It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Henry nih baru sekali jatuh cinta ya? First Love? Sekaiichi Hatsukoi? :P Ahh unyuuu ♡♡♥♡♡
@Unprince @Zhar12 @nad4s1m4 @Lonely_Guy
PART 3
Cliff perlahan membuka mata dengan sedikit mengerang ketika rasa ngilu tiba-tiba menyerang tubuhnya. Warna coklat bagai tembaga tertangkap oleh netranya dan secara spontan mulutnya berujar dalam erangan “Henry?”
“Anda sudah sadar? Syukurlah.”
Bukan. Bukan Henry. Itu suara Aida, sangat jelas tertangkap oleh telinga Cliff. Ada terselip sedikit rasa kecewa ketika menyadari bukan wajah pemuda itu yang ia tangkap pertama kali di maniknya. Aida yang duduk di tepi tempat tidurnya menampilkan wajah yang lega. Dengan lingkar hitam di bawah matanya yang bengkak, membuat wanita itu tampak lebih tua.
Cliff berusaha bangkit dengan sedikit erangan yang mengalir dari mulutnya. Rasanya tubuhnya benar-benar remuk.
“Berbaringlah, Mr. Scarlet. Itu akan membuat anda menjadi lebih baik.”
Cliff menyerah dan menuruti permintaan Aida. Ia kembali berbaring, menyamankan diri. Maniknya bergulir, menyapu wajah Aida yang tampak lusuh, membuatnya merasakan rasa bersalah. “Maafkan saya, Mrs. Silvercrow. Kunjungan saya malah membuat anda repot.”
Aida menggelengkan kepala. Matanya tampak basah oleh air mata. Ia nyaris menangis. “Tidak, ini bukan salah anda, Tuan. Ini salah kami karena membiarkan anda pergi tanpa pengawalan.” Dan kristal bening mengalir di pipi wanita itu.
Cliff mengangkat tangan, menyapu air mata di pipi Aida. “Ini bukan salah anda, Mrs.”
“Untungnya Henry berada di sana.” Ucap Aida, disela isakannya.
“Henry?”
Ia ingat, semalam, sepulang dari pub ia dicegat oleh beberapa orang, digiring dengan paksa ke sebuah gang sempit dan gelap. Di sana secara tiba-tiba seseorang memukul wajahnya. Ia sempat melawan, namun ia kalah jumlah dan berakhir dengan terbaring tak berdaya dengan tendangan di perutnya. Yang terakhir ia lihat adalah sepasang manik rubi yang berkilau di kegelapan di ujung jalan, sebelum kesadarannya terenggut. Henry kah?
Air mata Aida mereda. Ia menyapunya. “Ya, kusir kami mengatakan bahwa Henry membopong anda kembali ke kereta yang anda tumpangi. Graham sangat marah saat melihat anda kembali dengan tubuh yang terluka. Ia sudah memerintahkan untuk mencari dan menangkap pelaku.”
“Di mana Henry?”
“Dia selalu di kota.”
Cliff berusaha bangkit, menghiraukan rasa sakit yang kembali menyerang beberapa bagian tubuhnya. Sementara Aida panik, menahan tubuh pemuda itu. Ia terpekik “Apa yang anda lakukan? Anda harus istirahat.”
“Saya harus menemui Henry untuk berterima kasih.”
“Tidak, tidak. Beristirahatlah, Mr. Scarlet.”
“Tapi—“
“Anda bisa berterima kasih nanti setelah tubuh anda menjadi lebih baik.”
Aida benar. Ia tidak bisa bepergian dengan tubuh yang terasa remuk. Ia kembali menyerah dan berbaring di tempat tidur. Merasa amat tidak berdaya membuatnya merasa kesal. Yang ada dipikirannya saat ini adalah Henry, Henry dan Henry. Ia ingin segera menemui pemuda bersurai tembaga itu untuk berterima kasih.
Aida bangkit dan berlalu setelah berkata “Saya akan segera kembali membawakan sarapan untuk anda.”
Baru saja Henry akan beranjak pergi dari rumah untuk melanjutkan kerja siang ketika sosok Clifford Scarlet tiba-tiba muncul dan mengejutkannya. “Mr. Scarlet!” pekiknya. Henry meneliti pemuda itu dari ujung kepala hingga kaki. Cliff tidak lagi mengenakan pakaian mewahnya, hanya pakaian sederhana dari kain termurah. Nampaknya pemuda itu berusaha untuk berbaur dan tidak mencolok. Namun dengan surai emas menyilaukan itu, Henry meragukannya. Ada beberapa lebam di wajah yang membuat dada Henry terasa ngilu.
“Hai Henry.” Cliff bergerak gelisah, tampak canggung untuk seukuran pemuda bangsawan.
“Apa yang anda lakukan di sini? Anda seharusnya beristirahat di kediaman Silvercrow.”
Ya, harusnya Cliff tengah berbaring nyaman dan melambung di alam mimpi saat ini. Namun nyatanya ia tidak bisa. Bayangan surai tembaga, manik merah yang berkilau di kegelapan malam, dan wajah Henry berputar di kepalanya, membuatnya sangat tidak tenang. Ia ingin segera menemui pemuda itu, memaksa Aida untuk tidak menahannya berbaring di tempat tidur dengan alasan bahwa ia ingin berterima kasih pada Henry dan mengundangnya makan malam.
Cliff memasukkan tangannya ke dalam saku celana, menyembunyikan kegugupan. Pandangannya sempat beralih ke tanah jalanan sebelum kembali beradu pandang dengan Henry. “Saya tidak bisa beristirahat dengan tenang sebelum berterima kasih padamu.” Cliff tersenyum tulus. “Terima kasih.”
Henry terdiam untuk beberapa saat, membeku saat Cliff tersenyum padanya. Dadanya terasa sesak hingga kesadarannya kembali. Pandangannya bergerak ke manapun asal tidak pada sepasang safir yang menatapnya. Ia menelan ludah gugup. “Tidak perlu berterima kasih, Tuan. Sudah sewajarnya saya menolong. Saya permisi.”
“Henry, tunggu.” Cliff segera meraih siku Henry, menahannya untuk pergi. Namun, untuk sekian kalinya Henry menyentak tangannya, dengan ekspresi yang selalu ia tunjukkan pada Cliff dengan sepasang matanya yang melotot. Meski sudah beberapa kali menerimanya, Cliff masih merasakan sakit di perut ketika Henry menjauhinya.
“Maaf, saya tidak bermaksud menyentuhmu.”
“Ti-tidak apa-apa.”
“Saya hanya ingin mengundangmu di perjamuan malam ini.”
“Perjamuan?” Henry nampak ragu. Keningnya berkerut sebelum pandangannya kembali beradu. “Tapi saya tidak pantas untuk duduk dalam perjamuan, Tuan.”
Cliff kembali menahan siku Henry ketika pemuda itu hendak berbalik pergi. Namun kali ini ia mencengkeramnya dengan erat sehingga hentakan tangan Henry tidak berarti apa-apa. “Tuan..? Tolong?” desisnya, seolah cengkeraman di sikunya terasa perih. Dan faktanya memang seperti itu. Henry selalu merasa ada sengatan aneh di kulitnya setiap kali Cliff menyentuhnya.
“Terima tawaranku, Henry.” Tuntutnya. Cliff tidak bisa menerima penolakan. Tidak kali ini. Ia tidak bisa melewatkan kesempatan ini begitu saja, membiarkan pemuda itu bertahan dengan sikap keras kepalanya untuk menjauhinya seperti sebelum-sebelumnya.
“Tapi, Tuan.” Henry bergerak gelisah. Ia masih berusaha menarik lengannya, berusaha melepaskan genggaman Cliff dari sikunya.
“Hanya ada saya, kamu dan Tuan dan Nyonya Silvercrow. Terimalah, atau saya tidak akan melepaskannya.”
“Tapi saya tidak bisa, Tuan. Saya harus bekerja.”
Oh benar. Cliff lupa dengan pub kumuh itu. “Saya akan menjemputmu, meminta izin pada pemilik pub.”
Henry menghela. Ia tahu ia tidak akan menang dalam perdebatan antara penolakannya dan tuntutan Cliff. “Baiklah.” Ucapnya, membuat senyum lega terukir di wajah Cliff. Pemuda itu segera melepaskan tangannya, membuat Henry segera mundur untuk memberi jarak dari jangkauan Cliff. Ia menyentuh bekas sentuhan pemuda itu yang membuat dadanya terasa sesak.
“Nah, begitu lebih baik.” Cliff melangkah maju dan Henry merengsek mundur dengan waspada. Namun Cliff tetap berani, menghiraukan sikap antipasti Henry terhadapnya. Ia mengacak surai tembaga bagai jarum yang anehnya terasa halus di kulit telapak tangannya, berbisik “sampai bertemu nanti malam, Henry.” dan berlalu pergi. Meninggalkan Henry yang terpaku di tempat.
Malam telah tiba dua jam yang lalu, dan kini Cliff tengah memaku diri di depan cermin. Mengagumi parasnya yang tampan, terbalut dalam setelan putih nan mewah. Ia tersenyum, memuji dalam hati betapa mempesonanya ia dengan manik biru cerah dan surai emasnya yang pendek dan rapi. Membayangkan ekspresi memuja Henry saat melihat sosoknya nanti. Wait! Apa yang baru saja ia pikirkan? Henry memujanya? Oke, sepertinya ia harus segera pergi menjemput Henry. Terlalu lama bernarsis diri telah membuat otaknya sedikit bergeser.
Hal pertama yang dirasakan Cliff saat langkahnya melewati pintu rendah pub kumuh adalah dadanya yang tiba-tiba bergemuruh oleh perasaan yang tidak ia mengerti saat sosok Henry tertangkap oleh netranya. Henry berada di balik meja bar, tengah menyerahkan dua gelas besar bir penuh pada pelanggannya. Dan di sana, seorang pemuda asing tengah menepuk bahu Henry, menariknya dalam percakapan dan adu pandang yang membuat perut Cliff terasa ngilu. Dengan langkah lebar, ia menghampiri, menghiraukan beberapa pasang mata dan juga ucapan memuja dari Anne.
“Henry, ayo, sudah waktunya.” Ucapnya. Namun pandangan menusuknya tak lepas dari tangan pemuda bersurai gelap yang tersampir di bahu Henry.
Henry tentu kaget melihat Clifford Scarlet dengan setelan mewahnya berdiri di hadapannya di seberang meja bar, nampak menawan dan pesonanya tak ayal menarik setiap pasang mata padanya. Kesadarannya kembali dari pesona Cliff yang memikat ketika bisikan di belakang telinganya terdengar, berat dan pelan, menggelitik ujung telinga. “Siapa dia Henry?”
Henry menoleh, menyadari pria tinggi dengan rambut hitam sebahu yang diikat ke belakang tengah berada di sampingnya, menepuk bahunya. Parasnya tegas dengan hidung tinggi dan bibir tipis membuatnya nampak menawan. Manik sekelam malamnya menatap Henry dan Cliff bergantian. Pria itu tersenyum, sebelum tangannya berpindah ke pinggang Henry, membuat si pemilik surai tembaga terkesiap. Bukan karena sentuhan sensual yang diterimanya, tapi dari pandangan murka yang Cliff tujukan padanya. Kenapa dia harus takut akan hal itu?
Satu pukulan keras mendarat di kepala si pria setelah ia mencubit punggung tangan yang berada di pinggangnya dan menjauhkannya dengan kasar. Pria itu mengiris dan mengaduh, mengelus punggung tangan dan kepalanya bergantian. Ia menggerutu, bagai anak kecil yang tidak mendapat jatah hadiah. Tampak kekanakan untuk umurnya. “Henry, jahat sekali kamu!”
“Itu untuk tingkahmu yang kelewatan, Bree.” Gerutunya.
Bree, nama yang begitu unik untuk seorang pria. Pria bernama Bree itu merengek manja, hendak memeluk leher Henry, namun pemuda itu mendorongnya dengan kasar. “Tapi kita kan sudah biasa melakukannya.” ucap Bree, tampak kekanakan.
“Biasa?” Henry kembali terkesiap, menyadari suara Cliff yang berat dan penuh tekanan. Membuat Henry merasa gelisah. Cliff menatap Henry dan Bree bergantian. Dadanya naik turun dengan cepat sejak kedua matanya menangkap interaksi yang sangat dekat antara keduanya. “Apa maksudnya, Henry?”
Henry gelagapan, merasa khawatir akan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. Buru-buru ia mendorong tubuh Bree menjauh darinya, namun pria itu malah menumpukan seluruh berat tubuhnya pada punggungnya. Bree menumpukan dagu di sebelah bahu Henry yang tampak gelisah. “Anda pasti mengerti.” Dan pria itu segera mengecup perpotongan leher Henry, membuat suasana riuh antusias dalam pub kumuh yang sejak tadi diam mengamati interaksi ketiganya yang tampak menarik bagi mereka. Anne sendiri menutup mulutnya dengan satu tangan, matanya membulat memancarkan kilat antusias, ia sendiri tertarik dengan apa yang ia saksikan saat ini.
Jika bukan karena pengendalian dirinya yang telah ia latih sejak kecil, Cliff sudah dipastikan melompat melewati meja bar, menjauhkan Henry dari pengaruh buruk pria itu, menghancurkan senyum mengejek yang ditujukan padanya oleh pria bernama Bree itu dengan beberapa pukulan hingga ia puas. Jadi Cliff hanya berdiri di sana, terpisahkan oleh meja bar. Kedua tangannya terkepal erat di sisi tubuh. Garis rahangnya menegas dengan mata yang memicing tajam karena amarah yang muncul tiba-tiba tanpa disadari.
Cliff hendak maju, meraih tangan Henry untuk memisahkan keduanya, namun Henry bergerak lebih cepat. Dengan kekuatan yang mengerikan, pemuda bersurai tembaga itu meraih tangan Bree dan dengan mudahnya melontarkan pria itu melewati meja bar, melewati Cliff, menghantam meja di tengah pub. Cliff melotot terkejut akan reaksi yang Henry berikan. Pemuda iyu menampilkan ekspresi marah, nampak tidak tersengal atau lelah sedikit pun seolah melempar orang adalah hal yang gampang. Pengunjung pub malah memberikan reaksi yang biasa dengan sorakan ‘wow’ yang serempak, seolah yang mereka saksikan adalah hal yang biasa. Namun yang berputar di kepala Cliff saat ini, bagaimana bisa pemuda bertubuh mungil itu memiliki kekuatan yang besar hingga mampu melempar hingga beberapa meter seorang pria yang lebih besar darinya?
Henry bergerak maju ke meja bar yang memisahkan dirinya dengan Cliff, meraih tangan pemuda bersurai emas itu dengan cepat. Cliff dengan cepat menoleh, mendapati wajah Henry yang telah memerah karena malu dan panik. “Ini bukan seperti yang kamu pikirkan!” serunya. Cliff terkejut, menatap Henry dan tangannya yang di cengkeram erat oleh Henry.
Sedetik kemudian Henry tersentak, menyadari kebodohan yang telah ia lakukan. Kenapa ia harus panik dan memberikan klarifikasi pada Cliff? Untuk apa? Henry segera melepaskan tangan dan menarik diri. Namun Cliff telah meraih jemarinya, menggenggamnya erat hingga membuatnya merasakan kehangatan hingga ke pipi. Cliff tersenyum, melemparkan tatapan teduh padanya dan semua pesona yang ia miliki. Dan Henry segera menyentak tangannya keras dan melompat mundur, nyaris menabrak lemari botol di belakangnya ketika ia merasakan nyeri yang hebat di punggung, perut dan dada.
“Duuh…” suara erangan terdengar dari tengah pub. Bree bangkit berdiri dari meja yang telah hancur. Mengelus punggung dan kepalanya akibat ngilu yang mengerang. Perhatian tertuju padanya, terutama Cliff yang menatapnya tidak percaya. Bagaimana bisa ia masih terlihat baik-baik saja tanpa luka setelah dilempar dengan keras seperti itu?
Bree melangkah, menghampiri meja bar dan duduk di satu kursi. Kembali mengeluh. “Kau bisa membunuhku, Henry.” Erangnya.
“Itu salahmu!” desis si tembaga yang dibalas dengan tawa pelan dari Bree, seolah semua tampak biasa dan baik-baik saja.
Bree menoleh pada Cliff. Ia menawarkan jabatan tangan setelah berkata. “Bree.”
Cliff menatap tangan pria itu dan wajah yang menampakkan senyum yang membuatnya muak. Dengan setengah hati ia menjabat tangan pria itu. Bree bersiul setelah Cliff memperkenalkan nama, menyadari bahwa seorang bangsawan tinggi sedang berada di tempat yang tidak pantas. “Apa yang membawa anda ke tempat kumuh ini, Tuan?”
Pemuda bersurai emas itu menoleh pada Henry yang membuang muka, berpura-pura membersihkan botol wine. Lalu menoleh pada Bree yang masih menampakkan senyum memuakkannya. “Saya ingin bertemu dengan pemilik pub ini.”
“Ya, anda telah bertemu dengannya. Jadi apa yang anda butuhkan, Tuan?”
Cliff segera melempar pandang pada Henry yang kini tengah berbalik. Menatapnya tidak percaya, nyaris berseru pada pemuda itu ‘kamu telah melempar pemilik pub tempatmu bekerja?’ Namun segera kekecewaan menghampirinya ketika menyadari satu hal. Henry tidak akan dengan mudah melakukan hal itu, dan Bree tidak akan bersikap biasa jika keduanya tidak memiliki hubungan yang special, bukan?
Ia menarik napas, kembali menatap Bree yang masih menunggu jawaban. “Saya ingin anda memberikan izin padanya untuk suatu urusan.”
“Suatu urusan? Saya harus tahu urusan apa itu sebelum memberinya izin.”
Agak ragu, namun dengan suara yang rendah dan pelan Cliff berkata dengan wajah yang merona dan hangat “Saya mengajaknya makan malam bersama di kediaman Silvercrow.”
Seketika Bree bersiul, menampakkan wajah yang terkejut dengan kilat tertarik di sepasang manik malamnya. Pria itu melempar pandang dengan Henry yang tak bergerak menghadap rak botol. Senyum misterius terukir di wajah pria itu. “Henry, kemari.”
Henry dengan patuh berbalik dan menghampiri meja bar. Menjaga jarak dari Cliff. Ia menunduk, menatap jemarinya yang masih merasakan sisa kehangatan. Bree beralih pada Cliff dan tersenyum. “Nah, anda bisa membawanya.” Lalu terkekeh.
Bree berdiri, mencondongkan tubuh ke meja bar, mendekatkan wajah pada Henry dan membisikkan sesuatu yang membuat wajah Henry merona dan Cliff merapatkan rahang. Henry tanpa ragu segera menampar Bree dengan keras, membuat pria itu mengaduh, menyentuh pipinya yang merah dan panas. Namun anehnya pria itu tertawa jahil.
Lagi-lagi Cliff diserang oleh rasa kecewa melihat interaksi yang dilakukan keduanya. Betapa mudahnya Henry menyentuh orang lain, tidak padanya. Entah kenapa ia juga menginginkannya. Bukan, bukan ditampar dengan kasar seperti itu. Tapi setidaknya menyentuhnya dengan biasa, bukan dengan tatapan cemas dan menjaga jarak. Cliff menunduk, menatap pergelangan tangannya yang tadi di sentuh oleh Henry dan tersenyum kecil. Ada kelegaan kecil yang menyeruak di antara kekecewaannya. Setidaknya untuk sekali Henry sudah menyentuhnya atas keinginan pemuda itu sendiri.
“Terima kasih, Bree.” Ucap Cliff. Ia menoleh pada Henry, tersenyum pada pemuda itu. “Kutunggu diluar, bersiap-siaplah.” Dan ia melangkah pergi.
#bacaduluah