It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Melihatku hanya terdiam dia berinisiatif menghampiriku dan dapat kurasa seakan jurang ke hampaan ada di dekatku.
"Ikut denganku" Itu bukan sebuah ajakan ataupun perintah tapi hanya sekedar ucapan datar dengan segala luka yang tersirat.
Effan... Nama itu bagai mantra yang membuat sekujur tubuhku lemas tak bertenaga. Sekarang bahkan aku seakan ingin merosot andai saja aku tak sedang duduk, bisa di pastikan tubuhku akan jatuh dan meleleh bagai lilin. Bukan karena namanya tapi sekarang orangnya yang sedari tadi mendiamkan aku dan malah sibuk dengan setirnya.
Menolehpun rasanya tak sanggup, Apa yang harus aku lakukan?
Aku bisa merasakan mobil berhenti dan diam itu masih menyelimuti kami. Suasana seakan mencekam.
"Sial!" Umpatnya dengan nada kasar dan jelas hal itu membuat aku terlonjak kaget. Effan menunduk dan menumpukan wajahnya di setir mobilnya sedangkan aku hanya bisa melongo melihatnya seperti orang yang kehilangan peganga hidupnya.
"Aku kalah Zi, kalah telak" gumamnya membuatku tak bisa bersuara apapun malah hanya diam menatapnya.
Aku menelan ludah dengan susah payah. "Jadi Argga menangin taruhannya?" Ucapku menebak.
Dia menggeleng. "Aku kalah melawan hatiku, rasanya sudah terlalu sakit" Deg.. jantungku seakan mau lepas dari tempatnya. Apa sebenarnya yang di maksud pemuda yang begitu merajai hatiku.
"Kamu tidak pernah kalah, selalu menang" Suara langsamku membuat ia menatapku dengan tatapan bingung.
"ketika cintaku lebih memilih orang lain, Dimana letak menangnya Zi? Sementara aku hancur bagai tak ada yang bisa di perbaiki" Aku tahu kali ini memang aku yang menghancurkan semuanya tapi bisakah aku memperbaikinya walau nyatanya hatiku memang selalu memilih dia.
"Peluk aku!" Pintaku dengan nada perintah. Awalnya ia hanya terdiam tapi tak lama tangannya langsung melingkar di pinggangku membuat aku mengembangkan senyum walau hanya senyum tipis. Aku membenamkan wajahku di lekuk lehernya. Baunya sungguh menggoda sekarang.
"Aku akan mengakhiri taruhan ini agar aku tak lagi bisa melihat orang lain menyentuhmu" Suara tenangnya membuatku melepaska pelukanku padanya.
"kamu serius?"
"Akan ku lakukan apapun demi kamu" Bolehkah aku bahagia sekarang? Walau aku tidak tahu taruhan apa itu tapi tetap saja mendengar ia lebih memilih ku dari taruhan gila itu membuatku tak bisa menyembunyikan rasa bahagia ku.
"Wanda pasti akan membunuhku setelah ini." Ukiran senyum di bibirnya berbanding terbalik dengan ucap yang ia lontarkan.
"Sekejam itukah?" Aku berucap dengan nada ngeri.
"Kita akan lihat" Dia mengangguk mendaratkan jemarinya di wajahku. Aku hanya bisa mengangguk.
"Apa masalah yang kamu hadapi sudah membuatmu menjadi orang gila?" Aku berbalik mendapati sosok erwin sedang berdiri tak jauh dariku. Dengan sangat cepat aku berlari memeluknya membuat Erwin sedikit hilang keseimbangan tapi tawanya membuat aku ikut tersenyum.
"Semuanya berakhir bahagia Win, aku senang banget" Aku berucap dengan nada yang penuh bahagia. Kurasakan Erwin menepuk punggungku.
"Aku ikut bahagia buat kamu" Aku mengangguk menanggapi ucapannya.
Erwin melepaskan pelukannya dan kulihat senyumnya berkembang dengan jelas. Dia sedang mengejekku, aku tahu itu.
"Jadi apa akhir bahagianya?" Kata itu adalah awal untukku bercerita padanya.
*
Aku memandang dengan perasaan sesak yang tak ku tahu datang dari mana seolah menyerbu dadaku. Bagai ribuan kupu-kupu yang beterbangan membawa belati yang sangat tajam. Menusukku tanpa ampun, siapapun seakan tak peduli dengan rasa sakitku hingga mereka tertawa secara serempak. Aku terluka dan bernanah, aku kecewa dan menderita. Dimana bahagia yang ku agungkan kemarin? Kenapa rasanya seolah dunia menipuku.
" Jadi nak Argga, Om sudah siap dengan keputusan yang akan nak Argga ambil" Pernyataan itu jelas sudah mendapat tanggapan yang baik dari lawan bicara papa. Papa sudah tentu gila mengambil keputusan tanpa mau bertanya dulu padaku. Apa masa depanku tak penting menurut papa?
"Saya ingin meresmikannya Om" Aku membeku semua darahku seakan mati di tempat. Aku ingin berteriak menolak semuanya.
Dimana si pejanji palsu sekarang, ternyata ucapannya tak lebih hanya kata-kata kotor yang tak seharusnya di percayai siapapun. Sekarang apa yang bisa aku lakukan selain pasrah pada nasib yang seolah memenjarakanku dalam belenggu kehancuran.
"Kamu siap kan?" Pertanyaan Argga ingin sekali ku balas dengan teriakan kata tidak tapi apa yang akan mereka katakan padaku selain jangan menolak. Bukankah mereka pemaks yang ulung.
Aku bangkit dari duduk ku dan pergi meninggalkan mereka sèmua tanpa bisa membuat mereka bisa mencegahku.
ku jatuhkan tubuhku di atas ranjang yang sekarang terasa tak empuk sama sekali. Aku menerawang dan mencoba merasakan sakit yang menghujamkan. Tanpa ku sadari bulir airmata itu tumpah sudah. Aku kecewa, kecewa pada semuanya yang telah mengkhianatiku.
Suara ketukan di pintu kamarku membuat aku terbangun dan dengan cepat ku hapus air mata yang sudah menetes. Aku lelaki dan tak boleh cengeng.
Wajah Argga terlihat di sana dengan riak yang penuh kesenduan. Apa aku bersalah padanya? Bukankah dia tak tahu apapun. Kenapa aku malah menghukumnya.
"Apa aku boleh bicara?" Suara sendunya membuat aku membuka pintu mempersilahkan dia masuk. Aku duduk di atas ranjang sedangkan di masih setia berdiri di dekat pintu.
"Bicaralah!" Aku berucap dengan nada santaiku.
"Aku hanya berusaha memenuhi permintaan ayahmu, maaf kalau menurutmu caraku salah. Aku akan coba bicara pada beliau jika itu maumu. Aku sungguh tak akan memaksamu." Argga menunduk seolah menyesali kesalahannya yang kalau boleh aku katakan kalau hal itu sama sekali buka salahnya. Kami hanya di buat rumit oleh keadaan. Argga yang mencintaiku dan aku yang mencintai si brengsek Effan.
"Sungguh ini bukan salahmu Ga, aku hanya sedang terbawa suasana saja tadi. Maafkan aku." Aku bangkit dan berdiri di depannya, menatap matanya dengan penuh rasa mengerti.
"Terimakasih" Argga menggenggam tanganku seolah memberikan harapan baru lewat genggamnya.
"Jadi kalian sudah resmi pacaran?" Pertanyaan Wanda membuatku mengingat kalau aku telah mengiyakan ajakan Argga. Dan ya kami pacaran.
Kulihat Argga tersenyum dan mengangguk. Wanda tak bisa menyembunyikan rona bahagia di wajahnya. Sedangkan si brengsek hanya menyeriangai dan mencoba sibuk dengan makanannya.
"Aku ikut senang kak" Wanda menggenggam tangan Argga.
"Kalian cocok sekali" Aku hampir saja menyiram air minum ku ke wajah langsat itu. Cocok katanya? Takdir ternyata telah membuat aku mencintai lelaki gila.