It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Membaca berita tentang Farhat Abbas atau komentar-komentar politikus menjelang pemilu, kadang membuat saya merasa malu sebagai orang Indonesia. Awalnya saya tak menyangka jika perasaan itu kembali menyengat saya saat di Ramelau, jauh dari kampung halaman. Bahkan, lebih kuat. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya merasa malu, menyesal, sedih, bahkan kecewa terlahir dengan membawa nama Indonesia dalam kartu identitas saya.
Di Ramelau, saya ditemani oleh seorang pemandu setempat, seorang wartawan dari Dili. Maka, sepanjang perjalanan, mengalirlah kisah-kisah pilu dan mengerikan yang menjadi salah satu aib bangsa Indonesia; Penyerangan Timor Leste. Invasi Indonesia terhadap Timor Leste adalah salah satu penyerangan terhadap negara lain terburuk di penghujung abad ke-20. Penyerangan yang sama brutal dan absurdnya dengan invasi AS terhadap Irak atau bahkan Israel terhadap Palestina. Begitu parahnya pelanggaran HAM yang terjadi di sana, sampai-sampai dua orang putra Timor menerima Nobel Perdamaian atas upaya mereka menghentikan kebiadaban yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap negara kecil dan kerontang ini.
Dan gunung Ramelau adalah saksi bisu pembantaian-pembantaian mengerikan ini. Pemerkosaan, penjagalan, mutilasi, pembakaran, dan hal-hal keji lainnya dilakukan TNI di hutan-hutan Ramelau. Di desa kecil kaki gunung Ramelau, saya ditunjukkan sisa-sisa pemukiman yang ditinggalkan kaum lelakinya untuk diinterogasi “hanya semalam saja” oleh TNI. Tentu saja mereka tak pernah kembali. Sekali kena cap sebagai “pemberontak” Fretilin, perlu keberuntungan sangat besar untuk lepas dari tangkapan mematikan.
Ah, Fretilin. Saya masih ingat, di buku-buku sejarah sekolah, nama ini begitu beracun dan dianggap simbol pembangkang bahkan setan. Deskripsinya selalu menyudutkan, padahal partai kecil ini tak lebih dari gerilyawan yang mencoba mempertahankan tanah airnya dari penyerang negara lain. Sementara kengerian invasi Timor Leste riuh di luar negeri, di Indonesia sendiri, berita (dan tulisan) tentang Timor Leste menjadi senyap, disensor, disembunyikan, bahkan mungkin sengaja untuk dilupakan. Berapa persen generasi muda Indonesia yang mengenal peristiwa invasi Timor Leste dengan sesungguhnya?
Di Ramelau, entahlah, saya tak bisa mendeskripsikan bagaimana rupa perasaan saya, ketika menyaksikan sendiri bukti-bukti kekejian dan kebiadaban yang dilakukan oleh bangsa yang menginjak tanah yang sama dengan saya. Di bulan di mana kata nasionalisme sering diagungkan, rasa nasionalisme dan kebanggan saya terhadap negara justru berada pada titik terapuh.
Sepanjang perjalanan, sang guide memutar 3 jenis lagu; lagu berbahasa daerah Timor dan lagu berbahasa portugis yang tidak saya mengerti sama sekali maknanya. Satu-satunya jenis musik yang saya hafal lirik-liriknya adalah saat dia memutar lagu-lagu Bob Marley. Dihadapkan pada jejak dosa dan darah, lirik-lirik lagu Marley yang eskapis justru menjadi ironis. Bahkan terasa sebagai basa-basi dan tak bisa menghibur saya lagi.
Sekarang banyak gunung yang terbakar ya. terakhir yg saya tau itu Sumbing dan Papandayan (lagi). Apalagi yg Papandayan terindikasi terbakar lagi (setelah dua minggu sebelumnya baru ebrhasil dipadamkan) karena ulah pendaki yg ceroboh masang api unggun di Tegal Alun. Duh.
Bob Marley memang seorang dewa. Sedikit merasa bersalah karena mengabaikan lagu-lagu Marley di Ramelau, saya memutar lagu-lagu Marley untuk mencari penebusan. Dan, mendengarkan lagu-lagu Marley di bawah naungan bintang, membuat saya berfikir lagu-lagu Marley sudah pasti masuk dalam daftar lagu yang paling sering diputar di surga sana.
Lagu Redemption Song-nya Marley, novel Poor Folk-nya Dostoyevsky, susu sereal panas, angin dingin merbabu yang mendamaikan, dan malam yang penuh bintang. Saya pikir, tak ada hal yang lebih sempurna ketimbang itu.
setelah pos 2 mulai terbiasa.
dari pasar bubrah ke puncak medannya susaaaah.. (buatku yg newbie ini).
turunnya yg susah setelah pos 1, tracknya debu+kerikil thok, tidak berani turun cepet2.
huff, pendakian perdana yg seru.