BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Gay dan suka naik gunung?

1282931333436

Comments

  • edited September 2015
    JoelTop wrote: »
    Klw menurut pendapat mas" kenapa pada suka naik gunung? *pertanyaan waktu mau masuk mapala*

    Pengen tau jawabannya mas mas sekalian :33

    ih kepo kamu deh
  • @wing huh! salah nebak! ga jadi dapat cipokan
  • @createsometrouble oya? berapa angka tebakanmu?
    postingan saya yang konyol dan labil pasti membuat kamu mengira usia saya 15 tahunan ya? haha
  • edited December 2015
    Oct 5.. I remember that.
  • Gunung kerinci or kinabalu sounds tempting euughh
  • @silverliningggg salam kenal bro, kapan2 join yuk
  • Gunung Gede
    Untuk pertama kalinya, saya tak punya keinginan untuk membaca buku di sebuah gunung.

    Sebegitu besarnya rasa marah, kecewa, dan sedih membuat saya memutuskan bahwa tak ada yang bisa mengalihkan perasaan campur aduk yang meledak-ledak dalam pikiran saya saat itu.

    Menyaksikan langsung alun-alun Suryakencana yang legendaris hancur punah oleh kebakaran karena perbuatan TOLOL pendaki yang membuat api unggun di atas lahan bergambut akumulasi humus yang menumpuk selama berabad-abad, benar-benar nyaris menghancurkan kewarasan dan kesantunan saya. Bawaannya, ingin maki-maki orang terus.

    Bersama relawan yang mengantar, saya dan tim menyaksikan dampak parah kebakaran yang menghancurkan salah satu surga terakhir di Tanah Jawa ini. Yang saya saksikan adalah sebuah horor yang menyesakkan. Apa yang telah diperjuangkan bisa bertahan selama berabad-abad, hancur dalam semalam oleh kebodohan.

    Angin di Suryakencana meski masih dingin, tetapi tak membawa kesegaran sama sekali. Malah membuat sesak karena hanya membawa abu, bau arang gosong, dan sisa-sisa kematian. Lebih mirip sebuah lanskap setting Divine Comedy-nya Dante ketimbang sebuah gunung. Kesunyiannya membuat saya merinding. Tak ada lenguhan celepuk, bisik-bisikan semak belukar, atau cericitan serangga. Hanya ada tubir kebisuan dan kepasrahan. Sebuah kekalahan total.

    Apa yang saya kenang dari tempat ini saat terakhir kali mengunjunginya, semuanya sirna dengan jejak yang carut marut seperti Erabor yang dibakar habis oleh naga Smaug. Ingatan tentang edelweissnya (salah satu padang edelweiss jawa terbesar di Indonesia--sebelum kebakaran hebat) yang saya lihat beberapa bulan lalu terasa menyakitkan. Dan kepedihan tsb makin mendalam saat menyadari bahwa padang edelweiss terbaik lainnya yakni Tegalalun di Papandayan, juga musnah dilalap api, karena kebodohan pendakian tolol lainnya.

    Kebakaran Suryakencana semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa bukan keserakahan, bukan kesombongan, atau dosa-dosa besar lainnya yang diancam dalam agama-agama yang akan membawa kehancuran dunia. Tapi kebodohan! Kebodohan! Kebodohan!

    Dalam murka yang menggelegak, Saya memutar musik The Ruins of Athens, salah satu karya Beethoven yang terakhir. Karya ini saya pikir sangat pas saat diputar di Suryakencana. Sebuah aransemen penuh kemarahan, kebingungan, dan kegetiran yang menusuk; mengapa tempat favorit para dewa-dewa dibiarkan hancur oleh kebodohan manusia? Mengapa para dewa diam saja, tak menurunkan tulah, atau sekedar kuasa untuk mencegah?
  • Bisa direboisasi? Kalau ya, butuh berapa lama dan bagaimana? (Bobot 40) @wing
  • wing wrote: »
    Gunung Gede
    Untuk pertama kalinya, saya tak punya keinginan untuk membaca buku di sebuah gunung.

    Sebegitu besarnya rasa marah, kecewa, dan sedih membuat saya memutuskan bahwa tak ada yang bisa mengalihkan perasaan campur aduk yang meledak-ledak dalam pikiran saya saat itu.

    Menyaksikan langsung alun-alun Suryakencana yang legendaris hancur punah oleh kebakaran karena perbuatan TOLOL pendaki yang membuat api unggun di atas lahan bergambut akumulasi humus yang menumpuk selama berabad-abad, benar-benar nyaris menghancurkan kewarasan dan kesantunan saya. Bawaannya, ingin maki-maki orang terus.

    Bersama relawan yang mengantar, saya dan tim menyaksikan dampak parah kebakaran yang menghancurkan salah satu surga terakhir di Tanah Jawa ini. Yang saya saksikan adalah sebuah horor yang menyesakkan. Apa yang telah diperjuangkan bisa bertahan selama berabad-abad, hancur dalam semalam oleh kebodohan.

    Angin di Suryakencana meski masih dingin, tetapi tak membawa kesegaran sama sekali. Malah membuat sesak karena hanya membawa abu, bau arang gosong, dan sisa-sisa kematian. Lebih mirip sebuah lanskap setting Divine Comedy-nya Dante ketimbang sebuah gunung. Kesunyiannya membuat saya merinding. Tak ada lenguhan celepuk, bisik-bisikan semak belukar, atau cericitan serangga. Hanya ada tubir kebisuan dan kepasrahan. Sebuah kekalahan total.

    Apa yang saya kenang dari tempat ini saat terakhir kali mengunjunginya, semuanya sirna dengan jejak yang carut marut seperti Erabor yang dibakar habis oleh naga Smaug. Ingatan tentang edelweissnya (salah satu padang edelweiss jawa terbesar di Indonesia--sebelum kebakaran hebat) yang saya lihat beberapa bulan lalu terasa menyakitkan. Dan kepedihan tsb makin mendalam saat menyadari bahwa padang edelweiss terbaik lainnya yakni Tegalalun di Papandayan, juga musnah dilalap api, karena kebodohan pendakian tolol lainnya.

    Kebakaran Suryakencana semakin meneguhkan keyakinan saya bahwa bukan keserakahan, bukan kesombongan, atau dosa-dosa besar lainnya yang diancam dalam agama-agama yang akan membawa kehancuran dunia. Tapi kebodohan! Kebodohan! Kebodohan!

    Dalam murka yang menggelegak, Saya memutar musik The Ruins of Athens, salah satu karya Beethoven yang terakhir. Karya ini saya pikir sangat pas saat diputar di Suryakencana. Sebuah aransemen penuh kemarahan, kebingungan, dan kegetiran yang menusuk; mengapa tempat favorit para dewa-dewa dibiarkan hancur oleh kebodohan manusia? Mengapa para dewa diam saja, tak menurunkan tulah, atau sekedar kuasa untuk mencegah?

    cc : @giovan
  • @silverliningggg Edelweiss dapat dikembangbiakan dengan beberapa cara, setau saya. Bisa dengan pesemaian benih (yang makan waktu lama) atau langsung distek dr potongan batang-batangnya. Beberapa gunung di Jawa (seperti gunung Lawu) sengaja ditanam edelweiss di puncaknya meski bukan habitat asli.

    Tapi ini bukan melulu mengenai bagaimana edelweiss bisa dibangkitkan. Edelweiss adalah marka dan saksi sang kala. Julukannya sebagai bunga abadi karena umurnya dapat mencapai usia ratusan tahun, adalah pengingat bahwa alam bisa mempertahankan keanggunannya selama berabad-abad bisa disirnakan dalam semalam oleh kebodohan manusia. Cantik dan rapuh, dan tak mentolerasi kebodohan sama sekali.

    Apalagi kalau mengingat fakta bahwa padang edelweiss juga telah membentuk sebuah ekosistem tersendiri, misal edelweiss yang rimbun telah menjadi sarang burung tiong-batu. Kepunahan edelweiss, dengan sendirinya mengancam kelestarian burung-burung atau serangga-serangga langka dan endemik yang hanya bisa ditemukan di lokasi gunung-gunung tertentu.

    Dan tragedi kebakaran Tegalalun dan Suryakencana, bisa terus terjadi di masa depan, selama banyak pendaki-pendaki tanpa edukasi tetap melakukan kecerobohan.
  • @wing betul, sedih banget kalau lihat hutan hancur

    dulu sering bersama mantan ke bromo, lihat dari jauh
    bromonya. ga sampai naik ke bromo.

    ...

    salah satu cita2 saya adalah, membeli beberapa hektar
    sawah/sisa hutan di perdesaan untuk pribadi dan
    dibiarkan beberapa tahun. 1 - 10 tahun tidak terasa loh.
    dan akan tumbuh beberapa pohon lainnya.

    berandai2 akan keluar mata airnya
    berandai2 akan menjadi daerah hijau
    berandai2 akan ada binatang2 aneh disana

    jika padang arafah bisa menghijau, mengapa tanah
    indonesia tidak bisa?

    1 rantai tanah di subang daerah perdesaan hanya 25 juta.
    seharga moge atau 25x menggunakan jasa kucing. why nut?
  • @createsometrouble Saya setuju, kita harus lebih banyak menanam pohon. Pohon adalah kehidupan. Pohon adalah masa depan. Semoga keinginanmu tercapai, dimudahkan, dimuluskan.

    Orang-orang terlalu sibuk mencari pertanda gaib untuk menunggu kedatangan nubuat keilahian tentang kiamat, padahal meledaknya populasi ganggang, memutihnya karang-karang, lebah-lebah yang menghilang, dekut burung yang semakin senyap, hutan-hutan yang terbakar, langit yang semakin pekat kotor, ini seharusnya membuat orang-orang lebih risau dan cemas.

    Tadi malam, saya mendapat kabar bahwa kebakaran di Papandayan sudah sampai 475ha--tak ada edelweiss yang selamat. Ah.
  • http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/18/058710682/begini-kronologi-pendaki-tewas-saat-kebakaran-di-gunung-lawu

    Selalu, kematian seperti ini mestinya bisa dihindari, tragedi semacam ini bisa dicegah. Kepada para pendaki, please, jangan pernah bikin api unggun jika gak tau metode memadamkannya dg benar. Dan oh, menyiramnya dengan air atau mengubur dg tanah bukan metode terbaik.
  • Kalau niatnya membagi informasi sih, harusnya diberitahu juga lalu metode apa yang terbaik. Bukan menunggu orang lain menanyakan lanjutannya. Hmm Hmm.
  • edited November 2015
    Miris membaca berita tentang kebakaran di surken, tegalalun dan lawu. Telat update info. Hahaha.

    Btw @wing boleh dishare infonya tentang cara yang benar memadamkan api unggun. Terimakasih
Sign In or Register to comment.