BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ALFI HASSAN ALATAS (SENYUM YANG HILANG) - UPDATE HAL.126

14041434546133

Comments

  • @m1er santai anak muda.. mn yg bocor? sini tambel pake yg ada sayapnya.. #Lhoo *kita ngomongin apa ya?
  • pan tuch yg da sayapnya.....?????
    Oooooooooou........ itu kalee.., yg suka d bilang "Roti Tawar" ma ibu2 klo d kampung sy mah..... ih... ko ngomongin gituan ya...??? ngacooooo....... hahahaha....
  • edited May 2014
    Kecup mesra tengah malam..
    Untuk kalian Readers tersayang..

    ********


    ROBBY POV

    Apa-apaan anak kecil ini.. Kupikir dia lemah. Tapi ternyata permainan basketnya luar biasa. Gerakan fake (tipuan) yang dia miliki bukan hal yang bisa dengan mudah dilakukan oleh orang amatir. Apa bocah ini biasa bermain basket? Pantas si autis itu percaya diri sekali menantang kami.

    Aku sempat tertipu dengan gerak tipuan yang dilakukannya. Tapi jangan panggil aku Robby dari keluarga Hartawan jika mengatasi hal ini aku sudah menyerah. Kata itu tidak ada dalam kamus keluargaku. Hanya orang lemah yang belum apa-apa sudah menyerah kalah. Aku sudah bisa membaca gerakan fakenya. Dan dengan masuknya Farel, permainan ini mulai imbang lagi. Temanku itu memang bisa diandalkan. Yup. Teman.

    Dalam keluargaku, tidak tidak, khususnya dikeluargaku. Teman itu tidak ada. Yang ada hanya partner yang saling menguntungkan. Seperti yang selalu diajarkan kakekku.

    Aku, Robert Hartawan. Panggil aku Robby. Aku anak Kedua dari dua bersaudara keluarga konglomerat Hartawan. Ayahku, Johannes Hartawan. Merupakan pengusaha sukses dibidang property dan pertambangan. Kakekku Thomas Hartawan yang terkenal, karena membuat bisnis keluarga kami berkembang pesat hingga seperti sekarang. Nama Hartawan masuk kedalam daftar sepuluh pengusaha terkaya di Indonesia. Dan terpilih di jajaran 100 pengusaha berpengaruh di Asia.

    Sejak kecil aku dididik untuk menjadi seorang pemenang apapun caranya. Kakekku turun tangan langsung untuk melatih dan melihat proses pendidikanku. Karena aku cucu laki-laki pertama keluarga Hartawan. Kakakku perempuan, begitupun dengan sepupu-sepupuku yang terlebih dahulu lahir. Mereka semua perempuan.

    Kakek begitu senang ketika akhirnya aku lahir ke dunia ini. Kakek sangat sayang padaku sekaligus juga luar biasa keras mendidikku. Segala yang kumau diturutinya. Walau harus menuruti segala perintahnya terlebih dahulu.

    “Kamu ingat. Kamu adalah seorang Hartawan. Jadi kamu harus bangga dengan namamu. Semua selain kamu tidak berharga. Semua sampah. Sampah tidak layak mendapat perhatian” Itu kata-kata yang lumayan sering didengungkan kakek ke telingaku.

    “Didunia ini tidak ada yang namanya teman. Yang ada hanyalah partner yang saling menguntungkan” Kata-kata kakek lainnya yang entah mengapa selalu kudengar. Mungkin karena seringnya kakek mengulang semua kata-kata itu didepanku.

    Kembali kepertandinganku dengan Rei dan si autis Alfi. Mereka berdua benar-benar pasangan yang merepotkan. Alfi dengan segala analisa dan gerakan terarahnya ditambah Rei dengan semua gerak tipunya. Brengsek. Mereka berdua membuatku kesal. Tapi aku tidak boleh kalah. Aku tidak akan kalah. Karena Aku adalah pemenang. Hanya aku yang boleh menang.

    Dengan adanya Farel sekarang, aku yakin pertandingan ini bisa kami menangkan. Karena temanku ini sangat hebat dalam bermain basket. Semua gerakannya tertata dan powernya mengintimidasi. Segala trik lawan bisa dibacanya dengan cepat dan juga larinya. Farel sangat cepat dilapangan. Dribble cepatnya itu juga bukan buatan apalagi akurasi shooting miliknya. Dia mengantongi akurasi shooting yang luar biasa (minus autis, karena dia bukan timku). Dengan perbandingan dari 10 bola yang ditembakkan hampir sepuluh-sepuluhnya masuk semua. Hanya satu saja yang kadang tidak masuk. Itupun jika center lawan menunggu dibawah ring. Namun jika tidak, semua shoot Farel flawless tiada celah.

    Dan benar saja perkiraanku. Dengan adanya Farel, perolehan poin kami mulai seimbang. Tapi pertandingan sudah semakin mendekati akhir. Kami harus segera unggul sekarang. Farel melirikku. Aku harus bisa lepas dari kawalan si kecil ini. Entah bagaimana dengan brengseknya dia bisa mendesakku dengan pertahanannya yang sangat keras kepala itu.

    Namun aku Robby. Pemilik nama Hartawan. Segala yang menghalangi harus disingkirkan. Dan si kecil ini harus kutebas, kulibas sampai tuntas. Dengan gerakan cepat aku mencoba lepas dari kawalannya dan kesempatan itu pun tercipta. Aku berhasil lepas dari kawalan gigih si kecil ini. Segera kuoper bola kearah Farel dengan cepat. Dan dalam waktu singkat Farel menuntaskan operanku dengan dunk andalannya. Power yang dikeluarkannya mengerikan. Itulah Farel. Temanku. Satu-satunya orang yang bisa kuanggap teman. Yang bisa kakekku sebut teman.

    Aku tahu sekarang, kalau kakek adalah seorang yang sangat ambisius. Karena itulah dia berhasil membangun kejayaan keluarga kami hingga seperti sekarang. Tapi didikan-didikannya yang seolah mengajarkan jika orang kaya selalu benar itu, sudah terlanjur terpatri dan merasuk ke dalam sanubariku. Berdampak pada tingkah laku dan pola pikirku.

    Tidak banyak teman yang tahan denganku. Tidak jarang mereka iri dan dengki padaku, namun tak kuasa menolak kuasa yang memang jelas kumiliki. Hanya satu yang betah. Betah untuk berlama-lama denganku. Sifat kami sangat berbeda jauh. Sekarang pun masih seperti itu. Walau kami tidak bisa dibilang teman, tapi dialah satu-satunya yang bisa kupercaya.

    “Koneksi dan networking adalah kunci keberhasilan yang utama. Selalu berteman dengan mereka yang setara dan lebih tinggi kedudukannya. Hanya mereka yang pantas kau anggap teman. Yang lain Sampah. Sampah itu nothing. Bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa” Lagi. Kalimat-kalimat yang kakek dengungkan selalu merasuk kedalam pikiranku. Seolah telingaku hanya diperuntukkan untuk mendengar semua kata-katanya.

    Sehingga aku sedikit kesulitan mencari teman yang sesuai dengan kriteria itu. Bukan tidak ada, tapi aku tidak suka. Berteman seperti hal tabu untukku. Paling tidak, secara tulus aku tidak mampu begitu. Hanya dialah yang sedikit mampu mengubah pendapatku.

    Farel nama orang itu. Orang yang.. yah bisalah kubilang teman. Paling tidak dengan latar belakang keluarganya yang sesuai dengan petuah-petuah (beracun) kakekku. Farel Suryodiningrat nama lengkapnya. Anak Bungsu dari Trah Suryodiningrat yang notabene masih keturunan keraton Solo, otomatis dia berdarah biru dan ayahnya taipan bisnis yang terkenal mumpuni sekaligus masuk daftar 5 besar orang terkaya di Indonesia dan 100 orang paling berpengaruh se-Asia.

    Kabarnya Ayah Farel meraih semua itu hanya dalam hitungan singkat. Karena itu didalam salah satu majalah bisnis disebutkan bahwa Ayah Farel, Bambang Suryodiningrat sebagai Taipan yang Mumpuni. Belum lagi gosip umum yang menyatakan dekatnya hubungan mereka dengan para penguasa negeri ini. Keluarga ini sangat cocok bersanding dengan nama Hartawan seperti petuah kakekku.

    Namun sejujurnya, bukan itu alasanku. Hanya Farel-lah yang betah berlama-lama denganku dengan segala sifat temperamen dan arogan yang kumiliki. Walau tak terhitung banyaknya dia memarahiku dan beberapa kali terlihat membenciku, namun itu hanya sementara waktu tak pernah bertahan lama dia memarahiku. Karena (hanya) dia yang mengerti aku. Dan karena aku yang paling mengerti dirinya.

    Pertandingan basket dengan si autis dan teman kecil imutnya ini berjalan diluar perkiraanku. Jauh diluar perkiraanku. Mereka berdua pasangan yang saling mengerti. Hanya dengan lirikan mata, gerakan mereka sinkron dan tertata. Tidak jauh beda dengan aku dan Farel jika sudah berada dilapangan. Namun itu semua karena kami selalu berlatih bersama. Sedangkan mereka? Brengsek. Bisa-bisanya mereka sinkron dengan begitu cepat padahal ini pertandingan pertama mereka.

    Mau tidak mau aku sedikit menyetujui kekeras kepalaan Farel yang ingin merekrut mereka. Karena kemampuan mereka seimbang dengan tim inti kami. Bahkan mungkin melebihi. Bukan melebihi aku dan Farel yang pasti. Karena aku hebat. Oh iya, Farel juga. Walau akulah yang paling hebat.

    Sekarang merupakan detik—detik akhir. Aku harus bisa menjaga selisih satu poin ini. Brengsek si monyet Farel satu itu. Permainannya sangat meningkat pesat. Sepertinya dia mulai meninggalkanku dibelakang. Untunglah dia temanku. Kalau dia musuhku aku pasti akan sangat membenci kehebatannya. Tidak salah aku memilih teman.

    Detik akhir ini harus kumanfaatkan dengan baik. Aku harus bisa menahan laju si kecil imut ini. Sejak beberapa saat tadi aku bisa membaca gerak fake miliknya. Jadi aku yakin bisa menahan dia.

    Bola sudah ditangannya aku maju manghalanginya. Aku rentangkan tangan dengan lebar. Kupasang kuda-kuda kakiku menghalang. Dengan screen badan besarku, kuhalangi pandangan. Dia tak putus arang. Si kecil yang kupikir lemah ini bersikeras. Dia gigih berusaha. Matanya penuh sorot tekad baja luar biasa. Dia mulai fake (tipuan) miliknya, aku membacanya. Dia kombinasikan dribble miliknya, aku masih bisa mengikutinya. Namun tiba-tiba dia mengeluarkan tipuan mata dengan paduan dribble yang tidak biasa. Apa-apaan si kecil ini. berapa banyak fake (tipuan) yang dia miliki? Astaga! Brengsek! Pikiranku terbagi. Sikecil ini benar-benar membuatku jengkel.

    Dengan cepat, licin, dan sigap dia menangkap celah yang dengan bodohnya kuciptakan karena pikiranku sempat terbagi. Kesempatan itu tidak disia-siakannya. Dengan lincah, dia bebas dari kawalanku. Dengan secepat kilat dia berlari meninggalkanku. Brengsek. Bisa-bisanya aku tertipu untuk kedua kalinya. Si kecil itu mengambil ancang-ancang untuk shot. Sedikit melompat ke belakang dia memasang target ke ring. Namun, astaga.. dia bermaksud mengoper bola kepada autis yang entah bagaimana sudah dibelakangnya. Aku percepat lariku akan kuhalangi si autis itu.

    Autis melompat aku melompat. Aku pasang badan menghalanginya. Dia melewatiku diudara. Bagaimana bisa? Bagaimana mungkin dia bisa berputar diudara. Brengsek aku gagal. Tapi masih ada Farel disana. Aku percaya padanya. Setelah mendarat aku tengok kearah mereka yang sedang bertarung diudara. Luar biasa. Si autis itu benar-benar si brengsek hebat yang luar biasa. Bisa-bisanya dia melakukan air walk sambil menghindar diudara. Hadangan Farel seolah tanpa arti didepannya. Dengan pasti si autis menghantamkan bola dengan keras ke arah ring. Masuk. Habis sudah. Aku kalah. Brengsek. Brengsek.

    Aku adalah seorang pemenang. Hanya aku yang boleh menang. Tapi gara-gara si kecil imut itu dan si autis Alfi aku kalah. Kegigihan dan sifat keras kepala si kecil itu membuatku geram. Bukan apa-apa. Tapi sifat itu. Iya sifat itu hanya boleh dimiliki satu orang saja. Satu orang yang sangat kusayang. Satu-satunya yang kusayang. Walau kakek menghadang. Namun hanya dia yang selalu ku sayang. Sepupuku. Adikku. Adik sepupuku, Tom namanya.

    Ketika aku melihat si kecil imut itu pertama kali waktu Farel mengenalkannya di Hall basket. aku terkejut. Senyumnya itu, mirip Tom. Waktu aku menghajarnya setelah pertemuan itu, aku lebih terkejut lagi. Aku pikir dia penakut. Tapi tidak. Dia melawan dengan sekuat tenaga. Walau tahu dia pasti kalah. Sifat itu sifat Tom. Dan disini. Di lapangan basket ini. Kegigihannya membawa bola. Tekadnya menghadang lawan. Semua itu mirip Tom.

    Awalnya aku membenci si kecil Rei karena dia berteman dengan si autis yang merebut Tom dariku. Padahal hanya aku, Cuma aku dan aku seoranglah yang berhak menyayangi Tom. Tapi tidak. Si autis itu merebut perhatian Tom dariku. Dengannya Tom terlihat luar biasa ceria. Lebih ceria daripada ketika Tom bersamaku. Aku cemburu.

    Kakek pernah bilang padaku bahwa cinta itu semu yang pasti hanyalah harta dan kekuasaan. Dengan itu kau bisa miliki segalanya. Tapi kakek salah. Tom berteman (aku benci menyebut mereka bersahabat) dengan si Autis Alfi karena dengannya Tom merasa bahagia. Seolah-seolah hanya Alfi-lah pusat kebahagiaan dirinya. Aku cemburu.

    Aku cemburu. Dulu. Sekarang, aku kalah. Lagi. Oleh Alfi. Dan oh iya, temannya si kecil Rei itu. si kecil yang mirip sekali dengan Tomku.

    "REEEIIII.."

    Tiba-tiba terdengar suara si autis Alfi setengah berteriak.. Aku menengok. Si kecil Rei pingsan. Alfi dengan cepat menuju si Rei itu. Alfi langsung menggotong Rei ke keluar hall basket. Mungkin segera ke UKS. Ketika hampir mencapai pintu keluar dia berbalik.

    "Urusan Lo sama gue belom selesai Rob" setelah mengatakan itu dia langsung melesat keluar.

    Urusan? Urusan apa? Aku terkesiap. Ah iya. Perjanjiannya aku harus minta maaf pada Rei jika kalah. Walau jika mau jujur. Selama pertandingan aku memikirkan hal itu. Aku memang harus meminta maaf pada Rei. Karena si kecil itu terlalu mirip dengan Tom. Semua senyum dan sifat mereka pun sama. Mungkinkah Rei juga suka dengan piano? Karena Tomku juga sangat menyukai piano.

    Rei.. Maaf. Maafkan aku yang sudah menghajarmu sampai biru begitu. Astaga. Oh tidak. Pikiran ini mendadak muncul dibenakku.

    Astaga. Bagaimana bisa aku menjadi seperti ayah Tom. Astaga. Maaf. Maafkan aku Rei. Brengsek. Brengsek. Aku merasa seperti ayah Tom yang pernah menyiksa anaknya sendiri itu. Om Gun.. Kenapa aku merasa seperti Om Gun begini.. Tuhan.. Ampuni salahku. Rei.. Ampuni aku.. Tom.. Aku rinduu..

    Farel mendekat dan memarahiku. Aku tidak peduli. Aku tidak mendengar kata-katanya. Pikiranku penuh. Penuh dengan segala hal. Penuh dengan ingatan tentang Tom. Dengan bayangan Om Gun yang menyiksa Tom. Juga dengan Rei.. iya Rei. Bagaimana bisa aku menghajarnya? Aku hanya ingin menghajar Alfi memberi Alfi autis itu pelajaran. Agar autis itu tidak bisa, tidak usah masuk tim. Tapi kenapa Rei yang kupilih? Brengsek. Brengsek. Aku bajingan. Otakku memang otak udang. Bodoh. Bodoh. Aku brengsek.

    Farel masih dengan suara-suara yang entah apa itu, tapi telingaku tuli saat ini. Tidak mampu mendengar segala ucapan yang dilontarkannya. Pikiranku masih penuh. Ingatan tentang Tom datang memburu. Tindakanku pada Rei menghantamku. Seolah aku penjahat paling hina dimuka bumi ini. Rei.. Maaf.. Aku.. Brengsek.. Tom.. Oh Tom.. Aku rinduu.. sangat rinduu..

    Farel menepuk bahuku. Aku tersadar. Aku mendengar kata-kata pamit. Pergi. Dan dia bertanya apa aku baik-baik saja. Tidak. Aku tidak baik-baik saja. Ingin kukatakan itu tapi aku tak bisa. Aku tidak pernah menunjukkan kelemahanku. Itu pantang untukku. Karena aku Robby. Pemilik nama Hartawan.

    Kukatakan pada Farel aku tidak apa-apa. Dan dia segera berlalu. Brengsek. Aku hampir menunjukkan sisi lemahku dihadapan orang lain. Dan itu.. Tak termaafkan. Di keluarga Hartawan Lemah itu Tabu. Kakek benci orang lemah. Karena itulah aku kuat. Dengan dagu tercuat kugenggam kekerasan hati kuat-kuat. Aku kuat. Hanya aku yang terkuat.

    Tapi tidak saat ini. Aku merasa menjadi orang paling lemah dan paling brengsek sekarang. Aku kalah dalam pertandingan. Dan kenyataan bahwa aku telah menghajar orang yang mirip sekali sifat dan senyumnya dengan Tom, menghantamku, menghajarku dengan keras. Dengan itu aku pantas menyandang kata brengsek di depan namaku.

    Rei pingsan. Mungkin karena lelah. Jika aku tidak salah ingat, dulu pun Tom pernah pingsan setelah menantangku bertanding basket. Itu karena Tom lemah dan tidak suka berolah raga. Mungkin Rei juga sama. Tom.. Oh Tom.. Aku rinduu..

    *FLASHBACK*

    Dulu ketika aku lahir. Kakek yang luar biasa senang menyambutku. Karena seperti kubilang diawal, aku cucu laki-laki pertamanya. Dan sepertinya kelahiranku membawa aroma persaingan yang luar biasa.

    Tante Sonya setahun kemudian melahirkan anak laki-laki juga. Begitu pun dengan tante Vania yang hanya selang sebulan saja. Sepertinya mereka iri dengan perhatian yang diberikan kakek kepadaku dan keluargaku. Karena ketika aku lahir, keluargaku, khususnya ayahku diberi tampuk pimpinan dibeberapa perusahaan kakek. Setelah sebelumnya hanya keluarga Tante Vania, dengan Om Bas (Sebastian) yang ditugaskan memimpin perusahaan.

    Keluarga besarku terdiri dari Kakek yang telah sendiri. Nenek meninggal sudah lama sebelum aku lahir. Kakek mempunyai tiga orang anak. Anak pertama Tante Sonya Indira Hartawan. Anak kedua Papaku Jonathan Hartawan dan anak terakhir Om Sebastian Hartawan.

    Sebenarnya secara kelahiran, seharusnya Ayahku-lah yang memimpin perusahaan kakek. Tapi karena satu dan lain hal (yang sepertinya berhubungan dengan kelemahan), posisi itu diserahkan ketangan Om Sebastian.

    Kenapa bukan Tante Sonya? Karena kakek menginginkan pewaris laki-laki. Bukan wanita. Kakek menganggap wanita itu lemah. Seperti kubilang diawal, kakek benci orang lemah. Karena itu Om Bas-lah yang kakek pilih menangani bisnisnya.

    Namun semua itu berubah semenjak aku lahir. Kakek sepertinya menaruh harapan besar padaku. Karena Om bas, hanya bisa memberinya dua cucu perempuan saja. Sedang tante Sonya belum sekalipun memiliki anak.

    Segera saja tampuk kekuasaan dipegang oleh ayahku. Sebagai hadiah atas kelahiranku. Om Bas hanya bisa gigit jari melihat itu. Walau kakek tak mengabaikannya. Dia tetap memimpin beberapa anak cabang perusahaan milik Kakek.

    Karena itu tidak heran ditahun berikutnya setelah aku lahir, Tante Vania istri Om Bas pun melahirkan. Pun demikian dengan Tante Sonya. Walau menurutku keluarga Om Bas-lah yang sangat berambisi. Karena Tante Sonya tidak peduli dengan semua hal yang menyangkut Harta kekayaan kakek. Tante Sonya adalah orang yang bebas (menurutku), tidak terkungkung dalam kungkungan nama besar Hartawan.

    Dari Tante Sonia, lahirlah Tom. Anak itu sejak kecil sudah terlihat manis dan menggemaskan. Dia ceria dengan pipi kemerahan. Kulitnya putih, senyumnya penuh daya pikat memabukkan. Aku benci. Benci akan semua keceriaan yang dimilikinya.

    Dengan Kakek yang selalu mengawasiku, aku tak sempat untuk tersenyum. Kakek pun begitu. Kakek sepertinya tidak begitu suka dengan Tom. Karena menurutnya Tom itu cengeng. Lemah. Tapi Tom pintar. Walau kepintarannya dihargai hanya sedikit sekali oleh kakek. Seperti kubilang (dan akan selalu ku ulang, kakek benci orang lemah. Dan menurut kakek Tom lemah).

    Tapi Tante Sonia tidak peduli itu. Dia menganggap kakek angin lalu. Sejak dulu hanya Tante Sonya-lah yang selalu membantah kuasa yang kakek punyai. Mungkin karena itu juga kakek tidak suka dengan Tom. Karena Tom lahir dari rahim tante Sonya yang membuat kakek jengkel.

    Papaku pernah bilang, jika Tante Sonya sejak dulu merupakan trouble maker. Dia selalu membuat onar, dimana pun dan kapanpun. Paling susah diatur. Namun teman sekaligus sahabat papa, Om Gun (Frans Gunawan Kertanegara) mampu menjinakkan tante Sonya. Hingga akhirnya mereka menikah dan lahirlah Tom.

    Pernikahan mereka tidak direstui kakek. Karena om Gun berasal dari kalangan menengah kebawah. Silsilah keluarganya tidak masuk kriteria kakek. Namun, kakek melihat potensi dari kecerdasan om Gun dan kemampuan berbisnisnya. Karena itu akhirnya kakek merestui mereka dengan catatan om Gun harus mengabdi di perusahaan kakek yang baru dibuka. Sebagai hadiah pernikahan mereka.

    Benar saja, perusahaan itu maju berkat tangan dingin om Gun dalam mengelolanya. Om Gun orang yang ramah. Baik. Dan sangat mencintai istrinya. Amat sangat mencintai istrinya, seakan dia begitu memuja tante Sonya. Dan ketika Tom lahir, dia juga sangat menyayangi anak itu. Karena Tom, mirip sekali dengan ibunya. Manis, putih, bibir merah merekah dan senyum memikatnya.

    Keluarga mereka bahagia. Sangat bahagia juga ceria. Namun itu berubah seketika. Aku berumur 11 tahun waktu itu. Papa mengabari bahwa Tante Sonya istri Om Gun mama dari Tom, meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat. Tragisnya jenasah tante Sonia tidak berbentuk lagi (itu kata papaku). Om Gun terpukul. Amat sangat terpukul. Tidak lama setelah itu dia berubah.

    Papa bercerita sejak itu Om Gun mulai mabuk-mabukan. Tiada hari terlewat tanpa ditemani sebotol minuman. Bangun pagi dia berkumur-kumur dengan whisky. Menjelang tidur om Gun ditemani sebotol anggur. Perusahaan terbengkalai. Tom pun yang telah kehilangan tante Sonya menjadi sangat sedih ketika dia melihat ayahnya berubah. Ayahnya tak lagi cinta. seolah dirinya tak ada.

    Dulu. Aku membenci Tom. Benci senyum dan sifat cerianya. Tapi suatu ketika itu semua berubah. Tom pernah beberapa kali berkunjung kerumahku dengan keluarganya. Tak jarang mereka menginap ditempatku. Tom beberapa kali mengajakku bermain, namun aku tepis, aku tolak mentah-mentah. Dia terlalu ceria. Terlalu terlihat bahagia. Aku tidak suka.

    Tom tidak menyerah. Segala cara dilakukannya untuk mendekatiku. Sampai menantangku tanding basket. Hah! Apa dia buta. Apa dia tak tahu basket adalah makanan sehari-hariku. Dia yang lemah itu mengajakku bertanding? Yang benar saja! Itu ibarat tikus melawan singa. Berat sebelah.

    Benar saja. Benar dugaanku. Bahkan men-dribble bolapun dia kikuk sekali. Berani-beraninya dia menantangku. Dasar lemah. Orang lemah tak pantas dekat denganku. Tapi dipertandingan ini dia pantang menyerah. Dia gigih sekali berusaha merebut bola dariku. Aku kesal. Darimana dia memperoleh semangat ini. Well, bagaimana pun dia seorang Hartawan. Seorang Hartawan pantang menyerah. Begitupun dia. Tom semakin gigih mendesakku. Sampai akhirnya bola berhasil direbutnya. Dengan dribble kikuknya dia maju kedepan ring dan membidik bola. Tapi sayang bola jauh dari sasaran. Pertandingan itu berakhir dengan aku yang berhasil unggul 10-0. Tanpa balas dari Tom.

    “Aku menang, Tapi kamu hebat bisa ambil bola tadi dari aku” Aku 9 tahun waktu itu.

    “Papa bilang setiap usaha dan kerja keras pasti membuahkan hasil dan membawa rasa puas. Aku ga gitu ngerti maksud papa. Tapi aku bisa rasain sekarang.. Aku senang udah nantang abang.. Besok-besok aku pasti menang” Ini anak kecil sok banget. Kata-katanya sok tua.

    “Silakan tuan putri. Buktinya tadi kamu kalah. Tanpa balas” Tegasku padanya. Sedikit mengejek.

    “Aku kan baru bisa main basket seminggu kemarin. Aku baru belajar dribble. Blom belajar shoot. Temanku Alfi yang ngajarin. Tunggu minggu besok. Aku pasti bisa ngalahin abang. Dan abang harus mau jadi abang aku. Nemenin aku main” dengan PDnya dia berkata seperti itu.

    Bodoh. Aku memang abangnya. Abang sepupunya. Walau aku memang tidak pernah menganggapnya. Mungkin dia berkata begitu karena dia kesepian tidak punya saudara. Karena dia anak tunggal. Tapi apa-apan yang tadi dia katakan itu? Baru seminggu berlatih katanya dan sudah berani menantangku! Apa dia menganggap remeh aku?

    “Berani ya kamu nganggep enteng aku! Baru seminggu udah sok jago. Pake acara nantang-nantang segala. Terlalu cepat 10 tahun buat kamu nantang aku, tau ga?” Balasku sengit.

    “Justru karena aku nganggep abang kuat, makanya aku nantang abang. Dan karena aku emang tahu kalo abang kuat, aku minta dilatih sama teman aku secara khusus. Buat ngalahin abang” What?! Dilatih khusus? Buat ngalahin aku? sama temannya?! Yang benar ajah..

    “Hwahaha.. Emang temanmu sejago apa? Paling dia masih seumuran kamu.. Kecuali teman kamu bintang NBA baru kamu bisa ngalahin aku.. hahaha.. Lucu..” Tom terlihat kesal. Matanya berkilat tidak suka dengan kata-kataku.

    “Alfi itu hebat. Paling hebat. Dia pinter. Semuanya dia bisa. Abang ga ada apa-apanya sama dia. Hufth. Liat aja minggu besok aku pasti menang” Tom terlihat senewen dalam setiap kata-katanya.

    Temannya sangat berharga sepertinya. Sampai Tom membelanya sedemikian rupa. Aku tidak suka. Tidak ada yang lebih hebat dariku. Hanya aku, Cuma aku, yang terhebat. Yang terkuat.

    “Kita liat ajah. Orang lemah kayak kamu cuma mimpi mau ngalahin aku..” Tom hanya tersenyum mendengar kata-kataku.

    ***

    Sesuai dengan kata-katanya, minggu berikutnya dia kembali menantangku. Kali ini dia terlihat penuh keyakinan dan tekad yang kuat. Pertandingan kami dimulai.

    Dribble-nya tidak lagi kikuk. Bola memantul dan terbawa dengan baik, seakan tangan Tom dan bolanya berdansa dengan sempurna. Saling mengisi dan berganti. Astaga! Bagaimana dia bisa melakukan itu hanya dalam waktu seminggu? Secepat itu? Sejago itukah temannya?! Sial.

    Tapi aku tidak boleh kalah. Tidak akan mungkin aku kalah. Aku seorang pemenang. Hanya aku yang boleh menang. Karena aku seorang Hartawan. Tak ada yang lain yang boleh lebih unggul dariku. Dengan penuh tekad aku maju. Meladeni tantangan Tom.

    Kali ini Tom lebih gesit dan lincah tidak kikuk dan banyak gerakan salah. Dia sigap dan cermat sekarang. Tapi aku tak kalah. Aku cepat. Gerakanku kilat. Dribbleku mantap dan shootku tepat.

    Sesuai perjanjian awal, yang memasukkan 10 bola lebih dululah pemenangnya. Aku sudah memasukkan 5 bola sekarang. Sementara Tom belum memasukkan satupun. Walau begitu seperti minggu lalu, dia tak putus asa. Dia gigih berusaha.

    Aku pun merasa skor yang kuraih tidak semudah biasanya. Latihan apa yang dijalani Tom selama seminggu ini? Jelas Tom berlatih keras selama seminggu ini. terlihat dalam setiap gerakannya. Semua latihannya terbayar. Membuatku kesal. Cepat sekali dia belajar. Aku harus berlatih dari TK untuk hobi basketku ini. Kakek bahkan membayar pelatih untuk mengajariku, ketika kuutarakan hobiku ini. Aku senang.

    Tapi Tom membuat latihan yang kujalani selama ini tidak berarti. Bukan berarti dia lebih jago dariku sekarang, tapi pesatnya perkembangan yang diraih hanya dalam waktu beberapa minggu. Aku semakin tidak suka dengannya. Tom sedikit banyak mirip dengan ayahnya. Ceria dan baik hati. Dengan wajah sangat menyerupai tante Sonya, membuatnya terlihat imut menggemaskan. Tapi aku tidak suka. Aku iri dengan kepandaiannya.

    Kakek selalu mengatakan padaku kepintaran bisa dicapai dengan tekun belajar, dan guru yang hebat tentu. Karena itu dari kecil, aku mendapat guru-guru private yang dibayar kakek untuk mengajariku. Tidak seperti Tom, yang memang sudah pandai tanpa diajari. Aku iri.

    Kembali kepada pertandingan antara Tom dan aku. Aku masih memimpin, skor sekarang 6-0. Tom tertinggal jauh. Namun dia tak menyerah. Wajahnya masih terlihat ceria. Matanya pantang menyerah. Tekadnya berkobar disana. Aku kesal. Kesal dengan kegigihan dan keras kepalanya. Orang lemah harus tahu diri. Dan aku akan mengajari pahitnya kalah berkali-kali.

    Aku masukkan lagi bola ke ring. Skor 7-0. Tom makin bersemangat. aku tercekat. Sial. Tak bisakah dia bertingkah normal. Normal selayaknya orang kalah. Tapi tidak itu bukan Tom. Dia malah semakin gencar menyerang. Bola dipegangnya. Dengan cekatan dia berusaha lolos dari kawalanku. Tapi aku tak mungkin membiarkannya lolos. Aku kawal ketat dia berkelit secepat kilat. Aku lengah dia maju ketengah. Dan shoot. Kali ini peluang itu tak disia-siakannya. Shootnya melengkung sempurna. Bola masuk mulus tanpa suara. Aku terperangah.

    Hebat. Minggu kemarin dia tidak bisa shoot dengan baik. Namun sekarang berbanding terbalik. Tanpa rasa ragu dia masukkan bola itu. Luar biasa. Tapi aku tak mungkin mengakuinya. Tak akan pernah mengakuinya. Aku belum kalah. Dia yang akan kubuat kalah. Kubuat menyerah.

    Tom terlihat riang gembira dengan satu skor yang diraihnya. Aku murka, marah luar biasa. Bisa-bisanya aku kalah dari orang lemah. Bila kakek melihatku, dia akan memarahiku habis-habisan. Tidak bisa. Aku tidak akan kalah.
    Bola ini harus kumasukkan dengan tuntas dan membuat senyum lenyap dari wajahnya. Tapi sial, pertahanan Tom kian ketat. Dia ketat sekali menjagaku. Amat sangat ketat. Darimana datangnya kegigihan ini? Ternyata tubuh kecilnya menyimpan semangat dan daya juang luar biasa.

    Aku bergerak dia menghadang. Aku menghindar dia mengejar. Aku kesal, dia tersenyum riang. Sial. Takk.. Tom men-toast bola. Dalam sekejap bola berpindah dan dia langsung berlari membawa bola. Aku mengejar tapi Tom terlanjur bersiap shoot. Lagi. Bola masuk kedalam ring. Aku murka, dia tertawa. Riang, sangat siang. Egoku terpanggang. Akan kulumat habis tawanya itu. Kuhapus senyum diwajahnya itu.

    Aku mulai mengeluarkan seluruh kemampuanku melawannya. Melawan orang yang kuanggap lemah. Tapi ternyata dia tidak selemah yang kusangka. Hingga mampu membuatku bersemangat begini. Awalnya aku hanya meladeni biasa. Tapi dia telah salah, dia tertawa didepanku. Karena tawanya tadi seakan menghinaku.

    Defense Tom ketat, tapi powerku kuat. Kubalikkan kedudukan dengan cepat. Bola yang kudapat kubabat dan kusikat. Walau Tom bersikukuh, aku lebih kuat. Dalam sekejap aku meraih 10 poin. Aku menang. Aku telah menang. Karena aku seorang pemenang.

    “Aku kalah. Bang Robby emang kuat. Minggu depan aku dateng lagi mau nantang abang” sambil tersenyum Tom berlalu.

    Apa-apaan dia. Sudah jelas dia lebih lemah. Kenapa tidak menyerah saja? Aku semakin kesal dibuatnya. Tapi mulai timbul sedikit penghargaan untuk tekadnya. Walau kakek bilang Tom itu lemah tapi kakek salah. Bagaimanapun Tom mempunyai darah Hartawan. Walau dia memakai nama ayahnya. Tetap saja didalam darahnya mengalir darah seorang Hartawan. Aku (mulai) menghargainya. Sedikit. Hanya sedikit.

    *

    Tom benar-benar menguji kesabaranku. Tidak putus-putus usahanya mendekatiku. Walau tak heran, karena keluarga Tom lebih dekat dengan keluargaku dibanding dengan keluarga Om Bas. Selain karena rumah Om Bas di luar kota tentu saja. Karena itu Tom hanya bisa bermain denganku.

    Sebenarnya dia ramah. Namun aku tak suka. Dia terlalu ceria. Hidup itu tidak indah. Hidup itu penuh dengan aturan-aturan yang pantang dilanggar. Kakek yang mengajarkannya padaku. Juga tentang aturan-aturan yang dibuat kakek didalam keluarga. Aku selalu mengingatnya. Karena kakek selalu menyebutnya.

    Kali ini Tom datang yang ketiga kalinya untuk menantangku lagi. Entah mengapa, aku sedikit berdebar. Matanya berbinar, senyumnya terpasang, kepercayaan dirinya terpancar keluar. Kali ini aura miliknya berbeda. Aku terkesima.

    Latihan apalagi yang sudah ia jalani? Dia terlihat sangat percaya diri sekali. Pertandingan dimulai. Kali ini dia lebih sigap dan cepat. Dribblenya pun sekin meningkat. Dia mulai bisa melakukan gerakan lugas dengan tipuan tangkas. Aku meradang.

    Secepat tubuh kecilnya membawa bola dia merangsek kedepan melakukan shoot kilat dari luar garis three point. Astaga. Lengkungan itu. Jangan katakan dia bisa melakukan thee point? Sraakk.. bola masuk dengan khidmat. Aku terperanjat. Aku mengumpat.

    Poin pertama diraih Tom. Aku lengah. Aku tak menyangka. Bagaimana bisa?

    Pertandingan berlangsung dengan sengit dan tanpa sadar aku terhanyut. Aku sadar baru Tom saja orang yang bisa membuatku bersungut-sungut sekaligus semaput. Lalu terhanyut. Selama ini tidak ada yang berani mendekatiku. Karena kejutekan diriku dan segala arogansiku.

    Tapi Tom mampu mengeluarkan sisi-sisi emosionalku, sisi manusiawiku. Aku butuh teman. Aku butuh partner untuk lebih jago dalam basket. selama ini aku berlatih sendiri dengan pelatih tanpa teman latih tanding. Sehingga kemampuanku tidak meningkat. Malah jalan ditempat.

    Tom hebat, Skor yang kami raih bersaing ketat. Kejar mengejar angka tak terelakkan. Karena kami pantang menyerah. Karena kami Hartawan yang mempunyai tekad baja dan pantang kalah. Aku sudah mengeluarkan kemampuanku sekuat tenaga. Seluruhnya. Tapi Tom dengan three point miliknya menyusahkanku. Ditambah defense miliknya aneh tapi efektif. Dengan tubuh kecilnya dia sanggup menyusupkan lengannya kearah yang diinginkannya tak jarang bolaku terambil dan langsung disambutnya dengan three point tadi. Pertandingan ini jelas seimbang. Perkembangan Tom meningkat tajam.

    Hanya satu poin lagi dan kami akan bisa menang. Poinnya sama denganku 9-9. Dia tersenyum. Aku kesetrum. Untuk pertama kalinya aku dapat merasakan senyumnya itu bukan mengejek, melainkan perasaan senang yang sepertinya menyatakan ‘dia senang dan bahagia bisa bermain denganku’. Jadi selama ini kami telah bermain, bukan bertanding seperti pola pikirku yang penuh daya saing. Aku kalah. Aku menyerah saat itu juga oleh tekad dan senyumnya. Senyum tulusnya untuk. Iya. Untukku. Aku bahagia walau kalah.

    Aku yang dididik untuk selalu menjadi pemenang, rela kalah dan mengakui kekalahanku dihadapannya. Dia gembira. Aku bahagia. Akhirnya dapat kurasakan hangat senyumnya. Bukan senyum mengejek seperti pikirku dulu. Tapi senyum tulus ikhlas uluran tangan persaudaraannya padaku. Aku terharu.

    “Baaannggg. Aku menang..” aku mengangguk. “Berarti sekarang abang udah bener-bener jadi abangku. Dan harus mau main sama aku. Ok?” Lagi. Aku mengangguk.

    Dirangkulnya tanganku. Disergapnya tubuhku. Aku dipeluk tiba-tiba. Aku terpana. Sedikit tak percaya. Tanpa sadar kubalas pelukannya.

    “Tom sayang bang Robby.. Cuma bang Robby saudara yang mau main sama Tom” Kata-katanya bergetar. Hatiku menggelenyar.

    Kuhentakkan tubuhnya. Kulirik dia. Tanganku memegang kedua sisi lengannya. Matanya berkaca-kaca. Kenapa dia?

    “Kamu kenapa?” Tanyaku heran.

    “Ga papah bang. Tom cuma seneng akhirnya punya abang.. Sodara yang lain ga mau main sama Tom, ga tau kenapa..” Aku terperangah. Memang demikian adanya. Keluarga Hartawan yang lain memandang keluarga tante Sonya sebelah mata.

    “Jangan nangis. Kamu itu pemilik nama Hartawan. Seorang Hartawan ga boleh cengeng. ga boleh lemah. Kan katanya kamu punya temen baik. Ditambah sekarang kamu punya aku. Abang kamu. Jadi kamu jangan nangis lagi ya dek..” Astaga. Jika kakek mendengar kata-kataku dia akan menceramahiku. Kakek benci sifat sentimentil seperti ini.

    “Makasih bang. Aku seneng. Iya aku punya temen baik. Baik banget malah. Aku sayang dia. Sekarang aku juga sayang abang..” Dia sayang juga dengan temannya? Egoku tergelitik. Aku cemburu.

    “Kamu lebih sayang mana, teman kamu atau abang dek?” Tanyaku.

    “Dua-duanya”

    “Pilih dong..” desakku.

    “Dua-duanya ih bang.. Udah ah. Yuk mandi.. Lengkeetttt.. Kita mandi bareng ya bang..” dengan cepat dia berlari kearah kolam renang di bagian depan rumah.

    Sejak itu kami akrab. Dengan Tom aku bisa tertawa. Dengan senyumnya semangatku menyala. Dalam kepandaiannya nilaiku terjaga. Dengan dirinya disisiku aku tak lagi tersiksa. Pelajaran-pelajaran juga didikan kakek tak begitu kurasa berat lagi sejak Tom berada disisiku. Tapi aku sedikit cemburu dengan temannya itu. Sedikit sedikit dia cerita temannya begini, temannya begitu. Itu tuh, teman yang dia sebut Alfi itu. Aku cemburu.

    ***

    Suatu ketika sewaktu umurku 11 tahun, selepas kepergian tante Sonya dalam kecelakaan pesawat. Aku menginap dirumah Tom. Aku rindu dan ingin bertemu dengannya namun susah, karena kakek masih saja terus mengawasi pendidikanku.

    Tom terlihat berbeda kali ini, senyumnya masih ada tapi hampa. Tingkahnya masih ceria tapi terasa pura-pura. Aku bingung. Aku heran. Dan mulai bertanya-tanya. Ada apa dengan Tom?

    “Tom sehat?” dia mengangguk.

    “Kok lemes? Ngantuk ya? Ya udah bobo dulu gih. Ato mau bobo bareng abang?” Dia mengangguk lagi. Kuraih tangannya, ku ajak naik kekamarnya. Secepat kepalanya menyentuh bantal Tom terlelap. Dia pulas.

    Wajah tidur Tom damai. Sangat damai sekali. Wajah manisnya terlihat tambah manis ketika tidur. Aku menyayanginya. Hanya dia adik (sepupu) yang akrab denganku. Yang lain hanya iri karena perhatian kakek terhadapku.

    Dengan perhatian kakek aku merasakan kesenangan semu. Lain halnya dengan Tom. Aku usap-usap rambut dikepalanya. Dengan Tom aku benar-benar bahagia. Bisa tertawa. Dan damai luar biasa. Aku beranjak. Aku keluar dari kamar Tom dan turun kebawah.
    Aku berniat berenang. Karena hari mulai sore. Aku menuju kolam renang yang ada dirumah Tom. Rumah Tom sepi. Dirumah ini hanya ada satu pembantu. Yang tidak kulihat dari tadi. Ayah Tom, Om Gun belum pulang sepertinya.

    Setelah beberapa putaran, aku puas. Aku naik dan mulai mengeringkan tubuh dengan handuk. Aku bergegas kembali kekamar Tom, ingin membilas. Setelah sampai didepan pintu kamar Tom aku mendengar teriakan. Aku tersentak.

    “Ampuunn Paa.. AmmPPuuunnn.. sakiittt..” Suara itu suara Tom. Apa yang terjadi?

    Kusentuh kusen pintu yang tidak tertutup itu. Astaga Om Gun sedang mencambuki tubuh telanjang Tom dengan gespernya. Kemana baju Tom? Om Gun kah yang melucutinya? Kurang ajar. Tega sekali Om Gun.

    “Terima ini.. Terima. Dasar tak tahu diuntung..” Sudah cukup. Aku tak terima. Tom adikku. Dan Om Gun tak boleh menyakiti adikku. Adik kesayanganku.

    “OM CUKUP. BERHENTI!!..” Aku berteriak. Keras.

    Om Gun tersentak kaget. Mukanya terlihat seram sekali. Nyaliku ciut. Aku mulai sedikit takut. Tapi aku lebih takut Tom terluka. Aku kuatkan tekad. Aku Robby. Pemilik nama Hartawan. Orang lain selain itu bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa.

    “Om ga waras. Kenapa Tom dicambukin gitu. Om mabok ya?!” kataku keras.

    “...”

    “Tom sini. Kamu ikut sama abang. Kamu nginep dirumah abang ajah..” aku segera meraih Tom.

    Om Gun hanya diam saja. Kesempatan itu kugunakan untuk membawa kabur Tom ke rumahku. Kutelpon supirku yang menunggu diluar untuk menyiapkan mobil. Aku dan Tom segera berlalu dari hadapan Om Gun yang kurasa mulai sinting itu.

    Lenyap sudah ingatan tentang kebaikan Om Gun dulu. Terganti oleh sosok seram dengan mata nyalang yang membuat bulu kudukku meremang. Mobil terlihat. Supir siap. Kami berangkat. Menyingkir dari rumah durjana ini. aku bergidik ngeri.

    Tom masih menangis. Tadi bergegas kuambil cepat baju-baju Tom yang terlepas. Dan kupakaikan ketika kami sudah dibawah. Wajah Tom merana. Senyumnya tak lagi ada. Hatiku dihinggapi nestapa.

    Kugenggam tangannya kupeluk dirinya. Kutunggu hingga sesenggukannya berhenti. Namun tangis itu tiada bertepi. Air mata itu tak kunjung henti. Membasahi bajuku, membuatku kian pilu. Dalam mobil itu kami larut dalam duka yang tak terperi. Aku menguatkan diri. Untuknya. Aku menahankan air mataku. Untuknya. Karena aku kuat. Dengan dagu tercuat kugenggam kekuatan hati kuat-kuat. Aku. Kuat. Demi dia, untuk dia, aku harus kuat.

    Sesampainya dirumahku Tom telah tertidur. Aku senang. Tapi hanya sekejap. Senangku menguap melihat airmata masih mengalir dalam tidurnya. Aku merana.

    Kupanggil Papa. Dia tak ada. Kutelpon papa. Menyuruhnya pulang segera. Kemana ibuku? Ibu telah meninggal ketika umurku 5 tahun. Karena itu kakeklah yang menjaga dan mendidikku.

    Tom tidur dikamarku sekarang. Dibantu oleh pembantuku yang membawa dan mengangkatnya ke ranjangku. Kutunggu papa. Akan kubeberkan kelakuan Om Gun padanya. Tak lama mobil papa terdengar datang.

    Segera kuceritakan semuanya. Segala yang telah terjadi dan semua yang telah kulihat. Papa menganga. Tak percaya. Tak mungkin katanya. Aku dibilang mengada-ada. Kugenggam tangannya kutarik dia kekamarku. Kutunjukkan luka cambukan Tom padanya. Dia terpana. Masih tak percaya.

    Sejak itu papa mulai menangani permasalahan yang diderita Om Gun. Papa bilang Om Gun depresi. Papa meminta padaku agar tidak menceritakannya pada kakek. Karena jika tahu, kakek bisa murka. Bagaimanapun Tom itu cucunya. Tentu saja murka. Aku pun murka. Ingin kupukuli om Gun saat ini juga.

    Namun seperti ada hal yang tidak diceritakan oleh papa. Seperti, mengapa sampai Om Gun depresi atau kegilaannya memukuli darah dagingnya sendiri. Papa seperti menjaga rapat sesuatu yang masih buatku bertanya-tanya hingga saat ini. Seolah ada rahasia besar atas kelakuan Om Gun yang tak masuk diakal itu. tapi aku tak tahu. Dan papa tidak bercerita apa-apa lagi padaku.

    Entahlah. Aku tak tahu. Aku hanya senang Tom tidur nyaman diranjangku saat itu. Tom.. Aku rindu..

    *END OF FLASHBACK*

    Tom.. Aku Rindu.. Sangat rindu.. Senyummu, manjamu, kegigihanmu, tekadmu, semua kurindu. Si kecil Rei mengingatkanku padamu Tom.. Dia mirip sekali denganmu. Permainan basketnya, juga senyumnya.. Benar-benar mirip denganmu.

    Bagaimana keadaan Rei sekarang? Baik-baikkah dia? Bagaimana jika dia kenapa-kenapa? Aah.. Aku resah. Aku harus menengoknya.

    Kulangkahkan kakiku menuju ruang UKS yang terletak di ujung koridor timur. Aku melihat Farel baru beranjak dari sana. Si (Monyet) Farel adalah temanku sejak SD dulu. Hanya dia yang betah berada disisiku dan selalu bisa menerimaku. Walau kadang sifatku yang temperamental membuatnya dalam posisi yang sulit. Tapi dia selalu bisa memakluminya. Tidak jarang (dan seringnya) memarahiku jika tingkahku sudah kelewat batas.

    Dia terlihat pergi kembali ke kelas. Aku menghindar. Bersembunyi. Tak ingin dia tahu. Tak ingin siapapun tahu. Kulirik sekilas dan kulihat si autis Alfi ada disana. Masih disana. Sial. Selalu dia. Dulu Tom dan sekarang Rei. Aku cemburu.

    Aku bersembunyi disudut tergelap koridor timur. Menunggu Alfi pergi. Sedikit lama, tapi dia pergi juga. Kulongok kedalam ruang UKS, Rei sekarang tertidur. Wajahnya damai. Nyaman dan terlihat manis tanpa dosa. Seperti wajah tertidur Tom. Kuusap rambutnya. Kukecup keningnya. Dia sedikit tersentak tapi masih tertidur. Dia tersenyum dalam tidurnya. Terlihat bahagia.

    Aku tidak ingin membuatnya terbangun. Jadi kuambil tempat ditempat tidur ujung satunya yang tersedia di UKS ini. Kututup tirai dan kupasang mp3 dalam Hpku. Suaranya ku pasang setenang mungkin. Ini lantunan Chopin Piano Concerto no.2 in F Minor Opus.21 (Opus: sebutan untuk lagu).

    Lantunan piano concerto ini merupakan lantunan yang sering didengarkan Tom terakhir kali aku bertemu dengannya. Karena itu aku menyukai musik ini. Hanya musik ini yang kusukai. Tiada yang lain.

    Ketenanganku terganggu ketika aku mendengar kedatangan Jessica and the Gank. Sepertinya fans berat si autis ini ingin mencari masalah dengan Rei. Amarahku sedikit terpercik. Hanya aku yang boleh mencari masalah dengan Rei. Takkan kubiarkan ada yang lain mengganggu. Karena Rei mirip dengan Tomku..

    Ketika kudengar Rei terdesak aku sudah tak bisa menahan diri. Aku meradang. Aku menantang siapapun yang menghadang. Kuusir Jessica and the Gank yang mencari masalah dengan Rei-ku. Maksudku dengan si kecil Rei. Ada apa denganku?

    Orang lain selain Hartawan adalah sampah. Dan si jelata Rei jelas bukan apa-apa. Bukan siapa-siapa. Tapi dia mirip sekali dengan Tom!! Aku dilema.

    Petuah (beracun) kakek melawan rasa sayangku yang besar terhadap Tom. Sudah jelas. Tom yang menang. Seperti kubilang. Tom-lah yang paling kusayang tak peduli siapapun orangnya, meskipun kakek yang menghadang. Rei mirip dengan Tom. Aku mulai sayang.

    Benarkah? Mungkinkah? Sayang? Dengan Rei? Aku mulai Gila..

    Kukatakan pada Rei agar memanggilku abang. Seperti Tom yang dulu ingin sekali aku menjadi abangnya. Entah pikiranku mulai penuh tentang Tom juga dia. Si kecil Rei pastinya. Aku tak kuasa. Kemiripan mereka membuatu resah. Hatiku tergugah dan menumbuhkan rasa. Entah rasa apa. Sudahlah. Aku bertanya-tanya..

    Tom.. Aku rinduu.. Mungkinkah Rei bisa menggantikanmu?
  • Kwkwkwkwkkw tengah malam jadi gak fokus lah ini ntar liat chelsea vs ATM nya wkkwkwkw
  • uhm ...

    chelsea !

    aku pegang chelsea
    ddonid wrote: »
    Kwkwkwkwkkw tengah malam jadi gak fokus lah ini ntar liat chelsea vs ATM nya wkkwkwkw

  • Arrrrggggghhhhhh LOVELY. STUNNING. BRILIANT. MAGNIFIQUE. PERFECTION. Pov nya robby memang yg most wait-able *kosakata bodoh* #Whatevs. Such a Badboy yet guarding person. Keep posting TS.
  • @ddonid‌ mumpung blom maen kn masbro..

    @elsa‌ aku Atletico klo gitu..

    @maret elan‌ TS *Terbaaanngg Melayang* #TolongPegangin
  • emg si Tom skrg kmna kk rei? :(
  • kmn yah @haha5‌ ..? bantu cari in dunkz.. hehe..>_<
    d tgu next chapternya ajah ya.. ;)
  • Wih, mantab nih si robby
    Lucu bingit~
  • klo gitu tom msh idup yaa.. mungkin diamankan sama si kakeknya.. di safetybox >.<
  • berasa banget pov nya robert, btw, ane penasaran, si tom kemana???
  • Btw, si TOM kmn???

    tau jangan2 si tom lg dikerjai si jerry,,
  • omegggooooottt... robby ternyata??

    tomnya kman sihh,, mati kah??, atau di bw pergi bpknya truz menghilang??
Sign In or Register to comment.