It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@QudhelMars Duh my bro cemburu nih. Wkwk
@Daser why with cupu om?
@Riyand Hahay... Sedikit demi sedikit akan tersingkap om... Bentar lagi bakalan bugil. Eh...
Hadehh
udah aku cek @Aurora_69....ada rupanya ckck
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3 @JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo @PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova @jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro @new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18 @delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia @diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku @ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan @Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie @sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday @Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran @rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto @Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream @shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji @abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar @kaha @blasteran @BN @dian_des @Pyromaniac_pcy @melkikusuma1 @asik_asikJos @opatampan @The_jack19 @ori455 @lukisan_puisi @usernameku @dadanello @boncengek3 @earthymooned @gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama @OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif @satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa @Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6 @wisnuvernan2 @Riyand @askar_12 @babikapeler @dewa_ramadhanna @yogan28 @the_angel_of_hell @KuroZet @Reyzz9 @RivaldyMyrus @Algibran26 @UiOOp @ktp23 @Apell @Abdulloh_12 @QudhelMars @Rama212 @CouplingWith @Virusku @riordanisme @Mr27
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
Part 47
Dengan langkah tergesa-gesa, gue lalu keluar dari ruangan rapat OSIS sambil melirik jam yang melingkar di tangan kanan gue. Gue baru saja menghadiri rapat persiapan class meeting yang molor sekitar setengah jam dari jadwal yang telah direncanakan. Ditambah lagi banyak anggota OSIS yang datang terlambat membuat rapat terakhir itu semakin alot. Syukurlah, sang ketua panitia dapat menghandle anggotanya sehingga rapat selesai jam dua sore lewat dua puluh lima menit. Satu jam kurang lima menit dari perkiraan gue sebelumnya. Pasti Askar sudah lama menunggu di danau belakang sekolah.
“Adrian tunggu!” teriak Ridho sambil menarik gue dengan kuat. Bersama Sandi, dia lalu mendudukan gue di salah satu bangku di depan ruang OSIS sambil menatap gue penasaran. Gue berusaha berontak hendak melepaskan diri, tapi apa daya kekuatan gue yang tidak sebanding dengan mereka membuat seorang Adrian Aditya terpaksa terduduk di depan meja interogasi.
Caca dan Vivi lalu duduk di depan gue sambil menopangkan kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada meja, laksana interrogator FBI yang ada di film-film. Syukurlah tidak ada lampu gantung diatas kepala kami, sehingga dapat menambah kesan dramatis kejadian ini, mengingatkan gue dengan salah satu adegan di film kartun dari negeri jiran.
“Gue ada urusan penting nih,” gue berontak berusaha melepaskan kedua tangan gue dari Ridho dan Sandy. “Please Dho, San, tolong gue...” pinta gue memelas.
“Jangan biarkan dia sampai lolos Dho, Ndi!” ujar Caca laksana ketua interrogator kali ini. Caca lalu melirik gue ganas “Lo harus menjelaskan berita panas lo, sehingga berita gue up to date.”
“Ini bukan menjelaskan bego!” bentak gue yang geram dengan kelakuan mereka, “ini pemaksaan tau nggak. Gue ada urusan penting nih.” Gue berontak lagi.
“Terserahlah apa namanya, kita nggak butuh itu. Yang penting lo mengklarifikasi tentang foto yang jadi viral saat ini,” Vivi bersuara dengan muka senyam senyum nggak jelas.
Sialan. Kalau tahu bakalan kayak gini, gue pasti akan mangkir dari nih rapat. Udah ngabisin waktu, terus pakai acara di sandera para perompak berita ini pula. Apes banget dah gue hari ini.
“Foto apa?” tanya gue berlagak pilon.
“Ini, foto lo yang sepayung berdua tadi pagi,” ujar Vivi sambil menyodorkan layar handphonenya ke depan muka gue. Gue meneguk ludah menatap foto yang terpampang jelas menampilkan gue yang sepayung berdua dengan Tia, yang pasti dibagikan oleh salah seorang bocah yang menfotoi gue tadi pagi.
“Oke, gue jelasin, tolong lepasin gue Dho, San! Gue nggak bakalan lari.”
Ridho dan Sandy lalu melepaskan pegangan mereka sambil nyengir ke gue, yang hanya gue balas dengan dengusan. Begitupun dengan Vivi dan Caca yang nampak sumringah. Maaf ya Kar, lo harus nunggu lama lagi gegara empat celurut ini.
“Gue mulai dari mana nih?” tanya gue dengan nada bosan. Tak lupa tangan tertopang dan telunjuk mengetuk-ngetuk meja.
Caca menjentikkan jarinya. “Gimana hubungan lo dengan Tia sekarang?”
“Biasa aja.”
“Hey, hey, lo udah nembak dia belum?” Ridho kini bersuara.
“Belum, gue belum ada sampai kefikiran kesana,” jawab gue dingin.
Pertanyaan Ridho melemparkan gue ke kejadian tadi pagi. Tia menangis tersedu-sedu sampai Aldi dan Dwi masuk kedalam kelas tanpa permisi. Dwi yang hiperbolis sempat syok dan heboh, menanyai Tia apakah gue melakukan hal-hal yang tidak senonoh kepadanya. Tak lupa menuduh gue yang melakukan hal yang macam-macam terhadap Tia. Please deh, hal yang paling lancang yang telah gue lakukan kepada Tia, adalah memeluknya erat. Itu saja, tidak lebih. Begitupun Aldi yang sempat bingung, sebelum dia melihat bunga mawar serta kartu yang tergeletak di meja membuat dia faham dengan sendirinya, mengajak Dwi yang rempong itu keluar dari kelas meninggalkan gue dan Tia berdua.
“Woi bengong aja lo Rian, lo nggak denger gue ya?” ujar Caca membuyarkan lamunan gue. Dia melambai-lambaikan tangannya sambil sesekali bertepuk di depan muka gue.
“Apa?” tanya gue ketus.
“Ish..., mikirin Tia segitu amat sih,” goda Ridho sambil menyenggol bahu gue dengan bahunya. “Mikirin cara nembaknya ya?”
“Eh tau aja lo,” jawab gue pura-pura tertarik dengan perkataannya. Ridho terlihat senang. Gue emang harus berpura-pura tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya saat ini, supaya mereka nggak mengendus hal-hal yang bakalan buat sekolah jadi gempar karena gue.
“Tau dong,” Ridho menyombongkan diri, “lo cepetan dong nembak Tianya, jangan lama-lama gantungin anak orang tanpa tali. Ntar ditikung orang baru tau rasa lo.”
Gue tersenyum masam mengingat kejadian tadi pagi. Mengingat ekspresinya saat dia pergi ke kelasnya dengan penuh kekecewaan, membuat jantung gue tiba-tiba kembali terasa sakit.
“Atau Tia buat gue aja,” seloroh Sandy sambil cengengesan. Vivi dan Caca langsung bereaksi dengan perkataan Sandy. Mereka tampak geram sambil memukul kepala Sandi dengan tas dengan ganasnya, bagaikan Sandy telah membongkar aib mereka berdua.
“Tia udah cocok sama Adrian, jangan lo ganggu pula,” cerocos Vivi dengan muka sangar tanda tidak terima. “Mending lo sama Ibeth gih, dia jomblo tuh.”
Sandi menoleh kearah Vivi dengan muka kaget tidak percaya, lalu memandangi kami bergantian sambil bergidik ngeri seperti membayangkan Ibeth seorang pocong berkafan polkadot warna-warni yang ngesot di perempatan jalan pas malam minggu kliwon.
“Kenapa lo, kayak gitu amat sih?” tanya Caca memandang aneh si Sandy. “Ada masalah sama Ibeth?”
“Nggak deh, makasih,” jawab Sandy mengangkat kedua tangannya, “Tia aja gue cukup.”
“Tia untuk Andrian bego!” teriak Vivi memukuli Sandi dengan tasnya lagi, “lo nggak usah tikung-tikung sahabat lo sendiri, cowok macam apa lo yang suka nikung teman sendiri,” cibirnya, “potong aja tuh barang lo.”
“Iya deh, iya.” Sandi memutar matanya jengah sambil melipat kedua tangannya di dada. “Atau gue sama lo aja Vi, gimana?” celetuknya.
Vivi tiba-tiba bergidik ngeri memandangnya nista, “Ish, najis dah. Gini-gini gue milih-milih keles. Gue hanya buat Aldi seorang tau tak.”
“Terus Caca gimana?”
“Kalau Aldi, kami rela berbagi kok,” jawab Caca sambil menjulurkan lidahnya ganjen, lalu tertawa cekikikan dengan Vivi menutupi kegembiraan mereka. Dasar cewek-cewek aneh. Gue malah mual sendiri membayangkan kalau Aldi gue yang ganteng itu dibagi oleh mereka berdua. Threesome dong. Otomatis tubuh gue menggeliat geli.
Ridho terkekeh melihat ekspresi gue. “Fokus-fokus, jangan ngambang, kembali ke topik,” ujarnya.
“Okeh,” Caca memperbaiki tatanan rambutnya, lalu menatap gue intens. “Jadi, yang tadi pagi itu apa?”
Gue kembali ke mode awal.
“Gue hanya kebetulan seangkot sama dia. Trus karena hujan lebat, dan dia nggak tega melihat gue yang ganteng ini basah-basahan, jadilah dia menawarkan gue buat barengan, sepayung sama dia.”
“Yakin nih, nggak ada apa-apa? Kalian nampak romantis deh tuh di foto,” tanya Caca mangut-mangut.
“Yakin gue, seribu kali yakin malah. Gue nggak ada apa-apa sama Tia,” ujar gue menatap mereka bergantian. “Mungkin fotografernya yang hebat,” ujar gue lagi sambil melempar pandangan ke lapangan.
Ridho menepuk pundak gue, “Makanya lo cepetan tembak si Tia supaya semua jelas, supaya kita nggak kepo lagi. Lagian lo ganteng kan, masak nembak cewek aja nggak sanggup sih,” sindirnya sambil senyam-senyum.
Gue hanya mendengus sambil melirik kearah jam tangan gue. Sial udah jam tiga kurang seperempat aja nih. Pasti si Askar udah lumutan tuh nungguin gue berjam-jam di belakang sekolah.
“Jadi sampai saat ini lo sama Tia belum jadian ya? Dan kejadian tadi pagi hanya kebetulan saja?” jelas Caca sambil memegang handphonenya.
Gue mengangguk mengiyakan perkataan Caca tadi.
Setelah topik pembicaraan berganti menjadi masalah class meeting, Vivi dan Caca lalu mohon izin untuk pergi ke kantin beli minum meninggalkan kita bertiga duduk di bangku teras ruang OSIS yang telah sepi. Tak lupa si Ridho dan Sandy nitip dibawakan minuman isotonic kepada duo cewek bahenol itu.
“Mmm..., nggak ada yang lain yang perlu di tanyakan lagi kan?” tanya gue bersiap-siap hendak pergi, sebelum Ridho mencegat gue dengan tangannya menyuruh gue untuk duduk kembali. Ridho menatap gue intens seperti hendak mencipok gue eh menanyakan sesuatu yang penting kepada gue.
“A..., ada apa ya Dho? Lo kok gitu amat sih?” Mendadak gue jadi khawatir jikalau dia menanyakan hal yang aneh-aneh atau melakukan hal yang aneh-aneh ke gue.
Dia terkesiap sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Rian lo ada rasa kan sama Tia?” tanyanya tanpa basi, membuat gue tercekat dengan pertanyaannya itu.
Gue menggigit bibir bawah gue, memandang mata hitamnya yang bakalan membuat cewek mabuk kepayang itu. “Mmmm..., ada. Kenapa?” tanya gue balik penuh ragu.
“Nggak ada,” dia tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala. “Cuman pengen tahu aja.”
Gue cuman ber-o ria sambil mengangguk-angguk tidak jelas melemparkan pandangan kearah lapangan yang kering. Cuaca hari ini emang gaje banget, pagi hujan lebat, siangnya panas terik membuat lapangan gue yang tadinya basah menjadi kering kerontang kayak gini.
“Satu lagi Rian,” kini Sandy buka suara, membuat pandangan gue beralih kearahnya. Sandy mendekatkan mukanya kearah gue, menyusun kata-kata dengan hati-hati. “Kemarin lo coli di sekolah ya?”
Gue hanya bisa tertawa masam.
Sial!
---
Sambil melirik jam yang melingkar di tangan gue, gue sekuat tenaga berlari kearah belakang sekolah yang asri. Seperti yang udah gue ceritain sebelumnya, belakang sekolah gue itu terdapat sebuah danau kecil yang indah yang membuat kami dan lo semua betah berlama-lama di sini. Bukan hanya dijadiin buat latar belakang selfie anak sekolah gue, tapi juga anak sekolah tetangga yang berhasil menyelinap ke dalam sekolah untuk sekedar mendapatkan latar belakang foto yang keren. Saking indahnya, salah satu maskot sekolah gue adalah danau kecil ini.
Gue membungkukkan badan sejenak, mengatur nafas -karena berlari tadi- sambil menatap Askar yang nampak berdiri memandang jauh kearah danau. Memakai jaket kulit hitam dengan kedua tangan di dalam saku celananya. Serta rambutnya yang terterpa angin membuat kadar kegantengannya semakin bertambah berkali-kali lipat.
Setelah berhasil mengatur nafas gue yang nggak karuan tadi, gue pelan-pelan berjalan mendekatinya. Nampaknya dia tidak mengetahui kedatangan gue, terbukti dengan dianya yang masih diam menerawang memikirkan sesuatu.
“Ehm,” gue berdehem, “liatin asrama cewek segitu amat sih?” sindir gue ke Askar sehingga si tampan gue menoleh kearah gue terkejut. Sebelum dia kembali menatap kearah asrama cewek AkPer diseberang danau. Gimana nggak terkejut, lagi asik-asiknya melamun, tiba-tiba ada seseorang di belakang lo mengajak bicara.
“Daripada bosan kelamaan nunggu, lebih baik gue cari kesibukan sendiri kan.” Jawabnya tak acuh.
Gue merengut menggembungkan mulut, melipat kedua tangan sambil melemparkan pandangan kearah lain, membuat Askar menoleh kearah gue. Askar lalu terkekeh sambil mengacak-acak rambut gue gemas. Terakhir dia lalu menarik gue mendekati badannya lalu merangkul gue kuat.
“Tapi semua teralihkan disaat lo ada di sisi gue,” gombalnya, melirik gue sekilas dengan senyum yang sangat indah, lalu mengalihkan pandangannya kearah lain. Argh... Dia pasti sangat senang karena sukses membuat muka gue ini bersemu merah karena gombalannya itu. Emang sialan benar si Askar.
“Baru juga nyampe udah di gombalin. Dasar buaya,” cibir gue.
“Buaya-buaya gini, lo suka kan?”
“Mmm..., gimana ya?” gue mengetuk-ngetukkan dagu dengan telunjuk. “Anggap aja lo lagi beruntung sekarang,” kilah gue dengan muka memerah menahan malu. Gue malas untuk meladeni gombalannya karena bisa berbuntut panjang nantinya, merembet entah kemana-mana.
“Emang. Kita sama-sama lagi beruntung deh sekarang.”
Gue mengernyitkan dahi, “kita?”
“Iya, lo dan gue. Gue lagi beruntung, dan lo juga lagi beruntung sekarang, iya kan?”
“Nggak juga, emang gue beruntung kenapa?”
Dia mengedipkan sebelah matanya, “lo beruntung karena lo bisa dekat-dekat sama gue sekarang.”
Gue langsung berdecih memutar bola mata berpura-pura jengah dengan gombalannya itu. Okay, lo semua tahu gue harus jaga image juga dong. Dia nggak boleh tahu kalau gue melting gara-gara gombalan mautnya itu. Bisa jadi bulan-bulanan gombalan Askar deh gue nantinya, dan jujur gue nggak sanggup.
Askar menoleh kearah gue, “duduk yuk! Capek nih,” seraya menyeret gue menuju bangku besi yang terletak di tepi danau kecil itu. Mau nggak mau, gue terpaksa mengikutinya yang sangat bernafsu sekali menyuruh gue duduk. Dia lalu mendudukkan gue di bangku dan dia sendiri berjongkok di depan gue dengan senyum mengembang khas Askar. Dia menatap gue dengan intens sambil menggenggam kedua tangan gue membuat gue jadi salah tingkah.
Gue lalu menekur menghindari tatapannya, mengontrol detak jantung gue yang berdetak kencang laksana genderang mau perang. Tidak berhasil, gue memejamkan mata sambil menarik nafas dalam berharap semoga jantung gue bisa kembali normal dan kupu-kupu di perut gue nggak berterbangan lagi.
Masih dalam keadaan gue yang merem, sebuah jempol yang lebih besar dari jempol gue dengan lancangnya menyapu bibir gue lembut, membuat darah gue berdesir karena sudah lama nggak dibelai. Jantung gue berdetak lebih kencang setelah hormon adrenalin kampret terstimulus akibat sentuhan dari jempol Askar yang nakal. Bahkan nafas gue tertahan-tahan menunggu apa yang dilakukan Askar selanjutnya.
1 detik...
2 detik...
3 detik...
Argh... kok belum-belum juga sih. Gue masih menanti kecupan manis dari Askar yang belum juga mendarat di landasannya. Apa gue harus monyong dulu apa supaya gue mendapatkannya?
Gue membuka mata saking gemasnya, menemukan Askar yang tersenyum mesum penuh kemenangan. Sial, gue kalah dalam permainannya. Gue ketahuan kalau lagi nungguin kecupannya yang memabukkan itu. Dia terkekeh melihat ekspresi gue (mungkin), lalu mengecup kening gue kilat. Zzzt... cuman di kening setelah sekian lama kita nggak bertemu, nggak bisa lebih apa?
“Kok lama sih?” bisiknya kembali ke posisi semula, duduk bersisian di bangku menghadap danau.
Gue menundukkan wajah, menatap sepatu gue yang telah patut untuk diganti. “Maaf ya, gue lama.”
Dia mengangkat dagu gue, “sttt...” dia meletakkan telunjuknya di bibir gue. “Gue tahu lo sibuk saat ini. Gue Cuma mastiin aja.”
“Gue tadi ada rapat terakhir class meeting. Gegara kita cepat pulang, jadinya jadwal kita berantakan dan ngumpulin anak-anak jadi susah,” jawab gue apa adanya.
Kenapa gue bilang begitu, karena tadi ada rapat guru dalam mempersiapkan ujian kenaikan kelas, jadinya sebelum istirahat siang kita udah dipulangkan. Hal inilah yang membuat rapat OSIS itu jadi alot gegara banyak anak-anak yang pada mangkir dari kewajibannya sebagai badan eksekutif dan legislatif sekolah.
“Ya gue tahu kok, lo pasti sibuk mempersiapkan class meeting kan,” ujarnya menggenggam tangan gue.
Gue mengangguk sambil menatapnya penuh ragu.
“Tadi pagi barengan sama siapa?” tanya Askar sambil mengusap rambut gue. Gue tercekat mendengar pertanyaannya yang menohok, membuat gue dalam posisi dilematis. Serba salah, laksana memakan buah simalakama. Kenapa pula si Askar nanya begituan. Apa dia tahu foto gue sama Tia tadi?
“Gue bareng sama Tia,” jawab gue ragu-ragu tanpa mau menatap muka Askar. Suara gue terdengar seperti bunyi kentut kambing dari pada sebuah jawaban yang pasti. Tangannya tiba-tiba berhenti mengusap rambut gue lalu dia menghembuskan nafas berat.
“Jadi foto yang tersebar itu benar ya?”
“I... iya...,” jawab gue ragu-ragu. “Itu bukan seperti yang lo fikirin kar.” Gue memalun tangannya erat-erat.
“Jadi?”
“Gue emang kebetulan seangkot sama dia. Karena hujan, gue dan dia...” gue menggigit bawah gue, “ya seperti yang ada dalam foto. Nggak lebih nggak kurang. Gue nggak ada rasa sama dia.”
Dia menghela nafas berat mengelus pipi gue lembut. “Gue harap lo nggak dekat-dekat sama dia,” ujarnya yang terdengar seperti kata perintah yang mesti gue laksanakan. “Gue nggak bermaksud untuk mengekang lo, tapi gue nggak mau aja kalau anak orang bakalan baper gara-gara lo.”
“Gue kira dia cemburu,” gumam gue yang rupanya terdengar olehnya.
Askar tertawa sambil memeluk gue gemas, tak lupa menciumi kepala gue saking gemasnya. Ah, mentang-mentang badan gue nggak sebesar badannya, sehingga dia bebas begitu aja meluk-meluk gue. “Gue nggak bakalan cemburu kok,” ujarnya. “Ngapain juga cemburu, kalau orangnya aja cinta mati sama gue.” Askar menaik-naikan alisnya menggoda gue.
“Pede amat lo.”
“Ya harus dong, kenyataan kan? Kalau cinta ya cinta.”
“Sterah lo dah,” gue mengibaskan tangan gue di depan mukanya. Askar mulai lagi deh.
“Iya deh. Jangan ngambek gitu dong. Ntar gantengnya ilang loh. Mau?”
Gue menjulurkan lidah sambil mencubit hidungnya gemas sehingga kita berdua tertawa lepas. Gue menyilang-nyilangkan jari tangan kanan gue ke jari kiri Askar lalu menggenggamnya erat. “Gue akan tetap selalu mencintai lo apa yang terjadi,” gumam gue kepada diri sendiri, sebelum gue menoleh kearah Askar yang menatap gue.
“Lo kemarin sakit ya?”
Askar mengalihkan pandangannya sejenak, lalu mulai bersuara. “Nggak kok, gue lagi malas aja pergi ke sekolah.”
“Kenapa?”
“Gue lagi menenangkan diri.”
“Karena...” gue menggigit bibir bawah gue sebelum melanjutkan kata-kata gue yang mungkin sensitif buatnya.
“Adrian,” potong Askar. Dia mengelus pipi gue lembut, “Maafin keluarga gue ya. Maaf.”
Yup betul, karena keluarganya.
Gue menggeleng lalu meraih tangan kanannya dan menggenggamnya, “nggak ada yang perlu diminta maafkan Kar.”
“Maaf kalau perlakuan keluarga gue udah nggak baik kemarin.”
“Tiap keluarga itu punya cara tersendiri Kar.”
“Maaf juga, karena keluarga gue yang broken, kita akan berpisah. Mama dan Papa tetap bersikukuh akan bercerai dan bakal menjual rumah,” dia menatap gue, “Mungkin semester depan gue nggak balakan ada disini lagi.”
Perkataan terakhir Askar tepat mengena, membuat gue faham apa arti dari perkataannya. Bak api dalam sekam, gue berusaha tersenyum walau rasanya hati ini tidak rela jikalau dia bakalan pergi dari sisi gue.
“Jadi lo nggak hadir... karena...”
“Gue nggak bisa nerima ini semua. Gue udah berusaha buat menahan ini semua tapi kenyataannya nggak bisa. Gue kesal sama mereka yang egois yang ng-”
“Sttt...” gue meletakkan telunjuk gue di bibirnya. Menatap matanya lekat-lekat. “lo nggak boleh seperti itu Kar. Ini semua sudah takdir yang digariskan Tuhan buat keluarga lo. Ingat itu. Lo tidak boleh marah sama mereka, karena mereka pasti juga menderita disini, bukan hanya lo saja.”
“Tapi gara-gara mereka kita berdua...”
“Hey, yang jelas lo ujian semester dulu, dapat sepuluh besar dan kita jadian. Soal LDR itu kita fikirin belakangan, masih banyak waktu yang dapat kita lakukan berdua,” potong gue optimistis.
Dia mengangguk pasrah. “Gimana dengan anonymouse? Maaf gue nggak ngehubungi lo beberapa hari yang lalu.”
“Ntahlah. Sekarang dia belum bertindak, mungkin lagi persiapan ujian kali,” seloroh gue. “Aldi lagi sedang mencari tahu siapa anonymouse yang sebenarnya. Oh ya, gue juga berterima kasih sama temen-temen Yakuza Junior yang udah turut membantu Aldi.”
Askar mengangguk. “Mereka adalah orang-orang kepercayaan gue,” jawabnya menerawang.
“Kemarin gue sempet cemas karna lo nggak ngehubungi gue. Tapi gue berfikiran positif aja kalau lo emang lagi butuh sendiri.”
Dia mengelus pipi gue lagi, “maaf udah buat lo khawatir. Gue kemarin hanya pengen sendiri aja.”
“Nggak apa-apa kok.”
“Oh ya, gue ada sesuatu buat lo,” dia mengambil sesuatu dari kantong jaketnya.
“Apa itu? Kondom?” seloroh gue dengan tawa kecil di akhir pertanyaan gue yang mesum itu.
“Lebih dari itu,” jawab Askar sambil berjongkok di depan gue, mengeluarkan sebuah kotak warna merah lalu membukanya di hadapan gue.
Gue nggak bisa meluapkan kegembiraan gue ketika melihat isi kotak tersebut yang ternyata sepasang cincin putih yang sangat cantik, polos tanpa hiasan apapun tersusun di dalam kotak tersebut.
“Lo mau nggak memakai cincin ini?”
“Gue mau.”
“Gue pasangin ya?” tanya Askar hendak mengeluarkan salah satu cincin yang sedikit lebih kecil sebelum gue menahan tangannya. Askar sempat terkejut, sebelum dia tersenyum penuh arti. “Oke, saat kita udah resmi berpacaran ya?” tebaknya sambil menutup kotak itu kembali.
Gue mengangguk, “Disaat Askar Bastian Putra dapat 10 besar...”
“Dan disaat Adrian Aditya dapat juara umum,” lanjutnya sambil memasukkan kembali kotak itu kedalam jaketnya. “Gue pastikan cincin itu bakalan melingkar manis di jari lo,” ujarnya percaya diri.
“Jadi lo semangat, nggak usah fikirin yang lain dulu. Fikirkan ujian kenaikan kelas yang nggak sampai seminggu lagi,” ujar gue.
Dia tersenyum kecut sambil menekurkan kepalanya, “ya walau kita akan terpisahkan juga akhirnya.”
“Hey hey, lo nggak boleh gitu Kar,” gue menepuk-nepuk kedua pipinya, “Semua sudah diatur sama Yang Maha Kuasa. Papa dan Mama pasti sudah memikirkan semua itu matang-matang, karena mereka pasti tidak ingin anak mereka bakalan menderita karena keegoisan mereka Kar. Tapi takdir harus berkata lain, mereka harus mengambil keputusan ini dengan alasan buat kebahagiaan lo juga Kar. Karena orang tua pasti akan ngelakuin apapun demi kebahagiaan anaknya. Apapun itu.”
Askar tersintak dari lamunannya sambil menatap gue sejenak. Dia lalu tersenyum lalu bangkit menatap gue mesra. “Makasih ya beib. Makasih banget,” ujarnya genit.
Gue tersenyum. “Gitu dong, seorang Askar nggak boleh putus asa kayak tadi. Harus optimis.”
“Boleh gue cium lo nggak?” tanyanya tanpa ragu.
“Eh?”
---
Guepun melambaikan tangan kearah Askar yang berlalu meninggalkan gue di depan rumah. Sambil menyentuh bibir gue, gue senyum-senyum sendiri kayak orang gila mengingat kejadian yang terjadi beberapa saat yang lalu di halaman belakang sekolah. Askar mencium bibir gue mulai dari sangat lembut lalu berubah panas. Sehingga gue menghentikan permaian kita berdua, tersadar bahwa kita masih di lingkungan sekolah. Jikalau ada yang melihat, kita berdua terancam dikeluarkan dan ini lebih buruk dari teror yang anonymouse lakukan.
Gue membuka pagar rumah, mendapati Mama yang sedang sibuk dengan laptopnya di kursi teras. “Assalamu’alaikum Ma,” ujar gue langsung menyalami Mama dan duduk disamping Mama. “Lagi liatin apa Ma? Lagian tumben jam segini udah pulang?”
“Ini mama lagi cek e-mail Mama, Nak. Katanya Bunda mau ngirimin resep masakan terbaru sama Mama,” jawab Mama tanpa mengalihkan pandangan beliau dari laptop. “Tadi pekerjaan Mama udah selesai di kantor, jadi Mama cepat pulang deh,”jawab beliau lagi.
Gue mengangguk-angguk sambil memperhatikan Mama yang sedang membuka email. “Kamu besok nggak sekolah?” celetuk Mama yang masih fokus ke layar laptop beliau.
“Eh iya Ma, besok sekolah,” jawab gue sambil menggaruk-garuk tengkuk gue, “Rian keatas dulu Ma,” ujar gue seraya masuk kedalam rumah. Mama menyuruh gue untuk mengganti seragam dengan baju sehari-hari supaya seragam gue nggak kotor. Kebiasaan Mama yang ditularkan ke gue, sesampai di rumah seragam harus di ganti.
Setelah bersih-bersih, gue lalu merebahkan diri gue ke kasur melepaskan semua kepenatan aktifitas sekolah dan aktifitas tambahan sepulang sekolah. Tak lupa gue kembali mengingat-ingat wajah askar yang membuat gue tidak tahan untuk menanyakan kabarnya. Gue meraih smartphone gue yang berada di nakas hendak mengirim pesan ke Askar serta menanyakan anonymouse ke Aldi
Sebuah notifikasi Line masuk kedalam handphone gue disaat gue sedang berbalas pesan dengan Aldi. Gue lalu membuka aplikasi tersebut, menampilkan notifikasi akun anonymouse di layar handphone. Tiba-tiba perasaan gue tidak nyaman membuat gue semakin khawatir untuk membuka pesan dari anonymouse tersebut. Gue menggigit bibir gue, menimang-nimang apakah membuka pesan tersebut atau membiarkannya begitu saja. Gue menghembuskan nafas berat, lalu dengan tangan bergetar membuka notifikasi dari anonymouse.
‘Lo udah membuat kesabaran gue habis Adrian. Karena lo dan nyokap lo ada di rumah, selamat karena foto tersebut akan gue kirim ke e-mail nyokap lo’
15.51
Gue terpana membaca pesan dari anonymouse itu, tidak lupa dengan foto yang akan di kirimkan ke e-mail Mama. Gue langsung bangkit dari kasur lalu menghubungi Aldi dan Askar dengan telepon tiga arah memberitahukan bahwa anonymouse telah melancarkan serangan pamungkasnya ke gue sambil melirik Mama dari jendela yang sibuk dengan laptop beliau. Aldi terdengar kasak-kusuk diseberang sana, sedangkan Askar berusaha menenangkan gue, walaupun dari suaranya terdengar sedang menahan marah.
Tepat ketika gue menutup panggilan, terdengar suara Mama dari teras. “Adrian! Kemari sebentar!” teriak Mama.
Tuhan tolong hambamu ini ya Tuhan...
--- tbc
R~
Hay... Malam menjelang subuh minna. Gue kembali update setelah sekian lama pula gantungin nih cerita. Jahatnya diriku.
Okeh, gimana minna dg part ini. Gue harap antum semua suka sama part ini. Part yg gue buat pas keadaan mendesak. Tiba2 aj dpt ilham (bkn ilham si onoh yes, ilham dri Tuhan), trus ngetik pas lagi melemaskan diri dri kepepet buat makalah statistik. Nampaknya nih otak tiba2 encer gegara matematika. entahlah om, gue tidak tahu.
Tapi yg jls gue ngucapin banyak terima kasih buat antum semua yg mau komentar n vote nih cerita sehingga gue ttp semangat buat namatin nih sinetron eh cerita. *Ketjup satu2*
Ikeh2 kimochi. Kembali k yg sudah, gue mohon vote n komentarnya. Rasanya gue beruntung bngt punya antum semua.
Bsok gue ad praktikum. So nggk pakai muqadimah, selamat membaca, n sunt.
Salam...
4 Oktober 2016 - 00.08
R~
debg degan mamanya teriak, ketahuan gak???
ahhhhh...
Pacarku juga sering gitu, ciuman pun kadang lupa kalau di kelas ada cctv, hahahaha. Tapi ciuman di dahi...
Untung kepala sekolah nggak ngecek cctvnya ya. Kalau ngecek kami bisa dibawa ke BK... Ahaha
Askar, kamu seperti itemku... Hahaha
ahhhhh...
Pacarku juga sering gitu, ciuman pun kadang lupa kalau di kelas ada cctv, hahahaha. Tapi ciuman di dahi...
Untung kepala sekolah nggak ngecek cctvnya ya. Kalau ngecek kami bisa dibawa ke BK... Ahaha
Askar, kamu seperti itemku... Hahaha