It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Abi sedang mengerjakan PR di kamarnya. Kamarnya tepat berada di depan. Dengan dua jendela berkaca gelap dan tirai – tirai putih penuh renda. Sesekali, angin ingin menerobos masuk mencoba mencari tahu apa yang sedang dilakukan oleh Abi. Di depan jendela ada sebuah kursi panjang yang diletakkan di taman persis di depan kamar Abi. Ayah Abi sedang mengobrol dengan tetangga sebelah rumahnya.
“Abi gimana sekolahnya Pak?” tanya tetangga sebelah rumah Abi.
“Ya gitu, gambar terus kerjaannya” balas Ayah Abi sekenanya.
Abi bagai tersambar. Sepertinya sudah dua minggu ini Abi belajar bersama Sayans dengan penuh ketekunan dan bukannya menggambar. Abi memang suka menggambar. Sejak kecil ia banyak meraih kejuaraan di bidang seni lukis. Namun semenjak memasuki bangku SMP, ayah dan bundanya menyuruh Abi untuk mengurangi intensitasnya dalam menggambar atau mungkin bisa dibilang melarang.
“Iya si Abi mah ngga bisa diandelin , beda sama si Avi”. Kalimat yang baru saja keluar dari mulut ayahnya itu terdengar seperti Guntur yang menyambar tepat di jantung Abi. Abi kemudian mengambil headphone dan memutar musik dengan volume tertinggi sehingga tak dibiarkannya satu desibell suarapun yang bisa masuk ke dalam telinganya. Air matanya jatuh meluncur dengan indah membasahi pipinya yang chubby.
“Gue ngga mau ya punya sodara kembar banci kaya lo!”
Abi masih ingat betul apa yang dikatakan oleh Avi dulu ketika mereka menginjak bangku kanak - kanak. Bahkan ketika ditanya “Kalian kembar ya?”, Avi tidak pernah mengiyakan pertanyaan tersebut. Abi hanya bisa menangis. Di dalam hatinya. Karena jika ia tertangkap basah sedang menangis di depan Avi, dia takut akan dikatai banci lagi oleh Avi.
Sejak saat itu, Abi selalu menjaga jarak dari Avi. Sejak saat itu pula, Abi mulai memakai topengnya.
Abi bangkit dari tempat tidurnya dan menghentikan lagu yang sedari tadi memanjakan tangisnya.
“Kak, bisa ke rumah ngga? Jemput Abi yaaa, Abi mau nangis” Abi mengangkat telponnya. Terdengar sayup – sayup suara di seberang telepon mengiyakan.
“Halo?”. Seorang pria berusia tigapuluhan nampak gelisah saat mengangkat telpon di kantornya. Hari itu di bandara nampak ramai. Izin untuk cuti shift malam nampak tidak relevan dengan ramainya jadwal penerbangan yang ada.
Pria itu sedari tadi hilir-mudik memasang mimik gelisah menunggu kabar dari seberang sana. Dan kini ia menemukan jawaban atas penantian panjangnya.
“Halo Pak, ini anaknya sudah lahir”. Jawab wanita di seberang telepon. Pria itu langsung jatuh ke lantai. Bukan karena sakit, melainkan rasa lega yang tak terdandingi seperti ketika dokter berhasil mengangkat tumor ganas di kepala seorang pasien. Lega.
Malam itu di bulan kelima tahun 92, lahirlah dua anak kembar di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Teriakan keduanya cukup kuat untuk diadu dengan bisingnya suara kendaraan ibukota. Langit kala itu gelap berwarna sedikit merah. Tak lama hujan turun membasahi bumi ibukota. Wanita yang melahirkan kedua bayi itupun tak perlu ditanya bagaimana perasaannya. Kedua bayi kembar itupun menjadi primadona di rumah sakit. Tak sedikit para dokter ingin mengadopsi bayi kembar tersebut. Beberapa suster juga tak mau kalah bergantian ingin menggendongnya. Untuk saat ini merekalah primadona. Cukup dipuja hingga mereka tahu ada yang berbeda.
“Abi, sana main di luar sama Avi, masa di rumah terus” teriak ibunya dari dapur. Abi kemudian pergi keluar meninggalkan boneka kelincinya. Sesekali ia menoleh ke arah boneka kelincinya itu seakan masih ragu untuk keluar rumah.
“Bye Tuan Kelinci” ucap Abi sambil berlalu menuju teras rumahnya.
Langkah kaki kecilnya berhasil membawanya di depan sebuah lapangan yang penuh dengan bocah – bocah yang mengklaim dirinya sebagai pemain sepak bola dunia.
“Hei Abi ayo main bola!” teriak salah satu anak dari kejauhan.
“Ngga deh, aku ngga bisa main bola” jawab Abi malu – malu sambil sesekali menunduk.
“Udah sini! Masa cowok ngga bisa main bola! Itu si Avi aja bisa” timpal anak tadi sedikit memaksa dengan bumbu intimidasi yang langsung saja bekerja. ABi paling tidak suka
jika sudah dibeda-bedakan dengan saudara kembarnya itu. Dengan tekad kuat sambil gemetar, Abi memberanikan diri memasuki lapangan. Belum sampai tengah lapangan, seorang anak menendang bola ke mukanya. Seketika selusin tawa pecah di lapangan itu. Abi jatuh tersungkur. Ia mendongak ke arah anak – anak yang menertawainya. Ia sempat melihat Avi membuang muka di tengah wajah – wajah setan yang sembunyi dibalik kedok polos usia balita.
“Banci – banci! Sana pulang!” teriak semua anak termasuk Avi. Abi kemudian bangkit dan berlari menuju rumah sambil menangis. Darah segar mengucur melalui salah satu lubang hidungnya yang mungil.
“Ada apa Abi? Tanya Ayahnya.
“Abi ditendang bola yah sama anak – anak” Abi mencoba menjelaskan sambil menangis.
“Yaudah jangan nangis, anak cowok udah biasa berdarah, udah jangan manja!” tone ayahnya sedikit tinggi. Abi tahu persis itu bukan nada menguatkan, lebih terdengar sepeti menjatuhkan. Abi tidak terllau polos untuk usianya yang baru menginjak 4 tahun. Dia sudah paham betul apa artinya rasa sakit. Apa rasanya tersingkir. Apa rasanya berbeda. Beberapa kali Abi mendapati artikel – artikel tentang homosexual yang masih belum terlalu popular kala itu pada sebuah kolom Koran. Ia sudah mahir membaca sejak berusia 4 tahun berbeda dengan Avi yang masa kecilnya dihabiskan dengan bermain – main. Abi selalu bermain dengan Tuan Kelinci sambil membacakannya dongeng – dongeng Hans Christian Andersen.
Saat itu dia berhenti menangis. Tepat saat itu juga. Ia mengusap darah yang keluar dari hidungnya dengan kaos bergaris biru yang ia kenakan dan menuju kamar mandi. Ia kemudian memanjat bak mandi melalui toilet yang berada tepat di sebelahnya. Abi melihat refleksi dirinya pada air bak mandi yang seolah menariknya. Seolah lebih nyaman daripada keluarganya dengan kilatan – kilatan cahaya yang menyemburat indah. Ia meihat dirinya lain seperti pada dongeng itik buruk rupa.
“Kenapa aku berbeda?” tanya Abi pada pantulannya yang kemudian menceburkan dirinya ke dalam bak mandi.
Nama gue Avisena Wiryaputra. Baru pertama kali ini gue beruntung karena gue ngga satu sekolah sama kembaran gue yang orang – orang bilang banci. Jujur gue sendiri masih bingung untuk memilih kata harus bahagiakah gue atau sedihkah gue terlahir bersama Abi. Di satu sisi gue ngga mau ada orang yang meragukan kejantanan gue, tapi di sisi lain gue juga ngga mau ada orang yang nyakitin dia.
“Bi Lo mau kemana? Tumben sekarang kelayapan mulu?”
Gue yang sedang asik nonton TV merasa terusik oleh kedatangan ABi yang daritadi seliweran. Akhir – akhir ini gue perhatiin dia rajin belajar di luar yang entah dengan siapa. Bukannya apa. Gue hanya ngga mau dia salah bergaul.
“Oh, iya ini mau belajar kelompok sama temen” jawab Abi sambil nyelonong ke kamarnya. Ia nampak sibuk memasukkan buku – buku pelajaran ke dalam tasnya yang berwarna merah.
“Eh Bi, gue pinjem HP lo dong, mau minta transfer pulsa yak”
Tiap minggu gue selalu minta pulsa sama Abi karena jujur gue tipikal orang yang boros, beda sama Abi. Kadang gue kesel, tuh anak kok masih bisanya nabung ditambah saldo pulsa yang ngga habis – habis. Hari ini gue berniat ngerjain dia. Gue mau habisin saldonya.
“Iya ambil aja, HP gue di kamar di atas kasur Vi” balas Abi sambil menghilang di balik pintu kamar mandi. Siang itu terang benderang serasa semua cahaya menuding ke dalam rumah kami. Anginpun berhembus cukup kuat, cukuo untuk membelai halus kulit gue di siang yang terik ini. Gue melangkah masuk kamar Abi. Ini anak rapi banget ya kamarnya. Gue tertegun ketika memasuki kamarnya. Meskipun saudara kembar, kami ngga pernah tau isi kamar kami masing – masing. Entah karena gue yang sedari dulu anti sama dia atau apa, namun untuk kali ini gue ngerasa nyaman banget berada di kamar Abi. Semenjak lulus TK kami ngga lagi tidur bersama. Gue punya kamar sendiri dan begitu juga Abi. Dari TK hingga SMP gue sama Abi sellau satu sekolah. Lo kebayang kan gimana muaknya gue selalu dikatain kembarannya banci. Sampe akhirnya gue liat makin kesini si Abi udah mulai berubah. Mungkin Tuhan menunjukkan hidayah-Nya buat Abi. Mata gue asik menyusuri setiap sudut ruangan kamar Abi. Normal. Ngga ada boneka. Ngga ada warna pink yang bikin mat ague sakit. Ngga ada poster – poster girlband korea atau apalah. Kamarnya wangi pinus. Gue sesekali terbawa suasana ketika gue nge-camp bareng anak – anak di sekitaran Bromo.
Akhirnya pandangan gue berlabuh pada sosok kecil di atas bantal. HP Abi. Gue ambil HP-nya dan gue swipe layarnya. Eh ada kode sandinya. Gue mencoba mengetik ABI. Wrong password. Lalu iseng gue mengetik AVI. Seketika dunia gue runtuh. Ada dua rasa yang langsung menghantam kepala gue. Antara senang karena Abi make nama gue sebagai passwordnya dan rasa yang gue sendiri ngga paham. Rasanya muka gue padam. Tapi bukan malu.
Me : Kak Sayans, ge udh siap, buruan jemput
Love : Iya beb, gue otw. Hari ini gue minta itu ya
Me : Ihhh apaan, ogah Abi malu! Udah buruan jemput
Gue tau Sayans ini bukan cewek. Gue tau Sayans ini cowok yang sering ke rumah ngejemput Abi. Gue kenal nama itu. Gue pernah satu pasukan paskib pas di Kabupaten. Gue langsung bergegas keluar. Anjing. Gue udah ngga nafsu sama sekali buat ngabisin saldo pulsanya. Gue mencoba fokus ke film kartun goblok yang ada di depan gue sekarang.
“Vi, udah pulsanya? Gue berangkat dulu ya” sapa Abi yang langsung keluar menuju teras.
Gue buntutin dia di balik jendela. Dan bener. Itu Sayans. Anak paskib SMA sebelah. Anjing.
@rezadrians
@arifinselalusial @octavfelix @lulu_75 @mustaja84465148 @jacksmile@CurhatDetected
@Grem @kogou_shigeyuki25 @Mr_Makassar @kogou_shigeyuki25 @arieat@3dhyart_cusman
@rio_san @caetsith @d_cetya @ramadhani_rizky @Monic @Adityaa_okk @Agova
“Iya kak? Eh mama kaka pulang jam berapa deh? Hari ini bukan sih?” balas Abi sambil terus mengerjakan soal kimia yang dengan indah terbentang di hadapannya.
“Beb” panggil Sayans lagi yang kali ini terdengar semakin menggoda.
“Iya? Ada apa sih?” Balas Abi sekenanya dengan tetap fokus mengerjakan soal kimianya itu.
“Beb, nonton bokep yuk!” Seketika Abi merinding. Dadanya berdegup kencang seperti ada yang menabuhnya tak henti – henti. Mukanya merah padam. Mulutnya terkunci. Abi skak-mat telak. Ia seperti raja yang terpojok dan siap diterkam.
“Udahanlah belajarnya, lo ngga bosen emang?” tiba – tiba Sayans mendekat dan langsung memeluk Abi dari belakang. Abi hanya mengangguk malu. Sayans merasa menang saat itu juga. Ia segera menyalakan laptopnya dan duduk memeluk Abi.
“Kak tapi kita ngga main kan?” dengan spontas Abi menyeletuk.
“Hahahaha, iya – iya nonton doang!” untuk sekian kalinya tawa Sayans pecah bersaing melawan libidonya yang memuncak. Abi hanya tertunduk malu dengan nukanya yang sebelas duabelas dengan tomat di kebun Sayans.
Filmpun diputar. Adegan pemanasan nampak terlihat. Kedua pasangan di dalam film tersebut sedang asik melucuti pakaian mereka dan saling berciuman. Hormon – hormon di ruangan itu serasa penuh sesak saling mengejar satu sama lain.
Abi hanya bisa bengong melihat adegan – adegan yang mulai memanas. Jantungnya semakin berdegup kencang ketika ia merasakan ada sebuah tonjolan besar yang mulai merayap di belakang punggungnya. Ia tahu persis apa itu. Sesuatu yang mengancam namun juga sangat menarik. Abi merasakan tengkuknya mendapat ciuman dan hembusan nafas berat dari kekasihnya. Menjalar hingga ke telinga, bagian favorit mereka berdua. Dan merekapun berciuman cukup lama hingga lidah mrekapun saling akrab satu sama lain.
Film sudah hampir setengah jam berlalu. Sayans mulai melepas kaos yang ia kenakan. Terlihat keringat berselancar mantap melewati dadanya yang bidang. Ia mulai menggiring Abi untuk melepaskan kaosnya juga. Kini mereka berdua saling berpelukan sembari bertelanjang dada. Tubuh Abi kian mengeras ketika merasakan dada Sayans yang sesekali tergesek lembut mengenai punggungnya. Filmpun mencapai klimaks. Keduanya melotot melihat sesi akhir film tersebut.
Tiba – tiba ponsel Abi berdering. Abi langsung bergegas meraih ponselnya.
“Bi Lo dimana?”
“Gue lagi belajar di rumah temen, kenapa?” jawab Abi terbata – bata.
“Ngga usah bohong Lo, balik sekarang ngga!” teriak suara di balik ponselnya.
“Apaan sih, hidup – hidup gue ini, sejak kapan Lo bisa seenaknya ngatur – ngatur gue?” nada Abi mulai meningkat.
“Lo tobat sana! Jangan jadi homo njing!” merasa tertampar, khotbah berbalut serapah tersebut langsung keluar dari mulut Avi. Abi terduduk lemas di ruang tamu sambil mematikan ponselnya. Sayans langsung menghampiri Abi dan memeluknya. Pecah sudah tangis Abi. Semua hormon yang semula saling mengejar memenuhi ruangan seketika lenyap seolah mati terbunuh satu sama lainnya. Sayans berkali – kali menenangkan Abi dengan sentuhan – sentuhan menguatkan sambil sesekali mengecup keningnya. Kali ini bukan sebuah tawa kepolosan yang menginterupsi adegan panas mereka, melainkan sebuah awal dari petaka, entah untuknya atau untuk Abi.
Keduanyapun kemudian hanyut dan tertidur di sofa besar di dalam ruang tamu Sayans. Matahari ikut turun menyambut kesedihan Abi. Ia membawa bulan untuk menggantikannya menghibur jiwa – jiwa yang lelah malam itu. Jiwa – jiwa yang saling menghakimi satu sama lain. Yang merasa paling benar di antara yang benar. Yang mengutuki salah seolah ia tak layak dilahirkan. Benar sejati adalah semu. Dan salah selalu mutlak. Hanya Tuhan yang maha-Tahu apa yang salah dan benar. Karena dialah yang menciptakan keduanya. Bahkan Tuhan begitu paradoks hingga bisa menjelma menjadi Maha-Benar dan juga Maha-salah. Tuhan – tuhan yang mereka ciptakan sendiri. Tuhan – tuhan buatan.