It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
adalah kisah luar biasa seorang ibu dengan bentuk
tubuh yang tak sempurna. Mungkin dengan
membaca kisah ini, Anda bisa lebih bersyukur dan
lebih menyayangi ibu Anda. Trish, adalah seorang ibu muda berusia 26 tahun dan mengalami sebuah kondisi kesehatan langka yang disebut arthrogryposis. Kondisi tangannya tak sempurna, membuatnya tak bisa melakukan banyak
hal seperti kebanyakan ibu dengan tubuh yang lebih baik. Meski begitu, tak menyurutkan semangat ibu yang satu ini. Banyak orang yang meyakini bahwa dengan kondisi demikian, Trish tak akan bisa melakukan apa-apa. Namun Trish berusaha untuk membuktikan bahwa anggapan orang tentangnya tidaklah benar. Ia dengan telaten menunjukkan bahwa sekalipun tidak sempurna, ia bisa melakukan semuanya dengan baik. Trish bahkan rela menata tempat tidur dan mengganti popok anak-anaknya dengan mulut.
"Aku adalah ibu yang cacat dengan tangan yang tak bisa berfungsi dengan baik. Semua orang berpikir aku tak akan bisa melakukan apa-apa. Namun kita semua belajar menyelesaikan masalah dengan cara yang berbeda-beda," ujar wanita ini. "Sejak bayi, semua kulakukan dengan mulutku.
Mungkin kelihatannya itu sulit. Kita harus mencoba
berbagai cara, namun pasti ada cara untuk
melakukannya," kata Trish optimis.
Trish adalah istri dari Pete, 33 tahun, dan ibu dari 2
orang anak. yang masih kecil. Ia sering
menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Namun
wanita ini masih bisa menyiapkan sarapan dan
mengganti popok anak-anaknya dengan mulutnya.
Ia mengakui apapun bisa masuk ke mulutnya tanpa sengaja selagi ia melakukan hal tersebut. Namun apalah artinya semua itu bagi seorang Trish selama ia bisa menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anaknya. Dengan kursi roda maticnya, ia bisa
membawa anak-anaknya bepergian dengan ceria.
Anak-anak beruntung ini memiliki seorang ibu
dengan kasih sayang dan tekad yang luar biasa.
seorang tukang becak yang tinggal di Tianjin, China. Usianya tidak lagi muda, setiap hari dia menarik becak di kotanya. Pekerjaannya tidak menghasilkan banyak uang, bahkan Bai Fang Li termasuk dalam keluarga miskin yang tinggal di gubuk sederhana. Pakaian yang digunakan sangat lusuh, untuk makanpun, Bai Fang Li harus mencari makanan sisa di tempat sampah. Tapi tahukah Anda, penarik becak yang miskin ini telah menyumbang lebih dari $ 53.000 atau sekitar Rp 500 juta untuk anak-anak miskin.
Jumlah yang sangat besar bukan? Uang itu bisa
saja dipakai Bai Fang Li untuk menghidupi dirinya
sendiri, tetapi dia memilih untuk sedikit demi sedikit
membantu sebuah yayasan yatim piatu yang
mengasuh 300 anak tidak mampu. Saat matahari
baru muncul Bai Fang Li sudah menarik becak dan bekerja. Saat malam mulai dingin, dia pulang ke
rumah dan menyisihkan penghasilannya sedikit
demi sedikit untuk yayasan tersebut. Sebenarnya
apa yang membuat Bai Fang Li rela menyerahkan
hasil kerja kerasnya pada orang lain yang tidak dia
kenal? Pada tahun 1986, Bai Fang Li melihat seorang anak sekitar 6 tahun yang membantu ibu-ibu mengangkat belanjaannya di pasar. Setelah diberi uang, anak itu tetap saja mencari makan dengan mengumpulkan sisa-sisa makanan dari tempat sampah. Saat Bai Fang Li bertanya mengapa anak itu tidak membeli makanan dari hasil kerjanya, sang anak mengatakan bahwa dia akan memakai uang itu untuk membeli makanan untuk dua adiknya, karena orang tua mereka tidak diketahui keberadaannya. Sejak saat itu, hati Bai Fang Li terketuk untuk melakukan cara yang sama. Dia selalu menyisihkan penghasilannya yang tidak seberapa untuk disumbangkan.
Tahun demi tahun berlalu. Pada tahun 2001, usia
Bai Fang Li sudah lebih dari 90 tahun. Tubuh tuanya sudah tidak sanggup lagi bekerja dan menarik becak. Dengan tubuh ringkih, Bai Fang Li
menyerahkan sisa uang terakhir yang bisa dia
sumbangan pada yayasan. Uang tersebut berjumlah $ 80 atau sekitar Rp 712.000. Saat itu, Bai Fang Li mengatakan, "Saya sudah terlalu tua dan lemah untuk menarik becak. Saya tidak bisa lagi memberi sumbangan secara rutin. Mungkin ini adalah sumbangan terakhir yang bisa saya berikan," Semua guru dan staf yayasan menangis menerima sumbangan itu. Mereka tahu bahwa bukan hal yang mudah bagi seorang tukang
becak setua Bai Fang Li untuk mengumpulkan
uang-uang itu. Dari catatan keuangan yayasan,
terhitung bahwa sejak pertama kali memberi
sumbangan, Bai Fang Li sudah memberi hampir Rp 500 juta untuk yayasan tersebut.
Pada tahun 2005, Bai Fang Li menghembuskan
napas terakhir karena terserang kanker paru-paru.
Semua anak yang pernah dibantu mengantar
kepergian pria baik hati ini dengan tangis haru.
Kebaikan hati Bai Fang Li menjadi contoh nyata
bahwa kemiskinan bukanlah penghalang bagi seseorang untuk berguna bagi orang lain. "Sebuah
cinta luar biasa dari sosok yang luar biasa" itulah isi tulisan yang mengiringi kepergian Bai Fang Li. Satu kebaikan akan menghasilkan buah kebaikan
yang lain. Anak-anak yang dulu dibantu oleh Bai
Fang Li dan telah dewasa meneruskan kebaikan hati pria tua itu untuk selalu membantu anak-anak lain yang kekurangan.
mengalami cacat tubuh akibat ledakan besar di pabrik kembang api tempat mereka dulu bekerja
tahun 2001 di Guizhou, Cina. Dilansir dari dailymail.co.uk, sejak saat itu Mr. Chen beralih profesi jadi seniman jalanan dengan membuat karya kaligrafi. Karena ia sudah kehilangan sebelah tangannya, bukan hal mudah baginya untuk menulis. Ia pun menggunakan kepalanya untuk membuat karya kaligrafi yang berisi puisi-puisi klasik. Dari hasil penjualan karya kaligrafi tersebut, Mr. Chen ingin bisa membiayai biaya sekolah kedua anaknya hingga tinggi. Putranya saat ini duduk di bangku SMP. Sementara putrinya sudah kuliah dan tinggal terpisah.
Chen menggunakan kuas yang diikatkan di
topinya. Kemudian ia tengkurap menghadap kertas
yang akan ia tulisi. Agar kertas tersebut tak terbang
tersapu angin, ia gunakan batu sebagai penahan.
Seni kaligrafi kuno memang masih banyak dibuat
oleh masyarakat Cina dan telah berusia lebih dari 2.000 tahun. Sungguh besar sekali perjuangan Mr. Chen demi tetap bisa membiayai sekolah anak-anaknya. Seorang ayah pasti akan melakukan yang terbaik demi keluarga dan kesejahteraan buah hatinya. Setiap tetes keringat ayah menjadi bukti cintanya pada kita sebagai anak.
Di Negeri Bunga Sakura tersebut, sedang terjadi
perubahan cuaca ekstrim. Badai salju menerpa
Jepang Utara beberapa hari ini. Di balik peristiwa
tersebut, sebuah peristiwa menyayat hati terjadi.
Seorang ayah kehilangan nyawa demi melindungi putrinya dari badai salju. Berita ini dilansir Huffingtonpost.
Seorang nelayan bernama Mikio Okada berusia 53
tahun ditemukan tewas membeku karena melindungi putrinya yang bernama Natsune. Sang ayah melindungi putrinya yang masih berusia 9 tahun dari badai salju yang sangat dingin. Saat badai salju dingin itu datang, Mikio dalam perjalanan pulang ke rumah bersama Natsune. Insting melindungi membuat Mikio melindungi putrinya terlebih dahulu. Karena mereka berdua tidak kunjung sampai ke rumah, keluarga mereka meminta bantuan tim penyelamat. Saat ditemukan, Mikio dinyatakan meninggal dunia dan membeku dalam kondisi sedang memeluk putrinya. Sementara itu, Natsune dalam kondisi sedang memakai jaket milik ayahnya. The Japan Times melaporkan bahwa kondisi Natsune baik-baik saja walaupun harus dirawat di rumah sakit. Saat berita ini diturunkan Huffingtonpost, kondisi Natsune sudah lebih baik.
Dengan meninggalnya sang ayah, Natsune menjadi yatim piatu. Dua tahun lalu ibunya meninggal, sehingga sosok ayahnya sangat berarti. Para tetangga mengatakan bahwa Mikio adalah ayah yang sangat baik dan penyayang. Nelayan itu rela terlambat bekerja demi bisa menikmati sarapan bersama putrinya. Yang lebih mengiris hati, Mikio meninggal tepat di Hari Anak Perempuan. Di Jepang, perayaan ini sangat ditunggu-tunggu. Setiap rumah yang memiliki
anak perempuan akan menyusun boneka-boneka di dalam rumah. Bahkan, Mikio sudah memesan kue untuk merayakan Hari Anak Perempuan bersama putrinya.
bagi seorang yang punya harta sekalipun. Apalagi
bagi anak berusia 9 tahun, Huang Doudou. Ini
adalah kisah nyata yang pernah diulas oleh
Dailymail. Bagaimana seorang anak di bawah umur
harus membantu orang tuanya membiayai keluarga. Mungkin Anda sudah banyak melihat anak-anak yang bekerja untuk membantu orang tua mereka meski usia mereka masih sangat kecil. Namun dapatkah Anda membayangkan seorang anak gadis yang belum sampai 10 tahun sudah harus bekerja dalam bingar kelab malam sebagai penari selama empat malam dalam seminggu? Itulah yang dilakukan oleh Huang Doudou untuk
membantu ekonomi keluarganya. Saat teman-
temannya sedang enak tidur di kasur yang empuk
dan hangat, mungkin Huang Doudou sedang sibuk
merias wajahnya sebelum tampil menari di depan
tamu kelab malam di dekat rumahnya di Urumqi, Mongol.
Huang tampil menggunakan baju menari, sepatu hak tinggi dan riasan wajah yang tebal dan emnor.
Sangat tidak sesuai dengan anak seusianya yang
bahkan belum terlalu mengenal makeup. Huang
yang pemberani berkata, "Mungkin ini lucu, namun
aku belum selesai melakukan pekerjaanku hingga jam 11 malam dan setelahnya aku masih harus
mengerjakan PR untuk sekolah keesokan harinya." Untuk pekerjaan ini, ia dibayar sekitar £80 sebulan
atau sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Ia harus menari
Latin di depan orang-orang dewasa hingga malam
hari tiba dan mendapatkan uang tersebut untuk bisa membantu perekonomian keluarganya yang
memprihatinkan. "Aku senang menari dan kadang aku mendapatkan uang tip yang bisa kugunakan
untuk membayar tagihan. Kadang aku lelah, namun ini adalah pekerjaan yang baik," ujar Huang polos.
Ibu Huang mengalami cacat sejak sebuah
kecelakaan merenggut kemampuan kakinya. Sang
ayah pun menderita radang perut yang parah
sehingga tidak bisa mencari pekerjaan. Gadis kecil
ini pun punya mimpi sederhana. Ia sangat ingin
nonton bioskop. Suatu hari, ibu Huang memenangkan tiket nonton bioskop dan mereka
sangat antusias hendak menggunakan tiket
tersebut. Sayangnya, ketika mereka sempat
menggunakan tiket tersebut, tiket mereka sudah
kadaluwarsa.
Yang diinginkan Huang mungkin bisa kita wujudkan sekejap saja dengan uang yang kita miliki. Meski masih kecil, namun Huang memiliki jiwa seperti orang 20-an tahun yang sudah mencari nafkah untuk hidup. Hal ini memberi pelajaran pada kita bahwa meski hidup ini tak benar-benar mudah dan indah, namun jangan berhenti berusaha membuatnya menjadi mudah.
Seorang pria yang bukan guru, berusia 40 tahun, bernama Rajesh Kumar Sharma, dengan kondisi seadanya membawa impian-impian para muridnya. Pak Rajesh sebenarnya adalah seorang pemilik toko di New Delhi. Namun setiap 2 jam sehari, dia meninggalkan toko untuk menuju ke sekolah. Jangan membayangkan gedung sekolah, ruang
kelas atau pun murid berseragam. Tidak ada
bangku, tidak ada papan. Hanya pilar-pilar jembatan yang senantiasa dilalui angin dan bisingnya jalanan, serta dinding yang dicat hitam sebagai papan. Kelas ini berada di bawah jembatan, dihadiri oleh anak- anak usia 4-12 tahun yang ingin belajar. Mereka belajar pada Pak Rajesh Kumar secara gratis. Bahkan pria itu sudah menjalani kegiatan ini selama beberapa tahun.
Rajesh Kumar sudah pernah mengajar 140 anak dan 70 di antaranya sudah bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang seharusnya. Meski begitu, mereka masih sering datang ke sana untuk belajar pada Pak Rajesh Kumar. Mengapa Pak Kumar masih sempat memikirkan mereka? Mengapa ia tidak memikirkan bayaran atas
semua yang telah dilakukannya untuk masa depan
anak-anak tersebut? Mungkin bila kita tidak mengalami kesulitan atau keterbatasan, kita tak tahu betapa berharganya sesuatu yang bisa kita nikmati sekarang. Pak Rajesh Kumar pernah merasakan sedihnya ketika impiannya harus terhambat masalah uang sehingga ia harus keluar dari sekolah bisnis di tahun ketiga. Ia tak ingin orang lain merasakan hal yang sama, oleh karena itu ia berani melakukan semua ini. Ia melihat anak-anak kecil yang miskin ini menghabiskan waktu bermain di lumpur dan tidak menggunakan kesempatan ini untuk belajar.
Ia sempat berdebat dengan para orang tua anak-
anak miskin ini yang lebih ingin anak-anaknya
bekerja daripada pergi ke sekolah. Pak Rajesh
Kumar meyakinkan bahwa pendidikan itu lebih
bernilai. "Guru kami mengatakan bahwa ketika
kemiskinan menyerangmu, kau harus membuka pikiran dan semua itu hanya bisa dilakukan dengan
menempuh pendidikan," ujar salah satu muridnya.
Pak Rajesh Kumar tidak mengecek absensi, ia juga
tidak mengatur sebagaimana sekolah pada
umumnya. Namun inilah yang membuat pada murid kembali padanya. Ia menyadari bahwa pemerintah tak mungkin membangun sekolah di tempat itu sekarang. Namun ia memiliki impian untuk memiliki sekolah kecil di mana anak-anak bisa belajar. Pak Rajesh Kumar menyadari tidak semua orang beruntung dalam pendidikan, tidak semua orang ingin pendidikan. Namun ia percaya ada jalan untuk mendaki dari ketidak beruntungan itu dan bahwa semua orang butuh pendidikan, butuh belajar. Anak-anak yang lugu itu tadinya tak mengerti banyak mengenai pentingnya belajar, tapi pada akhirnya mereka menyadari bahwa mereka
membutuhkannya.
hidup? Atau sering uring-uringan karena gaji tidak
kunjung naik? Lihatlah hidup nenek ini. Usianya
sudah 70 tahun lebih, tetapi terpaksa bekerja
mengangkat galon-galon air mineral yang sangat
berat. Kami yakin, di antara pembaca yang masih muda, mengangkat galon air adalah hal yang berat. Lebih baik meminta bantuan orang lain daripada mengangkat sendiri galon air minum.
Silakan bayangkan bagaimana jadinya seorang
wanita tua harus mengangkat galon-galon air setiap hari. Inilah kisah nyata yang terjadi di Distrik
Shijingshan Beijing, China. Nama wanita ini adalah
Gao Meiyun, dia seorang janda yang tinggal
bersama anaknya yang lumpuh dan cucunya yang sakit. Pada tahun 2008, sang cucu mengalami
kecelakaan dan harus mendapat operasi pada
kedua kakinya. Otomatis, Gao Meiyun berhutang
pada banyak pihak untuk biaya operasi. Hari demi
hari dihabiskan untuk bekerja keras melunasi hutang tersebut, sekaligus mencukupi kebutuhan sehari- hari. Selama bertahun-tahun, Gao Meiyun
mengantar dan mengangkat sendiri galon air
pesanan pelanggan dalam kondisi cuaca seburuk
apapun.
Dengan berat badan yang hanya 38 kg, Gao Meiyun harus mengangkat galon air yang masing-masing bisa mencapai 20 kg. Pekerjaan ini terpaksa dilakukan karena hanya inilah cara yang bisa ditempuh Gao Meiyun untuk mendapatkan uang dan membiayai pengobatan anaknya. Anaknya sendiri tidak dapat bekerja karena masalah kesehatan yang diderita. Karena bertahun-tahun menjadi pengantar galon air, tubuh Gao Meiyun semakin membungkuk. Selain itu, dia mulai menghadapi masalah kesehatan, Gao Meiyun sering mengalami batuk parah, terlebih saat cuaca buruk datang
Dengan pendapatan yang pas-pasan dan dipotong
untuk hutang, Gao Meiyun dan anak cucunya
tinggal di kamar sempit tanpa adanya jendela atau
ventilasi. Ruang yang sempit itu juga dipenuhi botol-botol galon. Kehidupan Gao Meiyun mendapat simpati dari masyarakat sekitar, mereka sering membantu memberi uang, tetapi jumlah itu tetap tidak cukup untuk melunasi hutangnya. Beruntung, berita yang tentang Gao Meiyun membuat pemerintah China mengucurkan dana bantuan hidup setiap bulan, tetapi tidak termasuk biaya pengobatan. Bantuan beasiswa untuk cucu Gao Meiyun juga diberikan.
Jawaban doa itu bisa iya, bisa tidak, atau.. Tuhan
punya rencana yang lebih baik untuk umat-Nya,
seperti dalam kisah berikut ini.
Di sebuah pinggir kota, hidup seorang nenek yang
hidup seorang diri. Untuk dapat menyambung hidup, nenek tersebut berjualan tempe setiap hari. Pada suatu hari, sang nenek terlambat memberi ragi, sehingga tempe tidak matang tepat pada waktunya. Saat daun pisang pembungkus tempe dibuka, kedelai-kedelai masih belum menyatu. Kedelai tersebut masih keras dan belum menjadi tempe. Hati sang nenek mulai menangis. Apa yang harus dilakukan? Jika hari ini dia tidak bisa menjual tempe tersebut, maka dia tidak akan dapat uang untuk makan dan membeli bahan tempe untuk esok hari. Dengan air mata yang masih mengalir, sang nenek mengambil wudhu lalu salat Subuh di rumahnya yang sangat kecil dan memprihatinkan.
"Ya Allah, tolong matangkan tempe-tempe itu.
Hamba-Mu tidak tahu harus berbuat apalagi untuk
menyambung hidup dengan cara yang halal. Hamba tidak ingin menyusahkan anak-anak hamba. Kabulkan doa hamba-Mu yang kecil ini ya Allah.." demikian doa sang nenek dengan linangan air mata.
Setelah selesai salat Subuh, sang nenek membuka
daun pisang pembungkus tempe, tidak ada satupun yang matang. Keajaiban belum datang, doanya belum dikabulkan. Tetapi sang nenek percaya jika doanya akan terkabul, sehingga dia berangkat ke pasar saat matahari belum bersinar, mengejar rezeki dengan menjual tempe. Sesampai di pasar, sang nenek kembali membuka
pembungkus tempe. Masih belum matang. Tak apa, nenek tersebut terus menunggu hingga matahari bersinar terik. Satu persatu orang yang berbelanja berlalu lalang, tetapi tak ada satupun yang mau membeli tempe sang nenek. Matahari terus bergerak hingga para pedagang mulai pulang dan mendapat hasil dari berjualan. Tempe dagangan penjual lain sudah banyak yang
habis, tetapi tempe sang nenek tetap belum matang. Apakah Tuhan sedang marah padaku?
Apakah Tuhan tidak menjawab doaku? Begitulah
rintihan hati sang nenek, air matanya kembali
mengalir.
Tiba-tiba, ada seorang ibu yang menghampiri sang
nenek. "Apakah tempe yang ibu jual sudah matang?" tanya sang pembeli.
Sang nenek menyeka air mata lalu menggeleng,
"Belum, mungkin baru matang besok," ujarnya.
"Alhamdulillah, kalau begitu saya beli semua tempe
yang ibu jual. Daritadi saya mencari tempe yang
belum matang, tetapi tidak ada yang menjual. Syukurlah ibu menjualnya," ujar sang pembeli
dengan suara lega.
"Kenapa ibu membeli tempe yang belum matang?"
tanya sang nenek dengan heran. Semua orang
selalu mencari tempe yang sudah matang.
"Anak laki-laki saya nanti malam berangkat ke Belanda, dia ingin membawa tempe untuk oleh-oleh karena di sana susah mendapat tempe. Kalau
tempe ini belum matang, maka matangnya pas saat anak saya sampai ke Belanda," ujar sang ibu
dengan wajah berbinar. Inilah jawaban atas doa sang nenek. Tempe-tempe itu tidak langsung matang dengan keajaiban, tetapi dengan jalan lain yang tidak dikira-kira.
pengamen yang kebetulan selalu muncul di jam-jam yang sama, di atas bis yang mengantarku pulang setiap malam. Aku baru bekerja 3 bulan ini, dan baru 3 bulan pula rutin melintasi jalan ini dengan rute bis yang sama. Pengamen ini segera menarik perhatianku, karena walaupun bibirnya menghitam kelam karena rokok dan celana serta bajunya nampak usang, dia berusaha tampil bersih dan rapi. Lagu-lagunya tak pernah cemen, dan dinyanyikan dengan lantang tak merayu. Satu lagi, sorot mata itu.. tajam dan kuat.
Suatu kali, bis setengah kosong dan karena itu dia
punya waktu luang untuk sekedar duduk menanti
pemberhentian berikutnya. Aku beruntung dia duduk di dekatku, dan aku memulai percakapan. Beberapa kali bertemu dalam satu minggu selama berbulan- bulan membuatku tidak sulit untuk mulai menyapanya. Aku membicarakan tempat
pemberhentian berikutnya, jalur bis yang dia
tumpangi, cuaca dan hal-hal ringan lainnya. Tapi
sepertinya orang ini tahu aku menganggapnya tidak biasa, dan dia tidak keberatan untuk membuka sedikit cerita masa lalunya. "Aku dulu tentara." Dia memulai cerita dengan tiga kata yang membuatku paham mengapa tampilannya berbeda dari pengamen pada umumnya. Sejak remaja, dia sudah menunjukkan bakat menembak yang luar biasa. Bersama teman dan pamannya dia
sering berburu ke hutan, mengasah ketepatan bidikan demi bidikan. Namun dia sendiri tidak
pernah membunuh hewan dengan berlebihan. Setiap hewan buruan dia pastikan tidak tersia-sia dengan menjadikannya bahan makanan. Tibalah kesempatan untuk menyalurkan bakatnya
guna melindungi orang lain ketika ada tawaran untuk menjadi tentara. Segera setelah selesai masa pendidikan dia menjadi sniper ulung. Negara
mengirimnya ke medan perang; dan di sinilah dirinya diuji.
Dia tidak pernah menembak orang, di medan peperangan pikirannya sangat kacau karena tidak
mau membunuh orang yang tidak bersalah.
Puncaknya adalah ketika dia harus menembak
seorang wanita yang sedang berjalan di dekat anak kecil. Dia tidak bisa melakukannya. Wanita itu tidak melakukan apa-apa, dan ada anak kecil bersamanya. Matanya basah karena air mata dan
karena itu dia tidak bisa membidik dan akhirnya
menolak untuk menembak. Segera dia dibebastugaskan, menjalani hukuman karena menolak perintah dan masuk daftar hitam
sehingga tidak bisa mendapatkan pekerjaan di mana pun. "Aku tidak menyesal.. Sampai hari ini pun aku tidak menyesal," jawabnya ketika kutanya
bagaimana perasaannya sekarang. "Aku ingin melindungi orang, bukan membunuhnya. Sekarang
aku tidak punya tempat tinggal dan makan dari
mengamen, tapi aku masih bisa hidup dengan cara
seperti ini. Jika dulu aku menembak wanita tak
bersalah itu, aku tidak akan bisa hidup lagi. Aku
yakin." Aku termangu mencerna kalimat-kalimat
terakhirnya. Bagi sebagian orang hidup di jalanan
dan tidak bertempat tinggal adalah akhir dari hidup.
Mungkin lebih baik mati daripada menjalani hidup
yang demikian. Banyak orang memilih lebih baik
mengambil kehidupan dan kebahagiaan orang lain agar bisa tetap hidup enak dan terhormat.
Pengamen ini membuktikan dirinya jauh lebih mulia
dari banyak orang.
perut yang sangat lapar, seekor gagak nekat
mengambil sepotong roti yang tersisa di dapur
manusia. Gagak tersebut menggigit erat roti lalu
terbang tinggi sebelum dilempari batu karena telah
mencuri. Gagak tersebut berhenti di sebuah dahan pohon dan bermaksud menikmati roti tersebut di sana. Tanpa diketahui oleh gagak, ada seekor rubah yang melihat roti yang belum dimakan oleh sang gagak. Rubah tersebut juga kelaparan dan merancang ide licik untuk mengambil roti tersebut. "Hai, gagak.." ujar rubah bermanis-manis kata. "Apa yang bisa aku berikan padamu agar kau mau
memberikan roti tersebut padaku?"
Sang gagak mulai merasa ada yang aneh, dia
berpikir kalau sang rubah pasti hendak mengambil
roti miliknya. Gagak menggigit rotinya lebih erat. Rubah licik tak kehabisan akal, "Hai sobat, apa
kabar?" Gagak tetap diam karena sedang menggigit rotinya.
"Aku dengar.. gagak adalah burung yang sangat
menawan, dan baik hati," ujar rubah dengan nada
yang bersahabat dan meyakinkan. "Aku juga sering
mendengar bahwa gagak memiliki suara yang merdu dibandingkan burung-burung yang lain. Aku ingin sekali mendengar nyanyian merdumu, sobat!" Sang gagak merasa tersanjung dengan pujian
tersebut. Dia berpikir bahwa rubah ternyata memiliki kemampuan untuk melihat kecantikan yang sesungguhnya saat banyak yang menghina suara para gagak.
Tanpa pikir panjang, gagak membuka paruhnya dan mulai bernyanyi. Roti yang digigit erat jatuh dan dengan sigap rubah menangkap roti kemudian kabur. Sang gagak akhirnya menyadari kesalahannya dengan memercayai kata-kata rubah. Mulai saat itu dia mendapat pelajaran bahwa terlalu cepat tersanjung adalah hal yang harus diwaspadai.
Kebetulan si merak tinggal di sebuah pohon yang
terletak di pinggiran sungai tempat si kura-kura
tinggal. Setiap hari kura-kura bertemu dengan merak yang turun untuk minum dan melenggak-lenggokkan sayap-sayapnya di pinggir sungai untuk menghibur kura-kura. Di suatu hari yang kurang beruntung, penangkap burung liar sedang berkeliaran di sekitar tempat tinggal mereka, dan segera tertarik pada burung merak cantik itu. Burung merak tertangkap dan dibawa ke pasar untuk dijual.
Dalam perjalanan menuju pasar, burung merak memohon pada penangkapnya untuk diijinkan kembali sejenak guna mengucapkan selamat tinggal pada sahabat baiknya. Oleh karena jeram kura-kura belum jauh mereka tinggalkan, maka si penangkap mengabulkan permintaan merak dengan membawanya kembali ke tempat kura-kura. Kura-kura nampak masygul memikirkan sahabatnya yang tertangkap. Begitu melihat si penangkap burung datang lagi dengan sahabatnya, kura-kura segera berpikir cepat untuk membebaskan merak dalam waktu yang singkat itu.
Kura-kura bertanya pada si penangkap burung, jika kura-kura bisa memberikan barang spesial untuknya, apakah dia akan melepaskan sahabatnya. Tanpa pikir panjang si penangkap burung mengiyakan tawaran si kura. Maka menyelamlah kura-kura ke dasar sungai dan membawa naik mutiara yang sangat indah. Penangkap burung segera terkesima dan dengan mudah melepaskan burung merak itu. Segera si penangkap burung pergi ke kota untuk menjual mutiaranya. Tapi tak lama kemudian penangkap burung itu kembali lagi menemui kura-kura. Dia mengancam kura-kura, memintanya menemukan mutiara lagi yang sama persis dengan mutiara pertama. Jika tidak, dia akan menangkap kembali merak, sahabat baiknya itu. Si kura-kura yang telah meminta merak untuk pergi ke hutan guna menyelamatkan dirinya, merasa harus memberi pelajaran pada orang tamak ini.
Maka kura-kura pun menyanggupi permintaan si
penangkap burung dan berkata, "baiklah, berikan
mutiara itu padaku sehingga aku bisa mencari yang sama persis sambil menyelam di dasar sungai". Terbayang keuntungan yang akan diraihnya, penangkap burung menyerahkan mutiaranya. Segera setelah memasuki sungai, kura-kura berseru padanya, "Aku tidak bodoh untuk memberimu dua mutiara dengan cuma-cuma!". Kura-kura menyelam dan berenang menjauhi tepi sungai sementara penangkap burung itu hanya bisa bingung tidak bisa mengejar si kura-kura dan tidak pernah mendapatkan kembali baik mutiara maupun merak tangkapannya.
beliau akrab dipanggil. Kami tinggal di sebuah
kampung di sudut Jawa Timur, di mana teknologi
bukan suatu hal yang asing lagi. Yah, setidaknya
hampir setiap remaja sudah mengenal apa itu
Facebook. Pun demikian, masih banyak jalan yang rusak dan dusun-dusun kecil yang belum terjamah
tangan ramah pemerintah. Dan sekolah-sekolah
yang dindingnya sudah banyak yang retak atau pipa PDAM yang bocor dan menggenangi jalan. Namun, ya sudahlah. Biarkan para bapak di atas itu bekerja dan mewujudkan semua janji-janjinya terlebih dahulu.
Kembali ke sosok Abah Nur. Perawakannya kecil,
dan cenderung kurus. Dengan kulit yang cokelat
kehitaman dan beberapa noda akibat terjemur sinar matahari terlalu lama. Rambutnya yang putih hanya sebagian saja menutupi kepalanya, untuk itu Abah Nur kerap mengenakan kopyah hitam yang
senantiasa menemaninya. Sekalipun berperawakan kecil, Abah Nur ini tak kalah dengan tokoh Hulk, lho. Yah, setidaknya itu gambaranku tentangnya. Benar saja, sosok yang setiap hari menarik gerobak berwarna kuning ini jarang terlihat lelah dan muram. Malah, ia seringkali menyapa dengan riang mereka yang kebetulan sedang berada di depan teras rumah saat ia mengais sampah dan memasukkan ke gerobaknya. Sayangnya, tak semua orang membalas dengan ramah sapaan Abah Nur ini. Malah menurut kasak kusuk yang sedang beredar, ada yang bilang kalau Abah Nur ini tak sopan dan bertindak genit saat menyapa. Astagfirullah... Yah, begitulah nuansa hidup di kampung. Kanan kiri tak luput dari gosip tak sedap. Setiap hari ada saja kasak kusuk yang tersebar dari mulut ke mulut. Namun aku dan keluargaku percaya bahwa Abah Nur bukan sosok yang seperti itu. Apalagi ayahku seringkali berbincang dengannya. Menurut ayah,
malah Abah Nur ini sosok yang sangat rajin bekerja, dan tak pernah lupa akan shalat-nya. Ia selalu optimis terhadap hidup. Rajin mengaji, dan
melaksanakan setiap perintah Allah tanpa mengeluh. Kurasa, hanya orang-orang yang iri saja
yang kemudian berpikiran negatif tentangnya.
Aku sendiri sebenarnya tak terlalu akrab dengan
Abah Nur, karena aku lebih sering menghabiskan
waktu di kampus dengan segala kegiatanku. Namun aku memang kerap melihatnya di surau dekat rumahku. Katanya sih, ia juga bekerja
membersihkan dan menjaga surau di sela
aktivitasnya mengangkut sampah menuju TPA.
Belakangan ini aku tahu dari ibu, bahwa Abah Nur
ini berkeinginan untuk berangkat haji. Dan katanya
ia sudah punya cukup tabungan untuk mewujudkan niatnya ini. Kontan saja beberapa tetangga
meremehkan dan su'udzon padanya. Ada yang
bilang bahwa ia telah mencuri barang kemudian
menjualnya, atau telah menipu seseorang. Tentu
saja hal ini tak terbukti, karena para tetua di
kampung tahu bahwa Abah Nur seseorang yang jujur. Banyak orang mendukung niat Abah Nur,
termasuk keluargaku. Ayahku berjanji membantu
mengurus keberangkatan Abah Nur, dan menambah beberapa jumlah uang untuk keperluan Abah Nur sekembalinya dari Tanah Suci.
Sungguh aku terharu dan menitikkan air mata, saat aku tahu Abah Nur sudah menabung seumur hidup
demi niatan sucinya itu. Ia juga rajin memisahkan
sampah yang hendak dibuangnya, dari sampah
basah, kertas, dan plastik. Beberapa sampah yang
menghasilkan uang ia jual dan ditabung. Ia selalu
bangun lebih awal untuk membersihkan surau dan pulang paling akhir untuk menutup pintu surau. Abah Nur, semangatmu akan kuingat selalu.
Berhasil masuk di sebuah gerbong, ternyata saya harus rela berdiri di kerumunan orang. Terbayang
perjalanan panjang yang akan saya tempuh, sampai di kota tujuan saya pasti sudah loyo dan penuh keringat. Betapa menjengkelkannya hari itu. Beberapa saat kemudian kereta sudah mulai melaju, dan seorang lelaki tua terlihat berlari-lari mengejar kereta. Sayapun akhirnya mengulurkan tangan, karena saya tahu ia bisa ketinggalan kereta. Ia meraih tangan saya dan bergegas melompat ke dalam kereta. Sayangnya sebelah sepatunya tertinggal karena saking terburu-burunya.
Sampai ke dalam kereta ia bergegas melepas sepatu yang satunya lagi, dan melemparkan keluar. Sayapun terkejut, "Lho, Pak. Kok dilempar?"
"Sepatu saya sudah tua nak, sudah usang tapi
masih kuat dan baik untuk dipakai. Daripada saya
memakai satu sepatu saja, lebih baik sepasang
sepatu itu dipakai orang yang lebih membutuhkan," katanya dengan tersenyum.
Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena saya
telah menolongnya. Dan sepanjang jalan saya tak
henti-hentinya mengamati gurat wajah bahagia
seorang bapak tua, yang sepertinya juga bukan
orang kaya ini. Saya kagum, bahkan orang sepertinya masih ingat berbagi dengan sesama.
Sebuah renungan yang tentunya sangat berarti bagi saya. Terima kasih, Pak.