It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Malam itu aku menelepon ibu dan mengajaknya makan malam diluar dan menonton berdua. Ibu seolah tak percaya ajakanku. “Nggak salah? Apakah kau baik-baik saja?” Tanya ibu padaku. “Iya Bu, kita akan pergi berdua saja,” jawabku.
Sepulang dari bekerja aku langsung menuju kerumah ibu. Dalam perjalanan kerumah ibu, aku merasa sedikit tegang. Aku tahu ketegangan ini
disebabkan karena aku tidak pernah pergi berdua dengannya.
Setiba didepan rumah, ibu sudah menunggu didepan pintu. Ibu menata rambutnya seindah mungkin dan ia mengenakan gaun yang dulu dikenakannya pada ulang tahun terakhir
pernikahannya. Ia tersenyum sambil berkata, “Aku
mengatakan kepada teman-temanku bahwa aku akan pergi makan dan menonton dengan
anak laki-lakiku.” Ibu mengatakan itu sambil berjalan ke mobilku.
Setiba di restoran, kami terlibat dalam perbincangan yang sangat menyenangkan. “Aku ingat saat-saat makan di restoran seperti ini, ketika kamu masih kecil dulu,” kata Ibu tersenyum
sambil membaca daftar menu yang disediakan. Dalam perjalanan pulang, ibu berkata kepadaku, “Aku ingin pergi lagi bersamamu seperti malam, ini tetapi itu pun kalau engkau bersedia.”
Beberapa hari kemudian ibu meninggal dunia karena serangan jantung. Tak lama setelah itu, aku menerima sebuah amplop berisi kwitansi dari
restoran tempat kami makan malam sebelumnya. Ada catatan kecil yang ibu tuliskan disana , “Aku sudah membayar tagihan ini. Aku tidak yakin apakah aku masih berumur panjang, namun demikian aku tetap membayar untuk dua orang. Satu untukmu dan satu lagi untuk isterimu. Engkau tidak akan pernah tahu betapa berartinya malam itu bagiku. Aku mengasihimu anakku.”
“Waduhhh,memalukan sekali aku ini, diusia tua kok tambah ngaco..”
Semua orang ramai tergelak tertawa, lalu sebentar kemudian, kami semua mulai menceritakan Saat-saat yang paling menyakitkan dimasa lalu dulu.
Gilirannya kini sampai pada Frank yang duduk terdiam mendengarkan kisah lain-lainnya.
“Ayolah Frank, sekarang giliranmu. Cerita dong, apa saat yang paling tak enak bagimu dulu.” Frank tertawa, mulailah ia berkisah masa kecilnya.
“Aku besar di San Pedro. Ayahku seorang nelayan, dan ia cinta amat pada lautan. Ia punya kapalnya sendiri, meski berat sekali mencari mata pencaharian di laut. Ia kerja keras sekali dan akan tetap tinggal di laut sampai ia menangkap cukup ikan untuk memberi makan keluarga. Bukan cuma
cukup buat keluarga kami sendiri, tapi juga untuk ayah dan ibunya dan saudara-saudara lainnya yang masih di rumah.”
Ia menatap kami dan berkata, “Ahhh, seandainya kalian sempat bertemu ayahku. Ia sosoknya besar, orangnya kuat dari menarik jala dan memerangi lautan demi mencari ikan. Asal kau dekat saja padanya, wuih, bau dia sudah mirip kayak lautan. Ia gemar memakai mantel cuaca-buruk tuanya yang terbuat dari kanvas dan pakaian kerja dengan kain penutup dadanya. Topi penahan hujannya sering ia tarik turun menutupi alisnya. Tak perduli berapapun ibuku mencucinya, tetap akan tercium bau lautan dan amisnya ikan.”
Suara Frank mulai merendah sedikit.
“Kalau cuaca buruk, ia akan antar aku ke sekolah. Ia punya mobil truk tua yang dipakainya dalam usaha perikanan ini. Truk itu bahkan lebih tua umurnya daripada ayahku. Bunyinya meraung dan berdentangan sepanjang perjalanan. Sejak beberapa blok jauhnya kau sudah bisa mendengarnya. Saat ayah bawa truk menuju sekolah, aku merasa menciut ke dalam tempat duduk, berharap semoga bisa menghilang. Hampir separuh perjalanan, ayah sering mengerem mendadak dan lalu truk tua ini akan menyemburkan suatu kepulan awan asap. Ia akan
selalu berhenti di depan sekali, dan kelihatannya setiap orang akan berdiri mengelilingi dan menonton. Lalu ayah akan menyandarkan diri ke depan, dan memberiku sebuah ciuman besar pada pipiku dan memujiku sebagai anak yang baik. Aku merasa agak malu, begitu risih. Maklumlah, aku sebagai anak umur dua-belas, dan ayahku menyandarkan diri kedepan dan menciumi aku selamat tinggal!”
Ia berhenti sejenak lalu meneruskan, “Aku ingat hari ketika kuputuskan aku sebenarnya terlalu tua untuk suatu kecupan selamat tinggal. Waktu kami
sampai kesekolah dan berhenti, seperti biasanya ayah sudah tersenyum lebar. Ia mulai memiringkan badannya kearahku, tetapi aku mengangkat tangan dan berkata, ‘Jangan, ayah.’ Itu pertama kali aku berkata begitu padanya, dan wajah ayah tampaknya begitu terheran.
Aku bilang, ‘Ayah, aku sudah terlalu tua untuk ciuman selamat tinggal. Sebetulnya sudah terlalu tua bagi segala macam kecupan.’ Ayahku memandangiku untuk saat yang lama sekali, dan matanya mulai basah. Belum pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Ia memutar kepalanya,
pandangannya menerawang menembus kaca depan. ‘Kau benar,’ katanya.
‘Kau sudah jadi pemuda besar……seorang pria. Aku tak akan menciumimu
lagi.’”
Wajah Frank berubah jadi aneh, dan air mata mulai memenuhi kedua matanya, ketika ia melanjutkan kisahnya. “Tidak lama setelah itu, ayah pergi melaut dan tidak pernah kembali lagi. Itu terjadi pada suatu hari, ketika sebagian besar armada kapal nelayan merapat dipelabuhan, tapi kapal ayah tidak.Ia punya keluarga besar yang harus diberi makan. Kapalnya ditemukan terapung dengan jala yang separuh terangkat dan
separuhnya lagi masih ada dilaut.Pastilah ayah tertimpa badai dan ia mencoba menyelamatkan jala dan semua pengapung-pengapungnya.”
Aku mengawasi Frank dan melihat air mata mengalir menuruni pipinya.
Frank menyambung lagi, “Kawan-kawan, kalian tak bisa bayangkan apa yang akan kukorbankan sekedar untuk mendapatkan lagi sebuah ciuman pada pipiku….untuk merasakan wajah tuanya yang kasar……untuk mencium bau air laut dan samudra padanya…..untuk merasakan tangan dan lengannya merangkul leherku. Ahh, sekiranya saja aku jadi pria dewasa saat itu. Kalau aku
seorang pria dewasa, aku pastilah tidak akan pernah memberi tahu ayahku bahwa aku terlalu tua ‘tuk sebuah ciuman selamat tinggal.”
Pada suatu hari semua karyawan perusahaan tersebut bergegas untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun kepada bosnya, semuanya telah pergi agak awal dengan tergesa-gesa. Malangnya, Nick tanpa sengaja terkurung dalam sebuah lemari es besar di kereta.
Nick dengan sekuat tenaga terus mengetuk lemari es dan berteriak, malangnya semua karyawan perusahaan itu telah pergi, sama sekali tidak ada orang yang bisa mendengarnya. Telapak tangan Nick sampai merah dan bengkak mengetuknya, dan kerongkongannya menjadi serak dan kering, namun tidak ada juga orang yang memperhatikannya, akhirnya ia hanya bisa kesal duduk di atas lantai lemari es meredakan napasnya. Semakin dipikirkan dia semakin takut, dalam hati berpikir: suhu lemari es hanya 0 F, jika tidak keluar juga, pasti bisa mati kedinginan dan kehabisan udara didalam. Lalu mau tidak mau dia dengan tangan yang gemetar, mencari pulpen dan
kertas, untuk menulis surat wasiat.
Pada hari kedua di waktu pagi, karyawan perusahaan mulai berdatangan masuk kerja. Mereka membuka lemari es, dan secara mengejutkan menemukan Nick jatuh pingsan di atas lantai. Saat mereka akan membawa Nick untuk diberikan pertolongan darurat, sudah tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Saat lemari es diperiksa, semuanya menjadi sangat terkejut, karena power pendingin lemari es tidak diaktifkan (lemari es tidak dinyalakan), lemari es raksasa ini juga memiliki oksigen yang cukup, yang lebih membuat orang merasa heran adalah, suhu dalam lemari hanya berkisar 61 F, namun di luar dugaan Nick menjadi mati (kedinginan)!
Sebenarnya, semangat barulah sumber kekuatan, yang benar-benar mengalahkan diri kita hanya perasaan kita sendiri. Apabila tekad telah hilang, berarti segalanya juga tiada lagi.
Sesudah mereka berdua bersimpuh didekat Ayah berbaring, sang Ayah pun menyatakan permintaannya kepada mereka : “Kalian berdua harus berjanji kepada Ayah……, bahwa setelah Ayah meninggal dunia nanti, kalian berdua harus menepati 2 pesan terakhir Ayah”. Sambil terisak tangis dan suasana hati yang tidak karuan, Sulung dan Bungsu pun hanya dapat manggut-manggut melihat kondisi Ayahnya yang semakin kritis.
Begini kira-kira kedua pesan Ayahnya itu:
“PERTAMA, kalian harus berjanji kepada Ayah, bahwa setelah Ayah meninggal nanti, kalian berdua TIDAK BOLEH MENAGIH PIUTANG kepada siapapun”. Tidak ada tindakan lain dari Sulung maupun Bungsu dalam menanggapi pesan PERTAMA Ayahnya itu selain mengatakan IYA KAMI BERJANJI dan menganggukkan kepala meski perasaan bingung menghinggapi kedua Anak tersebut.
“KEDUA, kalian berdua harus berjanji kepada Ayah, bahwa setelah Ayah meninggal nanti, kalian berdua TIDAK BOLEH TERKENA SINAR MATAHARI SECARA LANGSUNG”. Semakin bingung-lah mereka terhadap permintaan Ayahnya. Tetapi sekali lagi keadaan lah yang memaksa mereka berdua untuk mengatakan IYA KAMI BERJANJI dan menganggukkan kepala.
Akhirnya, sesuai dengan rencana sang Ayah pun meninggal dunia dengan tenang karena telah menyatakan pesannya kepada kedua Anaknya. Prosesi pemakaman pun berlangsung dan kehidupan harus terus berjalan, karena baik Sulung maupun Bungsu memiliki Wirausaha yang harus dijalankan sebagai sandaran hidup.
Hari berganti hari, Minggu berganti minggu, Bulan dan Tahun. Tidak terasa 5 tahun telah berlalu sejak kematian sang Ayah. Disinilah mulai tampak perbedaan yang sangat mencolok antara Sulung dan Bungsu. Sang Ibu sebagai orang di “Tengah” pun tanggap akan hal ini. Perbedaan yang paling nyata adalah soal EKONOMI / KEUANGAN. Sang Ibu merasa iba kepada nasib si-Bungsu yang ekonominya sangat amburadul dan boleh dikatakan mulai Gulung Tikar. Sebaliknya, sang Ibu pun bangga kepada nasih si-Sulung yang boleh dibilang sangat sukses dalam bidang ekonomi.
Tergelitik rasa penasaran, iba dan bangga yang bercampur jadi satu, sang Ibu pun mengunjungi si-Bungsu untuk menanyakan perihal nasibnya:
“Wahai Bungsu, mengapa nasib mu sedemikian malangnya anakku ???”.
Si Bungsu pun menjawab:
“Ini karena saya menuruti 2 pesan wasiat Ayah. PERTAMA, SAYA DILARANG MENAGIH PIUTANG KEPADA SIAPAPUN. Sedangkan teman, kolega, client, dll tidak berniat untuk mengembalikan hutang mereka jika tidak ditagih, sehingga lama-kelamaan habislah modal saya Ibu. KEDUA, Ayah melarang saya untuk KENA SINAR MATAHARI SECARA LANGSUNG, itulah sebabnya pergi dan pulang dari Toko, saya selalu menggunakan jasa Taxi, karena saya hanya memiliki sepeda motor, sehingga modal saya lama-kelamaan habis Ibu”.
Melihat malangnya nasih Bungsu, sang Ibu pun menghibur dengan mengatakan :
“ENGKAU MEMANG ANAK YANG BERBAKTI, KARENA ENGKAU MENJAGA JANJIMU KEPADA AYAH”.
Kemudian berkunjunglah sang Ibu ke kediaman Sulung. Kali ini suasana berubah 180 derajat. Si Sulung adalah orang yang kaya raya dan sangat makmur ekonominya. Penasaran, sang Ibu pun menanyakan perihal nasibnya :
“Wahai Sulung, mengapa nasibmu sedemikian beruntung anakku ???”.
Si Sulung pun menjawab: “Ini karena saya menuruti 2 pesan wasiat Ayah”.
Sang Ibu pun keheranan akan jawaban Sulung dan menanyakan dengan rasa penasaran yang tinggi,
“kok bisa begitu ???”.
Sulung pun menjawab :
“PERTAMA, SAYA DILARANG MENAGIH PIUTANG KEPADA SIAPAPUN, oleh karena itu SAYA TIDAK PERNAH MEMBERIKAN HUTANG KEPADA SIAPAPUN, sehingga modal saya tetap. KEDUA, SAYA DILARANG KENA SINAR MATAHARI SECARA LANGSUNG, karena saya hanya memiliki sepeda motor, maka saya berangkat ke Toko pagi-pagi benar sebelum matahari terbit, dan pulang dari Toko malam benar setelah matahari terbenam, sehingga SEMUA CUSTOMER SAYA TAHU BAHWA TOKO SAYA BUKA PALING PAGI & TUTUP PALING MALAM, sehingga Toko saya diserbu banyak pelanggan”.
Sang Ibu pun keheranan penuh kekaguman akan jawaban dari si-Sulung.
Tugas itu ternyata menyita sisa waktu pelajaran untuk diselesaikan, dan ketika para murid meninggalkan kelas, setiap orang menyerahkan hasilnya. Sabtu itu, sang guru menuliskan nama dari setiap murid di kertas yang terpisah, lalu membuat daftar apa yang telah dikatakan oleh murid yang lain mengenai murid itu.
Dan pada hari Senin, ia memberikan setiap murid daftarnya. Tidak lama kemudian, seluruh kelas mulai tersenyum.
“Sungguh?” ia mendengar suara bisik-bisik.
“Aku tidak tahu bahwa aku berarti untuk orang lain!” dan, “Aku tidak tahu kalau yang lain sangat menyukaiku.” Begitulah komentar yang didengar oleh sang guru.
Tidak ada orang yang menyinggung daftar itu di kelas lagi. Ia tidak pernah tahu apakah para murid membicarakannya di luar kelas atau kepada para orang tua mereka, tetapi tidak masalah. Latihan itu telah sampai tujuannya. Para murid sangat bahagia dengan komentar itu dan menyukai satu sama lainnya.
Beberapa tahun kemudian, salah seorang dari murid itu tewas terbunuh di VietNam dan gurunya menghadiri pemakaman murid itu. Ia tidak pernah melihat seorang tentara di dalam peti jenazah militer sebelumnya. Muridnya itu sangat tampan, sangat dewasa.
Seluruh gereja dipenuhi oleh teman-temannya. Satu persatu yang mencintainya menghampiri peti jenazah itu. Sang guru adalah orang yang terakhir yang mengucapkan salam perpisahan. Ketika ia berdiri di sana, salah seorang dari tentara yang bertugas sebagai pengangkut peti jenazah itu menghampirinya.
“Apakah kamu guru matematikanya Mark?” tanyanya.
Sang guru mengangguk, “iya.”
Kemudian tentara itu melanjutkan : “Mark banyak membicarakan dirimu.”
Setelah pemakaman, bekas teman sekelas Mark bersama-sama pergi ke tempat makan siang. Ayah dan ibu Mark ada di sana, sangat jelas terlihat bahwa mereka tidak sabar untuk berbicara dengan guru Mark.
“Kami ingin memperlihatkan sesuatu kepadamu,” kata ayah Mark, sambil mengambil dompet dari sakunya.
“Mereka menemukan benda ini pada Mark ketika ia tewas. Kami kira Anda mungkin akan mengenalinya.”
Sambil membuka dompet itu, ayah Mark dengan sangat hati-hati mengeluarkan dua lembar kertas yang sudah diisolasi, dilipat berkali-kali. Sang guru langsung mengenalinya, bahwa kertas itu adalah kertas yang dibuat olehnya berisikan daftar kebaikan Mark yang ditulis oleh teman-teman sekelasnya.
“Terima kasih karena telah melakukan hal itu,” ibu Mark berkata.
“Seperti yang Anda lihat, Mark menyimpannya sebagai salah satu hartanya.”
Semua mantan teman sekelas Mark mulai berkumpul.
Charlie tersenyum dengan malu-malu sambil berkata, “Aku juga masih menyimpan daftarku. Daftarku itu berada di bagian atas laci meja belajarku di rumah.”
Istri Chuck berkata, “Chuck memintaku untuk meletakkannya di album pernikahan kami.”
“Aku juga memilikinya,” kata Marilyn. “Daftarku ada dalam buku harianku.”
Kemudan Vicki, teman sekelas yang lain, mengambil buku sakunya, kemudian mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkan daftarnya yang sudah kusam dan lecek kepada yang lain.
“Aku membawanya bersamaku setiap waktu,” ujar Vicki, lalu sambungnya : “Aku rasa kita semua menyimpan daftar kita masing-masing.”
Pada saat itu, sang guru terduduk dan menangis. Ia menangis karena Mark dan seluruh temannya tidak akan mungkin melihat Mark kembali.
Begitu banyak orang yang datang dan pergi di kehidupan kita. Dan kita tidak mengetahui kapan hari itu akan tiba. Jadi katakanlah kepada orang yang Anda kasihi dan cintai, bahwa mereka sangat penting dan spesial dalam kehidupan Anda. Katakanlah kepada mereka sebelum terlambat.
Apa mau dikata, sehabis nonton kami bertemu temen2 yg lain lalu asyik ngobrol di cafe. Hari sudah sore waktu aku mulai sadar bahwa bengkel pasti sudah tutup. Sepanjang jalan aku sibuk menyusun argumen berbagai alasan yg nanti akan kukatakan pada ayah.
Setibanya di kantor ayah, dgn bimbang aku segera melangkah ke ruangannya.
“Bagaimana mobilnya San, sdh Ok.. ?”.
Sambil menghindari tatapan ayah, aku menjawab.
“Ayah, kata orang bengkel, besok harus dibawa lagi karena msh ada yg belum beres. Sebenarnya sih td harus ditinggal tapi aku maksa bawa pulang krn harus jemput ayah”.
Sambil melirik pelan2 aku menatap ayah.
“Hmm…. mungkin ada yang salah pada Ayah dalam mendidikmu selama ini. Karena ternyata kamu tidak mau berkata yang sebenarnya.. .” .
“Mak…maksud ayah apa……..” Dengan panik aku jadi salah tingkah.
“Baiklah, karena ayah merasa salah dalam mendidikmu maka ayah akan pulang berjalan kaki sambil merenungi kesalahan apa yang telah ayah perbuat !”
Ayah segera melangkahkan kakinya keluar kantor.
“Ayah…… ayah…. jangan begitu”. Aku makin gelisah.
Namun ayah hanya tersenyum. Hari sudah mulai gelap ketika aku mengikuti ayah dari belakang dengan mobil. Kulihat ayah berjalan sambil tertunduk. Hatiku makin galau. Jarak 35 km harus ditempuh ayahku yang sudah berumur 52 tahun itu, membuat air mataku mulai mengaburkan pandanganku. 1 jam 45 menit sudah ayahku berjalan. Batinku berperang dan ada sesuatu di dalam yg terasa menyesakkan dadaku. Segera kuhentikan mobil dan berlari mengejar ayah.
Kupeluk ayah dari belakang,
“Ayah…. Maafkan Santi. Tadi Santi memang tidak ke bengkel tapi pergi nonton bersama Heni lalu …”
Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku karena tangan Ayah menutup mulutku.
“Ayah sudah tahu ….” Sambil tersenyum Ayah mengelus kepalaku.
Aku yang bingung segera dibimbingnya menuju mobil.
“Sebenarnya tadi siang ayah menelpon ke bengkel, tapi mereka mengatakan mobil belum datang sejak pagi. Nah, ayah hanya ingin kamu mengatakan yang sebenarnya tanpa perlu menceritakan detailnya”
Hingga aku sudah berkeluarga kini, peristiwa itu terus membekas pada diriku. Karena aku tidak pernah lagi membohongi orangtuaku sejak itu. Tak pernah lagi. Aku bersumpah tidak ingin melihat ayahku menghukum dirinya lagi karena perbuatanku. “Teguran Batin” begitulah aku menyebutnya.
Ternyata cara tsb lebih dalam bekasnya daripada teguran fisik. Aku membayangkan, jika saja saat itu Ayahku memarahiku dan mendesak darimana saja aku seharian, mungkin hingga kini aku sudah melakukan sekian puluh kebohongan. Demikian pula dengan anakku.
Suatu hari, waktu Plumb dan istrinya sedang duduk disebuah restoran, seorang pria yang duduk dimeja lain menghampirinya dan berkata, “Heee, kamu kan Plumb! Kau yang menerbangkan penempur2 jet diVietnam dari kapal induk Kitty Hawk. Pesawatmu kan rontok!”
“Lho, dari mana kok kamu tahu ? tanya Plum.
"Lha kan aku yang melipat dan menyiapkan parasutmu,” jawab orang itu.
Nafas Plum tersentak kaget dan penuh syukur.
Orang itu membuat isyarat dengan tangannya dan bilang, “Semuanya beres ya?”
Plumb meyakinkan dia, katanya, “Oh ya pasti sekali. Beres dan hebat, sekiranya parasutmu tidak mau buka, pastilah hari ini aku tidak ada disini.”
Malam itu Plumb tak bisa tidur, terus memikirkan orang itu. Ia bilang, “Aku terus menerus heran sendiri, bagaimana kira2nya rupa orang itu bila berseragam AL, dengan sebuah topi putih, ada secarik kain selempang dipunggungnya, dan celana2nya yang melebar dibawah. Berapa sering ya, aku pernah melihatnya dan tidak pernah menyapanya “Selamat pagi, apa kabar?” atau lainnya, karena aku pilot penempur sedangkan dia cuma seorang marinir.
Plumb memikirkan dan membayangkan begitu banyaknya jam2 yang dihabiskan marinir itu pada sebuah meja kayu didalam lambung kapal itu, begitu teliti dan cermat merajut kain dan melipati sutra setiap parasut, memegang didalam tangannya, setiap kali, nasib dan hidup seseorang yang bahkan tidak ia kenal.
“Jadi sekarang,” Plumb bertanya pada pendengarnya, “siapakah yang menyiapkan parasutmu?” Setiap orang punya seseorang yang mem- berikan dan menyediakan kebutuhannya untuk melewati setiap hari. Ia juga menjabarkan bermacam parasut yang ia butuhkan waktu pada saat pesawatnya tertembak jatuh diatas teritori musuh — ia membutuhkan parasut jasmani, juga parasaut mental, parasut untuk emosinya, dan juga juga parasut spirituilnya. Ia mengandalkan pada semua dukungan itu sebelum ia melayang turun dengan selamat.
Suatu ketika orang tua mereka berpikiran untuk membuat Si Murung tersenyum gembira dan membuat Si Ceria menjadi sedih cemberut dan sedih. Mereka lalu berpikir untuk memberikan sesuatu yang menjadi kesukaan masing-masing anak.
Si Murung menginginkan telepon genggam. Selama ini jika pergi dengan teman-temannya sering kali ia meminjam telepon genggam milik temannya. Orang tuanya membelikan sebuah telepon genggam terbaru supaya dia menjadi senang dan gembira.
Sewaktu Murung pergi sekolah, telepon genggam itu dibungkus oleh orang tuanya dengan kertas kado yang bagus dan diletakkan di kamarnya. Sepulang sekolah, Murung segera masuk ke kamar dan melihat ada kado di sana. Cepat-cepat ia membuka kado itu dan ia terkejut sekali ketika mendapatkan di dalamnya berisi telepon genggam. Wajahnya tersenyum, tapi tidak lama. Kemudian ia murung lagi karena ia takut kalau-kalau teman-temannya akan meminjam telepon genggamnya lalu menjadi rusak. Di benaknya selalu muncul pikiran yang negatif, sehingga kado itu menjadi beban baginya. Yang keluar dari mulutnya adalah omelan dan keluhan, bukannya ucapan terima kasih kepada orang tuanya.
Di pihak lain, si Ceria senang sekali dengan kuda. Orang tuanya membungkus kotoran kuda dan diletakkan dalam kamar agar ia menjadi sedih dan murung. Sewaktu Ceria pulang ia juga terkejut melihat ada kado di kamarnya. Dengan sergap ia membuka pula kado itu. Betapa terkejutnya ia, ternyata yang didapatkan adalah kotoran kuda berbau busuk. Mukanya kebingungan sejenak.
Tetapi ia segera berpikir, “Ah masa orang tuaku yang begitu mencintaiku memberi aku kotoran kuda, pasti ada sesuatu di balik hadiah ini.”
Kemudian ia lari kepada orang tuanya dan mencium mereka. Orang tuanya sangat bingung dan terkejut kemudian bertanya, “Lho kamu itu diberi kotoran kuda kok senang sih?”.
Lalu Ceria menjawab, “Papa, Mama, saya tahu kalian sangat mencintai saya, jadi tidak mungkin memberi kotoran kuda kepada saya, pasti kotoran kuda itu adalah sebuah tanda. Kalau ada kotoran kuda, berarti ada kudanya. Saya tahu bahwa kalian akan membelikan kuda pony buat saya”
Orang yang hidupnya merasa sangat dicintai akan selalu berpikir bahwa ia selalu akan menerima yang terbaik dalam hidupnya, walaupun dalam penderitaan. Sebaliknya orang yang pesimis merasa hidup ini menjadi beban penderitaan yang sangat panjang, sehingga ia selalu gelisah, takut, dan khawatir.
Setelah 1 minggu berlalu dan akhirnya Tugas tersebut dibagikan dan diberikan nilai.tapi betapa kagetnya argo karena karangannya mendapatkan nilai f dan di tulisi sama gurunya setelah jam pelajaran temui saya di kantor. Saat di kantor argo dimarahi habis2an dengan gurunya karena karangannya katanya tidak masuk akal dan tidak akan tercapai.”argo kamu itu sudah gila,kamu itu hanya anak seorang pelatih kuda miskin dan tak mungkin kamu akan membangun pelatihan kuda sebesar 400 hektar”kata si guru.”kamu saya beri waktu 1 minggu untuk mengganti karangan tersebut dan nilaimu juga bs saya ganti bila kamu mengarang karangan yang lebih logis dan masuk akal” kata guru itu lagi. Lalu setelah argo pulang ke rumah bertanya pada ayahnya. “Ayah saya memiliki mimpi mengenai membangun pelatihan kuda seluas 400 hektar tapi kata guru saya mimpi itu tak akan pernah tercapai dan hanyalah omong kosong belakang karena saya hanyalah anak seorang yang miskin lalu saya disuruh mengganti mimpi saya itu menjadi mimpi yang lain yang sesuai dan masuk akal” kata si argo.”nak mimpimu adalah masa depanmu jadi terserah kamu,kamu mau menggantinya atau tidak “jawab ayah si argo dengan bijaksana dan sabar. “Baiklah ayah terima kasih atas pendapatmu” kata si argo.
Setelah di sekolah pun si argo tetap membawa karangannya yang dulu yang bercerita tentang pelatihan kuda dan peternakan kuda seluas 400 hektar dan dikumpulkan lagi kepada gurunya namun ada tulisannya biarkanlah nilai F tetap terpajang menjadi nilaiku namun inilah impianku tidak akan pernah bisa tergantikan dengan impian yang lainnya.
Setelah berpuluh puluh tahun berlalu si argo akhirnya beranjak dewasa dan dia akhirnya bisa menggapai mimpinya yang mempunyai peternakan kuda dan memiliki pelatihan kuda sebesar 400 hektar dan rumah sebesar 400 meter persegi.saat gurunya datang ke tempat pelatihan kudanya dan bertemu dengan argo ia berkata “kamu hebat nak,maafkan aq bila dulu telah melarangmu bermimpi seperti ini aq salut padamu aq hanyalah seorang guru yang hanya bisa merenggut mimpi2 anak sepertimu”kata si guru pada argo.
Dalam cerita tersebut jelas sudah bagaimana mimpi merupakan inspirasi untuk bisa maju lebih ke depan.kita tinggal memilih menjadi seperti argo si pemimpi yang berusaha mengejar mimpi ato guru yang suka merenggut mimpi seseorang.
Ketika sakit ibu didiagnosa kanker, kakak perempuan saya baru memiliki bayi dan saudara laki-laki saya baru saja melangsungkan pernikahan dengan kekasih yang merupakan teman mainnya sejak kecil.
Maka saya lah yang sebagai anak tengah berumur 27 tahun yang tidak memiliki ikatan, untuk menjaganya. Saya melakukannya dengan perasaan bangga. “Apalagi Tuhan ?”
Saya bertanya saat duduk di dalam gereja. Hidup saya seperti didalam jurang yang kosong. Saudara laki-laki saya duduk dengan memandang ke salib sambil memeluk istrinya. Saudara perempuan saya duduk sambil memangku anaknya bersama suaminya.
Semua sangat sedih secara mendalam, tidak seorangpun yang memperdulikan saya duduk sendiri. Tempat saya bersama ibu, memberikan dia makan, membantu jalan, mengantar ke dokter, melihat dia berobat dan membaca alkitab bersama. Sekarang dia bersama Tuhan. Pekerjaan saya sudah selesai dan saya sendirian.
Saya mendengar suara pintu dibuka dan kemudian tertutup dibelakang gereja. Langkah yang cepat dan tergesa-gesa melewati lantai gereja yang berkarpet. Seorang anak muda melihat sekeliling ruangan dan kemudian duduk didepan saya. Dia melipat kedua tangan dan menempatkan diatas pangkuannya. Matanya penuh dengan air mata. Kemudian dia mulai menangis tersedu-sedu.
“Saya terlambat,” dia menjelaskan, tanpa penjelasan yang penting.
Setelah beberapa pujian, dia bertanya, “Mengapa mereka memanggil Mary sebagai `Margaret’?”.
“Oh”, karena memang namanya Margaret, bukan Mary. Tidak ada yang memanggilnya Mary,” saya berbisik. Saya ingin tahu mengapa orang ini tidak duduk di sisi lain dari gereja.
Dia menghentikan waktu duka cita saya dengan air mata dan rasa gelisah. Siapa sih orang asing ini ?
“Bukan, ini tidak benar, ” dia bersikeras, beberapa pelayat yang lain melihat ke arah kami.
“Namanya adalah Mary, Mary Peters.”
“Itu bukan dia”, saya menjawab
“Apakah ini gereja Luther ?”
“Bukan, gereja Luther ada di seberang jalan.”
“Oh.”
“Saya rasa anda ada di pemakaman yang salah, Tuan.”
Membayangkan orang yang salah menghadiri pemakaman itu membuat saya ketawa geli, dan membuat permen karet saya keluar dari mulut. Segera saya menutup mulut dengan kedua tangan saya, supaya orang yang melihat menyangka sebagai ungkapan kesedihan saya. Kursi yang saya duduki berbunyi berderit. Pandangan yang tajam dari pelayat lain membuat situasi menjadi agak ramai. Saya mengintip orang itu sepertinya kebingungan dan ketawa kecil. Dia memutuskan untuk mengikuti acara tersebut sampai akhir, karena acara pemakaman hampir selesai.
Saya membayangkan ibu saat ini sedang ketawa.
Akhirnya “Amen”, kami keluar dan menuju ke tempat parkir.
“Saya percaya kita akan bicara lagi,” dia ketawa. Dia berkata bahwa namanya Rick dan karena dia terlambat datang ke pemakaman tantenya, dia mengajak saya keluar untuk minum kopi.
Malam itu menjadi sebuah perjalanan yang panjang untuk saya dan pria itu, yang datang ke pemakaman yang salah, tetapi datang ke tempat yang tepat.
Setahun setelah pertemuan itu, kita melangsungkan pernikahan di sebuah kota, dimana dia menjadi asisten pendeta di gereja itu. Saat itu kami datang bersama di gereja yang sama dan pada waktu yang tepat.
Pada dukacitaku, Tuhan memberikan penghiburan. Pada saat kesepian, Tuhan memberikan kasih. Bulan Juni kemarin kami merayakan ulang tahun pernikahan ke dua puluh dua. Saat orang menanyakan kepada kami bagaimana kami bertemu, Rick mengatakan kepada mereka, “Ibunya dan Tanteku Mary, mengenalkan kami berdua, dan itu sungguh terjadi di surga.”
“Aku jatuh karena Ayah meletakkan ember di sembarang tempat,” kata beruang kepada ayahnya saat ia terjatuh di kamar mandi.
“Kamu mengalami musibah ini karena kamu tidak berhati-hati. Oleh karena itu, kalau berjalan harus hati-hati,” kata anak beruang kepada seekor kijang yang terkilir kakinya.
Pada suatu hari, anak beruang berjalan-jalan di pinggir hutan. Matanya tertuju pada sekelompok lebah yang mengerumuni sarangnya.
“Wah, madu lebah itu pasti sangat manis. Aku akan mengambilnya. Aku akan mengusir lebah-lebah itu!”
Ia pun mengambil sebuah galah dan menyodok sarang lebah itu dengan keras. Ribuan lebah merasa terusik dan menyerang anak beruang. Melihat binatang kecil yang begitu banyak, anak beruang lari terbirit-birit. Lebah-lebah itu tidak membiarkan musuhnya pergi begitu saja. Satu.. dua.. tiga, lebah-lebah menghajar dengan sengatan.
“Aduh.. tolong.. !”
Byur!! Beruang menceburkan dirinya ke sungai. Tak lama kemudian, lebah-lebah itu pergi meninggalkan anak beruang yang kesakitan. Anak beruang itu pun pulang ke rumahnya dan bertemu dengan ayahnya.
“Mengapa Ayah tidak menolongku? Jika Ayah sayang padaku, pasti sudah berusaha menyelamatkanku. Semua ini salah Ayah!”
Ayah beruang diam sejenak, lalu mengambil selembar kertas putih.
“Anakku, apa yang kamu lihat dari kertas ini?”
“Itu hanya kertas putih, tidak ada gambarnya,” jawab anak beruang.
Kemudian, ayah beruang mencoret kertas putih dengan sebuah titik berwarna hitam.
“Apa yang kamu lihat dari kertas putih ini?”
"Ada gambar titik hitam di kertas putih itu!”
“Anakku, mengapa kamu hanya rmelihat satu titik hitam pada kertas putih ini? Padahal sebagian besar kertas ini berwarna putih. Betapa mudahnya kamu melihat kesalahan Ayah! Padahal masih banyak hal baik yang telah Ayah lakukan padamu.”
Ayah beruang berjalan pergi meninggalkan anaknya yang duduk termenung.
Mari kita belajar mengoreksi diri sendiri sebelum kita menyalahkan orang lain. Jangan hanya melihat sisi buruk suatu masalah, tetapi kita perlu juga melihat sisi baiknya.
Seperti kebanyakan pengajar, ia memandang ke seluruh murid dan berkata bahwa ia memperhatikan seluruh murid dengan adil. Tetapi hal itu tidak mungkin, karena di barisan depan, ada seorang anak yang duduk dengan menggelesot namanya Teddy Stoddard.
Ny.Thompson sudah mengawasi Teddy setahun sebelumnya dan ia memperhatikan bahwa dia tidak bisa bermain dengan baik dengan anak-anak yang lain karena bajunya morat marit dan terlihat selalu perlu untuk dimandikan. Dan Teddy bisa jadi tidak suka. Itu semua mendapat penilaian, dimana Ny.Thompson kenyataannya akan memberikan tanda khusus di laporan Teddy dengan tinta merah besar, membuat X tebal dan memberi tanda F besar di atas kertas laporan Teddy.
Di sekolah tempat Ny.Thompson mengajar, ia diminta untuk melihat ulang catatan murid-muridnya di tahun sebelumnya, dan ia membiarkan cacatan Teddy di giliran terakhir. Saat membaca catatan Teddy ia terkejut.
Guru kelas satu Teddy menulis, Teddy adalah anak yang cemerlang dan ceria. Ia mengerjakan perkerjaannya dengan rapi dan memiliki hal-hal yang baik. Ia membawa kegembiraan bagi sekitarnya.
Guru kelas duanya menulis, Teddy adalah murid yang sempurna, sangat disukai oleh seluruh temannya, tetapi ia terganggu karena ibunya sakit stroke dan untuk tinggal di rumah adalah suatu perjuangan bagi Teddy.
Guru kelas tiganya menulis, ia mendengar kematian ibunya. Ia berusaha untuk melakukan yang terbaik, tetapi ayahnya tidak menunjukkan ketertarikannya dan kehidupan di rumah akan segera mempengaruhinya jika tidak ada langkah-langkah yang dilakukan.
Guru kelas empat Teddy menulis, Teddy menjadi mundur dan tidak tertarik ke sekolah. Ia tidak punya banyak teman dan terkadang tertidur di kelas.
Setelah itu, Ny.Thompson menyadari masalahnya dan dia malu terhadap dirinya sendiri. Ia merasa tidak enak ketika murid-muridnya membawa hadiah natal, dibungkus dengan pita-pita yang indah dan kertas yang menyala, kecuali pemberian Teddy. Hadiah dari Teddy kumal bentuknya dan dibungkus dengan kertas coklat yang diambil dari tas belanja.
Ny.Thompson dengan terharu membuka kado Tedy ditengah-tengah kado yang lain. Anak-anak mulai tertawa saat ia menemukan gelang batu dimana beberapa batunya hilang, dan sebuah botol yang berisi parfum setengahnya.
Tetapi ia menyuruh murid-muridnya diam dan menyatakan bahwa gelang pemberian Teddy sangat indah, serta mengoleskan parfum di pergelangan tangannya.
Setelah sekolah usai, Teddy Stoddard tetap tinggal, menunggu cukup lama untuk mengatakan, Ny.Thompson, hari ini bau wangi anda seperti ibu saya. Setelah murid-muridnya pergi, Ny.Thompson menangis hampir selama satu jam. Hari berikutnya Ny.Thompson berhenti untuk mengajar membaca, menulis dan aritmatika. Sebagai gantinya ia mulai mengajar anak didiknya.
Ny.Thompson memberi perhatian khusus kapada Teddy. Selama bekerja dengannya, pikiran Teddy mulai hidup. Semakin ia mendorong Teddy, semakin cepat Teddy memberikan tanggapan.
Di akhir tahun, Teddy menjadi anak terpandai di kelas, akan tetapi Ny.Thompson jadi berbohong dengan mengatakan bahwa ia akan memperhatikan murid-muridnya secara adil, karena Teddy telah menjadi murid kesayangannya.
Satu tahun berlalu, Ny.Thompson menemukan sebuah surat dibawah pintu, dari Teddy, yang mengatakan bahwa ia adalah guru terbaik yang pernah dimiliki sepanjang hidupnya.
Enam tahun berlalu sebelum ia menerima surat yang lain dari Teddy. Ia menulis sudah menamatkan SMU, ranking tiga di kelas, dan Ny.Thompson tetap guru terbaik yang pernah dimiliki sepanjang hidupnya.
Empat tahun berikutnya, ia menerima surat yang lain, mengatakan bahwa saat orang memikirkan banyak hal, ia tetap tinggal di sekolah dan mempertahankannya, dan segera lulus dari akademi dengan penghargaan tertinggi. Dia meyakinkan Ny.Thompson, bahwa dia tetap guru yang disukai dan paling baik yang pernah dimiliki sepanjang hidupnya.
Kemudian empat tahun berlalu dan surat yang lain datang lagi. Saat ini dia menjelaskan setelah menyelesaikan gelar sarjananya, dia memutuskan untuk melanjutkan sedikit lagi. Surat itu menjelaskan bahwa Ny.Thompson tetap guru yang disukai dan paling baik yang pernah dimiliki sepanjang hidupnya. Tetapi namanya telah sedikit lebih panjang surat ditanda tangani oleh Theodore F.Stoddard,MD.
Kisahnya tidak berakhir disini. Masih ada surat lagi pada musin semi itu. Teddy berkata bahwa ia bertemu dengan seorang gadis dan merencanakan untuk menikah. Ia mengatakan bahwa ayahnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu dan dia berharap Ny.Thompson bersedia duduk di kursi yang biasanya disediakan untuk ibu pengantin. Tentu saja Ny.Thompson bersedia.
Dan coba tebak apa berikutnya? Ny.Thompson mengenakan gelang batu dimana beberapa batunya telah hilang. Dan ia memastikan memakai parfum yang diingat Teddy dipakai ibunya pada Natal sebelumnya bersama-sama.
Mereka berpelukan, dan Dr.Stoddard berbisik di telinga Ny.Thompson, “Terima kasih Ny. Thompson, anda mempercayai saya. Terima kasih karena sudah membuat saya merasa begitu penting dan memperlihatkan bahwa saya dapat membuat perubahan.”
Ny.Thompson dengan air mata berlinang, balik berbisik. Ia berkata, “Teddy, semua yang kamu katakan keliru. Kamu adalah orang yang telah mengajari bahwa aku dapat membuat perubahan. Aku sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana caranya mengajar sampai bertemu denganmu.”
Ada seorang anak bernama Adi. Mobilnya tidak istimewa. Namun ia termasuk kedalam 4 anak yang masuk final. Dibanding dengan semua lawannya, mobil Adi-lah yang paling tidak sempurna. Beberapa anak menyangsikan kekeuatan mobil itu untuk bersaing berpacu melawan mobil lainnya.
Yah, memang mobil itu tidak menarik. Dengan kayu yang sederhana, dan sedikit lampu kedip diatasnya, tentu tak sebanding dengan hiasan mewah yang dimiliki lawan-lawannya. Namun, Adi bangga dengan semua itu, sebab mobil itu buatan tangannya sendiri.
Tibalah saat yang dinantikan. Final kejuaraan lomba balap mainan. Setiap anak mulai bersiap di garis start, untuk mendorong mainan mereka kencang-kencang. Di setiap jalur lintasan telah siap 4 mobil dengan 4 “pembalap” kecilnya. Lintasan itu berbentuk lingkaran dengan 4 jalur terpisah diantaranya.
Namun sesaat kemudian, Adi meminta waktu sebentar sebelum lomba dimulai. Ia tampak berkomat-kamit seperti sedang berdo’a. Matanya terpenjam, dengan tangan yang bertangkup memanjatkan do’a. Lalu semenit kemudian ia berkata, “Ya, aku siap!”.
Dor! Tanda telah dimulai. Dengan satu hentakan kuat, mereka mulai mendorong mobilnya kuat-kuat. Semua mobil itupun meluncur dengan cepat. Setiap orang yang menonton bersorak-sorai, bersemangat menjagokan mobil pilihannya masing-masing.
“Ayo, ayo…cepat…cepat , maju…maju…”, begitu teriak mereka.
Ahha…sang pemenang harus ditentukan, tali lintasan finish pun telah terlambai. Dan, Adi-lah pemenangnya. Ya, semuanya senang, begitu juga Adi. Ia berucap dan berkomat-kamit lagi dalam hati. “Terima kasih”.
Saat pembagian piala tiba, Adi maju kedepan dengan bangganya. Sebelum piala itu diserahkan, ketua panitia bertanya, “Hai jagoan, kamu tadi pasti berdo’a pada Tuhan agar kamu menang, bukan?”. Adi terdiam, “Bukan Pak, bukan itu yang aku panjatkan”, sahut Adi.
Ia lalu melanjutkan, “Sepertinya tidak adil meminta kepada Tuhan untuk menolongmu mengalahkan orang lain. Aku hanya bermohon kepada Tuhan, supaya aku tidak menangis jika aku kalah.”
Semua hadirin terdiam mendengar itu. Setelah beberapa saat, terdengarlah gemuruh tepuk tangan yang memenuhi ruangan.
Anak-anak tampaknya lebih punya kebijaksanaan dibanding kita semua. Adi, tidaklah bermohon kepada Tuhan untuk menang dalam setiap ujian. Adi, tidak memohon untuk meluluskan dan mengatur setiap hasil yang ingin diraihnya. Anak itu juga tidak meminta Tuhan untuk mengabulkan semua harapannya. Ia tidak berdoa untuk menang dan menyakiti yang lainnya. Tetapi, Adi bermohon kepada Tuhan agar diberikan kekuatan untuk menghadapi itu semua. Ia berdoa agar diberikan kemuliaan dan mau menyadari kekurangan dengan rasa bangga.