It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Dan seperti biasa, Maaf jika ada Typo. @3ll0 @Tsunami @balaka @cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @putrabekasi @putrabekasi @Lonely_Guy @harya_kei @Adi_Suseno10
@Unprince @Zhar12 @nad4s1m4 @Tsu_no_YanYan @Adamy @kaka_el @sasadara
---
PART 5
---
Malam itu, untuk pertama kalinya Henry diliputi oleh rasa takut. Ia berlari meninggalkan kediaman Silvercrow secepat yang ia bisa. Ia tidak berbalik untuk memastikan apakah Cliff mengejarnya atau tidak. Bahkan menghiraukan rasa lelah dan dingin yang menusuk. Ia terus berlari sembari menahan gejolak aneh di perutnya.
Napasnya memburu dan terputus ketika ia mencapai pusat kota yang kini sepi. Berhasil, pikirnya. Ia telah jauh dari kediaman Silvercrow, dan pemuda bersurai emas itu tidak mengikutinya. Mengingat wajah pemuda itu membuat perutnya kembali bergolak hebat hingga ia harus menutup mulut untuk menahan rasa mual, seolah sesuatu sedang mendesak keluar dari mulutnya. Dan ia berakhir dengan memuntahkan cairan lambungnya di sisi jalan. Untung baginya tiada siapapun yang melihatnya.
Ada apa denganku, pikirnya. Henry merasa tubuhnya bereaksi aneh terhadap Clifford Scarlet. Sejak di awal pertemuannya, ia merasa sesuatu yang aneh telah terjadi. Tatapan mata membuat tubuhnya nyaris kaku dan gugup. Sentuhan sederhana pun membuat kulitnya terasa bagai disengat, sehingga ia selalu menjaga jarak dari pemuda itu. Bahkan tubuhnya tahu jika Cliff berada di dekatnya tanpa perlu melihat. Apa yang terjadi padanya, ia sendiri tidak mengerti.
Hingga pemuda itu berhasil memerangkapnya dalam satu kalimat permohonan yang dengan mati-matian memantapkan diri untuk menolak, namun nyatanya berakhir dengan ciuman yang panas, dan harus Henry akui amat menggairahkan. Ciuman yang membuat tubuhnya terasa sakit dan tergoda disaat bersamaan. Ia tidak mampu memberontak, seolah tenaganya telah menguap seluruhnya dalam satu sentuhan saja. Beruntung ia berhasil menarik kesadarannya ketika ciuman itu nyaris semakin panas, ketika seluruh tubuhnya menjadi terasa lebih sakit puluhan kali lipat, ketika perutnya bergolak dan memberontak.
Mengingat kejadian itu malah membuat perutnya kembali mual dan memuntahkan rasa pahit dan asam dari dalam perutnya. Tubuhnya terasa lemas seolah energinya telah terkuras habis. Kakinya seolah tak bertulang. Henry nyaris mencium tanah jika saja seseorang tidak menahan tubuhnya.
“Kamu baik-baik saja?”
Henry mendongkat, mendapati pria pemilik surai gelap sebahu. “Bree?”
Pria jangkung itu memapahnya, membantunya duduk di salah satu kotak kayu di pinggir jalan. “Kamu baik-baik saja?” sekali lagi pria itu bertanya tak lepas dari nada khawatir.
Henry mengangguk pelan. Namun dengan gerakan tak bertenaga itu tentu Bree tidak akan mempercayainya. Pria jangkung itu tentu khawatir. Bagaimana tidak? Beberapa jam yang lalu ia melihat Sang Duke membawa Henry dalam jamuan makan malam. Namun kini ia menemukan Henry tengah muntah di pinggir jalan dan nyaris tumbang jika Bree tidak menahannya. Tentu ada sesuatu yang telah terjadi pada Henry. Sang Duke patut disalahkan, pikirnya. Tak sadar rahangnya mengeras oleh marah.
“Bagaimana makan malamnya?”
Tangan Bree mengepal ketika Henry menunduk, tampak murung. Namun ia luput pada rona merah di kedua pipi Henry. Pemuda tembaga itu kembali menyentuh perutnya, sedikit mencengkeram jas merah marun itu untuk menahan gejolak yang kembali meliar ketika mengingat adegan ciuman itu.
“Jadi, bagaimana?” Bree mendesak, tidak sabar akan aksi diam Henry.
“Baik-baik saja.” Dan pemuda itu kembali diam.
Bree mendengus, merasa tidak sabar akan jawaban Henry. Ia berjongkok, menyapu wajah Henry yang tampak lebih pucat dan tidak fokus. Ia menarik tangan pemuda itu dan menggenggamnya erat. “Henry, dengarkan aku.” Ucapnya, berhasil menarik fokus pemuda itu padanya. Kedua tatapan itu beradu. “Kamu bisa ceritakan padaku jika sesuatu terjadi padamu. Aku selalu siap untuk membantu. Jadi, katakan padaku apa yang Sang Duke lakukan padamu?”
Reaksi Henry kembali membuat dada Bree bergemuruh. Pemuda bermanik darah itu melempar pandang ke berbagai arah. Liar dan tidak fokus. Sebelum akhirnya kembali beradu dengan manik kelam Bree. Garis bibirnya membentuk senyum tipis yang ditarik dengan paksa, jelas tidak luput dari pandangan Bree. “Tidak ada.” Jawab Henry.
Bree tentu tidak akan percaya dengan mudahnya. Henry adalah pemuda yang tidak pandai berbohong. Sejak dulu seperti itu, dan tidak pernah berubah. Bree tentu dengan mudah mengetahuinya. Jadi, ketika ia berbohong padanya seperti ini, Bree mendengus kesal dan menepuk punggung tangan Henry yang di pegangnya. Berusaha bersikap sabar.
Henry sejujurnya tidak ingin bercerita, ingin menyimpan kejadian memalukan itu untuk dirinya. Beruntung Bree tidak memaksanya. Pria itu berdiri setelah melepaskan genggaman tangan dan menepuk bahunya. Selanjutnya Bree akan mengacak rambut tembaganya, menyingkirkan butiran salju dan mengelusnya pelan, membuat Henry akan menggigit bibirnya dengan kasar. Dan dalam hitungan detik pendiriannya goyah. Henry tidak akan pernah tahan untuk tidak bercerita jika Bree sudah mulai mengelus rambutnya, entah kenapa. Dan cara itu selalu berhasil sejak dulu, tanpa satupun kegagalan.
“Ia menciumku.” Kalimat itu meluncur dengan cepat dalam satu tarikan napas.
Elusan itu berhenti, dan tangan Bree menggantung di udara. Satu ucapan yang cepat dari Henry berhasil membekukan Bree dalam keterkejutan. Butuh waktu beberapa detik hingga ia mampu mencerna ucapan Henry. “Apa?”
Henry semakin menunduk dalam, menyembunyikan wajahnya yang merah. Ia segera mengangkat kedua tangan dan menutupi wajah dan rasa malunya yang menumpuk. Untung pertama kalinya dalam hidup, ia tidak pernah merasa semalu ini meski itu pada Bree. Haruskah ia mengutuki Clifford Scarlet yang wajahnya kini terlintas di benaknya? Haruskah ia mencaci ciuman yang menggoda itu?
Niat awal Bree adalah menertawakan tingkah kekanakan Henry. Jujur saja, apa yang tertangkap oleh penglihatannya saat ini sungguh sangat lucu. Ia tidak pernah melihat Henry yang sangat malu hingga menutupi wajah. Harus Bree akui, Henry adalah pemuda yang paling menawan meski berasal dari kawasan kumuh. Tidak sedikit yang terjerat oleh pesonanya, wanita ataupun pria. Namun, Henry terlalu polos diusianya yang telah dewasa. Ia menghiraukan segala pendekatan yang dilakukan oleh orang-orang sekitarnya, yang berusaha merebut hatinya. Hati pemuda itu bagai batu karang yang kokoh.
Namun batu karang pun dapat dihancurkan oleh terjangan ombak, bukan? Dan Bree harus berterima kasih pada sang Duke yang membuatnya mampu melihat tingkah Henry yang lucu dan menggemaskan. Bree berpikir sejenak, menyusun pola yang akhirnya membawanya dalam satu kesimpulan yang membuatnya tersenyum geli. “Biar kutebak. Kamu lari dari kediaman Tuan Silvercrow saat Sang Duke menciummu, begitu?”
Dan jawaban berupa anggukan pelan dari Henry nyaris membuat tawanya meledak namun tidak dilakukannya. Ia duduk di sebelah Henry dan merangkul bahu pemuda itu. Dengan senyum dan nada jahil ia berkata “Jadi, bagaimana ciumannya?”
Terdengar suara ringisan yang terdengar dari Henry. “Jangan dibahas, kumohon.” Ia masih menutupi wajah.
Bree tertawa pelan. “Oke, oke.” Ia menepuk bahu Henry dan menariknya semakin dekat padanya, berusaha membuat pemuda itu merasa nyaman. “Bagaimana perasaanmu sekarang?”
Lagi-lagi Henry mengerang. Ia mengusap wajah, menatap sepatunya yang kini tertutupi oleh butiran salju. “Entah, aku tidak mengerti.“ Jujur Henry memang tidak mengerti. Ia bingung akan reaksi dirinya, reaksi tubuhnya kala sosok Clifford Scarlet terlintas dibenaknya. Ia bahkan nyaris gila ketika pemuda bersurai emas itu menciumnya. Tubuhnya terasa amat sakit kala itu, hingga ia memutuskan untuk lari.
Ia merasakan Bree menepuk kepalanya, membuatnya jauh lebih tenang. Menghapus gejolak perutnya perlahan. Sepasang maniknya masih menatapi sepatunya, dan sebuah ide konyol terlintas di kepalanya. Ia mendongak, menatap Bree yang tersenyum padanya. “Bree.”
“Ya?”
“Cium aku.”
“Apa?”
Bree masih berusaha mencerna apa yang Henry katakan padanya, namun pemuda itu lebih dulu menyatukan bibir mereka. Membuat Bree terpaku. Bree tidak pernah mencium seorang pemuda sebelumnya. Ia lebih senang dan mahir mencium bibir wanita dan bangga akan hal itu. Namun tidak bisa dipungkiri ada rasa aneh di bibir Henry yang ingin membuatnya merasakan lebih. Jadi Bree menyeringai, meraih wajah pemuda itu dan meraupnya. Merasakan setiap mili bibir Henry, merasakan kehangatan di bibirnya.
Henry mengerang ketika Bree mulai mengigit dan menjilati bibirnya, membuatnya merasa geli. Namun ia tidak merasakan apa yang ia rasakan saat Cliff menciumnya. Perutnya tidak bergejolak. Ia hanya merasakan hangat bibir Bree di bibirnya. Hanya itu.
Tepat ketika Bree nyaris menciumnya lebih dalam, Henry menarik diri. Pemuda bersurai tembaga itu menarik napas dan mengusap bibirnya yang merah dan basah. Bree melakukan hal yang sama, dan entah kenapa ia merasa telah gila. Bagaimana bisa ia menikmati ciuman itu, padahal ia tahu alasan Henry menciumnya.
“Jadi? Apakah yang kamu rasakan sama saat Sang Duke menciummu?”
Henry kembali menatap sepatunya yang putih oleh salju. Gelengan adalah jawaban dari pertanyaan Bree. Henry semakin tidak mengerti. Saat mencium Bree ia tidak merasakan rasa sakit itu di tubuhnya. Apa mungkin Clifford Scarlet telah melakukan sesuatu pada tubuhnya? Padahal ia sudah berusaha menghindari pemuda itu.
Ya, pasti pemuda itu telah melakukan sesuatu padanya. Pikirnya.
Bree kembali menepuk kepala Henry saat melihat raut bingung Henry. Sungguh lucu saat melihat Henry belum menyadari apa yang terjadi pada dirinya. Begitu polosnya pemuda itu. “Tidak usah dipikirkan, Henry. Suatu saat kamu akan mengerti.”
Henry hanya mengangguk dan kembali terjebak dalam kebingungannya.
Clifford Scarlet pulang sehari lebih awal dari rencana semula. Begitu kabar buruk kembali ia terima dari Tuan Silvercrow mengenai korban kedua, ia segera berangkat dengan kereta kuda miliknya kembali ke wilayah timur. Ia diliputi rasa cemas mengenai kejadian misterius ini, dan harus secepatnya mengirim bala bantuan ke wilayah Sang Marquess.
Namun bukan hanya itu saja. Cliff diliputi oleh amarah dan kecewa yang amat besar. Masih teringat dengan jelas malam itu ketika ia mencium Henry dan pemuda itu berlari menghindarinya, menjauhinya bagai penyakit. Cliff tentu mengejar pemuda itu untuk mencari penjelasan akan sikap menghindar Henry terhadapnya.
Tapi apa yang tertangkap dalam indera penglihatannya malam itu berhasil membuat amarahnya mencapai puncak. Dengan sangat jelas, beberapa meter dari tempatnya berdiri terpaku, ia melihat Henry mencium Bree. Ia nyaris menerjang pria itu, menarik Henry menjauh. Namun Cliff tetap terpaku di sana, menyadari bahwa segala sikap Henry padanya karena pemuda itu tidak menyukainya.
Lalu kenapa pemuda itu tidak mengatakan terus terang?
Kedua tangan di sisi tubuhnya terkepal erat hingga ujung jemarinya memutih. Rahangnya terkatup menahan emosi yang memuncak. Ketika manik birunya bertemu dengan manik malam Bree dan pria itu menyeringai padanya, Cliff nyaris berlari dan menghajar pria itu, menarik Henry dalam peluknya. Namun ia sadar, seorang Duke tidak akan bertindak sebodoh itu. Jadi Cliff menyerah pada keadaan dan berbalik. Ia berjalan pergi kembali ke kediaman Silvercrow dengan perasaan terluka, kecewa dan marah.
Beberapa hari perjalanan kembali ke kota di wilayah timur entah kenapa membuat tubuhnya terasa lelah. Padahal Cliff hanya duduk di di kursi kereta yang empuk. Tubuh dan pikirannya seperti telah bekerja amat berat. Ia butuh istirahat dan tidur untuk membuat pikirannya lebih jernih.
Terkutuklah Henry yang kini menjadi mimpi buruknya. Cliff tidak bisa beristirahat dengan tenang saat adegan ciuman Henry dan Bree terus melintas di kepalanya berulang-ulang. Ia yakin dengan meminum segelas anggur ia akan melupakannya. Namun rasa anggur yang ia kecap di lidah, rasa anggur yang ia jilat di bibirnya malah mengingatkannya pada ciuman yang ia dan Henry lakukan di balkon malam itu. Membuat dadanya terasa sesak oleh kecewa.
“Sial!” Dengan marah ia melempar gelas kaca yang masih berisi cairan memabukkan itu hingga membentur tembok dan pecah, meninggalkan jejak basah dan aroma anggur fermentasi yang menggantung di udara. Cliff mengusap wajah dan rambut, menarik napas untuk mengumpulkan ketenangan, lalu menjatuhkan diri di pembaringannya yang nyaman.
“Henry,” lirihnya.
Esoknya Cliff terbangun dengan rasa lelah yang menumpuk di pelupuk. Ia baru saja tertidur sejam sebelum mentari muncul di horizon. Garis hitam terlihat jelas di bawah matanya yang segera ia kompres dengan anggur yang dingin untuk membuatnya tampak samar. Ia seorang Duke, dan tampil dengan wajah yang kusut akan memperburuk citranya.
Cliff segera menemui komandan pasukan, memerintahkan untuk meningkatkan penjagaan dan mengirim sejumlah pasukan ke wilayah barat. Tanpa menyebutkan alasan yang sebenarnya dan menjadikan ‘prajurit harus belajar di wilayah barat’ sebagai alasan, Komandan setuju dengan usulan Sang Duke.
Menyibukkan diri dengan mengevaluasi kegiatan pasukannya, tugas kepemimpinan dan lainnya, tidak serta merta menghilangkan bayangan Henry begitu saja. Surai tembaga dan manik merah itu tak pernah lepas dari benaknya. Ia bahkan merasa menginginkan pinggang Henry, menginginkan untuk memeluk pemuda itu lagi. Meski ia merasa kecewa dan marah pada pemuda itu, Cliff tidak bisa mengalahkan perasaan lain yang terus berkecamuk dalam pikirannya. Harus ia akui ia rindu pemuda pemilik surai tembaga itu.
Bagaimana bisa seorang pemuda dari wilayah kumuh di Barat membuatnya menjadi sekacau ini?
Cliff mengoyak perkamen yang telah terkotori oleh tetesan tinta yang terjatuh dari ujung pena bulu yang digenggamnya. Meletakkan pena bulu di tangan dengan kasar ke atas meja. Ia menyandarkan punggungnya yang entah kenapa terasa begitu berat. Mengusap wajahnya akibat rasa frustasi yang menyerang dan mengerang akibat rasa kesal dan sesak yang juga menghimpitnya.
“Henry.” Bree menepuk bahu Henry, membuat pemuda itu terlonjak dan nyaris menjatuhkan gelas yang sedang di lap olehnya.
“Bree. Kamu membuatku kaget.” Keluhnya, meletakkan gelas itu ke atas meja bar.
Bree mendengus geli. “Aku sudah memanggilmu berkali-kali, tapi kamu tidak menyahut. Ada yang sedang kamu pikirkan?”
Henry berjalan menghampiri rak botol minuman di belakang, menghindari pertanyaan Bree. “Tidak ada” katanya, dan mengeluarkan sebuah botol anggur dan menatap tulisan merk yang tercetak di label. Bluebird. Mengingatkannya pada langit cerah, pada sepasang mata Clifford Scarlet.
Henry masih terjebak dalam kebingungan yang parah, yang kini tercampur oleh rasa kesal. Ia masih tidak mengerti pada dirinya, pada reaksi tubuhnya, pada segala hal yang ia rasakan saat Cliff berada di dekatnya, saat pemuda itu menciumnya. Henry masih tidak mengerti.
Dan ia merasa kesal karena Clifford tidak memunculkan sehelai pun dari rambut emasnya di hadapan Henry sejak peristiwa malam itu. Ia kesal karena Clifford karena tidak berusaha menjelaskan apa yang pemuda itu lakukan dengan menciumnya, membuat tubuhnya menjadi amat sakit. Henry membutuhkan jawaban apakah Clifford telah melakukan sesuatu pada tubuhnya. Namun sayangnya hingga detik ini, dua minggu setelah kejadian itu, Clifford Scarlet tidak pernah menampakkan diri. Dan Henry menjadi amat kesal.
Dan bingung.
Harusnya Henry senang karena tidak ada lagi pemuda bersurai emas yang selalu berusaha mendekatinya. Tidak ada lagi pemuda yang selalu memancing amarahnya. Tidak ada lagi pemuda yang membuat tubuhnya terasa nyeri. Harusnya ia senang. Namun nyatanya Henry ingin pemuda itu duduk di meja bar, memesan minuman anggur darinya dan kembali meluncurkan kata-kata yang bisa membuatnya marah.
Tapi kenapa?
Bree tertawa geli memandangi punggung Henry. Lagi-lagi pemuda itu terjebak dalam lamunannya, setiap hari dan nyaris setiap waktu. Membuat Anna selalu mengomel setiap saat karena membuat pekerjaannya menjadi menumpuk. Tapi Bree maklum. Bagi seorang Henry, apa yang ia rasakan saat ini adalah perasaan asing yang baru saja ia temukan. Bagai daratan baru yang belum dijelajah, Henry baru menginjakkan kaki ke dalam dan terjebak akan rasa penasaran dan antusias, belum menjelajah sepenuhnya. Pemuda itu masih menebak akan perasaan yang membuatnya bingung, belum menyadari apa yang sebenarnya ia rasakan.
“Henry.” Sekali lagi ia menghampiri Henry, menepuk bahu pemuda itu dan membuatnya kembali terlonjak.
“Kamu memikirkan Sang Duke?”
Henry melotot pada Bree, berdecak dan meletakkan botol anggur ke dalam rak dengan kasar. “Untuk apa aku memikirkannya?” Ia kembali ke meja bar, melakukan hal yang telah dilakukannya berkali-kali sejak sejam yang lalu, mengelap gelas yang sama.
Bree tertawa amat keras. Ia menghampiri Henry, mengambil gelas bir dari tangan Henry dan meletakkannya di atas meja. “Nah, katakan padaku. Kau merindukannya?”
Henry mendengus, membuang muka, berusaha mencari hal yang bisa ia lakukan di bar untuk menghindari pertanyaan Bree. Sayangnya petang ini bar masih sepi. “Jangan bodoh, Bree.”
“Oh ya?”
“Ya!”
“Oh ya?”
“Ya!”
“Jangan membohongi diri sendiri, Henry. Sadarilah.” Bree mengangkat tangan, mengelus bahu Henry untuk membuat pemuda itu tenang.
“Aku tidak membohongi diriku.” Ada jeda yang panjang sebelum ia berkata “Aku- Aku tidak-“
Dan rasa ngilu yang samar namun mampu disadari olehnya kembali menyerang punggungnya, yang anehnya membuat dadanya meledak oleh rasa senang. Ia menoleh dan melotot pada pintu bar yang rendah, pada sosok yang berdiri terengah di sana. Sekali lagi kedua pasang mata yang berbeda warna itu, biru dan merah, kembali bertemu.
“Mr. Scarlet.” Bisiknya dalam nada terkejut, tidak menyadari akan kebahagiaan yang terselip di sana.
Cliff mengakui bahwa dirinya berada diambang ketidakwarasan. Setelah rasa frustasi yang menyerang membuat pikirannya menjadi amat kacau, ia menyadari satu hal yang luput dari perhatiannya. Rindu. Ia rindu pada Henry. Meski pemuda itu selalu menghindarinya, namun anehnya ia merindukan sosok itu untuk berada di dekatnya, tidak peduli meski Henry melemparkan kalimat sarkastik padanya.
Tidak perlu berpikir dua kali, esoknya Clifford Scarlet berkuda dengan kuda tercepat miliknya selama beberapa hari setelah meninggalkan pesan pada kepala pelayannya. Merelakan diri untuk tersiksa dalam perjalan panjang beberapa hari ke ujung wilayah kerajaan di Barat. Dan dengan pakaian kumuh untuk penyamaran yang kini ia kenakan, menghiraukan rasa lelah, ia segera memacu kedua kakinya untuk berlari ke bar kumuh.
Cliff terengah, lelah, namun tidak menyembunyikan rasa bahagia yang terlihat jelas dari senyum di wajahnya saat ia berhasil menangkap wajah Henry dalam penglihatannya. Dadanya terasa sesak oleh sensasi aneh saat ia bertemu dengan sepasang manik darah itu untuk kesekian kalinya. Cliff menarik napas, menghampiri Henry di meja bar.
Menyadari Bree berada di sana, rasa kesal menyeruak keluar. Pandangannya tidak lepas dari tangan Bree yang berada di bahu Henry, tidak menyembunyikan pandangan tidak suka pada pria itu. Bree yang menyadari tatapan Cliff, meringis dan segera menarik tangan dari bahu Henry setelah berseru “ups” dengan jahilnya.
Cliff kembali menatap Henry yang terpaku, menyapu wajah pemuda yang ia rindu itu dan tersenyum padanya. “Henry, bisa kita bicara?”
Tapi Henry tak menjawab. Masih tenggelam dalam perasaan aneh yang kembali menyerangnya. Hingga Bree menepuk bahunya, menyadarkannya. “Henry, Mr. Scarlet ingin bicara padamu.”
Cliff berdecak, tidak menyembunyikan rasa tidak sukanya setiap kali Bree menyentuh Henry. Ia menatap Bree dengan pandangan mata yang memicing, menyiratkan tantangan. “Berdua. Hanya berdua.”
Bree jelas menyadari segala tingkah Sang Duke padanya. Ia menarik tangan dari bahu Henry, tersenyum pada Cliff dan membungkuk hormat sebelum ia melenggang ke ruangan belakang bar bersama Anna yang telah ia panggil.
Cliff duduk di satu kursi di meja bar, berhadapan pada Henry di seberang meja yang tampak gelisah. Ia menghela napas, tidak sedetikpun melepaskan pandang dari Henry. Harus ia akui wajah itu benar-benar amat dirindunya. “Aku minta maaf atas kejadian malam itu.”
Henry tercekat, kembali merasakan perutnya yang bergolak ketika bayangan kejadian saat Cliff menciumnya kembali terlintas, semua sentuhan dan rasa yang ia kecap bahkan terasa jelas di bibirnya. Ia mencengkeram pinggiran meja dengan erat hingga jemarinya memutih, menahan gejolak aneh yang meliar.
Reaksi Henry tentu tak luput dari pandangan Cliff. Meski ragu, Cliff menjulurkan tangan. Ia merasa lega ketika Henry tidak menolaknya saat ia menyentuh tangan pemuda itu dan menariknya, menggenggamnya erat dengan kedua telapak tangannya yang anehnya terasa begitu dingin di kulit Henry.
“Aku harusnya tidak melakukannya, tapi aku tidak bisa. Aku terlalu tergoda hingga akhirnya aku—menciummu meski tahu kau tidak menginginkannya. Aku minta maaf.” Ucapnya, melunturkan segala ego dan melupakan gelar yang ia sandang.
Henry meringis. Lalu kenapa anda tidak segera menjelaskannya? Henry tidak mengutarakannya. Namun seolah mampu membaca pikiran Henry, Cliff berkata “Aku harus kembali ke timur esoknya. Kupikir dengan kembali ke sana aku bisa lebih tenang. Namun ternyata kamu benar-benar membuatku lebih kacau.” Membuat semuanya menjadi jelas bagi Henry mengapa pemuda itu tidak lagi menemuinya dan mengganggunya. Cliff menunduk, menumpukan keningnya pada kedua tangannya, pada tangan Henry yang ia genggam. “Aku tidak bisa tidur nyenyak di sana. Sebotol anggur pun tidak mampu membuatku menjadi tenang. Hanya karena wajahmu aku menjadi amat kacau. Awalnya aku tidak mengerti, namun saat kembali ke sini, aku telah paham pada apa yang terjadi. Kamu telah membuatku terjatuh padamu.” Ia mengecup punggung tangan Henry, membuat pemuda itu merasa nyeri yang hebat di sana.
Cliff mengangkat wajah, menatap Henry dengan pandangan terluka. “Apa yang Bree miliki sehingga kamu memilihnya?”
Kening Henry mengernyit, menciptakan kerutan samar di sana. Ia tidak mengerti maksud pertanyaan dari Sang Duke. Dan Cliff kembali mengulanginya. “Apa yang membuatmu memilihnya, Henry? Aku mengejarmu malam itu. Namun aku melihatmu di sana, menciumnya. Kamu yang menciumnya. Apakah kamu—“
“Tidak!” Henry berseru, entah kenapa ia tidak ingin Cliff melanjutkan kalimatnya secara penuh. “Saya tidak seperti yang anda pikirkan.”
“Lalu seperti apa?” desis Cliff. “Kamu pergi malam itu, seolah menolakku, dan selanjutnya aku melihatmu menciumnya. Dan kamu mengatakan bahwa kamu dan dia tidak seperti yang aku pikirkan. Lalu seperti apa?” Cliff menghela frustasi dan melanjutkan “tidak tahukah kamu betapa frustasinya aku?”
Henry menggenggam erat satu tangan Cliff. Ia menunduk, menatap satu tangannya yang lain yang sejak tadi mencengkeram ujung meja bar dengan erat. “Saya tidak bermaksud melakukannya. Saat itu saya merasakan sesuatu yang aneh saat anda mencium saya. Dan saya tidak menemukannya saat mencium Bree. Itulah alasan saya mencium Bree.”
“Sesuatu yang aneh?”
Satu tangan Henry yang bebas berpindah dari ujung meja bar ke pakaiannya di antara dada dan perut. Ia mencengkeram baju depannya erat, menatap Cliff. “Di sini. Setiap kali anda berada di dekat saya, setiap kali anda melihat saya, setiap kali anda menyentuh saya, ada sesuatu yang aneh yang terasa di sini hingga membuat seluruh tubuh saya terasa sakit. Seolah ada sesuatu di dalam yang memberontak, meliar dan hendak keluar dengan merobek tubuh saya.” Henry menunduk, menatap tangannya yang mencengkeram baju. “Apa yang telah anda lakukan pada saya?”
Cliff tidak mengerti akan ucapan henry. Ia menatap Henry dengan pandangan tidak mengerti, sebelum akhirnya tubuhnya menegak, wajahnya dihujani oleh rona bahagia. Senyum di wajah Cliff amat lebar, dan kedua matanya berbinar bahagia. Cliff benar-benar merasakan perasaan bahagia yang sudah lama tidak di rasakannya. Ia mengecup punggung tangan Henry berkali-kali. Menghujaninya dengan cinta.
Bolehkah ia berharap pada ucapan Henry?
“Terima kasih, Henry.”
“Untuk apa? Anda bahkan belum menjawab pertanyaan saya.”
Cliff tersenyum, kembali mengecup tangan Henry. “Tidak apa, Henry. Tidak apa.”
Di lanjut ya !!!
@adamy hahah rasa aneh seperti apa tuh?
@Roynu hahaha
@cute_inuyasha ada alasan dibalik rasa sakit itu. tapi belum dimunculin sekarang. hehe
PART 6
---
Say My Name
Sejak pengakuan Cliff di bar sore itu, dan pengakuan tidak langsung dari Henry, ia tidak pernah sedetikpun menjauh dari Henry. Kemanapun pemuda itu pergi, Cliff selalu setia mengikutinya. Setiap hari ia akan selalu berada di sisi pemuda itu, menyambut pemuda itu di depan pintu rumahnya, berjalan di sisinya, menemaninya bekerja hingga sore hari, duduk di bar tak melepaskan pandang dari Henry yang sibuk bekerja, melayani pelanggan bar.
Cliff berhasil menyamarkan diri dengan pakaian kumuh, dan topi yang menutupi surai emasnya. Ia bahkan tidak tidur di kediaman mewah Silvercrow, dan memilih untuk tidur di penginapan. Meski niat awalnya adalah untuk tidur bersama Henry, namun pemuda bersurai tembaga itu menolak dengan tegas.
“Henry, segelas bir untukku.” Seru Cliff yang nyaris setiap waktu ia lakukan tiap kali Henry berinteraksi lebih pada pelanggan lain. Henry yang sudah hapal betul dengan tingkah Clifford, berdecak kesal dan menghampiri pemuda itu. “Gelas anda masih penuh, Tuan.” Lalu berjalan ke pelanggan lainnya, menghiraukan decakan kesal Clifford Scarlet.
Setiap kali interaksi itu terjadi, Bree dan Anna akan tertawa pelan, menganggap keduanya sebagai hiburan baru bagi mereka. Dan setiap kali Bree tertawa, Cliff melemparkan pandangan membunuh padanya. Meski Henry telah menjelaskan dengan rinci –setelah didesak tentunya, Cliff masih tidak bisa tidak merasa kesal pada Bree. Seringai nakal yang pria itu tunjukkan padanya saat mencium Henry selalu terlintas di benaknya, menjadikan Bree sebagai ancaman diurutan pertama.
Cliff berdecak kesal. Bukan karena ucapan Henry. Tapi karena pemuda itu selalu menyebutnya dengan kata ‘Tuan’ atau memanggil nama keluarganya ‘Mr. Scarlet’ saat berbicara padanya, seolah Henry menciptakan lapis tipis tak kasat mata. Meski pemuda itu tidak lagi menjauhinya bagai penyakit yang menular, namun tetap saja hal sederhana ini tidak bisa ia biarkan begitu saja.
“Henry.” Sekali lagi pemuda itu memanggil Henry. Dengan enggan pemuda itu mendekat.
“Apa lagi, Tuan?” ucap Henry tanpa menyembunyikan nada kesal di sana, yang justru membuat Cliff tertawa.
“Tidak, tidak ada.”
“Jangan mengganggu pekerjaanku!” serunya dan berlalu pergi.
Sepertinya tidak untuk hari ini.
“Mr. Scarlet? Mr. Scarlet!”
Cliff mengerjap dan tersentak. Mengedarkan pandang dan menyadari bahwa ia tengah berada di depan jalan kecil menuju kawasan kumuh. Pemuda bermanik darah itu tengah menatapnya bingung. Cliff tersenyum. “Ada apa, Henry?”
“Anda melamun, Mr. Scarlet.”
Lagi-lagi.
“Oh ya?”
“Ya. Apa ada yang mengganggu pikiran anda?”
Ada. Namun Cliff menggeleng dan tersenyum. “Tidak, tidak ada.”
Kening Henry mengernyit, menatap Cliff cukup lama sebelum akhirnya ia menghela. “Baiklah. Kalau begitu saya permisi.”
“Henry.”
Henry berbalik, menatap penasaran pada Cliff yang kembali bungkam. “Ya?”
“Bisakah… bisakah kamu menyebutku degan namaku?”
Kening Henry kembali mengernyit bingung. “Maksud anda?”
“Sebut namaku, Henry. Panggil aku dengan namaku.”
“Mr. Scarlet.”
“Bukan, bukan seperti itu.” Cliff mengacak rambutnya frustasi. Sebelum akhirnya ia pasrah dan menyerah. Ia harusnya tahu Henry tidak akan mengerti.
“Mr. Scarlet? Ada apa sebenarnya?”
Cliff menggeleng. Ia menghampiri Henry, tersenyum, dan menepuk kepala pemuda itu. “Tidak ada. Pulanglah.”
Henry diam. Tidak mengerti. Tapi pemuda itu hanya mengangguk dan berjalan pergi. Ia berbalik sejenak, menatap Cliff yang juga telah berjalan menjauh, yang tengah kembali mengacak rambutnya. Pemuda bersurai itu kembali menghela.
Esoknya, Cliff bertemu Henry di persimpangan jalan ketika ia hendak menjemput pemuda itu di rumahnya. Senyum tak lepas dari wajahnya setiap kali ia melihat wajah pemuda itu, melepaskan rindu yang selalu ia rasakan setiap kali hendak memejamkan mata di pembaringan. Cliff hendak memeluk pemuda itu, namun Henry berjalan melewatinya begitu saja, membuatnya agak kecewa.
“Selamat pagi, Cliff.”
Dan kekecewaan itu menguap begitu saja ketika kalimat Henry tertangkap oleh pendengarannya. Membuat senyumnya mengembang menjadi lebih lebar oleh rasa bahagia . Ia segera berbalik, memeluk dan mengecup puncak kepala pemuda itu dari belakang.
“Selamat pagi juga, Henry.”
tapi hendry polos bingits ye... sampe gak nyadar kalo die lagi jatuh cinte... malah mikir yang kagak2...
@adamy selamat pagi. udah pagi sih. haha
@kaka_el iya nih, si Henry polos banget.
@lulu_75 si Cliff cinta mati kayaknya. wkwkwk
---
I Will Not
Henry jengah dengan sikap Clifford Sacrlet yang tidak sedetik pun mengganggu hidupnya. Sejak ia memanggil Sang Duke dengan nama depannya, pemuda itu semakin lengket padanya, tidak segan-segan melakukan skinship yang membuat Henry merasa lelah. Sudah berapa kali ia menegur Cliff untuk berhenti terlalu dekat padanya karena Henry merasa risih. Namun seolah sang Cliff telah tuli dan tidak memperdulikan ucapannya.
“Selamat pagi, Henry.” Cliff dengan senyum yang harus diakui oleh Henry membuat pemuda itu tampak tampan, berdiri di depan rumahnya begitu Henry membuka pintu.
“Pagi, Cliff.” Ia berjalan melewati Cliff, dan seperti hari-hari sebelumnya, Cliff akan berjalan di sisinya.
“Kamu sudah makan?”
“Sudah.”
“Aku belum. Ayo.” Dan seperti hari-hari sebelumnya, Cliff akan menariknya ke penginapan sederhana tempat Cliff menginap. Mengajak Henry untuk duduk di satu meja yang sama, menunggu Cliff untuk menyelesaikan sarapan paginya. Hal ini membuatnya harus berangkat lebih pagi, karena ia tahu ia akan terlambat untuk bekerja, dan Cliff tidak akan berhenti untuk melakukannya.
Henry juga bingung dengan Cliff yang amat betah untuk menunggu. Pemuda itu duduk di sudut rumah makan, yang telah diklaim sebagai kursi meja miliknya sejak mengikuti Henry kemanapun. Tidak peduli meski sang pemiliki rumah makan mengusirnya di siang hari. Cliff akan menunggu di depan rumah makan, duduk di bangku panjang. Dan pemuda itu akan menyambut Henry dengan senyum yang lebar setiap kali Henry menyelesaikan pekerjaannya.
Aneh. Sungguh aneh. Cliff tidak pernah terlihat lelah duduk di kursi bar, menunggunya hingga larut malam, hingga waktu kerjanya di bar berakhir. Cliff masih setia di sana, menunggunya. Cliff akan berjalan di sisinya sepanjang jalan hingga mencapai persimpangan ke kediaman kumuh, melambaikan tangan perpisahan pada Henry setelah memeluk pemuda itu.
Ketika Henry berbalik, ia akan melihat Cliff masih berdiri di sana, tersenyum padanya. Dan Henry tahu, ia tidak akan tidur nyenyak malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, karena sosok Cliff dan segala sikapnya akan menghantuinya.
“Selamat pagi, Henry.” Cliff segera memeluknya begitu Henry membuka pintu rumah. Membuat Henry menghela lelah. Pemuda bermanik biru itu segera menarik tangannya, dan Henry tahu Cliff akan membawanya ke mana.
“Cliff.” Henry tidak bergerak, berhenti di sana, menahan langkah Cliff. Cliff berbalik, menatap Henry dengan binar penasaran. “Ya, Henry?”
“Apa kamu tidak lelah?”
“Maksudmu?”
“Maksudku, kamu punya kehidupan sendiri. Apa kamu tidak lelah untuk melakukan semua ini? Terus berada di sini, menemaniku. Apa kamu tidak bosan?”
Binar penasaran itu berganti menjadi kilat amarah. Cliff menarik Henry lebih dekat padanya, menyisakan jarak hembusan napas. “Aku tidak suka kamu berkata seperti itu.” Ucapnya tegas. Ia menautkan jemari, menggenggam tangan Henry lebih erat.
“Tapi, Cliff—“
“Dengar. Aku tidak akan pernah bosan, tidak akan pernah merasa lelah. Sudah kukatakan aku telah jatuh padamu, bukan? Aku menyukaimu, dan tidak akan berhenti meski kamu memintanya.”
Henry terpaku, napasnya tercekat. Ia merasakan setiap hembusan napas Cliff yang hangat menggelitik wajahnya. Tubuhnya pun tergelitik oleh rasa yang sudah lama tidak ia rasakan. Kembali perutnya bergejolak, dan rasa nyeri di setiap sentuhan Cliff kembali ia rasakan, namun kali ini mampu ia tahan. Ada sensasi hangat yang menjalar di seluruh tubuh hingga ke wajah yang merona.
Cliff tersenyum, menatap Henry dengan pandangan lembut. Ia menepuk kepala pemuda itu. “Nah, ayo.” Dan menariknya berjalan di sisinya. “Kamu sudah sarapan.”
Henry menatap Cliff sejenak dan berbohong “Belum.”
Pemuda bermanik biru itu tersenyum lebar, tidak menyembunyikan nada bahagia saat berkata “Baguslah. Kita akan sarapan bersama.”
Dan sarapan bersama Cliff menjadi kebiasaan barunya.