It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tapi mereka belum jadian ya,,
ini updatenya sepotong2 >.<
kalo tidak sering di cek bisa ketinggalan..
dan tidak rela kalo sampai ketinggalan huhu...
Pagi itu Henry disambut dengan seikat bunga mawar. Aromanya tentu memikat, namun tidak bagi Henry. Ia menatap bunga mawar di tangannya dan wajah Cliff bergantian, sebelum menyerahkan kembali bunga itu pada Cliff dan berkata “Aku tidak suka mawar”.
Tentu membuat Cliff sangat kecewa. Ia hanya ingin menunjukkan pada Henry betapa cintanya ia kepada pemuda itu dan mengira Henry akan menyukainya, karena warna merah dari mawar mengingatkannya akan warna mata Henry. Ia menghela napas berat. Hal seperti ini tidak akan menyurutkan semangatnya, bukan? Jadi seikat mawar tidak berguna itu ia serahkan pada seorang wanita yang berpapasan degannya.
“Lalu bunga apa yang kamu suka?” ucapnya, mengejar langkah Henry.
Henry berhenti, menatap Cliff sejenak. “Entah” dan kembali melangkah menuju penginapan untuk sarapan bersama.
Cliff tidak menyerah begitu saja. Di tengah sarapan ia terus bertanya tanpa henti bunga apa yang pemuda itu sukai. Namun Henry membentaknya, bahwa ia bukan wanita dan tidak perlu hal romantis seperti itu. Cliff hanya tersenyum mengerti, mengacak rambut pemuda itu dan meminta maaf.
Sementara menunggu Henry selesai dari pekerjaan siangnya, Cliff menghampiri toko bunga dan mencari bunga yang tepat untuk Henry. Tidak peduli meski pemuda itu membentaknya pagi tadi, Cliff tidak akan menyerah hanya karena satu bentakan.
“Anda yang pagi tadi, bukan?” Cliff menoleh mendapati wanita muda penjaga toko tengah tersenyum padanya. “Bagaimana? Apa dia bahagia?”
Cliff mendengus geli, kembali berjalan mencari bunga yang menurutnya tepat, sementara sang penjaga mengikutinya dari belakang. “Dia tidak menyukainya.”
Sang penjaga toko mengangkat kedua alisnya, terkejut akan ucapan Cliff. Namun selanjutnya ia tersenyum begitu melihat senyum Cliff tak pernah pudar dari wajah tampannya. “Anda pasti sangat mencintainya.” Ujar wanita itu, membuat Cliff tertawa, dan tanpa ragu berkata “Tentu saja.”
“Mungkin karena anda tidak memberikannya bunga yang tepat.”
Cliff menoleh, menatap bingung pada wanita itu. “Maksud anda?”
Wanita penjaga toko itu melangkah mendekati deretan bunga mawar berbagai warna. “Setiap bunga memiliki maknanya masing-masing, dan setiap warna memiliki maknanya pula.” Ia berjalan menghampiri seikat besar bunga mawar merah. “Mawar merah memiliki makna cinta dan mawar kuning bermakna persahabatan.”
“Bukannya sudah jelas? Saya memberinya mawar merah.”
Namun wanita itu tidak menjawab. Ia terus melangkah, melewati barisan bunga lainnya dan terus menjelaskan setiap bunga yang ia lewati, dan Cliff tetap mengikuti wanita itu. “bermakna kesetiaan. Dan ini—“ ia meraih sebuah bunga berwarna merah yang mungil. Hanya setangkai dan diserahkan pada Cliff. “Ini adalah ungkapan yang tepat.”
“Ini? Maknanya?”
Wanita itu mendekat dan berbisik. Sebleum kembali menjauh dan berkata “Saya menduga dia tidak menyukai hal-hal seperti ungkapan yang mengumbar. Jadi, saya rasa ini yang tepat untuk saat ini.”
Cliff tersenyum. “Terima kasih.”
Sore itu, ketika pekerjaan siang Henry berakhir dan keduanya tengah berjalan menuju bar, Cliff menahan langkah Henry, membuat pemuda itu menatapnya bingung. Awalnya Cliff ragu, ia takut Henry akan menolaknya lagi. Namun ia tetap mengeluarkan setangkai bunga tulip merah dari balik jas coklatnya dan menyerahkannya pada Henry.
“Cliff, dengar—“
Cliff menarik tangan Henry, memaksa pemuda itu memegangnya. Satu tangannya memegang tangan Henry yang kini tengah mencengkeram tangkai bunga. “Aku ingin kamu menerimanya.”
“Tapi, Cliff—“
“Tulip merah bermakna keyakinan cinta. Aku ingin menunjukkan padamu bahwa perasaan yang kuberikan padamu adalah tulus dan nyata. Aku ingin kamu percaya padaku.” Ucapnya, lalu mengecup punggung tangan Henry yang bebas.
Henry bungkam tak memberikan balasan, tidak pula menyerahkan setangkai tulip itu padanya. Dan ketika Henry berkata “Terima kasih” dengan wajah yang merona malu, Cliff tidak tahan untuk mencium bibir pemuda itu jika saja mereka tidak ada di tempat umum saat ini.
Jadi Cliff menahan diri, memeluk dan mengecup kening Henry, dan kembali berjalan bersisian. Dan kali ini wajah Cliff tak lepas dari rona bahagia.
@Roynu hahaha semoga saya kepikir buat nulis part itu.
apa kubilang harus sering2 dibuka, kalo tidak bisa ketinggalan cerita..
part selanjutnya masih pendek2 gak??
Di tunggu lanjutan nya @JNong
ttp mention gw yee @jnong gw suka ceritanya
penasaran nih sama makhluk itu dan kelanjutan cliff sama henry
@Unprince @Zhar12 @nad4s1m4 @Tsu_no_YanYan @Adamy @kaka_el @sasadara
Jika ada yang tidak berkenan di mention, silahkan tinggalkan komentar.
----
Still Part 6
---
I Hate You
“Bree, tambahan bir di meja Mr. Trump”
“Bree, barrel kosong. Kita butuh yang baru.”
“Bree, tolong bantu aku mengantarkan ini ke meja pelanggan.”
Atau “Bree, bisakah kamu membantuku mengangkat barrel ini?”
Bree! Bree! Bree! Cliff jengah. Bree dan Henry memang bekerja di tempat yang sama, di pub kumuh milik Bree, tidak menutup kemungkinan Henry akan meminta bantuan pada Bree. Tapi tidak seperti hari-hari sebelumnya, hari ini nyaris setiap waktu Henry akan menyebut nama Bree dan meminta tolong pada pria itu. Tidak peduli sejauh apa pria itu dari posisinya, Henry akan menghampiri Bree dan meminta tolong. Dan Bree akan membantunya dengan senang hati yang membuat Cliff ingin merobek bibir Bree yang menyunggingkan senyum bahagia –atau mengejek itu padanya.
Ketika Henry melintasi kursinya setelah mengantarkan pesanan ke meja pelanggan, tepat ketika Henry menyerukan nama Bree yang membuat telinga Cliff nyeri karena kesal, Cliff menahan tangan pemuda itu.
“Ada apa?” Singkat dan cepat, membuat dada Cliff terasa ngilu.
“Aku bisa membantu.” Tawarnya. Meski Cliff tidak bekerja di pub, setidaknya ia ingin Henry mengandalkannya dan tidak bergantung pada Bree. Tidak tahukah ia betapa kesalnya Cliff setiap kali Henry menyebut nama Bree?
Namun reaksi Henry membuat dada Cliff terasa lebih nyeri. Henry hanya mendengus geli padanya dan menyentak tangan hingga pegangan Cliff padanya terlepas. Pemuda itu berlalu pergi, mengingatkan Cliff pada sikap Henry saat pertama kali mereka bertemu, membuatnya merasa amat terluka.
Cliff tentu merasa khawatir. Rasa takut itu menyelimutinya, takut Henry akan kembali pada keadaan awalnya saat mengenal Cliff. Namun Cliff lebih memilih untuk berpikir positif, menganggap bahwa pemuda itu saat ini tengah di pengaruhi oleh mood yang buruk.
“Henry” malam itu, ketika keduanya tengah saling bersisian menuju jalan ke rumah Henry, Cliff tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara pada Henry. Meski pemuda itu tidak menjawabnya dan terus berjalan, Cliff tentu tidak akan berhenti.
“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Namun Henry tetap tidak menjawab.
“Apa ada sesuatu yang membuatmu resah?”
Tidak ada jawaban, dan langkah Henry semakin cepat.
“Apa aku membuat kesalahan?”
Henry semakin menjauh membawa kebisuan dan Cliff berusaha menjejari langkah.
“Apa kamu marah padaku?”
Henry berhenti, Cliff berhenti. Henry berbalik, menatapnya tajam bagai belati dan berkata “Aku membencimu” yang membuat hati Cliff patah menjadi dua.
Cliff terdiam, terpaku untuk mencerna dua kata yang membuat dadanya nyeri. Sementara Henry menghembuskan napasnya yang malam ini terasa lebih berat. Manik biru Cliff menyapu manik merah Henry, mencoba mencari kebohongan yang mungkin terselip di sana. “Apa—Kenapa?”
“Kamu membuatku sakit.” Henry mengalihkan pandang, menolak beradu pandang.
Cliff mengerjap, mendekati Henry yang bergeming di hadapannya, menyentuh bahu pemuda itu. Pandangan Cliff terluka, dadanya terasa sesak oleh pengakuan pemuda yang ia cinta. “Apa aku tanpa sadar melukaimu? Aku minta maaf.”
Namun Henry masih menolak memandanginya dan tidak menjawab.
“Di bagian mana? Katakan.”
“Aku tidak tahu.” Henry dengan pelan melepaskan kedua tangan Cliff dari bahunya.
“Tidak tahu?”
“Ya, aku tidak tahu. Yang jelas kamu membuatku sakit. Setiap kali wanita itu berbicara padamu, berbisik entah apa, kamu membuatku sakit.”
Ucapan dan tatapan tatapan tegas Henry membuat pikiran Cliff menjadi jelas. Seketika ia tersenyum amat lebar, dan tertawa amat bahagia. Membuat kening Henry mengernyit, menampakkan kerutan samar akan kebingungan. Cliff segera memeluk Henry amat erat hingga napas pemuda itu terasa sesak.
Cliff menarik diri, kedua tangannya menggenggam erat kedua tangan Henry dan menatap Henry penuh cinta. “Aku minta maaf. Aku janji tidak akan membuatmu merasa sakit lagi. Aku janji tidak akan membuatmu merasakan rasa sakit yang lebih dari ini.” Cliff mendekat, mengecup lembut kening Henry. “Kamu memaafkanku, kan?”
Henry menunduk dengan wajah merona, tak mampu menatap sepasang permata biru yang membuatnya melambung. Ia mengangguk pelan sebagai balasan. Untuk kali ini Cliff tidak bisa menahan diri, jadi ia mengecup bibir pemuda itu.
“Aku membencimu.” Henry di sela ciuman.
Dan Cliff tersenyum, berkata “Aku tahu. Aku juga mencintaimu.” Dan ia kembali meraup bibir Henry dalam ciuman yang lebih dalam.
Lonely Moon
Ada waktu dimana Cliff dan Henry akan duduk berdua di bangku taman, menikmati malam dalam keheningan yang nyaman, menghiraukan rasa dingin yang menghujam di penghujung musim. Tidak ada satupun kata yang mengalir dari mulut keduanya, hanya ada suara desisan angin di antara dedaunan yang membelah kesunyian. Cliff akan duduk di sebelah Henry, menggenggam tangan pemuda itu dengan erat.
Ada waktu dimana Cliff dicekoki dengan rasa penasaran setiap kali Henry duduk dengan nyaman di sebelahnya tanpa melepas genggaman tangan, dan tak terusik oleh keheningan. Henry akan bersandar pada sandaran bangku, menyamankan diri dan menatap pada kekelaman langit malam. Dan Cliff sesekali melirik Henry, menatap rona bahagia pemuda itu dan bertanya pada diri sendiri. Apa yang membuat wajah Henry tampak bahagia?
“Kamu tampak bahagia. Apa yang kamu pandangi?”
Ada waktu dimana Henry akan duduk seorang diri di taman, menikmati kesunyian yang tenang. Ketika Henry merasa letih, ia akan menyandarkan punggungnya di sandaran bangku, menatap lapisan kelam yang dihiasi oleh kerlap kerlip permata malam, menguapkan letih di punggungnya yang mungil. Namun kini Cliff akan menemaninya, duduk di sebelahnya, menggenggam tangannya dalam kehangatan.
Henry menoleh pada Cliff. Dulu, saat Cliff bertanya padanya ia tidak akan memberikan jawaban. Namun kini berbeda. Pandangan Henry kembali ke langit malam dan dengan rona damai, ia berbisik “Bulan.”
Cliff mengangkat wajah, menatap permata mega sang langit malam, pada bulan yang memancarkan cahaya keperakan. Dengan jelas Cliff berkata “indah.” Cliff kembali menoleh pada Henry. “Kamu menyukainya?”
Tidak ada jawaban, namun raut wajah Henry menjawaban pertanyaan Cliff. Pemuda bermanik biru itu kembali bertanya “Apa yang membuatmu menyukainya?”
Kali ini Henry menoleh, mengedikkan bahu dan kembali menatap pada Bulan setelah berkata “Entahlah.” Yang membuat Cliff bingung. Namun akhirnya pemuda itu akan kembali menatap pada objek yang sama.
“Tidak seperti bintang yang tampak berkilau, indah dan tidak sendiri, Bulan menerangi malam dengan cahayanya yang kelabu, membuatnya tampak muram dan sepi. Tidak seperti Matahari yang memberi kehangatan, Bulan dianggap menjadikan malam yang dingin, kelam dan misterius.”
Cliff tak melepaskan pandang dari Henry yang tak lepas menatap sang permata malam. Ada binar yang tidak ia mengerti di mata merah itu.
Henry menoleh pada Cliff, menatap dalam pada sepasang safir pemuda itu. “namun kupikir Bulan yang sepi, dingin, dan sendiri pun merindukan kehangatan. Kupikir dibalik kesannya yang misterius, Bulan selalu merindukan Matahari yang membuatnya hangat. Kurasa itu yang membuatku menyukainya.”
Cukup lama ia terdiam meresapi kata yang pemuda itu ucapkan. Lalu dengan pandangan yang saling beradu dan melempar kasih, tangan yang tergenggam lebih erat, Cliff berkata “Kupikir sang Bulan tidak perlu lagi merasa sendiri karena ia telah mendapatkan kehangatan. Tak perlu lagi merindukan sang Matahari, karena sang Bulan telah mendapatkan sang Matahari di sisinya.”
Sang pemuda tembaga mengernyit bingung. “Maksudmu?”
Namun Cliff tidak menjawab. Ia mengangkat tangan Henry yang ia genggam dan mengecup punggung tangan pemuda itu. Di udara malam yang dingin, Cliff tersenyum hangat pada Henry.
haduh, part ini bebener (.///.)b