It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@QudhelMars okeh dek. Adek tunggu y...
@akina_kenji Ongeh udah masuk perbendaharaan kata d KBBI kak. So bkn hanya punya bahasa Padang lagi.
Tpi nggk ap2 dunk kk.
Hahay d tunggu d part dpn kk.
@Apell Kita? Bang apell sma siapa tuh? Sampe gitu emaknya Adrian.
@Algibran26 Lagi proses bang, insyaAllah sblum oktober udah update lagi. Wkwkwk.
@virusku Ayay captain.
@M_Rifki_S Oke bang...
@riordanisme Aku liat kmbli ya bang... Mungkin salah nama. Part dpn aku mention.
wokeh deh..
@akina_kenji gmn kk udah d cek?
@QudhelMars okeh adekku ~
@CouplingWith Sipo2
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3 @JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo @PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova @jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro @new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18 @delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia @diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku @ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan @Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie @sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday @Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran @rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto @Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream @shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji @abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar @kaha @blasteran @BN @dian_des @Pyromaniac_pcy @melkikusuma1 @asik_asikJos @opatampan @The_jack19 @ori455 @lukisan_puisi @usernameku @dadanello @boncengek3 @earthymooned @gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama @OkiMansoor @Ninia @ananda1 @kikirif @satriapekanbaru @o_komo @SyahbanNa @Denial_person @arya_s @imanniar @raito04 @AgataDimas @Harris_one @duatujuh @M_imamR2 @josiii @viji3_be5t @Firman9988_makassar @amostalee @ocep21mei1996_ @Chi_dudul @Pranoto @renataF @liezfujoshi @Niel_Tenjouin @Prince_harry90 @raden_sujay @bagas03 @Joewachecho @Obipopobo @M_Rifki_S @febyrere @Viumarvines @adrian69 @vane @kangbajay @AndikaRiskiSya2 @DafiAditya @Nino6 @wisnuvernan2 @Riyand @askar_12 @babikapeler @dewa_ramadhanna @yogan28 @the_angel_of_hell @KuroZet @Reyzz9 @RivaldyMyrus @Algibran26 @UiOOp @ktp23 @Apell @Abdulloh_12 @QudhelMars @Rama212 @CouplingWith @Virusku @riordanisme @Mr27
Mohon vote n komentarnya serta bagi teman2 yang nggak mau diseret lagi, bilang ya ... Thanks.
---
Cerita sebelumnya ...
“Seneng banget dapat sms dari pacar Ian?” Papa bersuara saat gue lagi membalas pesan dari Askar.
Gue nyengir menyembunyikan kebahagiaan gue. “Cuma dari temen Pa.” Jawab gue.
“Temen atau teman?” goda Papa lagi. “Temen kok girang gitu sih.”
“Ya temen Pa.”
“Mama tahu itu pacar kamu.” Ujar Mama bersuara sehingga gue menoleh kearah Mama yang menatap gue dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
“Tadi Mama dikirimin foto sama teman kamu lewat email Adrian. Mama nggak nyangka kalau kamu seperti ini.”
Part 46
Gue tercekat mendengar pernyataan Mama yang mengejutkan itu. Beliau sangat dingin menatap gue menyelisik mencari tahu kebohongan yang gue tutupi. Tidak lupa nada keyakinan yang terlontar dari mulut beliau membuat gue kecut setengah mati. Apa maksud Mama, apa maksud dari foto yang dikirim teman gue? Apa itu foto dari anonymouse?
Gue meneguk ludah, menatap beliau sambil berusaha mengatur pergerakan jantung gue yang berdegup kencang. “Maksud Mama?” tanya gue berhati-hati.
“Mama tidak menyangka kamu bisa berbuat seperti ini nak,” Mama menatap gue dingin sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ada nada kekecewaan yang terdengar dari kata-kata beliau tadi. “Mama tidak pernah mengajarkan dirimu untuk melakukan hal-hal yang melanggar norma Adrian.”
Papa menoleh kearah Mama. “Apa maksud Mama?” tanya Papa meminta kepastian. Lalu beliau menatap kearah gue bingung, “Ada apa ini Adrian?”
“Pa, kita telah gagal menjadi orang tua yang baik Pa,” Mata mama berkaca-kaca melirik gue dengan sudut mata penuh kemarahan. “Dia telah berani-beraninya berciuman Pa,” jawab Mama.
Nafas gue terhenti, mengalirkan rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh gue. Lidah gue terasa kelu dan suara gue tertahan di tenggorokkan. Anonymouse telah melancarkan serangannya pamungkasnya. Bom atom Little Boy yang selama ini dia simpan sebagai senjata pamungkas telah dia ledakkan tepat di ruang makan gue beberapa saat yang lalu.
“Kita telah gagal Pa!” teriak Mama sambil menutup wajahnya. Papa lalu memeluk Mama, menenangkan Mama yang menangis di dadanya. Papa mengelus-elus rambut Mama yang terurai menatap gue dengan pandangan dingin menusuk dengan sudut matanya. Tidak ada suara yang terdengar selain tangis Mama, sebelum suara seseorang yang gue panggil Papa itu terdengar.
“Apa yang dikatakan Mama kamu itu benar Adrian?”
Lidah gue terasa kelu untuk menjawab pertanyaan dari Papa.
“A..., Ad-“
“JAWAB!” teriak Papa, membuat gue kecut. Mana gue tiba-tiba panas dan pasti wajah gue telah memucat.
“Adrian nggak tahu Pa. Adrian nggak tahu apa yang terjadi? Adrian nggak pernah-”
“Siapa yang mengirimi kamu pesan tadi?” potong Papa.
Gue menekurkan wajah gue menatap nasi yang belum gue sentuh. “I... i... itu teman Adrian Pa.”
“Sudah Ma, jangan nangis.” terdengar suara Papa yang menenangkan Mama. Mama seperti menatap Papa, lalu berbisik-bisik sambil memperhatikan gue sebelum terdengar suara Mama yang membuat gue mau tidak mau menatap mereka penuh ketakutan.
Mama sangat tenang.
“Siapa pacar kamu?” tanya Mama.
Gue tergagap, “Adrian tidak punya pacar Ma,” gue meremas kaus gue, berusaha setenang mungkin.
“Jadi kalau bukan pacar kamu, siapa yang kamu cium di foto itu?”
“Foto? Cium?” gue membelalakkan mata, “Adrian saja belum pernah pacaran Ma, apalagi ciuman.” jawab gue dusta. Oke, gue harus berbohong saat ini kalau gue adalah cowok polos yang belum pernah pacaran, atau berondongan pertanyaan akan keluar dari mulut pasutri itu. Maaf Pa, Ma, Adrian harus berbohong demi kebaikan bersama.
“Jadi foto ciuman itu?” Mama nampak ragu menoleh kearah Papa sejenak sebelum kembali menatap gue.
“Mungkin aja ada orang yang iseng dengan Adrian Ma. Ada yang mau fitnah Adrian.”
“Jadi kamu belum pernah pacaran apalagi ciuman?” tanya Papa.
Gue merunduk menggigit bibir menyembunyikan kegelisahan gue, “Belum pernah Pa.”
Papa mengangguk-angguk menoleh kearah Mama yang menatap gue penuh selisik. Nampaknya beliau masih belum percaya dengan pernyataam gue yang penuh dengan dusta ini. Peluh dingin telah bercucuran di pelipis gue menunggu reaksi Mama yang sama sekali tidak berubah. Dingin dan penuh selisik. Mama lalu menoleh kearah Papa lalu menghembuskan nafas berat.
“Jadi kamu belum pernah pacaran?” tanya Mama.
“Be..., belum pernah Ma,” gue menundukkan wajah tanpa mau menatap wajah mereka.
Mereka berdua bertatap-tatapan. Sejenak diam, sebelum terdengar suara tawa Papa dan Mama yang membuat gue mendongakkan wajah. What? Kok mereka ketawa sih?
“Pa, Ma?” tanyaku berhati-hati. Tawa mereka semakin kencang. Papa yang memegang perut sambil memukul meja sedangkan Mama yang menutup mulutnya menahan tawa yang telah meledak. Apa jangan-jangan mereka tiba-tiba telah ‘berubah pemikiran’ karena saking terkejutnya dengan foto itu. “Kok?”
Papa menyapu air mata di ujung mata Mama, sambil menenangkan diri beliau sendiri dengan muka memerah. Mereka menatap gue seperti gue ini adalah seorang badut yang sangat lucu, saking lucunya membuat mereka tidak bisa berhenti tertawa.
“Pa, Ma!” teriak gue. Oke, gue mulai takut saat ini. Apa Papa dan Mama harus dibawa ke dokter jiwa atau dipanggilkan orang pintar supaya mereka berhenti untuk tertawa? Mungkin ada kerusakan pada jaringan saraf mereka, atau mereka kesurupan hantu ketawa mungkin (?).
Mama menekan perut beliau sambil mengangkat sebelah tangan menyuruh gue menahan diri.
“Maafkan Mama sayang,” Mama mengatur nafas. “Gimana acting Mama tadi?”
“Apa? Acting?” gue terbelalak kaget dengan pernyataan Mama yang kontroversial itu. Masih dengan mulut ternganga lebar, gue meremas rambut gue mencerna kata-kata Mama.
“Trus maksud Mama dengan foto itu?”
Mama terkikik bahagia sambil menutup mulutnya menahan tawa beliau supaya tidak bertambah meledak. “Mama hanya ngarang sayang. Tidak ada foto yang dikirimkan sama teman kamu.”
Gue langsung membenturkan kepala gue ke meja makan saking kagetnya. Gimana sih perasaan lo, jantung lo udah hampir copot dan rupanya semua itu hanya bohongan belaka. Bukannya bersyukur, gue malah jadi kesal dengan permainan Papa dan Mama.
“Bagaimana acting Mama tadi Pa, udah keren nggak?” terdengar suara Mama yang nampak bahagia.
“Keren sayang, Istri siapa coba. Hanya saja pas diawal Mama kurang ekspresi, datar aja. Seharusnya Mama sedikit heboh dan marah Ma.” Terang Papa laksana juri ajang pencarian bakat.
Mama berdecak, menggosok-gosok kedua tangan tanpa mempedulikan gue. “Nampaknya Mama harus lebih banyak berlatih lagi,” gumam Mama seraya melirik gue sekilas yang menatap mereka dengan kepala berbantalkan tangan yang terlipat.
Melihat muka gue yang mungkin udah aneh, Mama langsung mencubit pinggang Papa yang membuat Papa menjerit kesakitan. Papa menatap Mama, mengelus-elus pinggang mempertanyakan serangan mendadak yang Mama lakukan.
Mama mendekatkan mulut ke telinga Papa. Berbisik-bisik sambil menoleh kearah gue sesekali yang tidak gue acuhkan sama sekali. Gue udah dongkol abis sama Mama dan Papa. Rupanya mereka bersekongkol untuk memperbodohi gue.
Papa menatap gue geli. “Maaf ya sayang, gara-gara kami rahasia kamu kebongkar Nak,” kata Papa yang gue balas dengan dengus kejengkelan. Gue lalu melemparkan pandangan ke nasi gue yang udah dingin tanpa berniat untuk menyentuhnya lagi.
“Kami percaya jikalau kamu tidak berbuat aneh-aneh sayang. Papa yakin kalau kamu tidak pernah melakukan hal-hal yang seperti di tuduhkan Mama.”
Gue mendengus lagi berpura-pura marah, walau di hati ini gue sangat bersyukur bahwa si anonymouse belum melancarkan serangannya. Okedeh biar gue udah pernah ciuman sama Askar, boleh dong gue merasa sok-sok terzalimi oleh tuduhan Mama tadi, biar drama dikit dan mereka nggak curiga kalau bibir gue nggak perjaka lagi. Hehehe.
“Maafkan Mama ya sayang. Mama hanya bercanda, Mama butuh latihan sekarang,” ujar beliau dengan nada menyesal. Mungkin melihat gue yang diam dengan muka poker face membuat Mama was-was kalau gue lagi ngambek berat. Hello, nggak ada kata ngambek di kamus besar Adrian Aditya. “Astaga, kita lupa lalapan,” teriak Mama bangkit menuju kulkas. Papa terkekeh melihat kelakuan istrinya sambil melirik gue kembali.
Papa mendekatkan wajah beliau kearah gue, menoleh kearah Mama yang sibuk didepan lemari es. Nampaknya beliau hendak mengatakan sesuatu yang tidak boleh didengar oleh Mama. Gue malah jadi degdegan gini menunggu Papa membisikkan sesuatu.
“Jadi kamu belum pernah ciuman Adrian?”
Gue menggeleng sambil menelan ludah menatap mata Papa.
“Cupu.” Tandas Papa dengan seringai jahil.
Gue hanya bisa menganga mencerna kata-kata Papa.
---
Hujan amat deras mengguyur kota gue dari tengah malam hingga saat ini, membuat gue nyaman untuk menggulung diri dibalik selimut. Mama terdengar memanggil gue dari bawah mengingatkan kalau sekarang udah jam 5 pagi dan hari ini harus sekolah. Kalau tidak karena Askar, mungkin saja gue bakalan menggelungkan badan dibalik selimut dengan alasan sakit untuk tidak hadir sekolah hari ini. Tapi demi Askar kampret gue yang tercinta, gue dengan berat hati lalu turun dari ranjang sambil mengucek-ucek mata menuju lantai bawah.
Mama nampak berkecak pinggang diujung tangga menatap gue yang turun dari atas dengan malas. “Cepat sayang, udah jam berapa ini?” beliau menunjuk kearah jam dinding ruangan tengah, “Lagian sekarang hujan Nak, Adrian mau dihukum karena telat ya? Angkot juga bakalan susah nanti,” cerocos Mama tanpa jeda.
Gue lalu mengacuhkan Mama sambil menguap memandang ke sekitar mencari Papa yang nggak kelihatan. Tidak lupa gue menggaruk-garuk perut gue yang entah kenapa tiba-tiba gatal. “Papa mana Ma?”
“Papa udah pergi kerja tadi, katanya ada rapat mendadak,” jawab Mama dengan volume suara pelan. “Kamu masih marah sayang?” Mama menyentuh pundak gue yang gue balas dengan dengusan.
Mama menyengit bersalah. “Mama cuman bercanda kok Adrian. Jangan diambil hati.”
Gue kembali mendengus memandang kearah dapur. Nampaknya Mama membuat sup untuk sarapan pagi ini. Bau khasnya langsung tercium di indra penciuman gue. Sayang Papa yang ‘tidak cupu’ itu harus pergi kerja sepagi ini, melewatkan hidangan enak buatan Mama.
“Maafkan Mama ya sayang. Maaf kalau Mama sudah membuat Ian tidak nyaman.” Ujar Mama membuyarkan lamunan gue dengan betapa lezatnya sup panas di pagi yang dingin ini. Gue lalu tersenyum sambil memeluk Mama. Mama nampak terkejut lalu membarut-barut punggung gue.
“Mama nggak perlu minta maaf. Tidak sepatutnya seorang Ibu meminta maaf kepada anaknya.” Gue membenamkan kepala gue di tengkuk Mama. Gue jadi merasa bersalah karena telah membuat Mama khawatir kayak gini.
Mama memeluk gue erat sebelum melepaskan pelukan, memegang kedua lengan gue dan menatap gue penuh kasih sayang.
“Tidak ada alasan untuk tidak meminta maaf sayang. Status, umur ataupun jabatan seseorang tidak menghalangi seseorang untuk meminta maaf kepada orang yang berada di bawahnya. Apabila orang tersebut bersalah, sudah seharusnya dia meminta maaf walaupun itu kepada orang yang dibawahnya.”
Gue tersenyum menatap Mama yang nampak tidak enak hati.
“Maaf Mama sudah bercanda keterlaluan,” ujar Mama memeluk gue sekali lagi.
Emang benar, permainan Mama dan Papa kemarin berhasil membuat jantung gue hampir berhenti berdetak. Tak ayal gue sampai terperangah mengetahui bahwa itu hanya akal-akalan mereka, berdasarkan kepada cerita gue dengan Mama tentang email beberapa hari yang lalu.
Awalnya gue sempat ngambek tidak mau makan, diam mematung di depan meja makan tanpa menyentuh sedikitpun makanan yang telah dibuat Mama. Mama yang cemas dengan gue lalu memohon maaf berkali-kali karena beliau udah bercanda keterlaluan, membujuk gue supaya mau makan. Begitupun Papa yang juga memohon maaf karena mereka menjadikan gue sebagai kelinci percobaan latihan mereka. Seminggu lagi ada kunjungan dari salah satu perusahaan relasi di dari negara jiran ke perusahaan Papa. Untuk menyambut mereka, maka diadakanlah semacam pertunjukan drama spontanitas tanpa naskah, yang mana Papa dan Mama (sebagai istri) terpilih sebagai salah satu pemeran dari pementasan drama tersebut. Dan sialnya, mereka (Papa dan Mama) menjadikan gue sebagai bahan latihan mereka.
Ah...
---
Setelah mencium tangan Mama, guepun mengambil posisi berdiri di ujung halte yang telah penuh sesak oleh sekumpulan remaja tanggung berseragam. Mamapun kembali ke rumah meninggalkan gue bersama puluhan anak sekolah di halte, setelah mengantar gue dengan payung ke depan kompleks perumahan. Nampaknya mereka sudah lama nunggu sendari tadi, terbukti dengan mereka yang sesekali melirik kearah jam tangan mereka dengan cemas. Maklumlah kalau hari hujan seperti ini, angkot tiba-tiba menjadi langka dan siswa tiba-tiba banyak yang ngangkot, sehingga mau tidak mau membuat peluang keterlambatan semakin tinggi.
Gue merapatkan jaket yang gue kenakan memandang hujan yang turun dari atap halte. Tak lama angkotpun datang, sehingga gue dengan puluhan siswa yang menunggu di halte tadi bergerumun berdesak-desakan plus berbasah-basahan hendak masuk kedalam angkot. Terdengar juga beberapa kali pekik cewek yang membuat kami para cowok akhirnya mengalah dengan mereka, membiarkan mereka untuk masuk duluan. Istilah kerennya ladies first.
Oke, beberapa angkot sudah telah lewat dengan kondisi penuh. Tinggal gue dengan beberapa siswa lainnya yang menunggu angkot berikutnya. Angkot berikutnyapun datang membuat siswa yang tersisa bergegas masuk kedalam angkot meninggalkan gue kalah sigap dengan ketangkasan mereka. Hanya ada tersisa kursi samping sopir yang telah diisi oleh seorang cewek berhijab.
Cewek itu menoleh kearah gue, lalu tersenyum sambil membuka pintu depan, mempersilahkan gue masuk ke dalam, duduk di tengah antara sopir dengan dirinya. Otomatis, mau tidak mau gue harus berdesak-desakan dengan cewek berhijab itu, sehingga gue tidak enak hati karenanya. Oh ya, kalau angkot kota gue, kursi yang disamping sopir bisa diisi oleh dua bahkan tiga orang sekaligus jika dalam keadaan mendesak seperti saat ini.
“Ngangkot Adrian?” tanya Tia memulai pembicaraan. Nampaknya dia tidak nyaman dengan gue yang diam menatap penyeka kaca yang turun naik sejak tadi.
Gue tersenyum, “iya nih Tia. Ngangkot.”
“Nggak bareng ‘temannya’?” Dia menekankan kata temannya, membuat gue menangkap kesan aneh. Ntahlah, mungkin hanya perasaan gue saja yang sensitif saat ini.
“Nggak, kebetulan hujan. Ntar takut kebasahan,” jawab gue jujur memandang penyeka kaca yang turun naik itu kembali. Pagi tadi, Askar memang berniat menjemput gue bareng ke sekolah. Tapi berhubung hujan, gue menolak ajakannya menghindari sakit yang mungkin saja terjadi. Secara seminggu lagi udah ujian kenaikan kelas, dan saat seperti ini adalah saat-saat penting untuk menjaga kesehatan supaya ujian nanti dalam keadaan fit.
Tia nampak terkejut dengan jawaban gue yang seperti telah membuatnya terganggu. “Owh begitu,” gumamnya melempar pandangan ke luar angkot.
“Bos...” gue menekankan kata bos, “...juga kebetulan lagi malas menjemput gue. Kacung kayak gue ini ngapain juga selalu nebeng sama bosnya.” Gue tersenyum memikirkan panggilan penyamaran gue ke Askar.
Tia tersenyum sambil memandang keluar angkot sambil berkata. “Nggak nyangka aja seorang Adrian yang anti banget sama Yakuza Junior, malah jadi dekat sama bos Yakuza Junior,” Tia terkekeh lalu memandangi gue, “Adrian apes banget.”
“Emang gue lagi apes banget Tia,” celetuk gue sambil menggaruk-garuk tengkuk gue yang tidak gatal.
“Eh udah hampir sampai nih,” kata Tia sambil menggobok-ngobok tasnya, mengeluarkan uang lima ribu rupiah sambil menyerahkannya ke sopir angkot, “Berdua ya Pak De.”
“Eh apa-apaan nih,” potong gue. Ada saling tarik-menarik serta tolak-menolak uang diantara kita berdua sehingga sang sopir keheranan sambil menggenggam uang kembalian seribuan receh. Ditambah lagi mereka-mereka penumpang yang lain yang juga menyodorkan uang dari belakang kami menggerutu dengan tingkah laku kami laksana kayak anak kecil. Sebagai cowok, kita memang mendukung emansipasi wanita, walaupun gue menolak jikalau wanita yang mengeluarkan uang. Dimana letak harga diri gue sebagai lelaki.
“Terima aja,” sahutnya seraya menyambar uang receh dari tangan sang sopir yang terulur. Syukurlah sang sopir juga bapak-bapak, sehingga doi nggak mengambil kesempatan buat menggrepe-grepe tangan Tia. “Makasih ya Pak De,” ujar Tia memandang gue yang tidak terima dengan perlakuannya membayari ongkos gue, “Santai Adrian, anggap aja itu hadiah ulang tahun Adrian Februari lalu.” Katanya sambil mengeluarkan payung dari tasnya. Gue bisa melihat mukanya yang bersemu merah.
“Thanks ya Tia,” bisik gue, “Andai gue bisa-“
“Adrian mau barengan sama Tia?” tanyanya seraya membuka pintu angkot sambil mengembangkan payung, “ntar kejuhanan loh, lebat nih. Ntar sakit,” Tia turun dari angkot. “Ayo!”
Gue lalu mengangguk lalu turun dari angkot. Mendekatkan diri kearah Tia yang telah memegang payung bewarna merah muda. Dia nampak salah tingkah tanpa mau memandang wajah gue.
Terdengar bunyi klakson yang mengagetkan gue, terdengar pula suara Pak De si sopir angkot meneriakkan ongkos kearah gue. Anjay! Gue lupa uang lima ribuan Tia masih ditangan gue setelah perdebatan panjang tadi. Gue lalu merogoh saku gue, sambil mengeluarkan uang lima ribuan dan menyerahkannya ke Pak De si Tia tadi sambil menahan malu. Gimana nggak malu, naik angkot sok-sok mau saling membayar eh rupanya setelah turun belum di bayar. Sedangkan uang si Tia langsung gue selipkan kedalam salah satu kantong tasnya Tia.
“Uangnya disimpan aja,” potong gue sebelum Tia protes. “Nggak seharusnya seorang cewek mengeluarkan duit untuk cowok,” Tandas gue. Gue lalu memegang tangkai payung dengan tangan kiri sambil berjalan memasuki gerbang sekolah. Sialnya beberapa anggota si Caca berhasil mengambil momen kita yang lagi sepayung berdua, membuat gue yakin jikalau trending topic sekolah siang nanti bakalan heboh dengan gosip gue dengan Tia.
Setelah sampai di teras dekat tangga, guepun menyerahkan payung merah muda itu ke Tia sambil tersenyum lebar. “Thanks ya Tia,” ujar gue tidak lupa memutar-mutarnya terlebih dahulu sebelum menyerahkannya. Sayang, ada beberapa anak yang terkena percikan air sehingga mereka menggerutu sambil mendengus kesal.
“Mmm..., Tia keatas sendirian nggak apa-apa kan?” tanya gue menatap lantai sambil menggaruk-garuk tengkuk. Gue jadi nggak enak hati buat nyuruh Tia keatas duluan. Selain menghindarkan diri dari fitnah yang bakalan menyebar dengan liarnya, gue juga hendak menuntaskan hajat dedek gue yang sudah nyesek sejak duduk dengan Tia tadi. Ntah kenapa disaat hujan seperti ini, dorongan untuk pipis itu sering muncul.
Tia cukup terkejut dengar perkataan gue tadi. “Adrian mau ke toilet dulu,” ujar gue membetulkan anggapannya terhadap gue.
Tia tersenyum sambil mengerucutkan payungnya. “Okedeh, Tia keatas dulu ya.” Ujarnya seraya berbalik menuju tangga ke lantai dua. Tak lupa dia kembali menoleh kebelakang, kearah gue tepatnya sambil tersenyum.
Setelah menuntaskan hajat gue, gue lalu naik ke kelas gue di lantai dua sambil memain-mainkan handphone buntut di tangan. Sambil lirik kanan kiri bak orang berduit, memandangi tiap kelas kosong yang gue lalui. Mungkin faktor hujan yang mendukung para siswa untuk datang terlambat dengan alasan yang sangat klise, hujan. Gue tetap terus berjalan sehingga sampai di depan kelas gue. Nampaknya rekor kelas paling rajin hari ini jatuh kelas gue, lihatlah sudah ada seseorang yang mendahului gue masuk kedalam kelas. Dia mungkin begitu sibuk dengan aktivitasnya, sehingga tidak mengetahui kedatangan gue. Sambil berjalan pelan gue masuk kedalam kelas, mencari tahu siapa gerangan siswa rajin itu.
Dia seorang cewek berhijab, duduk di bangku gue. Lebih tepatnya seperti hendak memasukkan sesuatu kedalam laci, membuat gue mengucek mata kalau mungkin saja gue salah lihat. Mungkin saja cewek tersebut si’eneng’ kita yang kemarin. Gue masih diam mematung memperhatikan gerak-geriknya, sebelum gadis berhijab itu menyadari keberadaan gue dan mendongak menatap seseorang yang telah ada di depannya.
Mata kami saling bertemu.
“Tia?” desis gue.
“Adrian...” lirihnya seraya berdiri dan beringsut kebelakang, dia menarik benda tersebut dari laci meja lalu menyembunyikannya di balik punggungnya. Like a drama, yes?
“Apa itu Tia?” Gue mendekatinya, berusaha hendak meraih benda yang dia sembunyikan. Dia kembali beringsut kebelakang, menjauhi gue supaya tidak dapat merebut benda itu dari tangannya.
“Bukan apa-apa kok,” kilahnya. Dia tersenyum penuh paksaan berusaha untuk lepas dari gue. Dia bergeser sehingga badannya sempurna keluar dari deretan meja-meja. “Tia mau ke kelas dulu.” Dia lalu merunduk, berjalan melewati gue.
“Tunggu!” gue berbalik lalu menangkap tangannya sehingga Tia langsung terpekik kaget, menepis tangan gue yang telah lancang menyentuhnya, membuat benda yang dia sembunyikan jatuh ke lantai.
Mata gue langsung tertuju kepada setangkai mawar merah yang tergeletak cantik di lantai dengan sebuah kartu yang terikat dengan pita.
“Tia...” desis gue tidak percaya. Tia langsung memungut mawar itu sambil mendekapnya di dada. Dia nampak syok.
“Jadi kamu yang selama ini mengirimkan bunga ke...” gue menahan kata-kata gue menatapnya tidak percaya. “Kenapa Tia, kenapa Tia lakuin ini?” tanya gue lirih.
Dia tergagap tanpa berniat hendak menatap mata gue. Gue mendekatinya, sehingga dia beringsut menjauh, seperti benar-benar menjauh dan tidak akan kembali lagi. Matanya berlinang menatap lantai dengan berjuta emosi. Sebelum linangan itu jatuh membasahi pipinya tanpa ada suara.
“Tia...” gue membatin. “Kenapa lo ngelakuin semua ini?” tanya gue.
“Karena kamu nggak pernah peka Adrian!” teriaknya di depan gue. “Aku ngelakuin ini semua supaya kamu sadar kalau ada seseorang yang menyayangi kamu.” ujarnya menatap gue nyalang.
“Tapi kenapa Tia? Kenapa harus...”
“Karena aku perempuan. Aku tidak bisa sebebas laki-laki yang bisa mengungkapkan perasaannya pada orang lain,” Tia terisak. “Kami hanya bisa menunggu, ya... hanya menunggu seseorang yang tidak peka dengan perasaan orang lain untuk mengungkapkan perasaannya.”
Gue tertegun mendengar pengakuannya tadi. Dia membuang muka menahan emosinya bergejolak. Tia sekarang diibaratkan gunung berapi yang tengah erupsi mengeluarkan isi perutnya yang telah lama terpendam.
“Jadi Tia melakukan ini setiap pagi?” tanya gue berhati-hati.
Tia tersenyum getir, “Kadang seseorang bisa melakukan hal yang nekat dan tidak masuk akal karena cinta Adrian,” jawabnya ketus.
Gue menghela nafas berat.
Tia kembali buka suara, lebih pelan dari yang sebelumnya. “Bacalah!” Dia menyerahkan bunga mawar beserta kartunya ke gue, “Tolong dijawab!” pintanya.
Gue menerima bunga mawar yang disodorkan Tia, lalu membuka kartu yang terikat di bunga tersebut dan membacanya. Gue tertegun sejenak dengan isi kartu tersebut, lalu memandang kearah Tia yang menunggu kepastian dari gue. Ya kepastian yang akan mempengaruhi masa depan kami.
“Maafkan aku,” gue tertunduk lemas, “gayungmu tidak bersambut Tia,” ujar gue tanpa mau menatap matanya. Fix, yang mengirimkan bunga selama ini adalah Tia, sang sekretaris umum OSIS yang telah digosipkan sebelumnya menyukai gue. “Maaf, carilah orang yang lebih baik daripada diriku.”
Tia tertunduk lesu menelan pil pahit kekecewaan. “Tia telah menduga ini akan terjadi,” gumamnya menahan air matanya yang mengucur deras tidak terbendung lagi. Dia menyekanya kasar. “Siapa perempuan yang beruntung itu?” tanyanya yang gue balas dengan gelengan. “Vivi, Caca, Ibeth?” dan dia menyebutkan beberapa nama cewek -yang dekat dengan gue-, yang hanya gue jawab dengan gelengan.
“Tia tidak akan tahu dan tidak akan menyangka,” bisik gue. Gue menyeka air matanya yang bercucuran, menatapnya penuh iba. Gue tidak pernah merasakan perasaan yang seperti ini sebelumnya. Ada rasa bersalah, iba serta rasa sakit yang bergabung menjadi satu, membuat dada gue sesak.
Entahlah, gue memang merupakan cowok lemah yang sangat mudah terbawa suasana. Hanya kata maaf yang terlontar berkali-kali dari mulut gue.
Hanya ada terdengar isakan dan permohonan maaf.
Tapi yang pasti, gue telah lancang memeluknya, membawa kepalanya ke dada gue dengan air mata gue yang telah bercucuran. Sederas air hujan yang turun dari langit diluar sana.
--- tbc
R~
Hayhayhay..., Aurora is back. Anjay... part ini gue boleh dibilang bingung dengan adegan yang bakalan gue buat. Secara ini cukup menguras otak gue untuk memikirkan adegan yang pas untuk Tia. Oke..., gue rasa antum semua bakalan bosen dengar curhatan gue seputar produksi nih part. So di skip aj ya, okeh? Gue harap antum semua suka sama part ini. So gue mohon vote n komentar dri antum semua pembaca MBA gue yang gue sayangi. Doakan gue dapat update lebih cepat lagi ya...
Nggak usah basa-basi... thanks udah membaca, selamat siang n sunt.
I Love U all!!
24 September 2016 – 08.37
Salam
R~
@Aurora_69