hal aneh yang dikirim kepada Mama?”

    Mama tertawa, menepuk lengan gue sambil memenutup mulutnya. “Kamu ada-ada aja deh. Emang Mama orang penting apa sampai digituin.” Beliau lalu melanjutkan memotong sayuran sambil kembali bersuara. “Alhamdulillah sampai saat ini Mama belum merasakan hal yang seperti itu Ian. Dan semoga saja tidak pernah terjadi.”

    “Baik di email Mama sendiri?” Gue menahan nafas tertahan menanti jawaban Mama.

    Beliau mengetuk-ngetukan dagu dengan telunjuk lalu tersenyum ke arah gue. “Nggak ada hal-hal aneh yang masuk ke email-email Mama kok Ian. Kenapa?”

    “Nggak Ma.” Gue menggaruk-garuk tengkuk gue yang nggak gatal. “Adrian pernah makai email Mama untuk ngirim tugas, Adrian takut kalau jangan-jangan teman Adrian ada yang iseng sama Adrian.” Jawab gue bohong. Alasan yang cukup masuk akal bukan?
    Syukurlah kalau si anonymouse belum bertindak sesuai ancamannya belakangan ini. Semoga rencana Aldi dapat mengungkap siapa si anonymouse dan pengirim bunga mawar itu.

    “Baiklah, kalau ada yang ngirim macam-macam ke Mama, siap-siap saja Adrian Mama marahi.” Mama lalu tertawa. Gue tahu ancaman beliau tadi hanya bercanda. Gue nggak bisa membayangkan bagaimana seorang Mama yang jarang marah bakalan marah ke gue karena foto-foto mesra gue yang dikirim oleh anonymouse.

    “Ma, Adrian ke atas dulu ya Ma.”

    Mama berjalan kearah kulkas dan membukanya, mengeluarkan sepiring kue dan menyerahkannya ke gue. “Kasih ke Fandi ya Nak.” Ujar mama. “Dan jangan dimakan, ini jatahnya.” Mama berkomentar, seperti tahu apa yang ada difikiran gue sekarang.

    “Hehehe tau aja Ma.”

    Mama mencubit hidung gue gemas. “Karena kamu anak Mama, sayang.”

    Gue tersenyum sambil meneteng sepiring kue keatas. Duh, sayang banget si Fandi datang kesini. Kalau nggak kan bisa jadi buat gue kan. Ish kadang gue kesal dengan adek gue itu, datang disaat yang tidak tepat.

    Setelah sampai didepan pintu kamar, gue membukanya dengan pelan. Terdengar bisik-bisik diantara mereka bertiga, nampak kompak dan rahasia. Mereka bertiga duduk diatas kasur dengan Fandi yang bersandar ke dinding dan Aldi dan Fandi didepannya.

    “Ehm serius amat.” Ujar gue sambil mendekat kearah mereka. Mereka belingsatan dengan kehadiran gue. Mereka kelihatan mencurigakan.
    Gue meletakkan kue di nakas sambil bergabung dengan mereka. “Kata Mama, itu jatah buat Fandi.” Sindir gue ke Dwi yang menatap kue itu penuh nafsu.

    “Lagi ngomongin apa sih, serius amat? Sampai bisik-bisik gitu.” Tanya gue duduk disamping Fandi.

    “Kita lagi ada bisnis, lo nggak usah tahu.” Jawab Aldi sambil membetulkan kacamatanya. Gue seperti mengendus sesuatu yang mencurigakan dari mereka bertiga. Sebegitu rahasianya itu bisnis sampai gue nggak mereka kasih tahu. Aneh bin ajaib. “Yang jelas lo bakalan tahu nanti.” Ujar Aldi dengan senyum nakal disertai kikikan Fandi dan Dwi yang udah kayak kuntilanak. Gue jadi semakin penasaran dengan bisnis mereka yang super duper rahasia itu.

    “Jadi gue nggak boleh tahu nih?” tanya gue menatap mereka bergantian, memohon untuk diberi tahu. Gue bisa mati penasaran kalau begini ceritanya. Aldi hanya menggeleng dengan muka serius menegaskan kalau bisnis mereka memang nggak boleh gue ketahui.

    “Makasih ya Fandi.” Aldi mengacak-acak rambut Fandi, sehingga mukanya memerah laksana tomat.

    “Ya udah deh, kalau gue nggak boleh tahu.” Gue berpura-pura ngambek sambil memanyunkan bibir. Gue menatap Fandi yang merasa bersalah. “Tapi ada yang ingin kakak tanyakan ke Fandi.” Fandi menatap Aldi sejenak sebelum kembali memandang gue.

    "Lo mau nanya apa? Kalau berhubungan dengan bisnis kami, nggak bisa." Aldi bersuara.

    "Nggak ada hubungannya dengan bisnis lo, mungkin. Ini tentang teman sekelasnya Fandi."

    "Fan, Nathan itu orangnya seperti apa sih?”

    Fandi terkejut dengan pertanyaan gue. Dia berfikir sejenak, menggigit bibir bawahnya lalu menatap mata gue mantap. “Nathan orang yang baik kak. Dia pintar dan sangat bersahabat, setia kawan. Dia ganteng...” Fandi terdiam sebelum melanjutkan, “...dan juga terkenal.”

    “Hmmm..., Fandi sebangku sama dia?”

    “Nggak kak. Bangku Fandi persis di depan bangkunya Nathan kak.”

    “Setahu Fandi, ada hal aneh nggak yang dilakukan oleh Nathan belakangan ini?” Fandi menyengit, begitupun Aldi yang menatap gue penasaran.

    “Fandi rasa sih nggak kak. Hanya saja, keputusan dia buat gabung ekstrakulikuler Kimia itu lumayan aneh kak, sebab Nathan nggak begitu suka dengan mata pelajaran Kimia.” jawabnya menerawang.

    “Mungkin dia ingin mendalami Kimia kali, jadinya dia gabung ekskul olimpiade.” Dwi nyeletuk diseberang sana dengan handphone ditangannya.

    Fandi nampak berusaha untuk memahami, walau ada keraguan dalam hatinya. “Lagian ini udah akhir kelas X, dan pembagian jurusan juga belum jelas. Itu aja sih yang aneh menurut Fandi kak, nggak ada yang lain.” Dia menatap gue, “emang Nathan bertingkah aneh di ekskul ya kak?”

    Gue menggeleng seraya menepuk pundaknya. “Nggak kok.” Gue meraih piring yang ada di nakas dan menyerahkannya ke Fandi. “Ini kue buat Fandi. Mama juga nyuruh Fandi ke bawah, katanya kangen.”

    “Iya Kak, terima kasih.” Dia menerima piring dari gue.

    “Satu lagi, kakak kepo. Nathan udah punya pacar belum?”
    Persetan, gue sudah kepalang basah untuk mengkepoi Nathan ke Fandi gegara pertanyaannya beberapa hari yang lalu. Nampak Fandi tersontak mendengar pertanyaan gue yang frontal.

    “Setahu Fandi, Nathan belum punya pacar kak.” Fandi menekurkan kepalanya. “Tapi dia telah menyukai seseorang.” Jawabnya dengan suara bergetar.

    Nampaknya pertanyaan gue tadi mengganggu dia, sehingga dia hanya menatap kearah piring berisi kue tanpa niat untuk mau menyentuhnya. Dia lalu bangkit dari ranjang gue dan minta izin kepada kami bertiga untuk ke bawah.

    “Ada yang salah dengan pertanyaan gue?” tanya gue kepada saudara-saudara gue sepeninggal Fandi.

    “Ya, lo menanyai seorang cowok sudah punya pacar atau belum, sedangkan lo udah punya cowok.” Jawab Dwi sarkas tanpa menoleh sedikitpun ke gue. Dia lebih asyik memainkan permainan di smartphonenya, atau dia sedang kesal karena kue tadi bukan untuknya.

    “Gue hanya kepo soal Nathan. Nggak lebih, gue nggak selingkuh kok.”

    “Ya mana tahu aja lo ancang-ancang cari pacar setelah ditinggal Askar ke Surabaya.” Dwi terkekeh.

    “Gue nggak sebegitu kali. Lo tahu kan gimana gue, gue ini bukan piala bergilir yang lepas dari sini lalu hinggap ke sini.”

    “Atau mungkin saja Fandi kaget karena kakaknya nanyain status seorang cowok?” Aldi buka suara menatap gue. “Dan kakaknya itu cowok.” Celetuk Dwi.

    “Ngg..., nggak tau sih.” Gue menggaruk-garuk tengkuk gue. “Bisa jadi sih.”

    “Emangnya kenapa lo nanya-nanya tentang Nathan segala?”

    “Gue hanya penasaran sama Nathan. Gue curiga kalau Nathan itu ada hubungannya dengan anonymouse.”

    “Kok lo berprasangka gitu sih?” Aldi membetulkan posisi kacamatanya, menatap gue penuh antusias.

    “Soalnya, belakangan ini Nathan nampak mencurigakan bagi gue. Pertama, dia gabung dengan ekskul Kimia. Setuju dengan Fandi tadi, diakhir semester dua dia baru gabung dan dia anak kelas X. Menurut kebiasaan kan, kalau nggak awal kelas X atau awal kelas XI yang udah tahu jurusannya apa kan.”

    Aldi mangut-mangut sedangkan Dwi udah ada disamping gue mendengarkan perkataan gue dengan seksama.

    “Yang kedua, disaat gue nyebutin email Mama, dia juga ada di TKP kan. Dan disaat anonymouse mengirimkan teror, dia lagi main handphone. Dan yang ketiga, beberapa hari yang lalu, dia sempat nanya-nanya ke gue tentang memanfaatkan seseorang, dan memisahkan seseorang dari orang yang seseorang itu sukai.”

    “Jadi, lo nanyain Fandi tadi untuk memastikan apakah Nathan ada hubungannya dengan aanonymouse atau bukan?”

    “Ya, Al. Gue awalnya sih berfikiran nggak seperti itu. Gue rasa Nathan nggak ada hubungannya, tapi bolehkan kalau gue berspekulasi.”

    “Spekulasi lo gila juga ya.” Celetuk Dwi menepuk pundak gue. “Seorang Nathan yang katanya King pas MOS kemarin menyukai lo, lalu mendekati lo melalui ekskul Kimia, trus meneror lo supaya lo berpisah dengan Askar karena dia suka lo, dan dia punya bukti foto ciuman lo bareng Askar.” Dia mangut-mangut nggak jelas menatap keluar jendela sambil kembali berkomentar yang membuat gue tergelitik. “Kalau iya, Askar bakalan punya saingan sepadan tuh.”

    “Ya... gitu Wi.” Komentar gue seadanya.

    “Kita harus selidiki dulu.” Aldi bersuara dengan mata menerawang seperti memikirkan sesuatu. “Bisa jadi dia gabung ekskul Kimia karena dia memang ingin mendalami dan memahami Kimia karena dia kurang mampu disitu. Kemudian, bisa saja dia sedang browsing ataupun membalas chat temannya disaat lo menyebutkan email Mama. Dan terakhir, belum tentu dia menyukai seseorang sehingga rela memanfaatkan orang dan memisahkan orang yang dia sukai itu dengan gebetannya yang mana orangnya lo, bisa saja orang lain kan. Lagian ngapain juga dia nanyain ke lo, kan perbuatannya bisa terendus dengan mudah oleh lo.”

    Gue memandang handphone gue yang ada di nakas. Betul juga apa yang dikatakan Aldi. Belum tentu apa yang gue sangkakan ke Nathan itu betul, dan mungkin saja itu hanya kebetulan saja dengan kejadian yang tengah menimpa gue sekarang.

    “Oh ya guys, ntar malam bisa temenin gue nggak?”

    “Kemana? Mumpung malam minggu nih.” tanya Dwi antusias. “Tapi kalau genitin om-om, gue mundur deh.”

    Gue menapok kepalanya sehingga sukses membuatnya mengaduh, menjerit kesakitan. “Nggak kali, gue nggak sebegitu bringasnya sama om-om. Gue diajak sama Askar, katanya ajak kalian sekalian kalau kalian mau.”

    “Nggak jadi deh, ntar kita berdua jadi obat nyamuk lagi. Nggak-nggak jadi.”
    Dwi menggelengkan kepalanya.

    “Ayolah Al...” gue lalu memelas kepada Aldi yang nampak menimang baik-buruk keputusan yang bakalan dia ambil. Haruskah dia berfikir dulu? “Ayolah Al..., demi gue. Gue bisa aman dari anonymouse kalau ada kalian juga.” Gupun memeluk lengannya yang sebelas dua belas dengan lengan gue.

    “Oke-oke.” Jawabnya sambil menyembunyikan senyum yang terukir di bibirnya, melihat gue yang girang nggak karuan. Gue lalu memeluk dirinya erat.

    “Tapi kan...” Dwi nampak ragu-ragu dengan keputusan Edogawa Conan gue.

    “Lo denger tuh kata Aldi, iya ya iya. Ikut aja, kapan juga kita bisa pergi bareng.” Teriak gue girang.

    “Lagian, juga mau ada yang gue pastiin nanti.” Ujar Aldi sehingga Dwi bungkam.

    “Gue akan berusaha melindungi lo semampu gue, Ian.” Tandas Aldi sambil memeluk gue.

    “Makasih ya Al...” gue menciumi pipinya beberapa kali sampai kami berdua dikejutkan dengan pintu kamar gue yang terbuka.

    Fandi menatap kita dengan muka horor.

    “Kakak?” desisnya.

    ---

    Dari penjelasan Dwi, syukurlah Fandi faham dan mengerti, sehingga tidak ada hal aneh-aneh yang difikirkan olehnya tentang kami berdua (Gue dan Aldi tentunya). Gue sempat khawatir jikalau Fandi berfikiran macam-macam sehingga menjauhi gue, melihat dari ekspresi kagetnya saat itu. Thanks buat Dwi yang udah berhasil menjelaskan ke dia.
    Setelah makan bersama, Fandi lalu diantar Aldi kerumahnya sedangkan gue dan Dwi menunggu kedatangan Askar. Setelah Askar dan Aldi sampai, gue lalu berpamitan kepada Papa dan Mama untuk keluar dengan alasan cari angin. Dan sekarang, gue lagi ada di bukit gundul, sebuah bukit yang lagi heboh saat ini karena pemandangan malamnya yang indah. Menampilkan gemerlap malam kota gue yang indah.

    “Beib?” Bisik Askar sehingga gue menoleh ke dia yang duduk disamping gue. Kadang gue geli dengan panggilan sayangnya itu.

    “Hmm...”

    “Indah ya pemandangan kota kita.” Ujarnya sambil memakan arum manis yang ada ditangan gue dengan mulutnya. “Tapi, sayangnya nggak seindah bulan malam ini."

    Gue terkekeh. “Nggak ada bulan tuh.” Gue menunjuk langit yang gelap. Seharusnya malam ini ada bulan purnama yang menghiasi malam, tapi karena awan yang tebal menutup bintang-bintang dan bulan malam ini. “Lo lagi ngigau ya?”

    “Nggak kok, gue nggak ngigau. Bulannya kan ada disamping gue sekarang.” Ujarnya sambil mencomot arum manis lagi. “Bulan yang disana...” dia menunjuk kearah tempat seharusnya bulan berada, “...lagi sembunyi karena kalah saing sama bulan yang ada disamping gue ini.” sambil memandang gue mesra.

    Gue langsung menoyor kepalanya menjauhi muka gue yang udah memanas laksana bara api. Senyum-senyum nggak jelas sambil membuang muka dari Askar. Gombalannya sukses bikin gue klepek-klepek trus dilempar ke langit. Pinter banget nih anak ngegombal, coba aja akademisnya sepintar gombalannya.

    “Ciee yang malu ka...” dan tangan gue kembali menoyor mukanya menjauhi gue. Gue lalu mencomot gula kapas dan memakannya sambil membuang muka. Aldi dan Dwi mana lagi, nggak nongol-nongol, katanya mau selfie.

    “Lo akan menjadi penghias malam, memberikan cahaya dan penunjuk arah bagi musafir, pengendali pasang surut dan menjadi acuan waktu. Lo memberikan manfaat bagi orang disekitar lo.”

    Gue terbatuk-batuk dengan gombalannya. Gue lalu menatapnya yang lagi menatap langit. Ntah apa yang sedang difikirkannya, mungkin menghayalkan gue mungkin, entahlah. Dia lalu menoleh kearah gue dan tersenyum. “Kenapa?”

    “Bulan ya? Bulan akan bercahaya apabila mendapatkan cahaya dari matahari. Trus mataharinya siapa dong?”

    “Gue. Askar Bastian Putra adalah mataharinya Adrian Aditya.” Ujarnya pongah. “Karena lo nggak bakalan bersinar tanpa gue.”

    Gue mengakat sebelah alis gue. “Oh ya? Yakin bener lo Kar.”

    “Gue yakin karena lo sendiri nggak bisa membohongi diri lo sendiri kalau lo nggak bisa hidup tanpa gue.” Jawabnya pasti.
    Ya gue akui mungkin gue nggak bakalan bersinar tanpa seorang Askar didekat gue.

    Gue menekurkan kepala, lalu menoleh kearah arum manis yang tinggal beberapa gigitan lagi akan habis. Gue mendekatkan mulut gue kearah arum manis dan menggigitnya. Sebelum sebuah bibir beradu dengan bibir gue.

    Wajah gue memerah, Askar melancarkan ciuman kilat dengan senyuman yang bikin meleleh. Dia merampas tongkat kayu arum manis, lalu melemparkannya kesembarang tempat. Dia membasahi bibir bawahnya menatap gue intens, menyapu bibir gue dengan jempolnya lalu menjilatnya pelan. Membuat gue menegang.

    Dia tersenyum penuh gairah mematap mata gue seperti menembus kedalam tubuh gue. Nafas gue memburu disaat Askar memegang kedua pipi gue. Dia lalu mendekatkan wajahnya kewajah gue, menatap mata gue sehingga gue menantang matanya dan ...

    “Bos?”

    Tangan gue refleks menampar wajah Askar hingga membuatnya mengaduh kesakitan. Gue kelabakan menoleh kiri dan kanan mencari si sumber suara yang nggak begitu jauh dari posisi mesum kami berdua. Dia lagi menggandeng serang cewek dan bukan hanya ada dia dan ceweknya, tapi juga ada Aldi dan Dwi.

    “Evan!” geram Askar sambil mengelus-ngelus pipinya yang memerah. Askar memandang gue meminta penjelasan atas kelakuan gue. Maafkan gue Kar, salahkan Evan yang datang disaat yang tidak tepat sehingga otomatis tangan gue langsung bekerja.

    “Itu ada nyamuk di wajah lo.” Ujar gue menjelaskan. Sedangkan Aldi dan Dwi sudah menutup mulut dengan tangan mereka sambil menahan tawa sendari tadi. Mungkin sebentar lagi bakalan meledak tuh tawa.

    Evan dan pacarnya duduk disamping Askar. Sedangkan Aldi dan Dwi duduk disamping gue sambil sesekali melihat tuh cewek. Gue ingat, itu cewek kan anak kelas X yang digandeng Evan beberapa bulan yang lalu. Cantik dan anggun. Semoga dia nggak melihat tingkah mesum gue tadi, sehingga reputasi gue sebagai siswa baik-baik nggak jatuh.

    “Bos juga kesini ya?” tanya Evan sambil menatap Askat miris. Lagi romantis-romantisnya malah kena tampar.

    “Iya, gue ngajak kacung gue sama temennya main disini.” Ujarnya sarkas. Kening duo Aldi dan Dwi langsung berkerut mendengar kata-kata Askar yang nampak menghina gue banget. Gue hanya bisa meredakan emosi mereka dengan tangan, mengingatkan kalau ini sandiwara belaka. Syukurlah mereka berdua langsung sadar kalau ada ‘orang lain’ disini. “Lo nggak ngumpul?”

    “Nggak bos, ada Aldo disana.” Jawab Evan sambil menggenggam erat tangan pacarnya. “boleh dong sekali-kali main sama pacar.” Ujarnya menatap mesra pacarnya yang nampak malu-malu.

    “Oh ya, nama lo siapa? Anak X.8 kan?”

    “Yoi bos, namanya Dina.” Jawab Evan. Sekali lagi cewek cantik berambut panjang itu hanya tersenyum tanpa berkomentar sepatah katapun, sambil sesekali menatap gue yang menatapnya. Gue langsung buang muka karena ketahuan lagi curi-curi pandang. Bisa di basmi Evan gue nanti.

    “Eh bay the way. Aldo itu anggota Yakuza Junior ya Evan?” tanya Aldi ke Evan sok kenal sok dekat. Pertanyaan bodoh apa itu, masa Aldi nggak tahu kalau Aldo itu salah satu pejabat teras di Yakuza Junior. Kudet banget nih anak kalau sampai nggak tahu.

    “Iya, dia salah satu orang yang cukup penting di Yakuza Junior.” Jawab Evan sambil melirik Askar. Askar lalu berdiri, memberi kode untuk melanjutkan lalu meninggalkan kami berlima tanpa bicara sepatah katapun. Mungkin dia nggak ingin mengganggu Evan dalam menjawab, karena Evan sempat ragu-ragu dalam menjawab. Gue memilih untuk bersama Aldi daripada Askar. Kepo juga apa yang bakalan di tanyain Edogawa Conan gue.
    “Kenapa?” tanya Evan balik.

    “Nggak gue sekedar pengen tahu aja. Soalnya dari kalian bertiga, cuma dia yang aka sedikit ‘aneh’. Maaf ya.”

    “Owh itu, dia emang orang yang tertutup. Dia jarang ngomong, dan kalau ngomong yang penting-penting saja sih. Orang bilang dia sombong, tapi mungkin karena sifatnya yang tertutup itu kali. Dia hanya bisa bergaul dengan orang-orang yang dia percayai, makanya dia dibilang aneh. Sebenarnya nggak kok.” Jawab Evan menerawang.

    Aldi mangut-mangut menggosok-gosok dagunya. “Jadi dia nggak aneh ya. Jadi dia nggak melakukan hal yang aneh-aneh belakangan ini dong?”

    “Kalo yang aneh banget nggak sih. Tapi dia lebih tertutup sekarang, suka menyendiri dan nampaknya dia punya kehidupannya sendiri sekarang. Gue aja sebagai teman dekatnya aja nggak tahu apa yang lagi dia lakukan sekarang. Kok nanya gitu?”

    “Nggak kok Van.” Aldi tersenyum. “Gue hanya pengen tahu dia aja, soalnya dari kalian bertiga, dia aja yang berbeda gitu sama kita. Jadi gue sedikit kepo.”

    “Jadi, nanyain keanehannya untuk apa?” Evan memandang Aldi penuh heran.

    “Kami berdua sih pengen dekat sama dia.” Dwi buka suara. “Takutnya dia nggak suka sama kami, jadinya kami nanya gitu.”

    Evan hanya mengangguk-angguk. Dia nampak bermesraan dengan Dina pacarnya ketimbang mengacuhkan kami. Dwi kembali sibuk dengan smartphonenya, Aldi dengan otaknya yang lagi bekerja dan gue yang celengak celenguk mencari pujaan hati yang entah kemana.

    ‘Kar, lo d mn?’
    20.43


    Gue mengiriminya pesan sambil sesekali memotret pemandangan dari bukit yang lagi buah bibir orang-orang karena keindahan pemandangan malamnya.

    Tak lama, Evan berpamitan dari kami sambil merangkul pacarnya. Nampaknya mereka hendak berselfie ria deh. Tak lupa dia juga mohon salam sama bosnya yang entah menghilang kemana. Gue kembali mencek smartphone gue adakah balasan dari dia atau nggak, tapi nampaknya harapan gue belum terwujud.

    “Thanks udah nyelamatin gue.” Aldi menepuk bahu Dwi sehingga Dwi nyegir memperlihatkan giginya yang rapi. Beberapa menit setelah Evan dan Dina pergi.

    “Biasa itu mah.” Ujar Dwi. “Jadi lo curiga sama Aldo?”

    “Yaaa begitulah.” Jawab Aldi sambil memandang kota gue dari ketinggian. Gue memilih untuk mendengarkan ketimbang menyela percakapan mereka. Toh gue nggak bisa berbuat banyak.

    “Kalau gue lebih curiga sama Tia, daripada sama Aldo.” Perkataan Dwi sontak membuat gue tidak bisa menahan diri untuk berkomentar.

    “Maksud lo?” tanya gue.

    “Ya, gue udah bilang sama Aldi sebelum-sebelumnya, kalau gue curiga Tia ada hubungannya sama anonymouse.”

    “Itu nggak mungkin Wi, Tia itu orang baik. Nggak mungkin dia ngelakuin ini ke gue.”

    Dwi terkekeh, baru kali ini gue melihatnya nampak seserius ini. “Seseorang yang menurut kita baik, belum tentu dia itu benar-benar baik. Mungkin saja dia hanya baik di depan lo doang. Baik untuk menarik perhatian lo.”

    “Tapi, dia kan...”

    “Tapi apa?” kejar Dwi. “Dia suka sama lo?”

    Gue mengangguk mengiyakan. “Mungkin dia suka gue kalau dilihat dari gelagatnya.” Jawab gue jujur. Muka gue rasanya memanas.

    “Malah itu yang tambah mengerikan. Setelah mengetahui kalau lo jalan bareng Askar, untuk mendapatkan lo, dia rela melakukan apa saja, termasuk meneror lo supaya berpisah dengan Askar. Dengan kebaikannya, lo akhirnya memilih dia untuk menjadi pacar.” Jelasnya berapi-api. “Dari motif yang ada, gue yakin kalau Tia ada hubungannya dengan anonymouse.” Tandasnya.

    Aldi mangut-mangut sambil memandang gue. “Kita punya dugaan yang berbeda. Lo...” dia menunjuk gue, “Lo curiga Nathan ada hubungannya dengan anonymouse. Dwi menduga kalau Tia ada hubungannya dengan anonymouse. Sedangkan gue lebih condong ke Aldo.” Dia membetulkan kacamatanya. “Tapi tidak menutup kemungkinan kalau ada orang lain yang mungkin saja dalang dibalik teror buat Adrian.”

    Gue terdiam mendengarkan penjelasan Aldi yang dingin. “Bahkan seorang Askar nampak mencurigakan saat ini.”

    “Askar?”

    “Ya, Askar. Serta orang-orang yang kenal baik dengan lo berdua. Semisal ibunya Askar atau siapanya Askar atau salah satu dari keluarga besar lo bisa berkemungkinan.” Terang Aldi.

    Gue memejamkan mata seraya menghembuskan nafas dalam. Sebegitu rumitnya masalah gue dan Askar hadapi. Teror ke gue, dan masalah keluarganya Askar yang akan berpisah serta Askar yang akan pergi ke Surabaya. Belum juga jelas hubungan diantara kami berdua, kami udah ditimpa masalah yang pelik seperti ini.

    Aldi dan Dwi beranjak mendekati gue, lalu secara spontan mereka memeluk gue dengan sangat kencang. Kita laksana Teletubbies yang sedang berpelukan.

    “Yang sabar ya Rian.” Ujar Aldi. “Badai pasti berlalu.” Tandas Dwi.

    “Ehm.” Terdengar suara seseorang yang sangat gue kenal, membuat kami melepaskan pelukan. Askar memandang aneh kearah kami sambil menaikan alisnya keatas. “Cabut yuk!.”

    Gue memandang Aldi dan Dwi bergantian sebelum menatap mata Askar mantap. “Kita disini dulu.” Ujar gue.

    “Ayolah..., ini penting banget.”

    “Emang kita akan kemana?” tanya Dwi.

    Askar menghembuskan nafas sambil menatap lekat mata gue laksana menembus diri gue sendiri. “Kita mau menemui orang tua gue.”

    --- tbc
    R~


    Halo minna, balik lagi bersama gue Aurora pakai enam sembilan disini. Maaf udah membuat antum semua kebosanan menunggu cerita gue yang kata bang @lostfaro udah kayak salah satu sinetron stripping yang lagi tayang di salah satu tivi swasta di Indonesia. Belum juga tamat-tamat sampai sekarang. Terkadang kesel gue sama dia, tapi gimana lagi kenyataannya begitu. Semoga mega proyeknya sukses ya bang.
    Kembali ke tekape. Kalau boleh curhat dikit nih, gue lagi terbentur banget buat bikin cerita belakangan ini. Masalah pribadi, temen-temen gue yang pada curhat ke gue, ditambah Bundo yang udah ngebet nyindir-nyindir gue buat nikah gegara baca berita infotainment yang lagi booming belakangan ini (nikah muda coy!). Pasangan cewek aj belum ada. Bisa pingsan Ibu gue ntar kalau gue bawa salah satu member sini untuk gue kenalin k beliau menjadi pasangan hidup gue. Ada yang mau daftar nggak? Wkwkwk becanda. Mungkin Bundo pengen cucu kali ya. ;) Jadi mohon maaf lagi kedepannya bakalan nyendat. September juga udah kembali ke surau eh ke kampus maksudnya. Jadi ya... buat antum semua perbanyak sabar ya.
    Bagaimana minna dengan part 43 ini? Semoga puas dan dapat menerimanya dengan lapang dada. Buat part depan gue kasih bocoran kalau Adrian akan bertemu sama orang tuanya Askar. Jadi di tunggu ya...
    Gue juga mohon vote n komentar dari teman-teman semua. Karena dengan vote n komentar dari teman-teman semualah yang memacu semangat gue untuk mengetik cerita ini di hp sampai di marahin Ibu karena main hp mulu. Okeh... thanks udah meluangkan waktu untuk membaca cerita gue serta curhatan gue yang nggak bermutu dan tak penting ini.
    Selamat malam n sunt. ;)

    13 Agustus 2016 – 17.59
    Salam
    R~

    Gw gak di absen??
  • Kirain up beneran,- gataunya cuma repost gara" ga di mention,- pfft @cokker_69
  • Iya ni mba udah lama nggak update
  • Njirrrr dipanggil mbaaa :wink:
  • Abang, kapan diupdate?
  • Fokus sama cerbung "Why" terus...
  • updatenya lama ya? padahal seru nih, masalah si anonim cepet diselesein dong biar gak berlarut-larut, terus kasih drama baru, kalo update tolong dimention juga ya, suka deh sama Askar, hehe :p
  • Ya, akhirnya nongol lagi
    Yg semangat dong nulisnya mas @Aurora_69
    Aku selalu menunggu
  • Titip mention nya ya @Aurora_69 :-)
  • Mau donk Di mention.. Suka baca cerita ini.. marathon bacanya dari tadi siang..
  • Kakak mbanya kapan dilanjut toh
Sign In or Register to comment.