It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
menolong si keledai.
Lalu petani tersebut mengajak rekan-rekannya untuk datang membantu menimbun sumur tersebut
dengan tanah. Mereka membawa sekop dan mulai
menyekop tanah ke dalam sumur. Pada mulanya, ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian. Karena tumpukan tanah menimpanya di dalam sumur yang sesak. Tiba-tiba si keledai tiba-tiba menjadi diam dari tangisnya. Petani dan rekan-rekannya segera
melihat ke dalam sumur apa yang terjadi dengan keledai itu. Mereka berpikir, keledai tersebut sudah mati. Namun, setelah petani dan rekan-rekannya melihat ke dalam sumur, mereka tercengang. Walaupun punggungnya terus ditimpa oleh bersekop-sekop tanah dan kotoran, si keledai melakukan sesuatu yang menakjubkan. Ia mengguncang-guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun ke bawah, lalu menaiki tanah itu. Sementara para rekan si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu, si keledai terus juga menguncangkan badannya dan melangkah naik. Segera saja, semua orang terpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri.
Sama seperti keledai tersebut, kadang kita berada
dalam situasi terjepit. Bahkan kita mendapat tumpahan tanah dan kotoran berupa problem dan tekanan hidup setiap hari. Cara terbaik untuk keluar dari berbagai masalah yang bertubi-tubi menimpa kita adalah dengan mengguncangkan segala tanah dan kotoran dari diri kita dan melangkah naik dari dalam "sumur" dengan menggunakan hal-hal tersebut sebagai pijakan.
masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan yang dibawa menyilang pada bahunya. Satu dari tempayan itu retak, sedangkan
tempayan satunya lagi tidak. Tempayan yang utuh
selalu dapat membawa air penuh, walaupun melewati perjalanan yang panjang dari mata air ke rumah majikannya. Tempayan retak itu hanya dapat membawa air setengah penuh. Hal ini terjadi setiap hari selama dua tahun. Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya. Tentu saja si tempayan utuh merasa bangga akan prestasinya karena dapat menunaikan tugas dengan sempurna. Di pihak lain, si tempayan retak merasa malu sekali akan ketidaksempurnaanya dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya ia dapat berikan.
Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, tempayan retak berkata kepada si tukang air, "Saya sungguh malu kepada diri saya sendiri dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya" "Mengapa?" tanya si tukang air, "Mengapa kamu merasa malu ?" Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang
seharusnya dapat saya bawa. Adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita. Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi." Si tukang air merasa kasihan kepada si tempayan
retak, dan dalam belas kasihannya, ia menjawab," Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan sisi di sepanjang jalan."
Benar, ketika mereka naik ke bukit, si tempayan
retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa
ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan dan
itu membuatnya sedikit terhibur. Namun pada akhir
perjalanan, ia kembali merasa sedih karena separuh air yang dibawanya telah bocor dan kembali tempayan retak itu meminta maaf kepada si tukang air atas kegagalannya. Si tukang air berkata kepada tempayan itu, "Apakah kamu tidak memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu ? tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan lain yang tidak retak itu ?" Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu dan aku memanfaatkannya. Aku telah menanam benih benih bunga di sepanjang jalan di sisimu dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, kamu mengairi benih-benih itu. Selama dua tahun ini, aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita. Tanpa adanya kamu , majikan kita tidak akan dapat menghias rumahnya seindah sekarang.
pohon, yaitu pohon bambu dan beringin. Kedua pohon yang berbeda jenis tersebut sama sama tumbuh dan berkembang sejak masih kecil. Meski tumbuh bersama, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda, Beringin memiliki sifat yang keras, kasar dan sombong sedangkan bambu memiliki sifat yang halus dan mengalah.
Pada suatu hari yang cerah, beringin yang sombong terlihat sedang mengejek bambu, “Hei bambu. kita kan tumbuh bersama sejak kita masih sama sama kecil, tapi lihatlah, badan kita jauh berbeda, lihatlah, badanku besar, kuat dan pasti tidak mudah patah dan lihatlah badanmu yang kurus ceking begitu, kena angin sedikit aja pasti patah badanmu !’ Mendengar ejekan dari beringin seperti itu, bambu tetap tenang dan menjawab, “Ah siapa bilang, tidak semua sesuatu yang besar itu pasti hebat dan kuat, bukankah segala sesuatu itu pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing ?”
Dasar beringin yang sombong dan tidak mau kalah, mendengar perkataan bambu yang bijak, dia malah mengancam, “Oh yaa, jadi kamu pikir Aku tidak hebat dan kuat ?, awas kamu nanti kalau Aku
semakin besar, tempatmu pasti akan Aku ambil..!” masih dengan tenang bambu pun menjawab, “Ya, kita lihat saja nanti.”
Dan waktu pun terus berlalu, kedua pohon tersebut
pun tumbuh semakin besar, sampai pada suatu malam, terjadi hujan badai yang sangat dahsyat di padang rumput itu. Badai itu sangat besar bahkan
saking besarnya sampai bisa merobohkan beringin yang sombong itu, ya, beringin yang sombong itu roboh tak mampu menahan kekuatan angin yang jauh melebihi kekuatan tubuhnya. Bagaimana dengan bambu? Berbeda dengan beringin yang sombong dan tidak mau mengalah, bambu berhasil selamat dari badai itu karena tubuhnya yang lentur dan mampu mengikuti kemana arah angin itu berhembus.
btw yg lonceng itu horor banget..huhuhu..
dan akhirnya stroke, sudah 7 malam dirawat di RS
di ruang ICU. Disaat orang-orang terlelap dalam mimpi malam, dalam dunia Roh seorang Malaikat menghampiri si pengusaha yang terbaring tak berdaya. Malaikat memulai pembicaraan, "kalau dalam waktu 24 jam ada 50 orang berdoa buat
kesembuhanmu, maka kau akan hidup dan sebaliknya jika dalam 24 jam jumlah yang aku tetapkan belum terpenuhi, itu artinya kau akan meninggal dunia! "Kalau hanya mencari 50 orang, itu mah gampang ... " kata si pengusaha ini dengan
yakinnya. Setelah itu Malaikat pun pergi dan berjanji akan datang 1 jam sebelum batas waktu yang sudah disepakati.
Tepat pukul 23:00, Malaikat kembali mengunjunginya dan dengan antusiasnya si pengusaha bertanya, "apakah besok pagi aku sudah pulih? pastilah banyak yang berdoa buat aku, jumlah karyawan yang aku punya lebih dari 2000 orang, jadi kalau hanya mencari 50 orang yang berdoa pasti bukan persoalan yang sulit". Dengan lembut si Malaikat berkata, "anakku, aku
sudah berkeliling mencari suara hati yang berdoa
buatmu tapi sampai saat ini baru 3 orang yang berdoa buatmu, sementara waktu mu tinggal 60
menit lagi, rasanya mustahil kalau dalam waktu dekat ini ada 50 orang yang berdoa buat kesembuhanmu".
Tanpa menunggu reaksi dari si pengusaha, si Malaikat menunjukkan layer besar berupa TV siapa
3 orang yang berdoa buat kesembuhannya. Di layar itu terlihat wajah duka dari sang istri, di sebelahnya ada 2 orang anak kecil, putra putrinya yang berdoa dengan khusuk dan tampak ada tetesan air mata di pipi mereka". Kata Malaikat, "aku akan memberitahukanmu, kenapa Tuhan rindu memberikanmu kesempatan kedua? itu karena doa istrimu yang tidak putus- putus berharap akan kesembuhanmu" Kembali terlihat dimana si istri sedang berdoa jam
2:00 subuh," Tuhan, aku tau kalau selama hidupnya suamiku bukanlah suami atau ayah yang baik! Aku tau dia sudah mengkhianati pernikahan kami, aku tau dia tidak jujur dalam bisnisnya, dan
kalaupun dia memberikan sumbangan, itu hanya untuk popularitas saja untuk menutupi perbuatannya yang tidak benar dihadapanMu, tapi
Tuhan, tolong pandang anak-anak yang telah Engkau titipkan pada kami, mereka masih membutuhkan seorang ayah dan hamba tidak
mampu membesarkan mereka seorang diri." Dan setelah itu istrinya berhenti berkata-kata tapi air
matanya semakin deras mengalir di pipinya yang
kelihatan tirus karena kurang istirahat".
Melihat peristiwa itu, tanpa terasa, air mata mengalir di pipi pengusaha ini . . . timbul penyesalan bahwa selama ini dia bukanlah suami
yang baik dan ayah yang menjadi contoh bagi anak-anaknya, dan malam ini dia baru menyadari
betapa besar cinta istri dan anak-anak padanya. Waktu terus bergulir, waktu yang dia miliki hanya
10 menit lagi, melihat waktu yang makin sempit
semakin menangislah si pengusaha ini, penyesalan yang luar biasa tapi waktunya sudah terlambat! tidak mungkin dalam waktu 10 menit ada yang berdoa 47 orang! Dengan setengah bergumam dia bertanya, "apakah diantara karyawanku, kerabatku, teman bisnisku, teman organisasiku tidak ada yang berdoa buatku?" Jawab si Malaikat,'" ada beberapa yang berdoa
buatmu tapi mereka tidak tulus, bahkan ada yang
mensyukuri penyakit yang kau derita saat ini, itu
semua karena selama ini kamu arogant, egois dan
bukanlah atasan yang baik, bahkan kau tega memecat karyawan yang tidak bersalah". Si pengusaha tertunduk lemah, dan pasrah kalau malam ini adalah malam yang terakhir buat dia, tapi dia minta waktu sesaat untuk melihat anak dan si istri yang setia menjaganya sepanjang malam. Air matanya tambah deras, ketika melihat anaknya
yang sulung tertidur di kursi rumah sakit dan si istri
yang kelihatan lelah juga tertidur di kursi sambil
memangku si bungsu.
Ketika waktu menunjukkan pukul 24:00, tiba-tiba si
Malaikat berkata, "anakku, Tuhan melihat air matamu dan penyesalanmu ! ! kau tidak jadi meninggal, karena ada 47 orang yang berdoa
buatmu tepat jam 24:00". Dengan terheran-heran dan tidak percaya,si pengusaha bertanya siapakah yang 47 orang itu. Sambil tersenyum si Malaikat menunjukkan suatu tempat yang pernah dia kunjungi bulan lalu. Bukankah itu Panti Asuhan ? kata si pengusaha pelan. Benar anakku, kau pernah memberi bantuan bagi mereka beberapa bulan yang lalu, walau aku tau tujuanmu saat itu hanya untuk mencari popularitas saja dan untuk menarik perhatian pemerintah dan investor luar negeri. Tadi pagi, salah seorang anak panti asuhan tersebut membaca di Koran kalau seorang pengusaha terkena stroke dan sudah 7 hari di ICU, setelah melihat gambar di koran dan yakin kalau
pria yang sedang koma adalah kamu, pria yang
pernah menolong mereka dan akhirnya anak-anak panti asuhan sepakat berdoa buat kesembuhanmu.
Tangan
"Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat".
–John Scheffer-
Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya. Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu?
Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran.
Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng.
Tawuran telah menjadikan puluhan remaja
meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk?
Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga.
Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun.
Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan
mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong
plastik hitam itu saya menemukan surat yang
dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:
—–
“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak
saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar
sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen.
Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap.
Bilangnya nanti juga diganti kalau angka
tebakannya tepat. Selama ini belum pernah
tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat
beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak.
Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi
dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin
menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering
merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas
jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman.
Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri.
Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”
—–
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya
baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman.
Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi.
Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya
membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya. Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya
mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir di mata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.
Artikel ini dikirim oleh seseorang yang tidak ingin dilampirkan namanya. Semoga saja bisa
bermanfaat.
Tangan
"Mahluk yang paling menakjubkan adalah manusia, karena dia bisa memilih untuk menjadi “setan atau malaikat".
–John Scheffer-
Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya. Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu?
Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran.
Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng.
Tawuran telah menjadikan puluhan remaja
meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk?
Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi di zaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga.
Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun.
Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan
mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong
plastik hitam itu saya menemukan surat yang
dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:
—–
“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak
saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar
sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen.
Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap.
Bilangnya nanti juga diganti kalau angka
tebakannya tepat. Selama ini belum pernah
tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat
beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak.
Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi
dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin
menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering
merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas
jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman.
Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri.
Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”
—–
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya
baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman.
Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi.
Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya
membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya. Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya
mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir di mata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.
Artikel ini dikirim oleh seseorang yang tidak ingin dilampirkan namanya. Semoga saja bisa
bermanfaat.