It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tanpa ragu juga saya langsung berikan kunci motor saya kepadanya. Selang beberapa jam, saya juga sedang “santai”, eh tiba-tiba teman saya menelepon bilang begini: “Kunci motor kamu hilang, sekarang motor kamu ada di gudang ayah saya, bagaimana ini??” . Motor saya kuncinya udah agak loss waktu itu. Sesaat itu dia panik, mungkin karena merasa bersalah kepada saya. Tapi entah mengapa saya sendiri merasa tenang-tenang saja, dan saya bilang: “ udah, santai-santai aja lagi” . Dan saya langsung meminjam sepeda motor saudara saya, sambil menusuri tempat yang sudah dilewati teman saya tersebut.
Sesaat baru saja saya mau jalan, teman saya menelepon lagi sambil berkata seolah tak ada harapan: “Saya sudah cari 2 kali bolak-balik, saya sekarang lagi numpang motor teman saya, kita udah nyari tapi ga ketemu, sudahlah kamu juga ga usah cari-cari lagi, pasti juga tidak ketemu. Besok saya ganti rugi saja atas kehilangan kunci motor kamu, maaf banget ya..”.
Waktu itu saya yang sedang mengendarai motor juga dengan kecepatan yang sangat lambat, memejamkan mata sesaat dan sambil berdoa kepada Tuhan agar kunci motor saya ketemu. Begitu saya kembali membuka mata saya, saya sempat kaget juga melihat kalau ternyata kunci motor saya persis berada dijalan didepan pandangan saya.”
Mungkin ini bukan cerita luar biasa, sedikit?? bahkan mungkin tidak sama sekali.
Tapi dari hal-hal kecil inilah, saya sadar bahwa apapun yang terjadi itu bukan kebetulan..
Hal-hal kecil inilah yang sering tidak kita renungi.
Hal sekecil apapun yang terjadi saat ini, ada Tuhan diantaranya..
Tuhan tidak pernah luput dari hal terkecil sekalipun dalam kehidupan setiap manusia, tapi saya sadar kitalah yang sering luput kepada Tuhan dari hal-hal kecil ini.
Ke sepuluh pemancing amatir itu ingin sekali belajar cara memancing kepada kedua pemancing hebat tersebut. Tetapi keinginan mereka tidak direspon oleh pemancing berinisial A. Sebaliknya, pemancing berinisial A tersebut menunjukkan sikap kurang senang dan terganggu oleh kehadiran pemancing-pemancing amatir itu.
Tetapi pemancing berinisial B menunjukkan sikap yang berbeda. Ia bersedia menjelaskan tehnik memancing yang baik kepada ke-10 pemancing lainnya, dengan syarat masing-masing diantara mereka harus memberikan seekor ikan kepada B sebagai bonus jika masing-masing diantara mereka mendapatkan 10 ekor ikan. Tetapi jika jumlah ikan tangkapan masing-masing diantara mereka kurang dari 10, maka mereka tidak perlu memberikan apapun.
Persyaratan tersebut disetujui, dan mereka dengan cepat belajar tentang tehnik memancing kepada B. Dalam waktu dua jam, masing-masing diantara pemancing itu mendapatkan sedikitnya sebakul ikan. Otomatis si B mendapatkan banyak keuntungan. Disamping mendapatkan ‘bonus’ ikan dari masing-masing pemancing bimbingannya, si B juga mendapatkan 10 orang teman baru. Sementara pemancing A, yang pelit membagi ilmu, tidak mendapatkan keuntungan sebesar keuntungan yang didapatkan oleh si B.
Kisah di atas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan akan jauh lebih bermanfaat bila diamalkan. Hanya dengan cara kita mengembangkan orang lain yang membuat kita juga berhasil
Sebut saja dua kerajaan ini, kerajaan Sang dan kerajaan Sing. Suatu ketika raja dari kerajaan sing di karuniai seorang putra, yang di beri nama shin. Berbeda dengan ayahnya raja kerajaan sing, shin adalah anak yang tidak suka dengan pertumpahan darah dan memikirkan orang lain. Karena tumbuh dengan didikan n agama di dalamnya, maka dia tumbuh menjadi seorang pemuda yang bijaksana, dan pada usianya yang ke 17, ayahnya meninggal, dan dia di nobatkan menjadi seorang raja mengantikan ayahnya, karena dia satu – satunya anak tunggal pewaris tahta kerajaan sing.
Kabar bahwa raja kerajaan sing meninggal ternyata sampai ke telinga raja kerajaan sang, dan tanpa mengulur waktu raja kerajaan Sang mengerahkan seluruh pasukannya untuk mengempur kerajaan sing. Dalam waktu sekejap, jatuh korban dari ke dua kerajaan tersebut. Karena jumlah prajurit kerajaan sing lebih banyak dan raja barunya yang cakap, maka kerajaan Sang pun dapat di pukul mundur. Karena pertempuran ini, banyak prajurit dari ke dua kerajaan yang terluka. Raja kerajaan sang tidak mau mempedulikan prajuritnya yang terluka, dia malah menyalahkan kerja keras para prajuritnya, menurutnya kegagalannya menjadi yang terbaik disebabkan oleh para prajuritnya, dia pun memperketat jadwal latihan para prajuritnya dan para prajurit yang dianggap sudah tidak berguna lagi akan di kucilkan dan di asingkan ke hutan. Lain halnya dengan raja Shin, dia merawat pasukannya yang terluka dan mempedulikan kesejahteraan mereka yang sudah tidak dapat aktif lagi karena alasan usia atau pun cacat karena perang. Karena kebaikannya, nama raja Shin terdengar sampai ke seluruh penjuru pulau tersebut.
Tahun demi tahun pun berlalu, karena kekejaman raja Sang, rakyat kerajaan Sang pun satu persatu melarikan diri dan meminta perlindungan kepada raja Shin. Terutama para prajurit yang sudah tua dan tidak bisa aktif lagi.
Merasa sudah cukup kuat, raja Sang mengerahkan pasukannya untuk menyerang kerajaan Sing. Namun betapa terkejutnya raja Sang saat sampai ke kerajaan Sing, ternyata para prajurit dan orang – orang yang di kucilkannya menjadi pemanah di kerajaan Sing, sehingga pasukan kerajaan Sang sulit untuk mendekati benteng kerajaan Sing. Rupanya para prajurit yang mengalami cacat akibat perang dilatih menjadi pemanah, sedangkan para lansia sebagian di latih menjadi pembuat panah dan busurnya. Raja Sang benar – benar tidak pernah menyangka orang – orang yang dianggapnya tidak berguna, ternyata adalah orang yang paling menghambat langkahnya.
Perang pun terjadi 3 hari lamanya, akhirnya karena kerja sama yang solid tentara kerajaan Sang pun dapat dikalahkan dan raja kerajaan Sang pun di tawan beserta beberapa prajurit lainnya dan di bawa awa menghadap raja Shin. Mendengar raja kerajaan Sang tertangkap, para rakyat dan prajurit yang merasa terbuang dari kerajaan Sang yang kemudian menetap sebagai penduduk di kerajaan sing pun datang ke depan istana kerajaan dan meminta raja Shin untuk mengeksekusi mati raja dari kerajaan Sang.
Dengan pasrah raja Sang berkata sekarang saya sudah kalah, bunuh saja saya, daripada saya harus menanggung malu seperti ini!. Sambil tersenyum Raja Shin bertanya, kenapa anda mengatakan hal yang demikian? Di antara kita tidak ada yang menang atau pun kalah, saya adalah anda dan anda adalah saya, seandainya saya ada di posisi anda, maka saya adalah anda, dan jika anda ada di posisi saya, maka anda adalah saya. Saya yakin anda tidak ingin sakit, maka jangan menyakiti orang lain. Saya tidak ingin di benci oleh anda, maka saya juga tidak akan membenci anda. Jadi saya dan anda adalah sama. Apakah anda sadar bahwa kita telah mengorbankan banyak prajurit, banyak yang telah terbunuh dalam pertempuran ini. Saya juga sesungguhnya telah kalah dan saya malu akan diri saya sendiri, karena saya telah gagal melawan diri saya sendiri untuk tidak mengorbankan orang lain, tapi itu adalah hal yang tidak mungkin dalam pertempuran ini.
Saya bukanlah raja yang cakap karena saya tidak bisa menghentikan pertumpahan darah yang telah terjadi. Dan satu hal yang saya dapat lakukan sekarang adalah menghentikan pertempuran ini, saya tidak ingin lagi ada pertumpahan darah. Dengan membunuh Anda dan menguasai pulau ini saya tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan, karena saya hidup di atas lumuran darah, bahagia di atas penderitaan orang lain. Apa yang saya dapatkan tidak akan mendamaikan saya selamanya, karena semua yang saya miliki tidak kekal adanya. Mendengar jawaban raja shin, raja Sang pun tertunduk dan berkata Anda benar, saya pun telah kalah oleh diri saya sendiri, sekarang lebih baik anda bunuh saya, karena saya telah begitu banyak berbuat dosa dan menyengsarakan hidup orang banyak. Dengan senyum, raja shin berkata, Mati tidak akan mengakhiri segalanya, namun merupakan awal penderitaan baru. Mendengar itu raja Sang bertanya Kalau begitu apa yang harus saya perbuat sekarang? Raja Shin pun menjawab Hiduplah untuk saat ini dan gunakanlah apa yang telah kita miliki untuk menolong dan berbagi dengan sesama.
Karena kebaikan hati dan pandangan yang luas dari raja Shin, akhirnya pertumpahan darah dan perebutan kekuasaan tidak pernah lagi terjadi di pulau itu. Semua orang hidup dalam suka dan bersahabat satu sama lain.
Dengan setengah berakting, sang pastor kemudian bersuara keras : ”Ayo, tuliskan! Kalau ngga, kertasmu saya sobek lo.” Anak-anak manis itu seketika menjadi salah tingkah.
Beberapa di antara mereka, memang tampak mulai menulis. Salah satu di antara mereka menulis di atas kertas, “Kadang-kadang nurutin kata ibu. Kadang-kadang bantu ibu. Kadang-kadang nyuapin adik makan.”
Penuh rasa penasaran, sang pastor bertanya kepadanya : ”Kenapa tulisnya kadang-kadang?”. Dengan wajah penuh keluguan, sang bocah hanya berkata : ”Emang cuma kadang-kadang, pastor.”
Ketika semua anak telah menuliskan kelebihan dirinya, sang pastor kemudian melanjutkan instruksi berikutnya : ”Sekarang anak-anak, coba tuliskan tiga kelemahanmu atau hal-hal yang buruk dalam dirimu.” Seketika ruangan kelas menjadi gaduh. Anak-anak tampak bersemangat. Salah satu dari mereka angkat tangan dan bertanya : ”Tiga saja, pastor?”.”Ya, tiga saja!” jawab pastor. Anak tadi langsung menyambung : ”Pastor, jangankan tiga, sepuluh juga bisa!”.
Kitasering tidak menyadari apa kelebihan diri kita karena lingkungan dan orang di sekitar kita jauh lebih sering mengkomunikasikan kepada kita kejelekan dan kekurangan kita.
Dilahirkan dari turunan keluarga Amerika makmur, Mario terdampar di jalanan setelah ibunya yang anti-Fasisme ditangkap Gestapo dan dijebloskan ke kamp konsentrasi Dachau saat pecahnya Perang Dunia II. Saat itu ia baru berumur empat tahun. Hampir selalu kelaparan, Mario melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Terakhir, ia terkurung dalam sebuah rumah sakit bersama anak-anak jalanan lain. Mereka ditelanjangi dan tiap hari hanya dijatah secuil kecil roti dan segelas kopi. Saat hari menjelang siang, mereka semua selalu jatuh tak sadarkan diri di ranjang-ranjang sempit yang berimpit-impitan, tanpa seprei dan tanpa selimut.
Mario lolos dari maut saat ibunya datang menjemput. Setengah sakit jiwa, sang ibu membawa anaknya yang berumur 9 tahun kembali ke Amerika. Mario lantas dibesarkan oleh paman dan bibinya dalam lingkungan komunitas Quaker (salah satu kelompok religius yang hidup secara kolektif). Sekalipun belum pernah mencicipi bangku sekolah dan tidak bisa berbahasa Inggris, ia langsung dimasukkan ke kelas tiga SD di sekolah Quaker. Para guru membiarkannya bereksplorasi dengan cat dan mural sebagai sarana berkomunikasi.
Di tingkat SMA, ia merasa para guru memperlakukan murid seolah-olah sudah mahasiswa. Guru berdialog dengan murid. Tidak ada buku teks. Itu membuat belajar jadi terasa menyenangkan. Ia juga menyerap nilai tanggung jawab sosial dari lingkungan Quaker-nya. Ada kesadaran tentang masalah-masalah dunia. Memang tidak pernah diajarkan, tetapi terasa bahwa kita dapat bahkan harus melakukan sesuatu untuk membuat dunia jadi lebih baik.?
Bekal pengetahuan dan nilai-nilai hidup dari sekolah Quaker ditambah pengaruh pribadi pamannya yang berprofesi sebagai fisikawan akhirnya menuntun jalan hidup Mario menjadi ilmuwan. Dalam pekerjaan, ia dikenal sebagai pribadi yang sangat kreatif, profesional, dan terampil bekerja sama dalam tim. Dalam kehidupan pribadi, ia punya keluarga yang harmonis.
Ada kutipan menarik dalam orasi Mario ketika menerima Kyoto Prize tentang hakikat dari pendidikan. Merenungkan masa kecilnya sendiri, ia berpendapat: Satu-satunya hal yang perlu kita sediakan bagi semua anak kita adalah cukupnya kesempatan untuk mengejar minat-minat dan mimpi-mimpi mereka. Tingkat pemahaman kita tentang perkembangan manusia terlalu dangkal untuk memprediksi siapa di antara anak-anak itu yang akan menjadi Beethoven, Modigliani, atau Martin Luther King berikutnya.
Suatu ketika datanglah musim kemarau yang panjang. Daun-daun di pohon kecil itu mulai layu karena tidak mendapat air dan makanan. Daun besar yang tadinya kuat dan besar mulai terlihat keriput. Ia berusaha melindungi daun-daun lainnya dari matahari yang bersinar sangat terik sehingga daun2 sahabatnya itu tidak kehilangan air lebih banyak lagi. Hari berganti hari, daun besar itu sudah sampai pada puncak usahanya. Ia mulai sobek-sobek sehingga sinar matahari mulai menembusnya. Ia mulai kehilangan kekuatannya dan daun-daun lainnya pun sudah mulai mengabaikannya karena ia tidak kuat lagi seperti dulu.
Beberapa hari kemudian daun besar itu merasa tidak kuat lagi akhirnya ia berkata kepada teman-temannya :
Teman-teman aku tidak lagi mempunyai kekuatan untuk melindungi kalian, aku akan gugur. Selamat tinggal. Setelah berkata demikian akhirnya daun besar itu pun gugurlah. Musim kemarau terus berlanjut, daun-daun di pohon kecil itu saling bertahan untuk hidup. Mereka sama sekali sudah melupakan daun besar yang telah berjasa melindungi mereka sehingga mereka dapat bertahan sampai sekarang.
Musim kemarau tidak juga berakhir. Daun-daun di pohon kecil itu sudah mulai kehilangan harapan.
Mereka merasa sangat kelaparan, kehausan dan akan mati. Di saat mereka putus asa, tiba tiba dirasakan adanya air dan makanan dari tanah. Mereka terheran-heran akan adanya keajaiban itu. Setelah lama mencari-cari, mereka menyadarinya. Mereka melihat bahwa daun besar itu sudah membusuk dan menghasilkan air dan sari makanan bagi mereka. Akhirnya dengan air dan sari makanan dari daun besar tadi, daun daun di pohon kecil itu berhasil bertahan sampai musim hujan datang.
Daun-daun di pohon kecil itu sangat menyesal karena telah melupakan daun besar itu. Padahal sampai akhir hayatnya daun besar itu tetap menjadi pahlawan bagi daun-daun lainnya.
Janganlah menilai seseorang dengan penampilan dan kekuatannya.
Tuhan memberikan bantuan kepada kita melalui siapa saja bahkan melalui orang yang kita anggap telah jatuh dan hina. Ingatlah rencana Tuhan itu ajaib dan tidak pandang bulu terhadap semua hambanya.
Ia menjengkeli gurunya.
Setelah mendengar keluhan anaknya, sang ibu bertanya: ‘Pernahkan engkau memperhatikan kembang bakung milik tetangga di lorong jalan ke rumah kita?’
Anak itu menggelengkan kepala.
‘Bakung itu berkembang setiap pagi, dan di akhir hari kembang bakung tersebut akan layu dan mati. Namun sebelum mati, ia telah memberikan yang terbaik, ia telah memancarkan keindahannya.’ Anak itu berhenti menangis dan mendengarkan dengan penuh hati.
‘Setiap hari ia memberikan keindahan yang sama. Setiap hari ia memberikan keharuman yang sama walau kadang tak dihiraukan orang. Keindahannya tak pernah berkurang karena engkau tak pernah memperhatikannya. Ia tidak pernah bersedih bila tak diperhatikan orang, karena ia tahu bahwa dalam hidupnya ia cuma punya satu misi yakni memberikan keindahan.’
Anak itu memahami maksud ibunya.
“Tinnn.. Tiiiinnnnn…!!”
Cassie kecil melompat girang! Mama pulang! Papa pulang! Dilihatnya dua orang yang sangat dicintainya itu masuk ke rumah.
Yang satu langsung menuju ke kamar mandi. Yang satu menghempaskan diri di sofa sambil mengurut-urut kepala. Wajah-wajah yang letih sehabis bekerja seharian, mencari nafkah bagi keluarga. Bagi si kecil Cassie juga yang tentunya belum mengerti banyak. Di otaknya yang kecil, Cassie cuma tahu, ia kangen Mama dan Papa, dan ia girang Mama dan Papa pulang.
“Mama, mama.. Mama, mama…” Cassie menggerak-gerakkan tangan Mama. Mama diam saja.
Dengan cemas Cassie bertanya, “Mama sakit ya? Mananya yang sakit? Mam, mana yang sakit?”
Mama tidak menjawab. Hanya mengernyitkan alis sambil memejamkan mata.
Cassie makin gencar bertanya, “Mama, mama… mana yang sakit? Cassie ambilin obat ya? Ya? Ya?”
Tiba-tiba…
“Cassie!! Kepala mama lagi pusing! Kamu jangan berisik!” Mama membentak dengan suara tinggi.
Kaget, Cassie mundur perlahan. Matanya menyipit. Kaki kecilnya gemetar. Bingung. Cassie salah apa? Cassie sayang Mama… Cassie salah apa? Takut-takut, Cassie menyingkir ke sudut ruangan. Mengamati Mama dari jauh, yang kembali mengurut-ngurut kepalanya. Otak kecil Cassie terus bertanya-tanya: Mama, Cassie salah apa? Mama tidak suka dekat-dekat Cassie? Cassie mengganggu Mama? Cassie tidak boleh sayang Mama?
Berbagai peristiwa sejenis terjadi. Dan otak kecil Cassie merekam semuanya.
Maka tahun-tahun berlalu. Cassie tidak lagi kecil. Cassie bertambah tinggi. Cassie remaja. Cassie mulai beranjak menuju dewasa.
“Tinnn.. Tiiiinnnnn…!!”
Mama pulang. Papa pulang. Cassie menurunkan kaki dari meja. Mematikan TV. Buru-buru naik ke atas, ke kamarnya, dan mengunci pintu. Menghilang dari pandangan.
“Cassie mana?” Tanya mereka.
"Sudah makan duluan, Tuan, Nyonya.” jawab si mbok
Malam itu mereka kembali hanya makan berdua. Dalam kesunyian berpikir dengan hati terluka: “Mengapa anakku sendiri, yang kubesarkan dengan susah payah, dengan kerja keras, nampaknya tidak suka menghabiskan waktu bersama-sama denganku? Apa salahku? Apa dosaku? Ah, anak jaman sekarang memang tidak tahu hormat sama orangtua! Tidak seperti jaman dulu.”
Di atas, Cassie mengamati dua orang yang paling dicintainya dalam diam. Dari jauh. Dari tempat
dimana ia tidak akan terluka.
“Mama, Papa, katakan padaku, bagaimana caranya memeluk seekor landak?”
Namun, sebagai mana manusia pada umumnya, keletihan dan ketidak puasan pasti datang seiring berjalannya waktu. Perbaikan standar gaji tak juga diterimanya. Sedangkan dia harus membiaya hidupnya sendiri yang semakin hari semakin membengkak. Gaji tak bisa lagi menutupi kebutuhan hidup, sedangkan dia sama sekali tidak menyukai sesuatu yang gratis atau hanya bergantung pada pemberian orang.
Maka dia pun menambah aktivitas yang bisa menghasilkan pemasukan tambahan. Dia berjualan baju di pasar setiap hari libur, dan mengajar anak TK sesudah mengajar di SD, sampai malam. Begitulah setiap harinya. Tak ada waktu untuk berleha -leha. Agar bisa tetap bertahan.
Sampai akhirnya sampai ia pada batas kelelahannya. Ia sering mengeluh pada teman dekatnya. Ia ingin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik; tentunya secara finansial maupun iklim kerja. Lalu ia pun mulai bergerilya lagi, melamar pekerjaan ke tempat lain. Ia bertekad untuk pindah dari sekolah itu, meskipun berat rasanya meninggalkan anak -anak yang diajarnya.
Kemudian, pada suatu hari, saat ia masuk kelas tiba -tiba suasanan begitu sunyi. Anak -anak yang biasanya ramai menyambutnya tidak tampak satupun. Dan, itulah, tiba -tiba beberapa orang anak memeluknya dari belakang sambil berkata; “Ibu, selamat ulang tahun!” mereka mencium telapak tangannya. Diikuti seluruh anak yang diajarnya. Mereka memasang sebuah karton besar di kelas yang ditulisi ucapan selamat ultah oleh seluruh anak.
Guru itupun tak kuasa menahan air matanya. Dia menangis sambil jongkok di depan kelas. Anak -anak itu satu persatu menyerahkan bingkisan hadian ulang tahun dan selembar surat.
Di rumahnya, guru itu membuka surat -surat cinta itu dan membacanya sambil menangis. Terutama saat membaca, “Ibu, tak ada yang bisa kuberikan selain ucapan ini. Selamat ulang tahun ibu guru. Terima kasih karena telah begitu baik mengajari kami selama ini. Terima kasih atas segala yang telah ibu berikan. Kami mencintai ibu”
Keesokan harinya, guru itu berkata pada temannya, bahwa dia tidak jadi pindah kerja. saat ditanya alasannya, guru itu menjawab, “aku punya anak -anak. aku belum bisa meninggalkan mereka. belum saat ini”
Ketika dia mendekati kandang kuda, dia mendengar binatang besar itu memanggilnya.
Kata kuda itu : “Kamu pasti masih baru di sini, cepat atau lambat kamu akan mengetahui kalau pemilik ladang ini mencintai saya lebih dari binatang lainnya, sebab saya bisa mengangkut banyak barang untuknya, saya kira binatang sekecil kamu tidak akan bernilai sama sekali baginya”, ujarnya dengan sinis.
Anjing kecil itu menundukkan kepalanya dan pergi.
Lalu dia mendengar seekor sapi di kandang sebelah berkata : “Saya adalah binatang yang paling terhormat di sini sebab nyonya di sini membuat keju dan mentega dari susu saya. Kamu tentu tidak berguna bagi keluarga di sini”, dengan nada mencemooh.
Teriak seekor domba : “Hai sapi, kedudukanmu tidak lebih tinggi dari saya, saya memberi mantel bulu kepada pemilik ladang ini. Saya memberi kehangatan kepada seluruh keluarga. Tapi omonganmu soal anjing kecil itu, kayanya kamu memang benar. Dia sama sekali tidak ada manfaatnya di sini.”
Satu demi satu binatang di situ ikut serta dalam percakapan itu, sambil menceritakan betapa tingginya kedudukan mereka di ladang itu.
Ayam pun berkata bagaimana dia telah memberikan telur, kucing bangga bagaimana dia telah mengenyahkan tikus-tikus pengerat dari ladang itu. Semua binatang sepakat kalau si anjing kecil itu adalah mahluk tak berguna dan tidak sanggup memberikan kontribusi apapun kepada keluarga itu.
Terpukul oleh kecaman binatang-binatang lain, anjing kecil itu pergi ke tempat sepi dan mulai menangis menyesali nasibnya, sedih rasanya sudah yatim piatu, dianggap tak berguna, disingkirkan dari pergaulan lagi…..
Ada seekor anjing tua di situ mendengar tangisan tersebut, lalu menyimak keluh kesah si anjing kecil itu.
“Saya tidak dapat memberikan pelayanan kepada keluarga disini, sayalah hewan yang paling tidak berguna disini.”
Kata anjing tua itu : “Memang benar bahwa kamu terlalu kecil untuk menarik pedati, kamu tidak bisa memberikan telur, susu ataupun bulu, tetapi bodoh sekali jika kamu menangisi sesuatu yang tidak bisa kamu lakukan. Kamu harus menggunakan kemampuan yang diberikan oleh Sang Pencipta untuk membawa kegembiraan.”
Malam itu ketika pemilik ladang baru pulang dan tampak amat lelah karena perjalanan jauh di panas terik matahari, anjing kecil itu lari menghampirinya, menjilat kakinya dan melompat ke pelukannya. Sambil menjatuhkan diri ke tanah, pemilik ladang dan anjing kecil itu berguling-guling di rumput disertai tawa ria.
Akhirnya pemilik ladang itu memeluk dia erat-erat dan mengelus-elus kepalanya, serta berkata : “Meskipun saya pulang dalam keadaan letih, tapi rasanya semua jadi sirna, bila kau menyambutku semesra ini, kamu sungguh yang paling berharga di antara semua binatang di ladang ini, kecil kecil kamu telah mengerti artinya kasih…”
Esok harinya telah disiapkan segalanya untuk menyambut kedatangan putera tunggal kesayangannya, bahkan pada malam harinya akan diadakan pesta khusus untuk dia, dimana seluruh anggota keluarga maupun rekan-rekan bisnis dari suaminya diundang semua. Maklumlah suaminya adalah Direktur Bank Besar yang terkenal diseluruh ibukota.
Siang harinya si Ibu menerima telepon dari anaknya yang sudah berada di airport.
Si Anak: “Bu bolehkah saya membawa kawan baik saya?”
Ibu: “Oh sudah tentu, rumah kita cuma besar dan kamarpun cukup banyak, bawa saja, jangan segan-segan bawalah!”
Si Anak: “Tetapi kawan saya adalah seorang cacad, karena korban perang di Vietnam?”
Ibu: “……oooh tidak jadi masalah, bolehkah saya tahu, bagian mana yang cacad?” – nada suaranya sudah agak menurun
Si Anak: “Ia kehilangan tangan kanan dan kedua kakinya!”
Si Ibu dengan nada agak terpaksa, karena si Ibu tidak mau mengecewakan anaknya: “Asal hanya untuk beberapa hari saja, saya kira tidak jadi masalah?”
Si Anak: “…tetapi masih ada satu hal lagi yang harus saya ceritakan sama Ibu, kawan saya itu wajahnya juga turut rusak begitu juga kulitnya, karena sebagian besar hangus terbakar, maklumlah pada saat ia mau menolong kawannya ia menginjak ranjau, sehingga bukan tangan dan kakinya saja yang hancur melainkan seluruh wajah dan tubuhnya turut terbakar!”
Si Ibu dengan nada kecewa dan kesal: “Na…ak lain kali saja kawanmu itu diundang kerumah kita, untuk sementara suruh saja ia tinggal di hotel, kalau perlu biar saya yang bayar nanti biaya penginapannya!”
Si Anak: “…tetap ia adalah kawan baik saya Bu, saya tidak ingin pisah dari dia!”
Si Ibu: “Cobalah renungkan olehmu nak, ayah kamu adalah seorang konglomerat yang ternama dan kita sering kedatangan tamu para pejabat tinggi maupun orang-orang penting yang berkunjung kerumah kita, apalagi nanti malam kita akan mengadakan perjamuan malam bahkan akan dihadiri oleh seorang menteri, apa kata mereka apabila mereka nanti melihat tubuh yang cacad dan wajah yang rusak. Bagaimana pandangan umum dan bagaimana lingkungan bisa menerima kita nanti? Apakah tidak akan menurunkan martabat kita bahkan jangan-jangan nanti bisa merusak citra binis usaha dari ayahmu nanti.”
Tanpa ada jawaban lebih lanjut dari anaknya telepon diputuskan dan ditutup.
Orang tua dari kedua anak tersebut maupun para tamu menunggu hingga jauh malam ternyata anak tersebut tidak pulang, ibunya mengira anaknya marah, karena tersinggung, disebabkan temannya tidak boleh datang berkunjung kerumah mereka.
Jam tiga subuh pagi, mereka mendapat telepon dari rumah sakit, agar mereka segera datang kesana, karena harus mengidetifitaskan mayat dari orang yang bunuh diri. Mayat dari seorang pemuda bekas tentara Vietnam, yang telah kehilangan tangan dan kedua kakinya dan wajahnyapun telah rusak karena kebakar. Tadinya mereka mengira bahwa itu adalah tubuh dari teman anaknya, tetapi kenyataannya pemuda tersebut adalah anaknya sendiri! Untuk membela nama dan status akhirnya mereka kehilangan putera tunggalnya!
Sang Pastor yang pada saat itu melihat kejadian tersebut sangatlah marah dan menampar si anak sambil berkata, “Pergi!!! dan jangan kembali lagi!!! Kamu memang anak Bodoh!!!.”
20 tahun kemudian si anak menjadi seorang Tito, sebutan untuk seorang pemimpin komunis yang sangat bengis di Jerman Timur.
Pada tahun 1931 di daerah Berlin Utara seluruh masyarakat merayakan malam Natalnya yang dingin, dari pintu altar berjalan seorang anak yang baru pertama kali membawakan sebuah lilin dan secawan anggur pada nampannya, dengan gemetar ia melaju perlahan namun tiba-tiba tangannya menjadi begitu licin karena keringat, tiba-tiba saja nampan itu jatuh dan seluruh isinya berhamburan.
Seorang pastor yang memimpin misa itu menghampiri sang anak dan berkata, “Aku mengerti ini adalah saat pertama bagimu untuk membawakan perjamuan misa seperti ini, aku percaya satu saat nanti kau akan menjadi seorang Pemimpin pastor.”
20 tahun kemudian sang anak menjadi seorang pemimpin pastoral yang amat dihormati di Vatican.
Perkataanmu hari ini dapat menentukan sikap seseorang di hari esok, apakah dia anakmu, saudaramu atau keluargamu. Jagalah perkataanmu, karena perkataan itu penuh dengan kuasa.
Ketika perjamuan mulai dan drum itu dibuka yang keluar adalah air.
Salah seorang penduduk dulu berpikir begini, “Seandainya saya memasukkan sebotol air kedalam drum raksasa itu, tidak ada seorangpun yang akan merasakannya.”
Namun ia tidak berpikir bahwa semua orang di desa itu mempunyai pikiran yang sama.
“Tumben anak ini minum kopi,” pikirku.
Ku angkat dia ketempat tidur. Ku bereskan meja belajarnya yang berantakan, namun sebelum aku menutup buku tulisnya aku ingin melihat apa yang ditulis Aisyah. Aku tertegun sejenak saat membaca tulisan-tulisannya, ternyata semuanya cerita tentang diriku. Sampai akhirnya aku membaca 3 lembaran terakhir yang sangat menyentuh hatiku.
Di lembaran pertama dia menulis : “Hari ini ayah tidak jadi menemaniku ke toko buku, mungkin ayah tidak bisa meninggalkan pekerjaannya. Aku mengerti dengan kesibukanmu ayah.”
Aku jadi ingat beberapa minggu yang lalu Aisyah mengajakku ke toko buku, aku ingat sekali gaya bicaranya yang polos.
“Ayah nanti sore ada kegiatan nggak sih,” sapa Aisyah saat aku akan pergi kerja.
“Ada apa sayang,” jawabku.
“Ayah mau nggak menemani Aisyah ke toko buku?”
“Kalau ayah nggak sibuk nanti sore akan ayah usahakan menemani kamu yach”.
“Terima kasih, ayah,” ucap Aisyah dengan wajah yang sangat gembira sambil mencium pipiku.
Aku tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan menggemaskan.
Di lembaran kedua dia menulis : “Hari ini ayah tidak jadi lagi menemaniku ke toko kaset, padahal aku ingin sekali mendengar lagunya Sulis dan memutarnya di kamarku saat aku sedang sendiri agar aku tidak merasa sunyi. Sebenarnya aku mau ngajak ibu tapi aku ingin sekali ditemani ayah. Tapi lagi-lagi ayah sibuk”.
Dan aku ingat lagi kalau Aisyah memang pernah mengajakku menemaninya membeli kaset.
Kalau dia ingin mengajakku dia selalu bicara seperti ini, “Ayah nanti sore sibuk nggak atau Ayah nanti sore ada kegiatan?”
Bahasa yang sopan sekali menurutku sehingga aku tidak bisa untuk mengatakan tidak walaupun terkadang aku tidak bisa memenuhi keinginannya.
Di lembaran terakhir dia menulis : “Hari ini dan untuk kesekian kalinya ayah tidak bisa menemaniku.”
Tadi aku mengajak ayah ke pasar malam padahal ini kan hari terakhir ada pasar malam di komplekku dan aku udah janji sama pak Mamat kalau aku akan membeli boneka yang ditawarkan tadi sore saat pak Mamat lewat depan rumahku, aku katakan pada pak Mamat kalau aku akan pergi bersama ayah ke pasar malam dan aku akan membeli boneka pak Mamat. Karena ayah masih belum pulang pasti pak Mamat sudah menjualnya. Pak Mamat maafkan Aisyah yah.
Besok pagi akan Aisyah tunggu di depan rumah dan minta maaf pada pak Mamat kalau Aisyah tidak bisa pergi ke pasar malam. Kali ini Aisyah yang akan duluan meminta maaf, biasanya kan pak Mamat selalu minta maaf kalau sudah melihatku di depan rumah menanti majalah yang kupesan.
Dia selalu bilang, ‘maaf yah neng, pak Mamat terlambat’. Padahal menurutku pak Mamat nggak terlambat hanya aku yang terlalu cepat menunggunya. Begitu melihatku sudah menunggu dia mengayuh sepedanya lebih cepat lagi.
Saat ku tanya kenapa sih pak Mamat selalu minta maaf padahal pak Mamat kan nggak punya salah pada Aisyah. ‘Iya neng, Pak Mamat tidak ingin mengecewakan neng Aisyah kemaren kan sudah bilang kalau pak Mamat nganterin pesanan neng Aisyah pagi-pagi sebelum neng pergi ke sekolah.
Coba kalau pak Mamat datangnya kesiangan pasti neng kecewa, pak Mamat nggak ingin neng, ngecewakan orang karena kekecewaan itu akan menimbulkan luka di hati. Dan susah neng untuk menyembuhkannya kecuali kita minta maaf dengan tulus pada orang yang telah kita kecewakan’. Aku jadi ingat sama ayah, ayah tidak pernah mengucapkan maaf padaku, atau mungkin karena ayah menganggapku masih kecil atau ah, aku tidak mau berprasangka buruk terhadap ayah. Walaupun sebenarnya aku sangat kecewa dengan ayah tapi aku tidak ingin menyimpan kekecewaan itu didalam hati. Bahkan hatiku selalu terbuka untuk kata maaf ayah”.
Aku menangis membaca tulisan Aisyah, kudekati Aisyah di pembaringan sambil kupandangi wajahnya yang polos. Aisyah anakku sayang maafkan ayah, ternyata kau punya hati emas. Aku memang tidak pernah minta maaf pada Aisyah atas janji-janji yang tidak pernah ku penuhi padanya. Dan aku selalu menganggapnya dia sudah melupakannya begitu melihatnya dipagi hari wajahnya begitu cerah dan selalu tersenyum. Dan ternyata dia masih mengingatnya dalam tulisan-tulisannya. Ah, entah sudah berapa banyak goresan rasa kecewa yang ada dihatimu andai kau tidak memaafkan ayah. Aisyah, ayah akan menunggumu sampai terbangun untuk meminta maafmu.