Tangannya yang kokoh menggapai lenganku dan mengalirkan sensasi yang aneh. Sengatan listrik kecil yang sedikit menyentak.
" Ini lembar kuesionermu " katanya simpatik, sambil menyerahkan lembar kertas yang sudah tampak lecak itu.
Pandanganku terpaku, seolah terkunci pada sorot matanya yang tajam.
Untuk beberapa saat kami terpaku saling memerangkap sosok masing-masing.
" Nama saya Jo..."
Suara bass dari sosok tampan dengan jas hitam itu memecah kesunyian sambil mengulurkan jabat tangan yang dengan ragu aku sambut.
Dan kemudian hari - hari ku bergulir, mengantarkan semakin banyak kejutan-kejutan pada hidupku yang biasanya berjalan datar.
Mulanya aku terenyak pada sosoknya yang tampak tanpa cela. Sempurna. Berusaha memaklumi. Memahami. Semakin mengerti.
Kemudian tanpa aku sadari, Ia telah menjadi udara yang menelusup begitu saja dalam hidup ku.
Dia laki - laki. Aku juga laki - laki. Kami bercinta.
Comments
arigato~~
Setujuh nih ama kak @3ll0 ,,
Jangan php ya ceritanya!!!
;;)
Bulir-bulir keringat ku semakin deras bercucuran karena panasnya angkot yang kini sedang aku tumpangi. Dari sejak 15 menit yang lalu, angkot ini bergerak maju dengan sangat lambat.
Aku berulang kali bolak-balik melirik jam tangan dan melongo ke luar jendela angkot. Terkadang mengetuk sepatu. Gelisah.
"Kalau begini terus, aku bisa telat..." Gumamku pelan.
Bapak tua yang duduk disebelahku menoleh sebentar kemudian kembali mengelus ayam yang sejak tadi di pangkunya dan kemudian menyahut tanpa melirikku, " Kalau begitu, turun dan lari saja. Ga usah bingung to.."
Aku menoleh bingung pada bapak tua itu, apa beliau sedang berbicara pada ku?
"Apa?" Sosok itu balik menoleh ku sambil sedikit menaikan dagunya. "Yo lari kalau ga mau telat!" serunya kali ini sambil menunjuk ke pintu angkot yang terbuka yang ada tepat di depanku.
Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya mengerti apa yang di maksud si bapak. Sepertinya aku terlalu dehidrasi. Aku kemudian tersenyum lebar. Mengetuk kap atas angkot dengan keras dan berseru, " Kiri bang!"
- - - - - - - - - - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Aku terus berlari tanpa menghiraukan pandangan aneh orang - orang. Ku peluk erat plastik yang berisikan lembar - lembar kuesionerku.
Lari ku melambat ketika akhirnya gedung megah yang kutuju sudah tinggal beberapa langkah lagi. Melirik jam tangan. 09.40 . Terlambat 10 menit dari waktu janji.
Dewi - nama resepsionis yang tadi berjengit saat melihat penampilanku- kini sedang berusaha menghubungi Bapak Hendra, sang kepala HRD.
Aku beberapa kali menyeka bulir-bulir keringat yang bercucuran sambil memperbaiki penampilanku yang sangat kacau. Hasil dari berlari marathon tadi.
"Mas nya bisa duduk disana dulu? Sebentar lagi Pak Hendra akan turun menemui mas." Katanya Dewi sambil menunjuk sofa tunggu yang ada dipojok Hall ini. Senyum manis nya sangat formal.
Aku duduk di sofa yang tadi ditunjuk Dewi sambil menata lembar kuesionerku sampai Pak Hendra datang menghampiriku dengan sebuah jabat tangan yang terulur.
"Siang dik, ada yang bisa saya bantu?"
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hihhihihi
i
"Jadi adik ... Maaf, bapak lupa, nama kamu siapa tadi?" Tanya beliau sambil membolak-balik lembaran kertas untuk mencari tulisan namaku.
"Satrya pak... Nama saya Satrya Anggara." Jawab ku mantap.
"Jadi apa tujuan dari kuesioner ini?" Tanya beliau sambil menyerahkan lembaran yang sudah rapi itu kembali kepadaku.
" Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efektifitas kerja karyawan dengan sistem yang berjalan di perusahaan ini. Sekaligus bisa mencari titik penyulit yang ada selama ini. Yang menghambat kinerja karyawan." Jelasku.
pak Hendra tampak menimbang. Sesekali jemarinya diketuk ke meja.
"Sejujurnya saya suka dengan isi kuesionermu dan saya rasa itu bisa membantu saya dalam melakukan penilaian kinerja karyawan saya tapi..."
Jeda yang cukup panjang membuatku gelisah. Ini adalah perusahaan ketiga yang sudah aku tawari kuesioner ini. Kuesioner yang sudah beberapa kali aku revisi. Menyita tidur malam, uang bulanan, dan segalanya. Jadi aku benar-benar sangat berharap kuesioner ini dapat di terima perusahaan yang direfrensikan oleh dosen pembimbingku ini.
"Hmmm...." gumam Pak Hendra yang tiba-tiba memecah sunyi. "Apa hasil kuesioner ini nantinya akan di cantumkan dalam skripsimu? atau hanya data presentase saja?" Tanya pria yang berusia sekitar 45an itu.
Aku terdiam sejenak. Ini dia pertanyaan yang sejak tadi aku antisipasi. ".... Iya pak, itu sebagai bukti bahwa kuesioner itu memang dijalankan. Bukan data fiktif."
HRD itu terdiam lagi. Kembali menimbang, sebelum akhirnya menegakkan duduknya yang tadi sempat agak bungkuk.
"Hmm.. maaf sekali nak Satrya, bapak tiba bisa mengijinkan kuesioner ini disebar disini karena ini menyangkut data sistem kerja perusahaan. Dan itu rahasia yang tidak untuk publik."
Sekali lagi penolakan yang harus aku terima. Harapan yang tadi sempat aku pegang kini lepas. Mungkin kekecewaanku sangat tersirat hingga Pak Hendra bangkit dari duduknya menghampiri untuk menepuk bahuku pelan.
"Maaf sekali dik. Jujur isi kuesionermu sangat bagus dan membantu sekali tapi sekali lagi karena ini menyangkut sistem perusahaan. Saya tidak bisa terima."
Aku mengangguk pelan sebagai tanda mengerti. Sebuah tepukan pelan dibahu sekali lagi aku terima sebelum akhirnya mendengar langkah pelan pak Hendra yang menjauh.
Dengan tangan yang terasa lemas kembali ku kumpulkan kertas-kertas itu. Kekecewaan semakin tidak dapat ku tahan sehingga tanpa sadar aku meremas kertas-kertas yang telah terkumpul itu.
Sabar Sat, kamu ga boleh nyerah. Ini tantangan. Kamu pasti bisa. Kata ku dalam hati memberi semangat diri sendiri. Setelah menarik nafas dalam dan merasa lebih tenang aku bangkit dengan kumpulan kertas yang kupeluk. Plastik yang tadi aku pakai untuk menampung lembar kuesioner telah hilang.
Ketika aku sudah mendekati pintu keluar dan hendak mendorong pintu kaca itu. sebuah tangannya yang kokoh menggapai lenganku dan mengalirkan
sensasi yang aneh. Sengatan listrik kecil yang sedikit
menyentak.
" Ini lembar kuesionermu " katanya simpatik, sambil
menyerahkan lembar kertas yang sudah tampak lecak itu.
Pandanganku terpaku, seolah terkunci pada sorot matanya
yang tajam.
Untuk beberapa saat kami terpaku saling memerangkap
sosok masing-masing.
" Nama saya Jo..."
Suara bass dari sosok tampan dengan jas hitam itu
memecah kesunyian sambil mengulurkan jabat tangan yang
dengan ragu aku sambut.
Seharusnya tidak ya?
Kertasnya telah terkumpul, trus yang disodorin Jo itu apaan? Hmmm yg hilang kayaknya plastik tempat kertas-kertas deh.... Apa ada yang jatuh? Tapi, kata 'telah terkumpul' dan 'kumpulan kertas yang kupeluk', sukses mematahkan asumsi itu...
Suka cerita ini, next tolong mention ya