It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
makasi kakak @3ll0 uda mention.
tpi simpen dlu yak
Malam yang buruk.
Clifford berguling ke sisi lain tempat tidur, berusaha mencapai mimpi, namun nyatanya ia tidak mampu. Gelisah mengacaukan waktu tidurnya yang nyaman. Bantal bulu angsa dan selimut tebal yang nyaman pun tak mampu membuat matanya terlelap. Sial, rutuknya. Ia bangkit, mendudukkan diri dan menyandarkan punggung di bantal yang telah ia susun tinggi. Cliff mengusap rambutnya, berusaha menghapus resah. Namun nyatanya ia semakin gelisah.
Masih jelas diingatannya saat pertemuannya dengan Henry beberapa jam yang lalu di pesta perayaan pasangan Marquess-Marchioness Silvercrow. Bagaimana rasa penasaran dan tertarik membuatnya tampak bagai anak yang hilang, mencari pemuda berjas merah itu ke sana ke mari. Namun dengan ramah, penuh sopan santun dan tata karma mengajak pemuda itu berdansa, Henry menolaknya dan berlalu pergi. Membuatnya merasa amat terhina.
Sial.
Cliff tidak pernah gagal sekalipun mengajak satupun wanita berdansa bersamanya. Ia sejak kecil telah menyadari segala pesona yang ada dalam dirinya, menggunakannya dengan cara dan waktu yang tepat. Namun penolakan yang ia terima dari Henry membuatnya resah dan terhina. Lupakah ia bahwa Henry, sosok yang ia ajak berdansa, adalah seorang pemuda?
Tapi Cliff seolah tidak peduli. Ia dibutakan oleh obsesi baru. Ia harus bisa merengkuh pinggang pemuda itu, mengajaknya untuk berdansa. Iya yakin tubuh pemuda itu pas dalam rengkuhannya. Cliff sangat yakin, dibalik setelan marun itu, ada bentuk tubuh pas yang bisa membuatnya… Shit! Cliff segera memukul keningnya, melenyapkan bayangan yang aneh dari dalam kepalanya. Bagaimana bisa ia membayangkan tubuh Henry berada di bawah tubuhnya, hanya karena membayangkan bentuk tubuh pemuda itu? Ia merasa aneh. Mungkin kepalanya sedang bermasalah? Jadi ia kembali membaringkan diri, mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Atau meminum segelas anggur lebih dulu? Kedengarannya menarik.
“Bagaimana tidur anda, Mr. Scarlet?” Tanya Aida Silvercrow di kursi seberang. Mereka bertiga, pasangan Silvercrow dan Clifford tengah duduk di meja makan, menikmati sarapan mereka di jam 8. Cliff menginap di kediaman Silvercrow selama kunjungan seminggunya di Kota Narrow di wilayah Sara.
“Sangat nyaman, sampai saya tidak memimpikan apapun, Mrs.” Jawabnya. Namun faktanya, ia tidak mampu tidur dengan tenang. Hingga segelas anggur membantunya untuk mencapai tidur, dan terbangun dengan kepala yang terasa berat esok paginya.
“Senang mendengarnya.” Aida melempar senyum dan kembali melanjutkan sarapan.
“Apa kegiatan anda hari ini, Mr. Scarlet?” kali ini kepala keluarga Silvercrow yang bertanya.
“Hm… Berkeliling mengunjungi kota.” Dan mencari pemuda berambut tembaga itu, tambahnya dalam hati.
“Maaf saya tidak bisa menemani anda. Ada pekerjaan yang harus saya selesaikan.”
Cliff mengangguk maklum.
“Aida bisa menemani anda. Akan saya perintahkan pelayan untuk menyiapkan kereta.”
“Tapi, apa saya tidak akan merepotkan anda, Mrs?”
Aida tertawa pelan. “Ya ampun, jangan sungkan padaku, Mr. Scarlet. Saya akan menemani anda ke kota. Lagipula sudah lama saya tidak ke sana, ingin mengunjungi teman. Graham tidak pernah mengijinkan saya untuk keluar kalau hanya seorang diri.”
Ketika sarapan telah berakhir dan kereta kuda telah siap, Cliff dan Aida berangkat ke kota. Tanah milik Sang Marquess sangatlah luas, sehingga Jarak kediaman Silvercrow beberapa mil dari pusat kota. Ketika sampai di kota, ia bisa melihat Narrow lebih jelas. Kota yang rapi, ramai dan rindang. Setiap rumah disusun dengan ukuran yang pas dan saling berdempet, hanya dipisahkan beberapa jalan kecil.
Narrow tampak ramai saat ini. Ketika ia turun dari kereta, untuk kesekian kalinya ia mendapatkan seluruh perhatian. Tidak ada yang tidak mengenalnya, Duke dari Timur. Pandangan terpesona dan kagum mengarah padanya. Para gadis nyaris berkerumun di sekitarnya jika saja tidak ada Aida yang berdiri di sebelahnya. Mereka menyapa Aida terlebih dahulu dan saling berbisik untuk memuja sang Duke.
Aida menyeretnya ke beberapa toko pakaian, menemaninya berbelanja. Cliff maklum, seorang wanita akan bahagia dengan hal-hal seperti ini. Namun pikirannya masih terbelah. Ia ingin segera mencari Henry.
“Mr. Scarlet?”
“Ya?”
“Tampaknya anda tidak menikmati ini. Maaf, saya selalu menyeret anda.”
Cliff hanya tersenyum, menenangkan Aida yang menatapnya bersalah. “Tidak, Mrs. Saya menikmatinya.”
“Apa ada tempat yang ingin anda tuju?”
Cliff berpikir sejenak sebelum sosok berjas marun melintas di kepalanya. “Saya penasaran… kediaman Henry di mana?”
“Kebetulan sekali, saya ingin bertemu dengan teman lama. Ayo.”
Aida membawanya memasuki sebuah jalan yang diapit oleh beberapa rumah, melewati jalan yang semakin kecil dan menyempit, membuat alis dan hidungnya mengernyit bingung. Hingga akhirnya ketika jalan kembali terbuka luas, membuatnya mampu bernapas lega, beberapa deretan rumah yang lebih kecil terlihat. Jalan telah berganti dari berbati menjadi tanah yang coklat. Pemukiman kumuh.
Ada rasa gelisah ketika Cliff melangkahkan kaki di jalan ini. Semua pandangan memang tertuju padanya dan Aida. Namun bukan memuja seperti yang ia terima di jalan utama. Ada niat tersembunyi di balik pandangan meneliti itu, membuat Cliff mengurungkan niatnya untuk menatap setiap mata yang melihatnya. Ia menoleh pada Aida yang tampak lebih tenang, seolah wanita itu sudah biasa ke tempat seperti ini.
Mereka berbelok, melewati beberapa rumah dan nyaris ke sudut pemukiman. Ada rumah yang lebih kecil di hadapannya kini. Sangat miris mengingat istal nya bahkan lebih besar dari rumah ini. Aida mengetuk beberapa kali, sebelum pintu terbuka, menampakkan sosok pria tua berambut putih dengan wajah yang sangat kurus, namun ada sesuatu familiar. Menatap wanita itu dengan terkejut.
“Aida!” seru si pria.
“Smith, lama tak berjumpa.” Aida segera meraih pria itu dan memeluknya erat.
“Kenapa kamu ke sini?” Tanya pria bernama Smith, melepaskan pelukan. “Apa Graham mengizinkanmu?”
“Dia tidak pernah mengizinkanku. Untungnya ada Mr. Scarlet.”
“Mr. Scarlet?” Manik cokelat pria itu bergulir ke sosok di belakang si wanita, menangkap dalam pandangannya sosok bersurai emas dan bermata biru dalam setelan yang ia tahu amat mahal.
Cliff sebenarnya ingin bertanya, penasaran bagaimana Aida dan pria tua itu saling kenal, namun ia urungkan dan menawarkan jabatan tangan yang diterima oleh Smith, saling memperkenalkan nama. Hingga akhirnya pria tua itu merasa canggung ketika ternyata Duke dari Timur lah yang tengah ia jabat. Ia buru-buru membuka lebar pintu, mempersilahkan keduanya untuk memasuki rumah. Langkah pria agak tertatih, dibantu dengan tongkat kayu usang. Mempersilahkan Aida dan Cliff duduk di kursi kayu yang juga telah usang.
“Ada apa gerangan Mrs. Silvercrow kemari?” Tanya Smith ketika ia sudah duduk dan meletakkan tongkat di samping kursi.
“Jangan berbicara seperti itu, Smith. Seperti kamu tidak mengenalku saja. “ balas Aida yang ditimpali dengan tawa oleh keduanya.
“Lalu?”
“Aku hanya ingin melepas rindu, dan mengajak Mr. Scarlet berkeliling.”
Smith melotot pada wanita itu. “Ya ampun, Aida. Untuk apa kamu mengajak Sang Duke ke tempat seperti ini? Kamu bisa mengajaknya ke tempat yang lebih baik dari ini.”
“Tidak apa, sir. Saya senang kemari.” Ucap Cliff melempar senyum palsu. Jujur saja ia merasa risih. Ini pertama kalinya ia ke tempat seperti ini, sempit dan kumuh. Ia merasa tidak pas saja.
“Maaf, Tuan. Tapi saya tahu anda tidak menyukainya. Tidak perlu ditutupi.” Smith menatap simpati. Ia tahu dengan jelas jika pemuda menawan itu tampak tidak nyaman di dalam kediamannya. Sangat tidak nyaman. Dan hanya dibalas Cliff dengan senyum yang biasa. Well, tebakan pria tua itu tepat.
“Tidak apa, saya bisa beradaptasi.”
“Kamu dengar dia kan, Smith?”
“Aida!”
Aida mengangkat bahu, tampak tidak peduli pada teguran Smith padanya. “Ke mana dia, anakmu?”
Dia?
“Berbelanja di pasar.”
“Aku pulang.”
“Nah, dia sudah pulang.”
Suara familiar tertangkap di telinga Cliff membuatnya segera melempar pandang ke arah pintu. Dan di sanalah ia menemukan sosok Henry tengah berdiri sambil melotot padanya. Membuat perutnya kembali bergolak. Ada perasaan yang tidak ia mengerti setiap kali wajah Henry tertangkap di kedua matanya. Dan barulah ia menyadari satu hal. Dia yang dimaksud Aida adalah Henry, pria tua bernama Smith ini adalah ayahnya, dan rumah kumuh yang bahkan tidak sebesar istalnya ini adalah rumah Henry.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” seru pemuda berambut tembaga itu.
“Henry! Mana sopan santunmu?” seru Smith dari kursinya.
Henry masih berdiri di depan pintu, melotot pada Cliff, enggan untuk bergerak. Bahkan kantung belanjaan masih berada dalam pelukannya.
Cliff spontan berdiri, entah karena apa. “Saya hanya menemani Mrs. Silvercrow.” Ucapnya. Ia bahkan melupakan rasa kesal dan terhina yang ia rasakan semalam. Ada apa dengan dirinya? Cliff menghampiri Henry. “Mari, kubantu.”
“Tidak, tidak perlu.” Henry segera berkelit, melangkah memasuki rumah. Melewati Cliff yang mematung di tempat. Ia menoleh pada Aida. “Hai Aida, kubuatkan teh?”
“Hai, nak. Ya, boleh.”
Rasa kecewa, terluka dan terhina itu kembali datang padanya. Untuk kedua kalinya Henry menolaknya. Ada apa dengan pemuda itu? Ia hanya menawari bantuan, tidak membunuhnya. Sang Duke merasa kesal, namun ia mampu menyembunyikannya dengan baik. Akhirnya ia kembali duduk di sebelah Aida. Wanita itu tenggelam dalam perbincangan nostalgianya bersama Smith.
Cliff sendiri tenggelam dalam emosinya yang campur aduk. Ia tidak bisa diam duduk saja seperti ini, ia harus bertemu Henry, meminta penjelasan. Tapi dengan pendekatan yang baik. Tidak peduli jika pemuda itu kembali menolaknya. Jadi Cliff berdiri dan berkata “Saya permisi sebentar” pada keduanya, dan melangkah masuk ke dalam rumah, ke bagian yang paling belakang. Dapur.
Ia bisa mendengar suara air yang dituangkan ke cangkir dari teko, dan aroma teh saat mendekat. Henry tanpa menoleh, seolah sudah tahu jika sosok Cliff yang mendekat padanya, berkata ketus “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Cliff menghampiri, berdiri di samping Henry, membuat pemuda surai tembaga itu tampak gelisah. “Aku hanya ingin membantu.” Yang dihadiahi dengan tatapan dan dengusan mencemooh dari Henry.
Henry kembali menuangkan teh di gelas terakhir. “Jangan bercanda.” Yang membuat Cliff merasa tolol. Amat tolol. Membantu menuangkan teh? Astaga, Cliff sungguh kamu membuat dirimu tampak tolol. Kamu seorang Duke yang selalu menunggu dituangkan teh dicangkir mewahmu.
“Kubantu?” namun Cliff masih tidak menyerah. Ia tidak peduli dengan gelar tolol yang akan Henry berikan padanya.
Henry menatap Cliff dengan pandangan kesal, membuat mata biru itu tertangkap oleh pandangannya. Punggungnya terasa tergelitik dan ngilu. “Sebenarnya apa yang anda inginkan?”
“Apa maksudmu?”
“Jangan berpura-pura bodoh, Tuan. Berusaha bersikap baik seperti ini pada seorang berstatus sosial seperti saya, tentu ada sesuatu yang anda inginkan.”
Benar. Henry benar. Cliff tidak pernah berpikir sejauh itu. Apa yang sebenarnya ia inginkan dari pemuda itu? Alasan semalam? Karena ingin mengajaknya berdansa? Sungguh tolol. Tidak mungkin hal itu, bukan? Yang ia tahu, ia hanya ingin mendekati pemuda itu karena merasa tertarik akan sesuatu yang ia lihat begitu pandangan mereka bertemu. Keinginannya membantu Henry adalah spontanitas.
“Apa cara berpikirmu selalu sepicik itu?”
“Apa?”
“Apa kamu selalu berpikir negatif seperti itu? Apa kamu tidak pernah berpikir bahwa bantuan dan tawaran kebaikan yang kuberikan adalah sebuah ketulusan tanpa niat dibaliknya?”
Henry terdiam. Jujur ia bisa merasakannya, ada ketulusan dalam niat baik pemuda itu. Namun Henry tidak bisa. Ia lebih memilih untuk menjaga jarak selama ia merasakan rasa aneh di perutnya saat pemuda itu berada di dekatnya. Dengan keras kepala ia membela diri. “Saya tidak berpikir negatif. Saya hanya berhati-hati.”
Sepasang mata Cliff memicing, ada rasa tidak suka ketika Henry mengatakannya. “Berhati-hati dari apa?”
Henry melirik ke arah lain, merasa gugup. Manik merahnya kembali ke sepasang manik biru yang menatapnya menantang. Namun ia tidak sanggup menatap matanya lebih lama, sehingga Henry membuang muka, lebih memilih untuk menatap gelas-gelas liat yang telah berisi teh. “Ya… ya, dari anda.”
Cliff yang merasa tersinggung segera mendekat, mencengkeram satu pergelangan tangan Henry yang lebih dekat darinya membuat napas pemuda itu tercekat. “Memangnya kamu pikir aku siapa? Memangnya kamu pikir apa yang akan aku lakukan padamu?”
Henry segera menyentak tangan, melepaskan cengkeraman Cliff dari tangannya. Sengatan itu kembali saat pertama kali tangan mereka berjabat, membuat pergelangan tangan Henry terasa sakit. Ketika napas hangat Cliff menggelitik lehernya saat berbicara, perutnya terasa mual. Ia harus benar-benar menjauh dari sang Duke.
Dengan gugup Henry berkata. “Entah. Mungkin baik atau jahat, saya tidak tahu. Yang saya lakukan hanya berhati-hati.”
“Kamu pikir aku serendah itu?” Kali ini Cliff bergerak semakin dekat padanya, melupakan suaranya yang meninggi karena marah. Nyaris memerangkap Henry di antara kedua tangannya. Tubuh mereka nyaris menempel, membuat Henry semakin gelisah.
Henry mundur, namun tertahan oleh meja di belakangnya. “Saya tidak—“
“Hey, apa yang sedang terjadi di sini?” Smith muncul di pintu dapur ketika mendengar suara-suara seruan dari arah belakang dan memutuskan untuk memeriksa.
Cliff bergerak mundur, menjauh dari Henry dan berdiri di sebelahnya ketika menyadari ia nyaris memeluk pemuda itu. Matanya yang menyiratkan kemarahan perlahan berganti menjadi seperi biasa. Napasnya yang tidak teratur menjadi lebih stabil.
Sial, bagaimana bisa ia seemosi ini? Ia tidak pernah semarah ini sebelumnya. Tidak pada siapapun, tidak pada petinggi manapun yang pernah merendahkannya untuk menjatuhkan kedudukannya. Tapi pemuda bermata merah ini, sialnya, telah membuatnya marah.
Cliff yang telah lebih tenang melirik Henry yang telah berbalik mengahadap meja. Ia melemparkan senyum pada Smith dan berkata “Tidak ada, sir. Saya hanya membantu Henry.”
“Astaga, Tuan. Anda tidak perlu melakukannya. Biarkan Henry yang menyiapkan teh-teh itu. Ayo, kita bisa berbincang-bincang.”
Cliff tak kuasa menolak. Ia melirik kembali pada Henry yang tidak bergerak dari tempatnya, masih menunduk menatap gelas-gelas. Cliff mendesah dan akhirnya memutuskan untuk berjalan mengikuti Smith ke ruang depan, bergabung dalam pembicaraan yang pasti tidak akan ia simak.
Henry muncul dengan membawa tiga gelas teh. Memberikannya pada Aida, ayahnya, dan Clifford. Ada rasa gugup saat meletakkan gelas di hadapan pemuda itu. Cliff menatapnya intens, yang tidak dibalas oleh Henry. “Saya permisi” ujarnya.
“Nak, bergabunglah. Kamu tidak ingin melepas rindu padaku?”
“Maaf, Aida. Saya harus berangkat kerja.”
“Baiklah, selamat bekerja.”
Henry segera ke dalam rumah meletakkan nampan dan buru-buru keluar setelah berpamitan. Cliff tak pernah melepaskan pandangan tajamnya hingga sosok Henry menghilang dibalik pintu. Cliff hanya bisa duduk di sana, terjebak bersama Aida dan Smith yang masih sibuk bertukar kisah, sementara pikirannya terjebak akan cara untuk mendekati Henry. Jelas-jelas pemuda itu menjaga jarak darinya. Bahkan menolak sentuhan kecil seperti tepukan bahu, seolah… seolah Cliff membawa penyakit yang menular.
Sial. Lagi-lagi ia merasa terhina.
----
“Henry, segelas lagi.”
Henry menuangkan wine di gelas pelanggannya yang kini tampak tidak bertenaga, tenggelam dalam mabuk. Ia tidak peduli jika pelanggannya bahkan mati karena kebanyakan minum, karena di sini ia bekerja, bukan untuk memperhatikan orang lain. Selama ia melakukan tugasnya dengan baik, ia akan baik-baik saja.
“Henry, bisa bawa ini ke meja di ujung saja?”
Henry menoleh, menatap seorang wanita berambut coklat sebahu, bermata hijau dan berpakaian minim menyerahkan empat botol bir besar padanya. Namanya Anne, rekan kerja Henry di pub kumuh di sudut kota. Mereka hanya berdua, karena tempat ini kecil, tidak begitu ramai. Namun Henry menyukainya karena tidak sekacau pub besar lainnya. Memang ada beberapa pertengkaran kecil yang biasa terjadi ketika pelanggan telah benar-benar mabuk, tapi Henry mampu mengatasinya dengan mudah.
Ia tersenyum pada wanita itu. “Tentu.”
Henry bergegas membawa keempat gelas di kedua tangannya, menyerahkannya di meja yang dimaksud, pelanggan tetap pub. Ia kembali ke bar setelah melempar salam pada keempatnya. Kembali menenggelamkan diri dalam kesibukan melayani pelanggannya di meja bar yang benar-benar telah mabuk.
Hingga ada sensasi familiar terasa di punggungnya. Geli menggelitik.
“Henry.” Anne mendesis padanya dair sebelah. Henry menoleh pada Anne yang tidak melepaskan pandangan terkejut ke arah depan. Baru menyadari suara pub tiba-tiba menjadi hening. “Lihat siapa yang datang.” Desisnya.
Henry menoleh ke depan, ke arah pintu, dan napasnya tiba-tiba terhenti. Di sanalah Clifford Scarlet berdiri, tampak angkuh dengan setelan mewah yang membungkus tubuhnya. Pantas saja Henry merasa ada sensasi familiar yang terasa di tubuhnya. Clifford Scarlet. Pemuda itu menggulirkan manik birunya pada seluruh pub, memandang setiap sosok yang menatapnya heran, bingung bagaimana bisa seorang dari kalangan sosial kelas tinggi berada di pub kumuh seperti ini. Ketika manik birunya menangkap sosok yang ia cari, pemuda itu tersenyum tipis.
Dengan tenang ia berjalan mendekati meja bar, menghiraukan setiap pasang mata yang mengekorinya. Hingga ia duduk di meja bar, berhadapan dengan Henry yang melotot padanya. Cliff hanya tersenyum dan berkata “Segelas wine.”
“Apa yang anda lakukan di sini?” desis Henry setelah sedikit membungkuk mendekatkan wajah pada Cliff. Mengendarkan pandangan pada pengunjung yang kini kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing, namun sesekali masih mencuri pandang pada sang bangsawan.
Cliff menyeringai, semakin bergerak maju mendekatkan wajah hingga Henry bisa merasakan hembusan napas dihidungnya. “Kubilang segelas wine.”
Henry segera melompat mundur, merutuki kesalahan yang telah ia buat. Baru saja ia hendak mengambil sebotol wine di rak, Anne telah menarik lengannya lebih dulu dan membawanya ke sudut. “Henry! Astaga, siapa dia? Kamu mengenalnya?”
Henry melirik Cliff yang memandanginya, membuatnya memutar mata kesal. “Dia Duke dari Timur. Kamu pasti tahu.”
Dan sukses membuat tampang Anne bagai orang paling tolol. Gadis itu mengerjapkan mata, membuka dan menutup mulutnya tanpa suara, sebelum akhirnya memekik aneh. “Ya ampun, ya ampun, dia sangat tampan. Seperti rumor yang kudengar. Ya ampun, ya ampun. Aku harus mengenalnya.” Dan tanpa basa-basi, Anne telah berada di hadapan Duke, mencondongkan tubuh yang terpisah oleh meja bar yang panjang, berusaha terlihat sensual dan memikat. Dan Henry hanya mengedikkan bahu, bersikap tidak peduli.
“Ini wine anda.” Henry menyerahkan segelas wine di hadapan Cliff, yang dihadiahi ucapan terima kasih dan senyuman, yang membuat Anne kembali terpekik. Henry hanya mendengus dengan tingkah aneh sahabatnya, sebelum berlalu pergi. Masih ada pelanggan yang harus dilayani.
Cliff tidak akan pernah berada di tempat seperti ini, pub kumuh di sudut kota, jika saja Henry tidak bekerja di sana. Ia telah bertanya pada Smith terlebih dahulu untuk mendapatkan informasi mengenai Henry. Ia baru bisa mengunjungi tempat kerja Henry setelah kembali ke kediaman Silvercrow dan menemani Sang Marquess bermain polo.
Satu hal yang ditangkap oleh penglihatannya saat memasuki pub tak bernama ini adalah sangat buruk. Jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan. Bagaimana bisa Henry bekerja di tempat seperti ini? Pikirnya. Ketika matanya menangkap sosok Henry, ia segera menghampiri pemuda itu dan memesan segelas wine.
Jadi di sinilah Cliff, duduk di meja bar, berbincang tanpa minat dengan Anne, salah satu pegawai pub. Anne memang wanita yang menarik, dengan tubuh yang tampak menggoda dan wajah mungil dan potongan rambut sebahu yang pas, yang membuatnya tampak muda. Namun bagi Cliff, Anne bukan tipenya. Jadi ketika gadis itu berbicara, berusaha menggodanya, Cliff hanya menimpali beberapa kali, berusaha terlihat berminat.
Cliff tidak pernah berhenti melirik pada Henry yang sibuk menyajikan minuman untuk beberapa pelanggan. Mengamati gerak tubuh pemuda itu. Henry tidak pernah ragu untuk menyentuh orang lain, berbicara dengan ramah ataupun tertawa dengan wajar. Terlihat sangat bersahabat. Membuat Cliff merasa aneh. Lalu kenapa pemuda itu menjaga jarak darinya? Cliff yakin ia jauh lebih bersih dari pria tua yang kini tengah ditepuk oleh Henry. Lalu kenapa pemuda itu enggan disentuh olehnya?
Sial. Ia merasa amarahnya menumpuk. Ia butuh tambahan anggur saat ini.
“Henry.” Panggilnya, membuat pemuda itu menoleh padanya. “Segelas lagi.” Serunya.
“Astaga, tuan. Jika anda butuh segelas lagi, katakana saja padaku.” Oh, great. Cliff lupa jika Anne masih berdiri di hadapannya. Gadis itu segera mengambil gelas dari tangannya dan mengisinya. Oh sial, ia harus mencari cara lain agar bisa berbicara dengan Henry.
“Hei, Anne. Aku butuh tambahan di sini.” Seru seseorang, entah siapa. Namun gadis itu enggan mendengarkan. Ia masih terfokus mengamati dan memuja wajah tampan sang Duke. Berkali-kali suara itu memanggil Anne dan tidak digubris.
“Saya rasa anda harus melayaninya, Miss. Anda bekerja di sini kan?”
Anne mendecak kesal. “Baik, baiklah. Jika saja bukan anda yang memintanya, tuan.” Ia bergegas pergi setelah mengirimkan kedipan nakal pada sang Duke.
Kesempatan bagi Cliff, ia segera memanggil Henry. Dengan enggan pemuda bersurai tembaga itu menghampiri. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Segelas wine lagi.”
Henry bingung, alisnya mengernyit nyaris menyatu. Pandangannya beralih dari wajah Cliff dan gelas kaca di tangan pemuda itu, yang— “Tapi gelas anda masih penuh, Tuan.”
Cliff menyadari kebodohannya. Ia segera menenggaknya hingga tandas. “Nah, kali ini tidak.”
Henry memutar mata, kembali mengisi gelas kosong itu. “Sebenarnya apa yang anda inginkan?”
“Segelas wine.”
“Anda tahu yang saya maksud, Tuan.”
Cliff menghela napas. “Baik. Yang kuinginkan, temani aku di sini.”
Lagi-lagi alis Henry mengernyit, menampakkan raut bingung. “Tapi Tuan, saya di sini bekerja. Banyak pelanggan yang harus saya layani.”
“Saya akan bayar lebih untuk itu.”
“Maksud anda?”
“Berapa yang bisa saya bayar agar kamu menemaniku beberapa jam di sini?”
Henry tersinggung. Ia melotot kesal pada Cliff. “Saya tahu harta anda berlimpah. Saya memang miskin, Tuan. Tapi saya punya harga diri. Saya tidak butuh uang anda. Asal anda perlu tahu, saya di sini bekerja.”
Cliff bingung, sebelum akhirnya dia menyadari satu kesalahan yang telah terjadi diantara keduanya. “Kamu menyalahartikan perkataanku lagi, Henry.”
“Perkataan anda sangat jelas, Tuan. Apa yang salah? Saya permisi.”
Cliff segera berdiri, mencondongkan tubuhnya maju, dan menangkap tangan Henry menahan pemuda itu. Membaut Cliff tersentak kaget, nyaris menjatuhkan botol wine di tangan. Lagi-lagi ia merasakan sengatan di tangan. Refleks Henry menyentakkan tangan, melepaskan diri dari tangan Cliff. Henry menatap mata biru Cliff, ada kilat aneh yang tidak ia mengerti di sana.
“Kenapa kamu menghindariku?”
Pandangan Henry bergerak liar. “Saya tidak menghindari anda.”
Namun ketika Cliff hendak meraih tangannya sekali lagi, Henry refleks bergerak mundur. Menguak kebohongan si pemilik manik merah. “Lihat? Kau menghindariku.” Ucapnya dengan pandangan terluka. Sungguh, Cliff merasa aneh. Dadanya terasa sesak ketika Henry lebih memilih untuk menghindari sentuhannya, sedangkan dengan orang lain pemuda itu lebih berani.
Henry sendiri memang tidak ingin mengakui jika ia menghindari pemuda itu. Ia hanya takut jika sentuhan-sentuhan pemuda itu memberikan sengatan di kulitnya, memberikan rasa sakit yang pelan, namun selanjutnya menjalar ke seluruh tubuh, mengirimkan sensasi aneh yang membuat perutnya bergolak. Sensasi yang tidak pernah dirasakan Henry sebelumnya, dan ia takut untuk merasakannya.
“Saya— Saya tidak menghindar.” Elaknya.
Cliff mendesah. Satu hal yang ia ketahui, Henry adalah pemuda yang keras kepala. Ia akhirnya kembali duduk. “Baiklah, terserah apa katamu.”
Dan akhirnya mereka tenggelam dalam keheningan. Henry kembali bekerja, melayani pelanggan, dan Cliff tidak banyak berkata. Tidak ada lagi permintaan segelas wine darinya. Namun pandangannya tidak lepas dari Henry. Ada apa dengannya? Dadanya terasa ngilu setiap kali melihat pemuda itu berinteraksi dengan ramah pada orang lain.
Jelas-jelas pemuda itu menghindarinya.
Ketika malam telah semakin larut, ketika pelanggan telah berkurang, Cliff memutuskan untuk pergi. Setelah sebelumnya melihat Henry yang tidak kunjung menghampirinya. Mungkin pemuda itu masih marah padanya. Setidaknya, Cliff sudah mencoba untuk mencari penjelasan. Ia bisa bertanya di lain waktu. Lagipula ia tidak ingin membuat Mrs. Silvercrow khawatir dengan pulang di waktu tengah malam. Jadi Cliff beranjak tanpa pamit pada Henry, hanya pada Anna yang tampak kecewa.
Henry merasakan tubuhnya lebih tenang. Amarahnya perlahan menghilang ketika ia melihat dari sudut matanya, Cliff telah beranjak pergi. Bersama beberapa pemuda yang mengikutinya dari belakang. Awalnya pemuda bersurai tembaga itu biasa saja, tetap merapikan pub yang selalu berantakan, bersiap untuk mengakhiri kerja di hari ini. Namun ketika rasa khawatir menyergapnya, ia bergerak resah dan bekerja dengan tidak maksimal.
“Anne, saya harus segera pergi. Bisa sendiri, kan?”
Anne tampak enggan, namun akhirnya gadis itu mengangguk.
Henry bergegas keluar pub, melemparkan pandang ke sekitar jalan yang telah kosong dan gelap. Instingnya membuat kakinya melangkah dengan lebar, membawanya melintasi beberapa gang. Hingga akhirnya ia mendengar suara benturan yang keras. Ia segera masuk ke gang yang sempit dan gelap, namun anehnya ia masih bisa melihat dengan jelas.
“Apa yang kalian lakukan?” serunya, ketika melihat tiga orang tengah menendang sesosok bersurai pirang yang tidak berdaya dan terbaring di tanah.
“Itu Henry” bisik salah satunya, terdengar panik. “Ayo pergi.” dan ketiga pria itu segera menyelinap ke belokan gang lain, menghilang di dalam kegelapan.
Henry segera menghampiri Cliff yang kini tengah terbatuk. Pakaian pemuda itu telah robek dan kotor. Tidak tampak mewah seperti sebelumnya. Rambut emasnya berantakan, dan wajahnya lebam di beberapa bagian. Darah segar mengalir dari mulut dan hidung pemuda itu, membuatnya tampak menyedihkan. Henry merasakan perutnya bergolak, entah oleh rasa apa.
“Kamu baik-baik saja?” Pertanyaan bodoh, Henry. Jelas Cliff dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Henry masih bisa melihat sepasang manik yang menyipit menatapnya, sebelum akhirnya meredup. Cliff pingsan.
Henry panik. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia sendiri masih enggan menyentuh pemuda itu. Namun ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Akhirnya, ia memberanikan diri menyentuh pemuda itu, membawanya di punggung, dan membuat punggungnya kembali merasakan rasa ngilu yang hebat. Perutnya bergolak. Dadanya merasakan sesuatu yang aneh, membuat jantungnya berdebar cepat ketika hembusan napas teratur Cliff membelai lehernya.
“Hen.. ry?” suara berat itu terdengar dari balik telinga, begitu dekat hingga menggelitik telinganya. Membuat napasnya terputus-putus. Sial, Henry bisa merasakan perutnya ngilu. Ia ingin muntah saat itu.
“Bertahanlah.” Bisiknya.
@Tsunami @balaka
@cute_inuyasha @d_cetya @Wita @lulu_75 @putrabekasi @putrabekasi @Lonely_Guy
@harya_kei @Adi_Suseno10
@Unprince
@Tsu_no_YanYan
@Zhar12 @nand4s1m4
@Cyclone @Lonely_Guy