BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA EDISI CERPEN

1141517192030

Comments

  • lian25 wrote: »
    mga g ada perselingkuhan dan penuh kebohongan seperti seri yg pertama kemarin

    hehehe,, kita liat saja mas ceritanya seperti apa,,
  • hantuusil wrote: »
    Good Job... Ini cerita bermutu yg pernah aq baca...... Jangan lupa mention yaa...

    makasih mas,, sip nanti di mention mas,,
  • masih bnyk yg typo dan salah penulisan nama karakter, coba deh di cek lagi :)

    hehehe,, makasih mas sudah mau mengkoreksi kesalahan,, sudah aku coba rapihkan ko mas,, kalau msh ada yang typo atau karakter,tertukar saya mohon maaf,, nanti saya lihat kembali untuk dikoreksi
  • makin sip aja critax. Info2 ttg HIV/AIDS menambah pengetahuan.
    Mention ya klo update.....

    sip mas,,.,,,,,,makasih ya mas sudah membaca
  • bayumukti wrote: »
    Setuju, rivi endingnya sama boggie, itung2 Nexus kesalahan masa lalu, merried Ga jadi

    duh mas kasihan yoga ntar,, hehehe
  • aaaaaaaaaaaah dokterrrrrrrrr........... pintar kali kau membuat ceritaaaaaaa :*

    hehehe,, kemana saja mas?? Hehehe,, makasih mas,, tidak terlalu pintar ko,, mah banyak penulis hebat di,forum ini
  • 3ll0 wrote: »
    Karakter Dirga sama ya ma karakter Boggie yang antipati ma ODHA.

    Pak Dokter saya minta dimention ya kalau update.makasih.

    iya sama mas karakter ya,, yupz nanti dimention,,makasih ya mas
  • Yah setting rumah sakitnya hilang. Padahal itu yg bikin seru cerita ini dulu. Jarang setting cerita di boyzforum yg di rs

    maaf mas setting rumah sakit hilang,,tapi mksh mas mah membaca cerita ku
  • Lanjuttt..
    Mention ea

    senin ya lanjutannya,,
  • Wowww. Makin suka sama ceritanya. Kirain cuma 1 part, eh ternyata banyak. Pak dokter makin pinter buat cerita. Typo dikit, tp msh ada nama tokoh yg tertukar.

    Yg di makam Nuris itu si Gulid ya... Msh pnasaran dgn hubungan Rivi n dhio, terkesan biasa aja. Dirga jg, kyknya blm meletek. hihi

    Ditunggu kelanjutannya.
    #Peluk Boggi

    waduh kan belajar dari kamu mas,, ini yang aku suka sama kamu,, selalu detail memberikan koreksi,,saran,,makasih yo mas,,
  • @Rendesyah hmmm dari awal cerita pesannya dalem, walaupun msh awam sama kata kata kedokteran tapi ceritanya gak bikin boring dan so reaaaaaalllllll, bertambah lah penulis favorit gue setelah @rendifebrian @tamagokill dll, jgn lupa dimention ya ^#(^
  • ENAM

    Sebuah gulungan kertas melayang dari meja Dirga dan mendarat manis di kepala Gulid, diikuti gerakan Dirga yang mencondongkan kepalanya.

    “ Sssttt.......!! Jadi nggak Bang mau cari celana?? “ bisik Dirga.

    Dirga menoleh sembari mengerjapkan mata,, “ Jadi dong, tapi kita makan dimana?? “

    “ Hmmm, mau makan mie ayam lagi......?? “

    Bibir Dirga berkerut tanda keberatan,, “ Terus-terusan makan Mie Ayam bisa gempor nie perut,,!! “

    “ Ikan bakar?? “ kedip Dirga.

    Gulid spontan mengangguk sambil tersenyum lebar.

    Dirga kembali menatap layar laptop, mencoba konsentrasi di menit-menit terakhir jam kantor hari itu, tapi tak berhasil karena di detik berikutnya gantian segumpal kertas yang mendarat di kepalanya. Ia menoleh dan melihat cengiran Gulid.

    “ Menurutmu, kemeja itu kubeli saja atau nggak, ya?? Tanya Gulid menimbang-nimbang.

    “ Beli, saja. Keren lho!! “

    “ Tapi modelnya kuno banget,,”

    “ Hmm,,, gak kuno ko Bang, pakai kemeja itu abang pasti seksi,,” Dirga mengedip nakal. Sebuah gulungan kertas kembali mendarat di kepala Dirga diikuti kikik geli Gulid.

    “ Atau bahasanya si Rivi ke Luna kemarin,, Oohhhh, seksi sekali baju mu hari ini !! “ Dirga berdiri dari kursi dan mengembangkan kedua tangannya penuh gaya. Dirga semakin terkikik.

    “ Apa yang seksi?? “ Sebuah suara berat mendadak membungkam mulut Dirga dan Gulid. Serentak mereka menoleh ke pintu yang sudah terbuka dan melihat senyum si bos yang menggoda.

    Gulid dan Dirga terdiam dengan muka merah. Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menyiksa buat kedua Pria itu, tapi menyenangkan buat Rivi. Apalagi melihat kulit putih Dirga yang akan bersemu merah setiap Dirga salah tingkah atau marah, pertama kali bertemu Dirga, sebenarnya Rivi merasa bingung dengan kulit putih Dirga yang seorang pria. Akhirnya Rivi berdeham.

    “ Well, aku Cuma ingin minta tolong. Mobiku mogok dan sopir kita menyuruhku untuk naik kendaraan umum. Tapi aku ragu dengan kendaraan umum di sini. Kamu tidak keberatan mengantarku ke hotel Dirga?? If you don’t mind............” pinta Rivi dengan suara lembut.

    Dirga terdiam bingung. Gulid yang melihat hal itu segera merespons.

    “ Pasti Dirga tidak keberatan, Rivi. Kebetulan kami juga mau makan ikan bakar dulu untuk makan malam. Mungkin kau mau bergabung dengan kami?? “

    Dirga spontan melirik tajam ke arah Gulid, tapi yang dilirik pura-pura nggak tahu.

    “ Wow good idea. Sejujurnya saya mulai bosan dengan makanan hotel. Oke, sampai jumpa nanti ya!! “ sambut Rivi antusias sebelum menutup pintu.

    Sepeninggalan Rivi, Dirga spontan mendelik ke arah Gulid.

    “ Abang gila ya, pakai ngajak-ngajak preman itu segala!! Pokoknya kita antar dia ke hotel, terus kita lanjutkan acara kita!! “ Dirga berkeras.

    Gulid merangkul bahu temannya dengan gaya membujuk,, “ Ayolah, sesekali ngajak dia kan nggak masalah. Siapa tahu bos kita orangnya menyenangkan?? “

    Dirga mencibir,,, “ Kalau dia menyenangkan, nggak mungkin aku pernah terpikir untuk resign,,”

    Gulid tertawa,,,” Itu sih memang salahmu yang belum tahu cara membuat modul. Sekarang kanmalah jadi konsultan favoritnya kan?? “ ledek Gulid.

    Dirga melengos, malas menanggapi celotehan Dirga.

    “ Ga,, awas lho,, kalau benci banget jadi cinta,, heheheh,,”

    “ Abang,, mana mungkin cowok cinta sama cowok,,” Dirga berkata sambil melempar pulpen ke arah Gulid.

    ********************************************************
    Dear Dhio

    Ada sesuatu yang masih mengganjal mengenai sikap pria itu terhadap ODHA, meskipun akhir-akhir ini sudah ada perubahan. Bisa kurasakan perubahan itu.

    Anyway, hari ini mobil kantor mogok. Sopir menyuruhku naik kendaraan umum. Untung pria itu bersedia mengantarku ke hotel. Konsultanku yang satu lagi malah menyarankan kami makan malam dulu. Thank God. Karena makanan hotel nyaris membuatku bunuh diri.

    Apa kabarmu hari ini, dear??

    _Rivi_

    ********************************************************
    Setengah jam kemudian,,,

    ********************************************************

    My dearest Rivi,

    Sikap Pria itu “ biasa “ kok, and you know that very well, don’t you?? Itu merupakan satu dari sekian banyak tantangan yang harus kamu dan mereka yang berkecimpung di bidang ini hadapi.

    Jangan pernah menyerah, Sayang. Kamu memiliki seluruh dukunganku!!

    Oh ya, selamat mencoba makanan lokal bersama kedua konsultanmu. By the way, aku baik-baik saja.

    Love,
    Dhio

    ********************************************************

    Pondok Bambu adalah tempat makan yang dekat dengan Masjid Raya, kami sengaja memilih tempat itu karena suasana malam yang banyak terdapat pasar kaget. Dirga memarkir mobilnya di tepi jalan. Pengunjung Podok Bambu mulai ramai. Tempat duduk mulai terisi semua. Gulid bergegas menuju sebuah meja yang masih kosong.

    “ Ga, pesankan aku gurame bakar ya. Biar aku yang jaga meja, ntar diambil orang!! “

    “ Kamu mau makan apa?? “ tanya Dirga ke arah Rivi. Lelaki itu berpikir sejenak.

    “ Hmm, aku sedang tergila-gila nasi goreng sih,,”

    “ Oke, kuanggap itu menu pilihanmu,,” sahut Dirga cepat dan segera memesan nasi goreng dan gurame bakar untuknya,,”

    Setelah itu mereka kembali ke meja.

    “ Hmm, aku kok nggak tahu ada tempat seperti ini di dekat kantor kita ya?? Kalau tau begini, setiap makan siang aku kemari,,” jelas Rivi.

    “ Sayangnya, tempat ini Cuma buka sore hari,,”

    Rivi menatap Gulid tak percaya,, “ Kenapa?? “

    “ Ya karena memang begitu,,” jawab Gulid sambil mengangkat bahu.

    Tak lama pesanan mereka datang. Tiba-tiba Gulid menjawil lengan Dirga. Kepalanya mengedik ke arah meja di sebelah mereka. Sepasang kekasih sedang makan sepiring berdua. Dirga tersenyum menggoda ke arah Gulid.

    “ Kenapa Bang?? Kepingin ya?? Makanya cari pacar!! “ ledek Dirga.

    Rivi ikut melirik kearah meja yang jadi perbincangan kedua pria itu.

    “ Aku Cuma terpikir, andai salah seseorang dari mereka HIV positif, tidak bakalan deh ada kemesraan seperti itu,,” cibir Gulid.

    “ Oh ya?? “ Rivi jadi ingin tahu pendapat Gulid.

    “ Of course. Di sini stigma dan diskriminasi masih kuat. Kebanyakan orang masih menganggap AIDS itu penyakit kutukan. Penyakit moral. Jangankan sepiring berdua, berbicara saja orang masih enggan!! “ ujar Gulid lugas.

    Rivi manggut-manggut mendengarkan. Dirga terdiam, salah tingkah. Kata-kata Gulid seperti sedang menyindirnya. Menyindir kenaifannya dulu saat mereka berkunjung ke Yayasan Cenderawasih. Juga prinsip konyolnya saat mereka ngobrol di tempat mie ayam dulu. Tapi itu kan dulu, saat pemahamanku mengenai informasi HIV/AIDS belum terlalu mendalam, Dirga membela dirinya. Untungnya, Gulid tidak tahu apa yang terjadi di toilet saat itu

    “ Stigma dan diskriminasi ada di mana-mana, Gulid. Bahkan di lingkungan yang orang-orangnya sangat memahami isu HIV/AIDS dan prinsip penularannya, diskriminasi tetap terjadi,,” Jelas Rivi.

    “ Kenapa bisa begitu?? Bukankah semuanya tergantung pada pemahaman seseorang?? Semakin mereka tahu, seharusnya semakin mengerti,,” Bantah Dirga.

    Rivi tersenyum kecil. “ Seharusnya memang begitu. Tapi pemahaman dan perilaku adalah dua hal yang berbeda. Misalnya saja, berapa persen sih orang yang menghentikan kebiasan merokok setelah mengetahui dampak merokok terhadap kesehatan?? Tidak sampai 40 persen. Nah, apalagi kalau sola AIDS, aspek norma agama dan budaya ikut terlibat,, “

    Dirga dan Gulid mengangguk mengiyakan.

    “ Jadi tantangan program ini sangat besar. Strategi dan pelaksanaan yang jitu dari kalian berdua sangat dibutuhkan,,”

    “ Setuju. Tapi tergantung bagaimana caramu sebagai bos menghargai kinerja kami,,” sambar Gulid.

    Rivi terperangah kaget. Dirga mencubit lengan Gulid yang tersenyum manis dan lugu.

    “ not hard feeling. Boss. Just joking!! “

    Rivi tersenyum, tak mampu memberi jawaban.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Jam menunjukan pukul sembilan malam ketika mobil Dirga berhenti di depan lobi hotel. Rivi turun dari pintu belakang. Sejenak ia berhenti di samping pintu depan.

    “ terimakasih banyak Dirga, malam yang menyenangkan bersama kalian,,”

    “ Bye,, Rivi!! “

    “ Hati-hati di jalan ya,,” kata Rivi.

    Setelah saling melambatkan tangan, mobil Dirga bergerak meninggalkan area salah satu hotel termegah di Merauke itu. Setelah cukup jauh, Dirga menoleh ke arah Gulid.

    “ Abang gila, mengajaknya belanja di pasar kaget tadi,,”

    “ Heheheh,,sesekali mendapatkan opini ke-tiga dari bos saat belanja kan seru juga,,” celoteh Gulid.

    “ Biasanya Abang kalau pergi belanja atau jalan-jalan dengan siapa?? “ tanya Dirga ingin tahu.

    “ Dulu sih bareng teman-temanku. Tapi beberapa tahun terakhir ini aku selalu sendiri,,”

    “ Memang teman abang pada kemana?? Sudah menikah semua?? “

    “ Yah, begitulah,,” sahut Gulid datar. Dirga menoleh. Jawabannya Gulid selalu saja begitu setiap obrolan mereka menyerempet soal kehidupan.

    “ Kalau kamu dengan siapa Ga?? “ Giliran Gulid bertanya.

    “ Lebih senang sendiri. Terlalu banyak orang, terlalu banyak opini nanti, malah semakin membingungkan,,”

    Gulid tertawa,,” Pacar?? “

    Dirga menggeleng,, “ Belum ada yang cocok,,”

    “ Masa sih?? Kamu mencari yang seperti apa?? Seperti Papamu ya?? “ tebak Gulid sambil tertawa,,

    “ Abang kalau jenis kelamin mah nggak mungkin kaya Papa, tapi dia harus pintar, cerdas dan bijak seperti Papa dan cantik seperti Mama,,”

    Gulid tertawa. Matanya menatap Dirga iri,, “ Hubungan kalian berdua sangat erat, ya?? “

    “ Maksudmu, aku dan Papaku?? Kayaknya sih iya, lagi pula sejak Mamaku meninggal, kami hanya tinggal berdua. Tidak memiliki siapa-siapa lagi,,”

    Gulid melemparkan pandangan ke luar jendela mobil. Air matanya merebak.

    “ Sering kali perasaan senasib dapat membuat hubungan semakin erat,,” bisiknya lirih. Sesuatu mengusik dirinya.

    Dirga mengangguk. “ Senasib dan Cinta, mungkin?? “

    “ Yah, senasib dan cinta,,” tegas Gulid. Setetes air mata jatuh di pipinya.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dirga mematikan lampu kamar dan menghidupkan lampu tidur. Senyum cerah terukir di bibirnya. Malam ini terasa menyenangkan buatnya. Bukan hanya karena acara belanja bareng Gulid, meskipun itu bisa menjadi alasan yang cukup valid. Sudah beberapa tahun terakhir ini Dirga tidak memiliki teman untuk sekedar hang out dan ngerumpi. Sahabatnya waktu kuliah dulu mulai sibuk mengurus kehidupan pribadi masing-masing. Demikian juga Dirga. Tapi karakter Dirga yang hangat dan senang bercanda membuat Dirga betah berteman dengan pria itu. Apalagi sikap Gulid yang beberapa hal jauh lebih dewasa dan bijak seakan menghadirkan figur seorang kakak yang tidak pernah dimiliki Dirga. Andai Dirga bisa meminta seorang kakak, maka sosok Gulid-lah yang ia inginkan.

    Tapi bukan itu sepenuhnya alasan senyuman Dirga terukir malam ini. Kehadiran Rivi yang tidak diinginkan dan tidak sepenuhnya benar-benar mengusik hati Dirga. Mengusik?? Hmm, sepertinya kata “ mengusik “ terlalu bombastis. Lantas kata apa yang tepat untuk menggambarkan perasaan Dirga setiap melihat raut muka Rivi yang terkadang serius, santai dan sesekali tersenyum menggoda.

    Dirga menutup wajahnya dengan bantal. Duh, kenapa tiba-tiba ia bertingkah seperti remaja yang kasmaran begini?? Padahal umurnya sudah 27 tahun. Lagi pula, Rivi itu laki-laki dan juga manajernya. Tepatnya, manajer yang menyebalkan, pemarah dan suka membentak. Kalau tidak ada Gulid dan tidak dibujuk Papanya, pasti Dirga sudah sejak dulu mengundurkan diri. Tapi akhir-akhir ini Rivi kan tidak pernah marah lagi, sudut hati Dirga membela. Tapi tetap saja itu tidak bisa menghapus perlakuan Rivi padanya dulu, Dirga masih ngeyel. Beberapa saat terjadi pertentangan di hati Dirga mengenai Rivi. Hingga akhirnya ia mulai letih dan kantuk semakin menyerang.

    Bagaimanapun perlakuan Rivi, tetap saja sudut bibirnya terlihat sangat seksi saat lelaki tersenyum, bisik hati Dirga akhirnya sebelum terlelap.

  • TUJUH

    Gulid baru saja hendak memejamkan mata saat terdengar buah bunyi SMS masuk

    “ Mas, mohon doa restu. Aku akan menikah Sabtu ini,,”

    Gulid terduduk kaget menerima SMS dari Reza, adik bungsunya. Ya Tuhan, adik tersayangnya itu ternyata sudah tumbuh dewasa dan akan memulai hidup baru. Gelombang keharuan seketika menyeruak memenuhi hati Gulid. Keharuan sekaligus kesedihan. Buru-buru dibalasnya SMS itu.

    “ Mas doakan semoga kamu bahagia, Rez. Andai Mas bisa di sana melihat kebahagianmu,,”

    Setetes air mata jatuh di pipi Gulid. Reza adik satu-satunya yang sejak kecil selalu ditemaninya pergi ke sekolah. Reza selalu menjadikan Gulid sebagai tempat curhat saat Reza berantem dengan pacarnya, atau saat cowok yang ditaksirnya malah jadian dengan cewek lain. Hubungan di antara mereka berdua sangat erat. Tapi sekarang saat si bungsu itu akan menikah, Gulid malah di Merauke, ribuan kilometer jauhnya dari keluarga di Pulau Jawa.

    “ Maaf Mas,,, aku juga ingin Mas mendampingiku saat akad nikah. Tapi Ayah dan Ibu melarang aku ngasih tahu Mas. Mereka gak mau Mas hadir,,Mas, maafkan aku. Aku janji akan mengenalkan suamiku ke Mas. Secepatnya,, ”

    Gulid tersenyum getir membaca SMS balasan itu. Ternyata kebencian itu masih belum reda. Bahkan perpisahan beberapa tahun terakhir ini tak mampu menumbuhkan rasa rindu mereka terhadap putranya. Jika yang dikatakan Dirga itu benar, bahwa perasaan senasib dan cinta dapat membuat sebuah hubungan menjadi erat, apa itu memang tidak ada cinta dari keluarga terhadap dirinya??

    Gulid menjatuhkan badannya ke tempat tidur dengan air mata yang semakin deras. Didekapnya ponsel dengan erat.

    Mas tidak menyalahkanmu Reza. Di mana pun Mas berada, hanya kebahagianmu serta kebahagian Ayah dan Ibu yang menjadi doa Mas setiap saat, bisik Gulid lirih.

    Keesokan harinya, Dirga sedang menyeruput teh di pantry saat Gulid melangkah mendekatinya. Raut muka Gulid tampak tidak bersemangat.

    “ Abang, kamu sakit ya?? “

    Gulid menggeleng.

    “ Kok muka Abang lesu begitu?? “ tanya Dirga tak percaya.

    Gulid memberi seulas senyum terpaksa. “ Aku nggak apa-apa kok. Nanti pas makan siang, temani aku cari kado ya,,” pinta Gulid dengan suara pelan.

    “ Kado apa?? Ultah atau kawinan?? “

    “ Kawinan. Adikku,,” sahut Gulid sebelum melangkah keluar dari pantry.

    Kening Dirga spontan berkerut. Baru sekali ini Gulid mengatakan sesuatu tentang keluarganya, meskipun hanya sebuah permintaan menemani membeli kado. Berarti Gulid punya adik?? Dan adiknya mau menikah?? Di Merauke?? Ah, mana mungkin. Gulid kan pendatang di sini. Berarti kampung halamannya di Jakarta sana. Tapi kenapa Gulid nggak ambil cuti untuk pulang menghadiri pernikahan adiknya?? Kening Dirga semakin berkerut. Apa ada perselisihan antara Gulid dengan keluarganya?? Ah, ngaco!! Dirga buru-buru menghapus dugaan yang nggak-nggak dari kepalanya. Segera ia berbalik dan melangkah menuju pintu. Pada saat yang sama pintu pantry didorong dari luar. Teh di gelas plastik yang dipegang Dirga nyaris menumpahi bajunya

    “ Hati-hati dong!! “ sembur Dirga kesal.

    Seraut wajah muncul dari balik pintu. Rivi.

    “ Dirga?? Apa yang kaulakukan di sini?? “ tanya lelaki itu.

    “ Biasanya orang ngapain di pantry?? “ gerutu Dirga masih kesal.

    Rivi tersenyum tenang,, “ Banyak sih. Bisa cuma membuat minum. Bisa juga negrumpi atau melarikan diri dari pekerjaan,,”

    Sialan!! Apa Rivi menuduhnya melarikan diri dari tugas?? Dirga semakin kesal. Tanpa basa-basi lagi, ia segera berlalu menuju ruangannya.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    “ Abang cuma dua bersaudara ya?? “ pancing Dirga siang itu saat mereka sedang menjelajahi tiap toko untuk mencari kado yang cocok untu adik Gulid.

    Gulid melirik Dirga sekilas. “ Empat orang. Aku punya satu kakak laki-laki dan satu kakak perempuan dan satu adik perempuan,,” Jawab Gulid datar.

    “ Berarti Abang anak ketiga donk...”

    Gulid tak menjawab. Ditariknya lengan Dirga masuk ke sebuah toko. “ Menurutmu gaun ini bagus nggak?? “ tanyanya sambil menunjuk sebuah gaun malam berwarna hitam dengan sebuah syal.

    “ Cantik. Tapi pengantin baru kok pakai warna hitam?? “ celetuk Dirga.

    Gulid tercenung sejenak. “ Iya ya. Apalagi kulit Reza kuning langsat cerah. Lebih cocok memakai baju warna terang ya,,”

    Berarti adiknya Gulid bernama Reza, Dirga mencerna setiap informasi tersebut dalam hati.

    “ Pestanya siang atau malam, Bang?? “

    “ Nggak tau,,”

    Kening Dirga berkerut,, “ Abang nggak mau ambil cuti?? “ tanyanya heran.

    “ Aku kan baru masuk kerja, Ga. Mana bisa ambil cuti seenaknya,,”

    Dirga mengangguk. Kemudian tangannya menunjuk sebuah gaun batik khas Papua berwarna pink lembut. Gulid ikut memerhatikan gaun yang ditunjuk Dirga.

    “ Kayaknya bagus. Aku ambil itu aja,,”

    Setengah jam kemudian mereka sudah berjalan kaki kembali ke kantor dengan dua potong gaun pink motif batik Papua dengan gaun hitam. Gulid memutuskan tetap membeli gaun hitam itu karena potongannya yang indah dan pasti akan kelihatan sangat cantik saat dikenakan Reza. Gulid segera membawa plastik belanjaannya ke dalam ruangan mereka sementara Dirga menuju ruangan Rivi.

    Dirga mengetuk pintu ruangan bosnya.

    “ Masuk!! “ terdengar suara dari dalam.

    Dirga masuk ke ruangan dan melihat pandangan Rivi sedang terbenam di layar laptop.

    “ Ya?? “ tanya Rivi.

    Dirga duduk di kursi depan Rivi. Dengan cepat diceritakannya perihal adik Gulid yang akan menikah dan keinginan Gulid untuk mengambil cuti. Kening Rivi berkerut.

    “ Sebenarnya bagi karyawan baru baru boleh cuti bila sudah satu tahu kerja, itu kebijakan disini. Tapi karena kita orang baru semua dan memang pekerjaan tidak sedang sibuk dan memang Gulid perlu mengambil cuti, why not?? Gulid bisa mengurusnya langsung ke Luna,,”

    Senyum Dirga segera berkembang,,” Oke,, makasih Riv!! “ ujar Dirga sebelum bangkit dan melangkah pergi. Tapi panggilan Rivi menghentikan langkahnya di depan pintu.

    “ Dirga, apa ini hanya kamu atau karakter semua orang di sini untuk selalu ikut campur urusan orang lain?? “ tanya Rivi lugas.

    Muka Dirga spontan memerah. Sebelum bibirnya melontarkan kata-kata pedas membalas kalimat tajam Rivi. Ia segera membuka pintu dan menutupnya kembali dengan keras. Rivi sialan, rutuknya dalam hati.

    Sesampainya di ruangannya. Dirga langsung menceritakan semua hasil pembicarannya dengan Rivi pada Gulid. Termasuk kabar gembira untuk Gulid dan kalimat kejam Rivi. Bukannya bersorak gembira atau mengucapkan terimakasih, Gulid malah menatap Dirga lama, sebelum akhirnya memasang raut muka kesal.

    “ Apa-apaan sih Ga?? Aku gak pernah menyuruhmu mendatangi Rivi dan meminta izin cuti untukku kan?? Untuk apa kamu lakukan itu?? “
    Teriak Gulid kesal.

    Dirga kaget, tak menyangka reaksi Gulid seperti itu.

    “ Kok Abang jadi marah sih?? Aku kan hanya ingin membantu Abang. Abang sendiri yang mengatakan tidak bisa pulang karena mengira tak bisa dapat cuti!! “ sergah Dirga tak ingin disalahkan.

    “ Tapi bukan berarti kamu bisa lancang mendatangi ruangan Rivi dan berbicara atas namaku!! “

    “ Kenapa sih Abang mempermasalahkan hal itu?? Yang penting sekarang Abang bisa mengambil cuti dan pulang ke Jakarta!! “ putus Dirga.

    Gulid diam. Tatapan tajamnya menghunjam kearah Dirga. Segala perasaan berkecamuk di hatinya, antara sebal, kesal, gemas, geregetan, mungkin juga kasihan melihat Dirga yang malah ditanggapinya dengan kalimat tajam Rivi. Banyak hal yang ingin diceritakan Gulid pada Dirga, entah aku sanggup atau tidak untuk memulainya, batin Gulid penuh keraguan.

    Dirga menatap Gulid, merasa bersalah. Beberapa menit berlalu sebelum akhirnya ia menarik napas panjang. “ maafkan aku Bang. Aku nggak berniat untuk lancang. Aku hanya melihat betapa Abang sangat menyayangi Reza dan menjadi sedih karena nggak bisa menghadiri pernikahannya,,” bisik Dirga lirih.

    “ Aku memang sangat menyayangi Reza. Aku juga sedih nggak bisa hadir disana. Tapi semua itu tidak sesederhana itu Dirga,,”

    Dirga menatap Gulid tak mengerti. Beberapa menit berlalu dalam keheningan.

    “ Masalahnya, aku tak bisa pulang Ga,,’ akhirnya Gulid dengan lirih berkata.

    Dirga tercenung masih tak mengerti,, “ maksud Abang apa?? Abang sudah dapat cuti kan?? “

    “ Ini bukan soal cuti. Tapi aku memang tak bisa pulang....”

    “ Oke, tidak bisa pulang karena...........?? “ kalimat Dirga mengambang.

    Gulid tak menjawab. Sebaliknya, ia malah menatap Dirga. Lama, sebelum akhirnya tertunduk. “ Aku bertengkar dengan kedua orangtuaku. Sampai sekarang mereka masih belum memaafkanku,,”

    Dirga membelalak tak percaya,, “ Serius, Bang?? Perselisihan sebesar apa sih yang bisa membuat hubungan anak dan orangtua terputus begitu saja?? “

    “ Panjang ceritanya,,” elak Gulid.

    “ Sudah terlajur Bang. Aku berhak tau ceritanya!! “ kejar Dirga.

    Bibir Gulid berkedut kesal, merasa terdesak. “ mereka tidak Menyetujui hubunganku dengan seseorang.......”

    “ Kenapa?? “

    “ Karena orang itu laki-laki, aku gay ga,,”

    Dirga kaget,, “ Eh,,,apa?? Abang...............gay?? Dirga membelak tak percaya. Dipandangnya Gulid beberapa saat. Tapi sahabatnya itu malah mengangguk pasti,, “ Lantas?? “

    “ Ya itu. Orangtuaku benar-benar marah dan tak ingin melihatku lagi,,”

    “ Abang......diusir?? “ Dirga masih tak percaya

    “ Secara halus, iya,,”

    “ Oh, Abang!! “ Dirga segera meraih bahu Gulid dan memeluknya erat. Tak menyangka menerima respons sehangat itu, Gulid sejenak terpana dengan tubuh menegang. Hanya beberapa saat, sebelum wajahnya dibenamkan ke pundak Dirga, matanya mulai basah.

    “ Pasanganmu ada di mana sekarang Bang?? “

    “ Sudah meninggal,,”

    Dirga sontak melepaskan pelukannya. Ditatap wajah Gulid tak percaya. Tapi lagi-lagi Gulid mengangguk tegas. Matanya yang berkaca-kaca mulai meneteskan air mata. Tak ingin mengusik kesedihan Gulid lebih dalam lagi, Dirga memilih diam dan memeluk sahabatnya lebih erat.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dear Dhio,

    Ada sesuatu yang berbeda mengenai laki-laki ini. Andai aku bisa mendengar pembicaran antara dirinya dan temannya. Dari ruanganku, aku hanya bisa membaca bahasa tubuhnya. Bagaimana pekerjaanmu disana??

    -Rivi-

    ********************************************************

    Rivi melempar pandang ke luar jendela. Di kedua matanya masih tergambar jelas pemandangan yang dilihatnya sekilas dari pintu ruang konsultan yang sedikit terbuka. Dirga sedang memeluk Gulid yang sedang menangis. Kedua bibir mereka bergerak-gerak seperti sedang bercerita. Hanya sekilas, tapi masih meninggalkan kesan di kepala Rivi. Apa ada kaitannya dengan kedatangan Dirga ke ruangannya tadi?? Kalau iya, seharusnya saat ini Gulid tidak sedang menangis. Bukankah Rivi dengan jelas mengatakan tidak keberatan jika konsultannya itu ingin mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan adiknya?? Lantas kenapa mereka bertangisan??

    Sebuah email baru masuk ke inbox

    ********************************************************
    My dearest Rivi,

    Memahami bahasa tubuh jauh lebih berarti daripada sekedar pemahaman verbal, baby and you’re really good at it. Tidak cukup keahlian bahasa untuk mengerti semuanya. Yang kaubutuhkan hanya sebentuk hati untuk mengerti. Dan kau sudah memiliki itu.

    I Love you.
    Dhio

    ********************************************************

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dr. Poernomo sedang membaca koran pagi ketika terdengar langkah mengendap-endap di belakangnya diikuti sebuah pelukan dan ciuman di pipi.

    “ Hmm,, wanginya anak Papa....” ujar Dr Poernomo tanpa menoleh.

    Dirga tertawa. “ Kok Papa langsung tau?? Bagaimana kalau yang memeluk tadi itu orang lain?? “

    “ Hahahahaha!! Kamu ada-ada saja. Dari wanginya saja sudah beda!! “ Lelaki itu terkekeh.

    Dirga merangkul leher papanya. “ Pa, aku mau tanya sesuatu dong,,”

    “ Kalau misalnya Papa tidak menyetujui pasangan pilihanku, apakah Papa akan mengusirku dan tidak menganggapku sebagai anak Papa lagi?? “

    Dr Poernomo terdiam mendengar pertanyaan yang tidak biasa itu. Ia menoleh sekilas ke wajah putranya yang bersandar di lekuk leharnya.

    “ Kenapa bertanya seperti itu?? Apa kamu sedang naksir seseorang?? “

    Pipi Dirga merona sekilas. Entah kenapa, saat itu wajah Rivi muncul dikepalanya.

    “ Nggak juga sih Pa,,”

    “ Kalau begitu, kenapa kamu nggak mulai naksir seseorang dan membawanya ke hadapan Papa?? Setelah itu baru kita lihat, apakah Papa akan setuju atau tidak,,” sahut Dr Poernomo bijak.

    “ Idih,, Papa!! “ Dirga merangkul lelaki itu lebih erat lagi dengan perasaan sayang yang meluap. Batinnya masih tak mengerti apakah permasalahan sebagai seorang gay saja yang mengakibatkan Gulid diusir oleh orangtuanya. Karena seorang gay, darah daging sendiri sampai dilupakan??

    Berapa bersyukurnya ia memiliki orangtua sebijak Papanya. Andai Mama masih hidup, pasti kasih sayang ini akan semakin berlipat ganda, bisik hati Dirga bahagia.

    DELAPAN
    Dirga melirik jam di dinding. Masih ada waktu setengah jam lagi untuk tanya jawab. Diperhatikannya para peserta pelatihan yang kebanyakan berusia tiga puluhan.

    “ Nah ada lagi pertanyaan?? Kita masih punya waktu tiga puluh menit sebelum coffee break,,”

    Seorang peserta mengangkat tangan,, “ Pak, mau tanya. Apakah seorang penderita HIV pasti melahirkan anak yang HIV positif juga?? “ tanyanya.

    “ Pertanyaan yang bagus. Tapi perlu kita pilah lagi. Apakah yang HIV positif itu si Bapak atau Ibunya?? Karena kasusnya akan berbeda,,”

    Dirga diam sejenak sebelum melanjutkan.

    “ Bila si Bapak HIV positif dan si Ibi HIV negatif, maka si anak pasti HIV negatif. Sedangkan jika ibunya HIV positif, kemungkinannya si anak bisa positif atau negatif. Karena itu, seorang Ibu yang HIV positif yang ingin memiliki anak harus berkonsultasi ke dokter. Biasanya Ibu itu harus meminum obat ARV alias anti retroviral untuk meningkatkan jumlah sel darah putih dalam tubuhnya. Ibu tersebut juga disarankan melahirkan lewat operasi caesar dan tidak menyusui bayinya,,” jelas Dirga.

    “ Kenapa harus operasi caesar, Pak?? “ ada lagi yang bertanya.
    “ Oh itu untuk meminimalisir pergesakan pembuluh darah antara si bayi dengan sang Ibu,,” jawab Dirga.

    “ Pak, kalau begitu, kenapa tidak dilarang saja semua perempuan HIV untuk punya anak?? “ celetuk seorang peserta.
    Serentak peserta yang lain ikut mengeluarkan komentar setuju. Ada juga yang menolak pendapat itu. Ruangan menjadi riuh. Dirga tersenyum mengerti.

    “ Saya gak setuju, pak. Punya anak kan hak azasi manusia. Tidak boleh dilarang!! “ seorang peserta perempuan protes.
    “ Tapikan kalau anaknya kena HIV, kan nggak adil juga!! “ sanggah yang lain.

    “ Kan tadi, Bapak Dirga sudah bilang, si Ibu itu disarankan melahirkan melalui operasi!! “

    “ Halah!! Lebih mudah, angkat saja rahim semua perempuan HIV!! “ celetuk peserta lelaki.

    Mendadak ruangan sunyi senyap mendengar komentar itu.
    Dirga ikut terenyak mendengarnya. Keheningan itu tiba-tiba dipecahkan oleh sanggahan daripeserta lain.

    “ Nggak bisa seperti itu, pak. Berarti kita sudah mendikriminasikan dia. Juga mengebiri haknya untuk memiliki anak!! “

    Beberapa saat perdebatan itu masih berlanjut, hingga akhirnya Dirga menengahi dan meluruskan beberapa pandangan yang keliru tadi.

    “ Jadi dengan melahirkanl ewat operasi caesar dan tidak menyusui bayi sendiri, persentase si bayi untuk tidak terinfeksi HIV dari Ibunya menjadi semakin besar. Setelah lahir, si bayi juga harus melalui beberapa perawatan untuk menjamin tidak tertular dari si Ibu. Hal ini disebut PMTCT atau Prevention Mother To Child Transmission,,”

    Dirga melirik jam di dinding.

    “ Nah, sekarang kita coffee break dulu, setelah itu kita lanjutkan sesi berikutnya,,”

    Semua peserta berdiri dan melangkah ke luar ruangan seminar menuju meja panjang yang berisi beberapa macam kue, kopi dan teh. Dirga sedang menyusun beberapa alat bantu seminar di dalam ruangan ketika Gulid melangkah masuk.

    “ Gimana respons peserta?? “ tanya Gulid

    “ Cukup antusias. Hanya stigma dan diskriminasi itu masih kuat. Di sesi berikutnya bisa lebih kita tekankan lagi,,” sahut Dirga sambil melirik jam dan berpikir di sesi mana penguatan terhadap topik tersebut akan diberikan.

    “ Sesi berikut ini aku yang pegang. Nanti akan kita buat permainan saja untuk memasukkan penguatan tentang hal itu,,” saran Gulid.

    Dirga berpikir sejenak sebelum mengangguk mengiyakan.
    “ Oh ya tadi Rivi pesan, mulai besok setiap meeting kita akan melibatkan yayasan Cenderawasih. Segala hal mengenai kontrak sudah selesai dan mereka sudah bisa mulai bekerja,,” tambah Gulid.

    “ Oke, aku balik ke kantor dulu ya!! “

    Gulid mengangguk sambil menyiapkan beberapa bahan pelatihan. Sebentar lagi seluruh peserta akan masuk kembali ke ruangan setelah selesai menikmati coffee break.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Setelah sampai dikantor, Dirga segera mendekati meja Luna.
    “ Siapa yang akan dikirim kemari dari Yayasan Cenderawasih Lun?? “

    Luna membuka buku catatannya,, “ Dini “.

    Dirga melirik sekilas ruangan Rivi yang tertutup pintunya.
    “ Bos nggak ada di ruangan ya?? “ bisiknya.

    Luna menggeleng setengah cemberut,, “ Tadi dia keluar, mending nggak usah balik cepat-cepat!! “ sahutnya setengah menggerutu.

    Alis Dirga terangkat sebelah. “ Kok gitu?? Biasanya kamu senang melihat si Dermott Mulroney,,” ledek Dirga.
    Luna mencibir,, “ Tampangnya emang dermott, tapi hatinya nenek sihir!! Seharian ini kerjanya marah-marah terus!! “

    “ Hmmm,, kukira kamu naksir dia,,” pancing Dirga.

    “ Ogah, mending untuk yang lain aja dah. Lagi pula aku sudah punya ini....” Luna membuka dompetnya dan menunjukkannya ke Dirga.

    “ Pacarmu, ya?? “ tanya Dirga ketika melihat foto Luna dengan seorang cowok yang terpasang di dompet gadis itu.
    Luna mengangguk dengan senyum lebar,, “ Iya dong!! “

    “ Tapi nggak mirip Dermott atau Luke Wilson tuh!! “ goda Dirga.

    Luna menjerit gemas,,” idih!! Biarin aja!! “

    Dirga segera menjauhi Luna yang sedang asyik memandangi foto di dompetnya. Didorongnya pintu ruangan Rivi yang tidak terkunci. Ruangan itu kosong. Kata Luna, mungkin si bos masih meeting di kantor pemerintahan. Dirga mendekati meja Rivi dan meletakkan beberapa berkas yang harus ditandatangani lelaki itu. Ruangan kosong itu masih menyisakan aroma Rivi yang maskulin dan kuat, membuat suasana menjadi hangat. Tiba-tiba saja hati Dirga berdesir. Dikepalanya tercetak bayangan Rivi sedang duduk dibalik meja, tenggelam di layar laptop. Sesekali keningnya berkerut. Buru-buru Dirga menghapus bayangan itu dan melangkah keluar ruangan dengan pikiran tak menentu.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Gulid merogoh-rogoh tasnya, tapi tangannya tak juga menemukan benda yang dicari. Kembali dibongkarnya seluruh isi tasnya. Tak juga berhasil. Mukanya mulai pucat. Setengah panik, ia menumpahkan semua isi tasnya ke meja. Tapi benda yang dicarinya tetap tidak ketemu. Gulid terenyak di kursi. Lemas.

    “ Cari apa sih bang?? “ tanya Dirga heran melihat tingkah laku temannya.

    Gulid tak menjawab. Benaknya sibuk berpikir. Seingatnya tadi pagi ia sudah memasukkannya ke tas karena malam ini ia akan pergi bersama Dirga. Tapi kenapa tidak ada?? Apa ketinggalan dirumah?? Pasti ketinggalan. Gulid mulai panik.

    “ Ada apa sih, Bang?? Ada yang ketinggalan?? “ tanya Dirga, diliriknya jam.

    “ Ayo cepatan. Kita kan mau makan dulu sebelum pergi kerumah ku!! Ajak Dirga mulai tak sabar.

    Gulid bergegas memasukkan semua isi tasnya kembali secara ssembarangan. “ Aku harus pulang Ga. Ada yang ketinggalan!! “ sahutnya terburu-buru.

    “ Apa sih yang ketinggalan?? Ya sudah, nanti kita mampir dulu ke kosmu,,”

    “ Nggak usah, Aku pulang sendiri saja,,”

    “ Tapi kita kan sudah janjian mau kerumahku?? “ protes Dirga.

    “ Besok aja deh. Aku benar-benar harus pulang,,” Gulid mulai berlari keluar gedung.

    “ Bang!! Tunggu!! “ kejar Dirga.

    Gulid menghiraukan panggilan Dirga. Tepat saat dipijakan ketiga tangga kantor, Dirga berhasil menyusul Gulid. Terlihat Gulid dengan muka pucat dan sedikit berkeringat. Jelas terlihat bahwa Gulid sedang panik. Dirga berdiri di sebelah Gulid tanpa suara. Setelah sampai di tempat parkir, ditariknya Gulid menuju mobilnya. Sejenak Gulid meronta, tapi Dirga memaksa. Masih tanpa suara, Dirga memacu mobilnya ke tempat kos Gulid. Untung Dirga pernah beberapa kali mengantar Gulid pulang. Setelah mobil berhenti, Gulid segera turun dan membuka kunci kamar dengan tergesa-gesa. Pintu terbuka dan ia langsung menuju meja yang terletak di dekat pintu. Ketika melihat sebuah kemasan kecil dengan tulisan “ Jumat “, sontak raut muka Gulid tampak lega. Diambilnya segelas air dan ditelannya isi kemasan itu dalam sekali tegukan.

    Dirga yang sejak tadi memerhatikan diam-diam mulai menebak-nebak dan merangkai semua kelakuan temannya selama ini. Perlahan ia mendekat dan mengambil kemasan kecil itu. Gulid menoleh kaget melihat tindakan Dirga. Raut mukanya mendadak pucat lagi.

    “ A-R-V?? “ Dirga mengeja tulisan di kemasan itu dengan perasaan shock, matanya berkunang-kunang tak percaya. Tatapannya kini terarah ke Gulid, menuntut penjelasan.
    Gulid diam. Keheningan tercipta di antara mereka. Lama dan menyiksa. Dirga masih tak memercayai tulisan yang terdapat di kemasan tadi. Ia berharap salah baca, tapi keheningan Gulid sudah merupakan jawaban. Lama menunggu tapi Gulid tak juga bersuara, akhirnya Dirga berbalik dan pergi meninggalkan tempat itu. Gulid berdiri kaku melihat kepergian Dirga. Sesuatu terasa hilang dihatinya. Ia menangis.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Ya Tuhan!! Ternyata Gulid seorang HIV positif!!
    Kenyataan itu benar-benar menohok kesadaran Dirga. Ia masih sulit memercayainya, Dirga masih bisa menerima bila Gulid adalah gay namun saat ini Dirga benar-benar kaget. Orang yang dikenalnya sejak hari pertama di Asian Care Center, yang membujuknya setiap kali ia dimarahi atau kesal terhadap Rivi. Yang rela bersusah payah naik ojek untuk mencari rumahnya hanya untuk membujuknya masuk kerja lagi. Gulid yang menemaninya berbagi cerita, yang memeluknya dan menangis bersama. Dan Gulid ODHA.
    Dirga menutup mukanya rapat-rapat. Shock dan tak percaya masih menguasainya. Bagaimana Gulid bisa tertular virus HIV?? Selama Dirga mengenal Gulid, perilaku temannya itu wajar-wajar saja. Gulid tidak mengonsumsi narkoba dan alkohol, dan hanya setia dengan satu lelaki. Semuanya wajar saja. Tapi kenapa Gulid bisa tertular?? Ataukah sebelum tertular, Gulid menjalani kehidupan liar?? Pecandu narkoba dan alkohol?? Hmmm,, pasti begitu. Kalau tidak, mana mungkin dia bisa tertular??

    Tiba-tiba saha Dirga mulai merasa jijik melihat Gulid. Ia tidak menyangka orang yang selama ini terlihat baik dan menyenangkan ternyata memiliki perilaku menjijikkan. Apalagi selama ini hubungan mereka cukup dekat. Gulid sudah beberapa kali makan dan minum di rumah Dirga. Sesekali juga menginap dikamarnya. Ya Tuhan, untung saja Gulid tidak memengaruhinya macam-macam. Tak urung ada kekhawatiran yang muncul, tapi Dirga cepat-cepat menepisnya. Toh virus HIV tidak menular karena berbagi peralatan makan dan tempat tidur. Semoga saja teori itu benar, harap Dirga cemas.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    “ Lun, Dini mana?? “ tanya Dirga tak sabar. Untuk kesekian kalinya, Dini tidak hadir saat meeting.

    “ Belum datang,,” sahut Luna sambil memencet tombol di telepon.

    “ Sudah ditanya ke Yayasan Cenderawasih?? “ tanya Dirga lagi, ketidaksabarannya mulai berubah menjadi kekesalan. Dilihatnya Luna meletakkan gagang telepon.

    “ Kata Bu Lita , tidak ada kabar dari Dini, mereka juga sedang mencari Dini,,”

    Kening Dirga berkerut,, “ Lho, maksudnya apa?? “

    “ Kayaknya.......Dini menghilang,,” tebak Luna.

    “ Telepon Bu Lita lagi deh. Tolong tanyakan siapa yang akan menggantikan Dini,,” putus Dirga akhirnya.

    Luna mengangguk patuh. Dirga segera menuju ruangannya lagi. Sekilas matanya melirik ke meja Gulid dan melihat pria itu sedang sibuk di depan laptopnya. Dirga mendesah dalam hati. Keheningan di ruang mereka semakin hari terasa semakin menyiksa. Tidak ada lagi canda di sela-sela kerja. Tidak ada lagi saling melempar gumpalan kertas diikuti kikikan geli. Sikap Gulid semakin menjaga jarak dan Dirga pun bertahan dengan kebekuannya. Kalau saja mereka tidak ditempatkan dalam satu ruangan, pasti keheningan ini tidak terlalu menyiksa buat Dirga, mungkin buat Gulid juga.
    Dirga melirik jam. Kenapa akhir-akhir ini waktu berjalan sangat lamabt?? Biasanya setiap hariwaktu terasa berputar sangat cepat, dan sesekali Dirga keluar dengan Gulid untuk makan malam dan nonton dirumah Dirga. Hal yang tidak pernah dilakukan lagi sejak Dirga tahu status HIV Gulid.

    Gulid mencampakkan tasnya ke atas meja. Tubuhnya terasa lelah. Pikirannya jauh lebih letih. Suasana kantor semakin lama semakin menyiksa. Terlebih lagi sikap Dirga yang selalu bermusuhan setiap melihatnya. Di lain waktu, Dirga menganggap seolah-olah Gulid tidak ada. Selalu mendiamkannya, tidak mengacuhkannya lagi.
    Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Gulid menerima respons seperti itu. Perlakuan yang lebih kejam pun pernah diterimanya. Tapi sejujurnya ia tidak siap menerima perlakuan seperti itu dari Dirga. Pertemanan mereka yang tercipta sejak hari pertama Asian Care Center menjadi sesuatu yang istimewa buat Gulid. Sebisa mungkin Gulid merahasiakan penyakitnya karena tidak ingin kehilangan teman sebaik Dirga. Sejak pertama kali Dirga bertanya mengenai obatnya, Gulid selalu dicekam ketakutan jika sewaktu waktu Dirga mengetahui rahasianya. Ternyata ketakutannya menjadi kenyataan. Sikap Dirga yang dingin dan tak peduli benar-benar menyakitkan.

    Gulid mendesah menyalahkan diri sendiri. Tidak semestinya ia menginginkan hal-hal yang muluk seperti sebuah persahabatan. Jika keluarga saja ia tidak punya, apa yang membuatnya berpikir bisa memiliki seorang sahabat??

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dirga menyusuri lapangan parkir dengan langkah lesu. Perutnya mulai lapar. Tiba-tiba saja ia ingin merasakan nikmatnya ikan bakar. Biasanya dua atau tiga kali seminggu ia mencicipi hampir semua tempat makan yang murah meriah bersama Gulid. Tapi kebiasan itu terhenti sejak beberapa minggu ini. Gulid pun selalu pulang lebih cepat dari biasanya. Sepertinya Gulid itu benar-benar menghindarinya, Atau aku yang sebenarnya menghindari Gulid?? Bisk hati Dirga. Ah, entahlah!!

    Dirga baru saja akan masuk ke mobil ketika sebuah suara memanggilnya. Ia menoleh dan melihat Rivi sedang berjalan mendekatinya.

    “ Sudah mau pulang?? “ tanya Rivi.

    Dirga mengangguk.

    “ Hmmm,, aku sebenarnya tidak ingin mengganggu. Tapi sejak terakhir kali kalian mengjakku makan ikan bakar dan aku memesan nasi goreng, aku tidak pernah makan di luar lagi. Dan rasanya malam ini aku perlu makan di luar,,” ujar Rivi.

    “ Oh,, oke!! Silakan saja makan di luar,,” sahut Dirga setengah melongo, masih tidak mengerti maksud kalimat Rivi.

    “ Kalau kamu belum makan, kenapa nggak sekalian aja?? “ tawar Rivi.

    Dirga semakin melongo. Oh, Rivi ternyata mau mengajak makan, tapi dengan cara sedikit membingungkan, gumam hati Dirga.
    “ Tinggalkan saja mobilmu disini. Kita jalan kaki,,” usul lelaki itu.
    Dirga mengangguk patuh. Beriringan mereka berjalan keluar dari basement menuju jalan raya. Lampu jalan sudah menyala terang, membuat suasana malam di sepanjang jalan semakin semarak.
    “ Gulid sudah pulang, ya?? “ Rivi membuka percakapan.
    Dirga mengangguk.
    “ Rumahmu jauh dari sini?? “
    Dirga menggeleng,
    Kening Rivi mengernyit,, “ Aku tahu kamu buka lelaki pendiam. Kenapa kamu jarang bicara setiap di depanku?? “
    Dirga melirik kesal. Kenapa sih lelakiini selalu blakblakan setiap bicara?? “ Aku Cuma masih kesal. Dini dari Yayasan Cenderawasih tidak muncul-muncul, sedangkan Bu Lita belum juga memberikan staf pengganti Dini,,” Dirga mengarang-ngarang alasan.
    Rivi manggut – manggut mendengarkan. Saat akan menyebrang jalan, tanpa mengatakan sesuatu, ia merentangkan tangan memberi tanda pada mobil yang ramai melintas.
    “ Kenapa pemda disini tidak terpikir untuk membuat jembatan penyebarangan?? “ gerutu Rivi kesal.
    Dirga terpaksa berlari kecil mengikuti langkah kaki Rivi supaya tidak keserempet mobil.
    “ Kamu yang pesan makanan dan aku yang mencari meja, atau sebaliknya?? “ tawar Rivi.
    “ Aku yang pesan makanan,,” jawab Dirga. Daripada Rivi salah pesan, lebih baik aku saja, pikir Dirga.
    “ Oke, pesankan aku nasi goreng ya,,” ujar Rivi sebelum pergi mencari meja yang kosong.
    Dirga memesan nasi goreng dan gurame bakar, tapi tiba-tiba ia teringat dengan Gulid. Apakah Gulid sudah makan dan meminum obatnya??
    Dilangkahkan kakinya mencari Rivi yang ternyata sudah menemukan meja kosong. Tak berapa lama pesanan datang, sesekali Dirga melirik Rivi. Beberapa menit Dirga menimbang-nimbang dalam hati.
    “ Rivi, boleh aku bertanya?? “tanya Dirga akhirnya, lirih.
    Rivi menoleh sejenak,, “ Oh,, tentu saja,,” sahutnya hangat.
    Sejenak pipi Dirga merona merasakan kehangatan suara Rivi, tapi ia cepat-cepat mengendalikan perasaannya.
    “ Sudah berapa lama kamu terlibat di bidang HIV/AIDS?? “ tanya Dirga ingin tahu.
    “ Hmmm,,sekitar lima tahun,,”
    “ Kenapa kamu ingin terlibat dengan bidang ini?? “
    Alis Rivi berkerut,,” Hey, what is this, an interview?? “
    Dirga buru-buru menggeleng. “ Nggak Cuma tanya, maaf kalau membuat kamu tersinggung,,”
    Senyum Rivi terukir.
    “ Tidak ada alasan yang spesifik, dulu aku kerja sebagai direktur bidang perhotelan,,hingga akhirnya hati ini ingin berbagi tentang HIV/AIDS,,”
    “ Selama lima tahun ini kamu pernah berteman dengan ODHA?? “ tanya Dirga lagi.
    Tatapan hangat Rivi berubah curiga, tapi hanya sekilas.
    “ tentu saja,,’
    “ Maksudku bukan sekedar berteman, tapi benar-benar berteman akrab dengan mereka. Kamu mengerti maksudkukan?? “
    Rivi mengangguk,, “ Aku tahu maksudmu Dirga, Beberapa sahabatku kebetulan ODHA,,’
    “ Lantas, bagaimana menurutmu?? “
    Kening Rivi mengernyit,, “ Bagaimana apanya?? “
    Mulut Dirga bergerak-gerak tanpa suara, bingung bagaimana harus menjelaskan ke Rivi.
    Rivi mengambil tisu untuk mengelap bibirnya, kemudian menatap wajah Dirga dengan serius.
    “ Tidak ada yang spesial dengan AIDS Dirga. Penyakit ini sama saja dengan Flu Burung atau demam berdarah. Yang membedakannya hanya stigma dan diskriminasi terhadap penderitanya, itu saja,,”
    “ Dan kamu tetap berteman dengan temanmu?? “
    “ Sebuah hubungan tidak akan pernah berubah hanya karena status kesehatan. Sikap dan karakter yang lebih menentukan. Buatku itu sebuah prinsip,,” sahut Rivi tegas.
    Dirga terdiam.
    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
    Sebuah ketukan di pintu membangunkan Gulid dari lamunannya. Diliriknya jam. Siapa yang bertamu jam sepuluh malam begini?? Pikirnya heran. Lebih heran lagi saat dibukanya pintu dan melihat Dirga berdiri sambil mengacungkan sebuah kantong plastik.
    “ Hai!! Kubawakan mie rebus untukmu!! “ seru Dirga riang.
    Gulid tertegun tak percaya. Apalagi melihat senyum Dirga terkembang seperti dulu, saat pria itu belum mengetahui status HIV Gulid.
    “ Kok diam “,, Dirga langsung masuk ke kamar kos Gulid. Dilihatnya tatapan Gulid yang masih terpana.
    “ Dirga?? “ suara Gulid seperti tercekik menahan keharuan. Matanya basah menatap temannya.
    Dirga terenyuh melihat Gulid dalam keadaan yang tak pernah dilihatnya sebelumnya. Ringkih dan kesepian. Dengan tangan masih memegang bungkusan mie rebus. Dirga segera memeluk erat tubuh sahabatnya.
    “ Maafkan aku bang. Ternyata aku sendiri masih belum konsisten dengan semua yang kukatakan di depan peserta seminar. Aku masih memeberikan stigma dan diskriminasi terhadap temanku sendiri,,” isak Dirga penuh penyesalan.
    Gulid menangis dalam pelukan Dirga. Keharuan yang menyesakkan dadanya tiba-tiba membuatnya tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Ia tak ingin berkata apa-apa lagi. Kesedian Dirga merangkulnya saat ini sudah merupakan hadiah terindah yang pernah diberikan orang sejak ia terinfeksi HIV.
    “ Kita masih berteman kan?? “ tanya Dirga sambil mendorong tubuh Gulid dari pelukannya.
    Gulid mengangguk dengan mata dan hidung yang masih berair. Dirga mengambil sehelai tisu dari saku celannya dan mengusap air mata Gulid. Sebelah tangannya menyodorkan bungkusan mie rebus.
    “ Tadi aku makan di tempat biasa kita makan, sekalian kubelikan ini untukmu,,”
    Gulid tersenyum haru. “ Kamu makan dengan siapa?? “ tanyanya disela isaknya.
    “ Rivi “
    Senyum Gulid bertambah lebar melihat muka Dirga yang mendadak merona.
    “ Kalian kencan ya?? “
    Dirga buru-buru menggeleng,, “ Kebetulan saja kok. Eh, sudah jam sepuluh lewat, Aku pulang dulu ya,,” pamit Dirga.
    Gulid mengangguk.
    “ Sampai ketemu besok!! “ ujar Dirga sambil melambai.
    “ Dirga....” panggil Gulid. Dirga menoleh,, “ Terimakasih!! “
    Dirga mengangguk sambil tersenyum hangat. Gulid menutup pintu seraya tersenyum. Lega dan haru bercampur menjadi satu, menghadirkan sebuah isak tangis
    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
    Di sebuah kamar hotel
    ********************************************************
    Dear Dhio
    Semakin lama lidahku semakin mengakrabi rasa makanan lokal. Ada kehangatan di sana, ada kelembutan, juga senyuman. Datangah kemari!!
    -Rivi-
    ********************************************************
    Setengah jam kemudian.
    ********************************************************
    Oh, Rivi kau sedang membicarakan makanan atau lelaki itu?? Akupun ingin kesana. Tapi entah kapan. Pekerjaan ini menuntut hampir semua waktuku. Jaga Dirimu.
    Love
    Dhio
    ********************************************************
  • edited January 2014

    maaf dua kali update tadi,, yang ini di edit aja,,
Sign In or Register to comment.