BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Story: Biru dan Merah

Halo, kali ini saya mencoba sebuah kisah romansa fantasi. Sebelumnya telah saya post di sebelah.
Selamat membaca, semoga anda terhibur.



Selamat datang di Grun, sebuah benua terluas yang terdiri dari lima kerajaan besar dan tanah peri dengan jumlah yang sedikit, tersebar di seluruh daratan. Sebuah benua dimana makhluk dari negeri dongeng, yang menawan dan rupawan hingga bagai mimpi buruk, bukanlah sebuah kisah belaka. Kisah ini berpusat di salah satu kerajaan yaitu Lanari, kerajaan terbesar di Grun yang menguasai sebelah utara hingga ke timur.

Lanari membagi wilayah secara unik, mengikuti empat arah mata angin. Loff di utara yang menjadi pusat kerajaan, Sigul di wilayah timur yang berbatasan dengan samudra, Nefrit di selatan yang berbatasan dengan kerajaan selatan yaitu Tigris, dan Sara di wilayah barat yang berbatasan dengan kerajaan Grant.
«13456716

Comments

  • PROLOG

    Biru Bagai Langit

    Malam itu seperti malam lainnya di musim dingin yang ia habiskan untuk berkereta kuda dari satu puri ke puri lainnya, menghadiri pesta perjamuan yang tidak lebih rendah dari kata mewah dan glamor. Sang Marquess mengundangnya ke tepi barat wilayah kerajaan, dalam jamuan peringatan atas gelar yang diperolehnya dalam upaya perlindungan perbatasan.

    Sang Duke dalam setelan putih berdiri di antara kerumunan wanita, dengan segelas sampanye di tangan, melempar senyum ramah, menimpali segala goda dan rayu dengan tawa yang ringan. Tidak suka bukan berarti ia benci. Tidak ada rasa seperti itu, karena seperti inilah hidupnya sejak dulu. Hingga ia terbiasa dengan semua wanita, rayuan, jamuan dan kemewahan.

    Ketika alunan musik dansa yang lembut terdengar, ia menyambut uluran tangan Sang Marchioness, setelah sebelumnya melempar senyum pada Sang Marquess sebagai tanda, menariknya ke tengah ruangan. Satu tangan bertaut, dan tangan lainnya di pinggang. Ia menarik Sang Marchioness dalam gerak dansa yang ringan, lembut dan teratur. Sepasang iris birunya menyapu wajah Sang Marchioness dengan senyum tipis yang ia ukir di bibir. Tapi hanya sebatas itu, tidak ada perasaan lebih.

    Hingga ketika ia menarik Sang Marchioness berputar dan derai tawa mengalir lancar dari mulut keduanya, kedua manik itu terpaku pada siluet pria dalam setelah merah bagai darah di tepi ruangan. Gerakan putaran berikutnya, ia masih melihat siluet itu di sana, menatapnya dengan pandangan memuja, sama seperti kebanyakan pandangan wanita padanya. Namun anehnya, ia ingin melihat pandangan memuja itu sekali lagi, meski berasal dari seorang adam seperti dirinya. Hingga ketika ia tidak melihat siluet itu berada di sana, di tempat yang sama, gerakannya berhenti. Kedua maniknya bergulir, mencari warna bagai darah yang memikat. Namun tidak satupun ia temukan.

    "Duke?"

    Ia terhenyak, mendapati sepasang iris coklat Sang Marchioness menatapnya bingung. "Maaf, Madam. Sepertinya kita harus menyudahi dansa ini, meski sangat menyenangkan." Sang Marchioness hanya melempar senyum dan berkata "Tak apa, Sir. Sampai bertemu di dansa berikutnya." dan hanya ditimpali oleh tawa geli oleh Sang Duke.

    Sang Duke menghampiri tempat di mana siluet pria merah itu terlihat. Ia menggulirkan manik birunya dari satu sosok ke sosok lainnya, namun nihil. Ia tidak menemukan satupun rambut dan setelan jas yang sewarna. Merah bagai darah, memikat dan elegan. Entah rasanya begitu aneh, ia terasa begitu terpikat oleh sosok yang bahkan baru pertama kali ia lihat. Terlalu menggoda untuk dilewatkan.
    Sang Duke tahu, ia harus menemukannya, atau tidak sama sekali.

    ***


    Merah Bagai Darah

    Ia masih ingat beberapa menit yang lalu.

    "Benar-benar pas." Ia melempar senyum pada patulan bayangan ayahnya di cermin. Ayahnya sedang bersandar di pintu kamarnya yang terbuka, tangan menyilang dan senyum lembut yang menenangkan. "Kau tampak gagah dan rupawan." pujinya tulus. Dan ia hanya kembali melempar senyum sebagai balasan.

    Ia mengamati dirinya dalam balutan jas merah bagai darah yang gelap, yang senada dengan irisnya dan sesuai dengan warna rambutnya yang sewarna tembaga. Jas yang terbuat dari bahan kain yang termurah yang bisa didapatkan di pasar. Bukannya ia tidak suka memakainya, tapi tidak ingin. Jas ini milik ayahnya, pemberian dari mendiang ibunya, sangat disayangkan untuk dikenakan. Namun permintaan ayahnya tidak bisa ia tolak.

    Ayahnya sang ksatria berpangkat rendah diundang oleh Marquess dalam pesta perayaan. Pesta perayaan yang terbilang mewah dan megah, hanya dari kalangan petinggi yang mampu menghadirinya. Namun ayahnya memperoleh undangan khusus, sebagai balas budi masa lalu, katanya. Sayangnya ayahnya tidak mampu menghadirinya di malam dengan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Dan terpaksa ia harus menggantikannya. Tapi ia tidak menyukainya. Tidak suka berada di tempat yang tidak layak baginya.

    Namun di sinilah ia, berdiri di sisi ruangan, tersisihkan oleh kemewahan. Ia bersandar di dinding, maniknya yang sewarna permata rubi bergulir sebentar ke beberapa orang sebelum kembali menunduk, malu atas keberadaan dirinya. Sungguh, ia tidak pantas. Ia seperti datang bagai jester yang dengan sukarela mempermalukan dirinya sendiri, menjadi bahan gurauan.

    Alunan musik nan lembut terdengar. Ia mengangkat wajah, melihat keanehan ketika semua orang kini terfokus ke tengah ruangan. Rasa penasaran yang menggelitik membawa langkahnya ke tepi kerumunan, di antara celah dua pria bersetelan mahal, ia melihat ke tengah ruangan.

    Di sana lah ia melihat pria yang sulit membuat matanya untuk berkedip. Surai emas, iris biru yang terbalut dalam setelah putih, yang membuat semuanya terlihat pas. Sempurna. Pandangan yang ramah dan tawa yang ringan dan menggelitik telinganya sungguh membuatnya terpikat dalam pesona. Ia mengenalinya sebagai Duke dari Timur.

    Hingga ketika pandangan itu bertemu, ketika kedua permata safir dan rubi beradu, Ia bisa merasakan bagaimana maniknya yang bagai darah terhanyut dalam pusaran lautan dari kedua manik biru itu, meski hanya sebentar.

    Ia menggelengkan kepala kuat, terlalu berbahaya baginya untuk terjatuh dalam pesona seseorang di tempat seperti ini. Ia bukan siapa-siapa, tidak dari kalangan tinggi manapun. Ia bahkan berada di pangkat yang paling rendah. Bermimpi terlalu tinggi akan membuatnya terjatuh dalam kubangan lumpur. Sakit dan ternoda.

    Ia sadar dirinya hanya seorang bartender di sebuah bar kumur di pinggir kota. Meski terbalut dalam jas merah yang sederhana, mengangkat derajatnya cukup tinggi, ia masih sadar jika harga dirinya bahkan tidak lebih dari harga setelan putih nan mewah milik Sang Duke.

    Saat musik masih mengalun, ia telah beranjak pergi. Melupakan jerat pesona sepasang safir. Namun ia tidak menyadari bahwa maniknya yang bagai darah telah memikat sang pemilik manik bagai langit.
  • PART 1

    “Bagaimana kabar ayahmu?”

    Henry melemparkan senyum sopan pada Graham Silvercrow, sang Marquess yang kini berdiri di hadapannya. “Beliau baik-baik saja, Tuan.” Jawabnya. Kedua tangannya yang ia tautkan terasa basah oleh keringat.

    Marquess berumur sama dengan ayahnya, namun dengan tubuh yang lebih tegap dan terlatih. Wajahnya telah dipenuhi oleh kerutan dan rambutnya yang disisir rapi nyaris memutih seluruhnya, namun tidak menutupi garis ketampanan yang ada saat Sang Marquess masih muda.

    “Kuharap udara dingin tidak mempengaruhinya.” Ada ekspresi simpati yang ditangkap maklum oleh Henry dengan anggukan.

    Ayahnya memang sudah tidak mampu bekerja sejak pulang dari perang terakhir 20 tahun lalu dengan kaki kanan yang terluka dan tidak mampu berjalan dengan baik. Saat itu Henry yang berumur 5 tahun dititipkan di panti asuhan mengingat ibunya telah tiada sejak ia lahir, dan tidak memiliki sanak keluarga manapun.

    Dan ketika ayahnya kembali, mereka harus membangun keluarga dengan susah payah, dengan kemampuan ekonomi yang sulit setelah pension dini dari pasukan kerajaan. Ayahnya tidak mampu bekerja banyak hal dengan kaki yang pincang, dan Henry terpaksa bekerja lebih keras di usia belia. Diusianya yang semakin tua membuat kemampuan tubuhnya pun ikut turun, dan cuaca pun mampu melemahkannya.

    “Aku ingin membantunya, kalian berdua semampuku. Aku berhutang budi padanya.”

    Henry menggeleng pelan dan tersenyum, mengerti maksud sang Marquess. “Terima kasih, Tuan. Tapi kami masih mampu membiayai hidup.”

    Sang Marquess menatap simpati, namun akhirnya ia mengerti. Henry yang ia kenal adalah pemuda mandiri yang tidak akan bergantung pada siapapun. Sang Marquess menepuk bahu Henry dan tersenyum lega. “Jika kamu, ayahmu, membutuhkan bantuan, jangan sungkan untuk memintanya padaku, Henry.”

    Henry mencengkeram erat telapak tangannya yang makin berkeringat. “Terima kasih, Tuan. Saya menghargainya.”

    “Astaga, Henry! Kamu sudah sebesar ini sekarang.”

    Henry menoleh mendapati wanita bergaun biru, menatapnya dengan kilat bahagia. Senyum lebar terukir diwajahnya, menampakkan barisan gigi putih yang rapi dan terawat. Rambut cokelatnya disanggul di belakang, dihiasi beberaa bunga yang entah imitasi atau asli. Wanita itu mendekat, memeluk Henry dengan erat.

    “Lama tak berjumpa.” Ucap pemuda bersurai tembaga itu setelah melepaskan pelukan dan menerima ciuman di kedua pipi.

    Henry selalu menyukai sang Marchioness. Wanita berumur itu selalu ramah dan perhatian. Selain rasa humornya yang sedikit aneh, sang Marchioness adalah wanita yang penyayang, mengingat pasangan Marquess tidak memiliki keturunan. Terakhir kali ia bertemu sang Marchioness adalah ketika ia berumur 13 tahun saat ayahnya berkunjung ke puri ini atas undangan makan alam sang Marquess. Sang Marchioness telah banyak berubah. Ada beberapa garis putih di rambutnya yang cokelat, dan beberapa kerutan yang tidak bisa dihindari terukir di wajahnya. Namun wanita itu masih tampak sama mempesonanya seperti yang terakhir Henry ingat.

    “Bagaimana kabarmu, nak? Kenapa tidak pernah mengunjungiku? Bahkan tidak mengabariku.” manik kelam sang Marchioness tampak sedih, membuat Henry merasa bersalah. Bukan bermaksud untuk tidak mengabari. Banyak hal yang pemuda itu harus lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

    “Maaf, Aida. Saya tidak bermaksud untuk tidak mengabari. Saya, hanya sedang sibuk.”

    Aida Silvercrow, sang Marchioness menangkup wajah Henry, melepaskan kerinduan. Kedua manik hitamnya tersenyum saat bertemu kedua manik merah Henry yang berbeda namun baginya menarik. Ia menepuk pelan wajah Henry dan tersenyum maklum. “Aku mengerti, nak.”

    “Astaga, Henry, kamu tampak gagah sekarang, sungguh.” Puji Mrs. Silvercrow, membuat Henry tersipu. “Jika saja aku masih muda, aku tentu akan memintamu menikahiku.” Guraunya.

    “Kalau begitu, kurasa kamu hanya perlu melangkahiku, nak. Kurasa itu mudah.” Celetuk Graham, membuat ketiganya tertawa.

    Suara dehaman tiba-tiba terdengar. “Maaf, Mrs. Silvercrow. Jika berkenan memperkenalkan?”

    Saat itu Henry baru menyadari sosok lain yang berdiri di belakang sang Marchioness. Sosok dalam setelan putih yang membuat punggung Henry terasa sakit bagai ditusuk oleh seribu jarum.

    “Oh, my. Maafkan ketidaksopanan saya, Duke.” Ujar Aida merasa bersalah. Wanita itu meraih pinggang Henry, mendorongnya mendekat pada si pemilik surai emas. “Mari, Duke. Saya perkenalkan anda pada Henry. Henry, beliau adalah Duke dari Timur, Tuan Clifford Scarlet.”

    Sosok bersurai emas dan bermata biru langit itu menyodorkan jabatan tangan sambil tersenyum. Awalnya Henry ragu untuk menerima, namun ketika pandangan antusias Aida tertuju padanya, akhirnya pemuda itu menerima jabatan tangan dari Mr. Scarlet. Awalnya, jabatan tangan itu terasa erat dan hangat. Namun Henry merasakan sengatan aneh di telapak tangannya yang membuatnya buru-buru melepaskan jabatan.

    Henry merasa tangannya makin berkeringat sekarang. Ia tak berani beradu pandang pada Clifford yang kini tengah menatapnya dengan rasa penasaran. Ada yang aneh yang membuatnya merasa tidak betah. Punggungnya bahkan masih terasa ngilu saat ini. Tapi kenapa?

    Aida yang menyadari ketidaknyamanan Henry segera meraih lengan pemuda itu dan merangkulnya. “Hey, Henry. Apa kamu sudah mempunyai kekasih?”

    Wajah Henry memerah, nyaris sewarna dengan jas miliknya, membuat Aida terkikik geli. “Be-belum.”

    Aida melotot, menatap tidak percaya pada Henry yang menunduk malu. Sungguh, pemuda itu tampak lucu dan menggemaskan di matanya saat ini. “Ya ampun, sepertinya gadis-gadis di sekitarmu buta. Seharusnya mereka bisa melihat betapa tampannya dirimu.” Ucapnya membuat tawa Mr. Silvercrow meledak.

    “Tidak mungkin. Lagipula tidak ada yang ingin bersama pemuda sepertiku.”

    Aida mengelus bahu Henry, membuat pemuda itu merasa nyaman. “Henry, cinta tidak mengenal derajat. Aku yakin ada seseorang yang ingin bersama denganmu tanpa melihat status seperti itu. Aku yakin kamu akan menemukannya kelak.” Ucapnya bijak. “Nah, Henry. Kalau begitu malam ini aku akan jadi kekasihmu.”

    Henry tertawa, Aida selalu membuatnya bisa tertawa. “Ayo, kita tinggalkan kedua pria bujang ini.” Yang ia maksud adalah Clifford dan Graham. Dan lagi-lagi Henry tertawa. “Lagipula ada yang ingin Mr. Scarlet bicarakan dengan Graham.”

    Henry bisa bernapas lega, setidaknya ia bisa menjauh dari Clifford, membuat tubuhnya menjadi lebih baik. Namun sepertinya dia harus kembali merasa tidak nyaman ketika Aida berkata “Akan kuperkenalkan kekasih baruku pada teman-temanku. Mereka akan iri.” Guraunya, dan menarik Henry pergi. Ia masih bisa mendengar celetukan gurauan dari Mr. Silvercrow “bersenang-senanglah dengan kekasih barumu, Henry.” Yang dilanjutkan dengan tawa.

    ***


    Clifford Scarlet, Duke dari Timur, tidak pernah merasa setidaktenang ini dalam hidupnya. Ia memang memiliki rasa penasaran yang besar, namun tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Hanya sekilas ketika ia memandang kedua manik darah itu, ia bisa merasakan sensasi aneh ketika perutnya bergolak dan rasa penasarannya menggebu. Ia harus menemukannya pemuda marun itu atau ia akan tidak akan bisa tidur dengan tenang malam ini.

    Tapi di mana dia? Ia nyaris menghampiri seluruh kerumunan dan tidak menemukan satu sosok yang terbalut dalam setelah marun yang seharusnya nampak mencolok di keramaian.

    “Anda baik-baik saja, Duke?”

    Cliff, begitulah ia dipanggil, menoleh ketika bahunya ditepuk dengan pelan. Aida Silvercrow menatap bingung pada sang Duke yang tampak seperti anak yang hilang di tengah kerumunan. Cliff tersenyum tenang, seperti sebelumnya. “Tentu, Mrs. Saya baik-baik saja.”

    “Saya mencari Mr. Silvercrow, dan tidak melihatnya di tengah kerumunan pesta.” Sedikit dusta ia selip di sana.

    Aida tertawa, melambaikan kipas ditangannya. “Graham memang tidak menyukai pesta. Padahal dia yang mengadakannya. Mari, Duke, kita selalu bisa menemukannya berdiri dekat anak tangga utama.” Cliff dengan rasa enggan mengikuti Aida. Sebenarnya ia masih penasaran, ingin mencari si marun di kerumunan lainnya. Namun ia tidak mungkin menolak ajakan sang Marchioness, bukan?

    Atau ia harus berterima kasih karena telah mengikuti Aida, sehingga ia bisa melihat sosok berjas marun yang tengah berbicara dengan Graham Silvercrow. Membuat perutnya kembali bergolak dan tanpa dipaksa senyumnya terukir dengan mudah.

    Rasa penasarannya semakin menggebu ketika ia melihat bagaimana pemilik surai tembaga itu berinteraksi dengan Mrs. Silvercrow dengan sangat akrab. Dan membuatnya terkagum ketika pemuda itu menyebut nama Aida tanpa tambahan gelar, nama keluarga atau panggilan hormat lainnya. Hanya Aida. Sedangkan wanita pemilik nama dan Mr. Silvercrow tidak mempermasalahkannya sedikit pun. Seolah pasangan Marquess telah mengenal pemuda itu dengan sangat dekat.

    Telinga Cliff terasa tergelitik ketika ia mendengar tawa renyah dari si pemuda. Cliff tidak bisa diam saja, ia perlu mengenalnya, jangan sampai ia kehilangan sosok itu lagi.

    Henry. Tanpa nama keluarga. Hanya Henry.

    Ada sensasi aneh ketika Cliff menjabat tangan pemuda itu. Hangat dan tidak ingin ia lepas. Namun sayangnya Henry melepaskannya lebih dulu, yang membuat Cliff merasa aneh pada dirinya sendiri. Kenapa ia harus kecewa? Dan kenapa ia ingin mengekori pemuda itu ketika Aida membawanya pergi? Kenapa?

    Clifford, entah kenapa, dadanya terasa lega ketika mendengar bahwa Henry belum memiliki pendamping. Tapi kenapa? Ia merasa aneh saat ini.

    “Mr. Scarlet?” Cliff tersentak kaget ketika suara Mr. Silvercrow terdengar. Ada rasa malu ketika ia menyadari bahwa sejak tadi matanya tidak lepas dari Henry meski pemuda itu telah pergi.

    Cliff menoleh pada sang Marquess dan tersenyum, berusaha terlihat wajar. “Ya, Mr. Silvercrow?”

    “Aida bilang, anda ingin berbicara dengan saya?”

    “Oh ya, benar.” Cliff memutar otak, mencari topik pembicaraan yang tepat mengingat bertemu dengan Mr. Silvercrow adalah alasan yang dibuatnya pada Aida. “Mengenai aliansi yang dibuat kerajaan dengan kerajaan di selatan. Bagaimana pendapat anda?”

    “Saya sudah mendengar kabar itu. Kurasa pembentukan aliansi adalah hal yang bagus mengingat kerajaan kita dan kerajaan selatan tidak memiliki sengketa dalam hal apapun. Hubungan kita selama ini baik-baik saja, bukan? Dan—“

    Cliff tidak bisa berkonsentrasi untuk mendengar ucapan Mr. Silvercrow. Nyaris setiap detik ia melirik Henry yang tak jauh darinya, dirangkul dengan mesra oleh Aida dan dikerumuni oleh beberapa wanita muda yang tampak tertarik pada pemuda berjas marun itu. Membuatnya merasa was-was jika saja pemuda itu menghilang lagi dari pandangannya, atau karena hal lainnya.

    “Mr. Scarlet?”

    “Eh-eh, ya?”

    “Apa anda mendengarkan?”

    “Y-Ya.”

    “Jadi, bagaimana pendapat anda?”

    “Pendapat?”

    “Ya, pendapat anda. Bagaimana?”

    “Itu…” manik birunya bergerak ke kanan dan kiri, sebelum akhirnya ia mendesah. “Maaf, jujur saya tidak mendengarkan anda. Saya benar-benar minta maaf.” Cliff kini merasa malu karena kesalahan yang telah dibuatnya. Ia seperti telah mencoreng gelar miliknya dengan arang.

    Mr. Silvercrow menatapnya bingung, sebelum akhirnya pria itu tersenyum maklum. “Tidak apa, Mr. Scarlet. Saya mengerti. Kita seharusnya bersenang-senang, bukan berbicara politik di tengah pesta seperti ini.” Membuat wajah Cliff memerah dan semakin malu. “Silahkan jika anda berminat untuk kembali berdansa.”

    “Sekali lagi saya minta maaf, Mr. Silvercrow.” Ucap Cliff, membungkuk hormat sebagai permintaan maaf. “Kalau begitu saya permisi.”

    “Bersenang-senanglah.”

    Sungguh, Cliff benar-benar telah merusak namanya sendiri di depan sang Marquess hanya karena Henry telah menghilang di dalam kerumunan. Cliff menghampiri kerumunan dimana Henry terakhir kali ia lihat. Namun pemuda itu tidak berada di sana, begitu pula Aida. Dan kini ia terjebak dalam kerumunan wanita yang mencoba menggodanya. Cliff hanya melempar senyum, sedikit berbincang dan segera pergi, tak berminat untuk berbicara lebih.

    Untuk kedua kalinya ia kehilangan sosok berjas merah. Cliff tampak kacau. Seperti yang Aida bayangkan, bagai anak yang hilang di tengah kerumunan. Setiap saat matanya berpindah dari satu sosok ke sosok lainnya, menghampiri kerumunan satu dan kerumunan lainnya. Dan hasilnya nihil. Ia tidak menemukannya di manapun. Aida bahkan tidak terlihat di manapun. Mungkinkah? Tidak! Tidak ada kemungkinan apa yang dibayangkannya terjadi. Tapi mengingat bagaimana Henry menyebut nama Aida dengan mudahnya, membuat pemuda bersurai emas itu panik.

    Hingga akhirnya ia bertemu Aida di antara kerumunan wanita yang seumuran dengannya, tengah bercanda gurau. Cliff menghampiri. “Halo, ladies.” Sapanya, membuat wanita-wanita tersebut terpekik kaget.

    “Oh, Duke. Apa yang membawa anda ke mari? Apakah pesona kami?” gurau Aida, membuat kerumunan it terkikik di balik kipas tangan yang menutupi mulut mereka.

    “Kemana kekasih anda, Mrs. Silvercrow? Sudah berakhir kah?” canda Cliff, membuat Aida tertawa.

    “Dia butuh udara segar, katanya. Sepertinya ada di balkon sayap timur.”

    “Oh, ya?” Cliff diam sejenak dan melanjutkan. “kalau begitu saya permisi, ladies. Selamat bersenang-senang.”

    Cliff segera pergi, memacu kakinya dengan langkah yang santai dan lebih tenang. Ia sudah berada di timur ruangan, dan menghampiri satu balkon di sana. Henry yang dalam setelan jas merahnya tengah memunggunginya, menatap entah apa ke luar sana. Cliff akhirnya bisa merasa lebih tenang melihat pemuda itu beberapa meter dari hadapannya.

    Ia menghampiri dengan langkah yang pelan dan tenang, bermaksud untuk menepuk bahu Henry dan mengejutkannya. Namun Cliff lah yang terkejut ketika pemuda itu berbalik lebih dulu dan melotot padanya, membuat Cliff menatapnya bingung. Sebelum akhirnya Henry membuang pandang dan kembali berbalik memandang ke luar.

    Cliff berdiri di samping, menyandarkan tangan di pagar balkon. “Hei, apa yang sedang kamu lihat?” tanyanya, melihat wajah pemuda itu menghadap ke depan, menatap entah apa.

    “Tidak ada.” Jawabnya singkat tanpa menoleh.

    “Tidak ingin menikmati pesta?”

    “Tidak.”

    Jawaban yang singkat membuat Cliff penasaran. Ia memiringkan tubuh, menyandarkan satu sisi tubuhnya di pagar berusaha sesantai mungkin, seutuhnya menghadap Henry, membuat pemuda itu bergerak gelisah. “Aku penasaran, bagaimana kamu bisa mengenal dekat Tuan dan Nyonya Silvercrow.”

    Henry menyentuhkan kedua tangan di pagar dan mencengkeramnya erat. Ada rasa ngilu yang menghantam punggungnya. “Itu, hanya cerita lama. Tidak perlu diingat.”

    Sungguh, Cliff semakin penasaran. “Aku tidak menyangka kamu bisa berada di pesta seperti ini.”

    Dan Cliff mendapatkan seluruh fokus Henry padanya. Membuat senyum diwajahnya kembali terukir, namun sedikit terkejut dengan pandangan amarah pemuda itu yang ditujukan padanya. “Ya, aku tahu. Seharusnya aku tidak berada di pesta seperti ini. Ini bukan pesta yang sesuai untuk kelasku, bukan? Aku mengerti.”

    Cliff berdiri, merasa bersalah. Sepertinya ada yang salah dengan kalimatnya hingga membuat pemuda itu marah padanya. Ia tidak bermaksud menyinggung status sosial atau hal sejenisnya pada pemuda itu, meski ia tahu dari setelan yang dikenakan pemuda itu sudah menjelaskan status sosialnya. Ia merasa tidak enak, membuat dadanya terasa sesak. “Hei, aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Kamu salah mengerti maksud ucapanku.”

    Henry tidak menjawab, hanya membuang muka dan kembali menatap ke depan. Cliff mendekat, menyentuhkan tangannya di bahu pemuda itu. “Aku minta maaf” ucapnya tulus. Namun ulu hatinya terasa sakit ketika pemuda itu tiba-tiba melompat mundur, menghindarinya, menatapnya dengan kedua matanya yang melotot menatapnya aneh.

    Tiba-tiba saja Henry tersentak, pandangannya bergerak liar, lalu menunduk. “Maaf.” Gumamnya.

    Cliff hanya tersenyum maklum sebagai balasan. “Tidak apa-apa.” Ia mengulurkan tangan. “Mau berdansa?”

    Henry menatap tangan dan manik biru Cliff bergantian. Ada sensasi aneh kita pemuda itu mengajaknya. Entah apa, tidak ia mengerti. Tangannya terangkat, hendak menerima, membuat wajah Cliff merona bahagia. Namun segera Henry menarik tangan. “Maaf, saya harus pergi.” Dan pemuda bersurai tembaga itu berlalu pergi. Menyisakan Cliff yang merasa terluka.
  • edited January 2015
    Diamankan dulu posisi pertama :p


    Cerita kali ini tentang para Bule nih. :>
  • selamat datang, makasih dah mampir. tadinya mau mention. tapi udah mampir duluan. hehe
    semoga bisa menikmati cerita ini.
  • Masih bersambung kan ini?
  • @cute_inuyasha‌ masih kok.

    @3ll0 wah, dibantuin mention. makasih ya.
  • Iya @JNong masama :blush:
  • Dede @3ll0 kan jubir nya ts2 sini,,,wkwkwk
  • WOW. Kereeeennnn banget. Jangan lama2 ye update nye. Kagak sabar bacanye. Makasih buat @3ll0 udeh mentionin ane dimari. Pilihan ente emang top dah....
  • Ah kakak @cute_inuyasha bisa aja #Cubit
  • Aishhh dede @3ll0 ihhh,,,cubitan kecil tanda sayang lho,,,
    *kata lagu dangdut*
    Wkwkwk
  • @3II0 Makasih udah di mention ^^
  • @JNong Seru Nih Update terus y ^^
  • Baguss nitip mention ya kak TS :)
Sign In or Register to comment.