BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA EDISI CERPEN

1111214161730

Comments

  • Wah, dari cerita2 @Rendesyah waswasan kita tentang kedokteran makin luwas. Kekwatan cerita nya ada di penjelasan technisches kedokteran selain romansa yang lebih terdengar dewasa.
  • Duh harus baca part pertamanye dulu neh, biar nyambung :)
  • asik, mulai lagi ceritanya
  • Wah ada kelanjutannya nih.kok aku gak dimention mas? :)
  • ada season 2 nya...lanjuttt..
  • Wah ada kelanjutannya nih.kok aku gak dimention mas? :)

    tenang mas,, pasti selanjutnya di mention,,
  • ada season 2 nya...lanjuttt..

    senin ya mas lanjutnya,, hehehe
  • Wow ada lanjutannya. Semoga sama menariknya dgn yg part 1
  • Mention donk kalo dilanjut, gw suka cerita lo.
  • Halo semuanya, Pita Merah Dalam Sebuah Cerita II ini akan menceritakan kisah Dhio Pratama Putra (Dhio) dan Bagraswara Egriano Riviansyah (Rivi). Setelah mereka bersatu dan Rivi positif HIV mereka memutuskan hidup bersama di Bukit Tinggi. Lalu apa yang terjadi dengan mereka berdua selanjutnya?? Rivi Sekarang bekerja di Organisasi Non Profit yang menangani HIV-AIDS, sementara dunia bisnisnya ia serahkan kepada saudara sepupunya. Sementara Dhio menjadi dokter di Bukit Tinggi. Selamat menikamti,

    @hantuusil
    @lian25
    @jokerz
    @khieveihk
    @Brendy
    @Just_PJ
    @nakashima
    @timmysuryo
    @adindes
    @Bonanza
    @handikautama
    @kiki_h_n
    @rendifebrian
    @dak
    @Zazu_faghag
    @ramadhani_rizky
    @Gabriel_Valiant
    @Syeoull
    @totalfreak
    @Yogatantra
    @erickhidayat
    @adinu
    @z0ll4_0II4
    @the_angel_of_hell
    @Dhika_smg
    @LordNike
    @aii
    @Adra_84
    @the_rainbow
    @yuzz
    @tialawliet
    @Different
    @azzakep
    @danielsastrawidjaya
    @tio_juztalone
    @Brendy
    @arieat
    @dhanirizky
    @CL34R_M3NTHOL
    @don92
    @alamahuy
    @jokerz
    @lian25
    @drajat
    @elul
    @Flowerboy
    @Zhar12
    @pujakusuma_rudi
    @Ularuskasurius
    @just_pie
    @caetsith
    @ken89


    Selamat menikmati
  • Prolog

    Bukittinggi, pada musim panas. Sebuah e-mail baru masuk ke inbox.

    ********************************************************
    Dear Dhio

    Apa kabarmu, sayang?? Maaf telah mengecewakanmu, karena sepertinya aku tidak akan bisa mengunjungimu untuk beberapa waktu yang cukup lama. Hari ini baru diputuskan aku akan menangani proyek di Merauke, Papua. Yah, cukup jauh. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu peduli lagi ke mana pun mereka akan mengirimku. Tidak ada apa pun yang mengikatku. Tidak juga masa depan, bahkan masa lalu. Yang kulakukan sekarang hanya mencoba bersabar menjalani hari demi hari hingga tiba saatnya nanti. Tapi aku selalu kangen kamu.

    -Rivi-

    ********************************************************
    Sebuah senyum tersungging saat Dhio membaca e-mail tersebut. Jari-jarinya segera bergerak lincah di atas laptop.

    ********************************************************
    My dear Rivi,

    Aku baik-baik saja. Jangan pernah takut mengecewakanku. Bagiku, selalu ada persedian toleransi yang tak pernah habis untukmu. Bukit Tinggi akan terasa sangat sepi tanpa kehadiranmu. Aku mengerti pekerjaan ini penting buatmu. Bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi dedikasi pada sesuatu yang kauyakini. Ini perjuanganmu, perjuanganku. Perjuangan kita semua. Kau memiliki dukunganku sepenuhnya untuk itu.

    Rivi sayang, bukankah selalu kukatakan bahwa masa depan kita jauh lebih indah daripada yang pernah kaupikirkan. Jangan pernah menyerah. Bersama kita akan menjalani hari demi hari dengan penuh kekuatan dan semangat pantang menyerah. Jaga dirimu baik-baik.

    Cintaku selalu,,,
    Dhio

    ********************************************************

    Diluar matahari bersinar cerah, seakan tak sanggup menebarkan kehangatan ke setiap penjuru bumi. Karena ribuan kilometer dari situ, di sebuah tempat dengan kehidupan dan kebudayaan yang jauh berbeda, di sebuah tempat di Jakarta, terduduk seorang pria di sebuah tempat rindang. Di depannya gundukan tanah dengan papan nisan yang terpancang sederhana. Tanpa batu nisan marmer putih. Di sela rintik hujan, hanya isakan lirih yang terdengar samar keluar dari bibirnya.

    “ Nuris, maaf aku harus meninggalkanmu. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan disini. Lingkungan kita semakin nyata menolakku. Semakin keras dari hari ke hari. Selama ini hanya kehadiranmu yang mampu membuatku bertahan hidup. Tapi setelah kau pergi, harus kemana lagi aku berlindung dan mengadu?? Nuris, aku kesepian. Aku sering dicengkeram ketakutan tanpa seorang pun untuk tempatku berlindung. Aku tidak ingin berpasrah diri. Aku percaya masih panjang jalan yang kulalui. Bukankah itu yang selalu kauajarkan padaku?? Bahwa aku harus tetap tegar dan bertahan?? Karena itu aku memutuskan untuk pergi dari sini. Aku ingin mencari sebuah lingkungan yang bisa menerimaku dengan tangan terbuka. Bukan, bukan aku ingin meninggalkanmu. Ke manapun aku pergi, hanya cintamu yang selalu di hati. Maafkan aku Nuris!!”

    Laki-laki itu menangis, sesungguhnya berat hatinya untuk pergi. Siapa lagi yang akan membersihkan tempat peristirahatan terakhir lelaki terkasih itu jika dia pergi?? Jangan-jangan tempat itu akan digusur dan diganti dengan makam orang lain. Itu bukan hanya pikiran buruk. Laki-laki itu tahu. Jika semasa hidup saja semua orang seakan ingin menyingkirkan mereka, apalagi saat mereka sudah menyatu dengan tanah. Ah, tidak mungkin dia membiarkan hal itu terjadi pada Nuris. Nuris-nya. Tapi dia pun harus pergi. Masih panjang jalan yang akan ditempuhnya. Akhirnya, setelah beberapa menit menguatkan diri, laki-laki itu bangkit.

    Percayalah, aku akan kembali, Nuris. Secepatnya. Karena aku mencintaimu, pamitnya sesaat sebelum berlalu.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
  • edited January 2014
    --- SATU ---

    Merauke, Papua

    “ I’m home “

    Teriakan manja mengisi ruang duduk keluarga Poernomo. Dr. Poernomo mengangkat kepalanya sejenak dan tersenyum melihat putra tunggalnya, Dirga. Dimiringkannya kepala kesamping untuk menerima ciuman putranya.

    “ Bagaimana pekerjaanmu hari ini?? “

    Dirga mengempaskan tubuh di samping papanya sambil nyengir puas.

    “ Sangat menyenangkan!! Kayaknya aku bakal cocok dengan pekerjaan ini, pa!! “

    Dr. Poernomo tersenyum simpul.

    “ Apapun pekerjaannya, kalau masih hari pertama, pasti akan terasa menyenangkan. Coba kalau sudah berbulan-bulan atau bertahun-tahun?? “

    Dirga meringis “ Papa tau aja!! “


    “ Lho yang mendengarkan keluhanmu soal pekerjaan yang lama siapa coba?? Papa juga kan?? Manajeman yang nggak benar, bos yang terlalu enak-enakan dalam comfort zone, belum lagi teman-teman sekantormu yang........”

    “ Udah deh pa,,” seru Dirga cemberut.

    Dr, Poernomo tertawa geli.

    “ Tapi Papa senang kau menikmati pekerjaanmu ini. Coba ceritakan apa saja yang kaulakukan hari ini,,”

    Dirga mengerutkan kening sejenak. Berpikir.

    “ Tadi sih belum langsung kerja. Yah. Kenalan dengan beberapa orang. Misalnya Gulid. Dia konsultan untuk bidang yang sama seperti aku. Dia baru seminggu bergabung. Kemudian ada Luna, sekretaris bos. Terus beberapa orang di bagian admin dan program...”

    “ Kau sudah bertemu bosnya?? “

    Dirga menggeleng.

    “ Project manager-nya justru belum datang. Kata Luna , baru baru minggu depan ia datang dari Jakarta,,”

    “ Orang baru juga?? “

    “ Bukan. Kantor pusat Asian Care Center kan di Jakarta. Nah, dia yang in-charge untuk proyek di Merauke ini,,”

    Dr. Poernomo manggut-manggut sembari memandang putranya dengan perasaan membuncah.

    “ Kenapa pa?? “ tanya Dirga heran saat melihat ekspresi Papanya yang mendadak sedih.

    Dr, poernomo tersenyum sendu. “ Dari dulu Papa selalu suka mendengarmu bercerita, tentang apa saja. Semangatmu yang meluap-luap mirip almarhumah Mamamu,,”

    Dirga tercenung,, “ Aku juga rindu Mama, Pa...” Dengan perasaan haru dipeluknya lelaki setengah baya itu.

    Dirga meletakkan tasnya di meja dan membanting tubuhnya di tempat tidur. Bibirnya tersenyum puas dan bahagia. Kali ini ia berhasil menemukan pekerjaan yang benar-benar cocok untuknya. Lihat saja sebutannya. Dirga Naraya Poernomo, konsultan di Asian Care Center, organisasi sosial dari Jepang. Betapa kerennya!! Coba dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya. Hanya seorang trainer di perusahaan swasta dan di hotel berbintang. Untuk ukuran putra tunggal seorang Prof. Dr. dr Poernomo, SpOG yang praktik kebidanannya selalu penuh di Papua, tentu saja pekerjaan terakhir Dirga lebih cocok dilakoni.

    Dirga membalikkan badan ke samping. Tatapannya bertabrakan dengan wajah keibuan di samping tempat tidurnya. Wajah itu seperti sedang tersenyum padanya. Dirga balas tersenyum. Dirga ingin Mama juga bangga, bisik hatinya penuh kerinduan.

    Hampir lima belas tahun belakangan ini, tepatnya sejak Dirga kelas 6 SD, rumah itu tidak lagi memiliki figur Mama. Tidak ada juga rutinitas yang dulu sering mereka lakukan bertiga dengan Papa, jalan-jalan atau sekedar ngobrol meskipun Dirga kecil belum terlalu mengerti isi pembicaraan kedua orangtuanya. Suatu waktu mamanya jatuh sakit. Sejak itu, yang diingat Dirga adalah kunjungan rutin ke dokter dan beberapa kali menemani mamanya tidur di rumah sakit. Entah untuk berapa lama, karena waktu terasa berjalan sangat lambat.

    Dan pada suatu hari, tiba-tiba saja rumah menjadi ramai dan banyak tamu datang untuk menjenguk Mama. Tapi tidak seperti biasanya, hari itu Mama justru hanya tidur dan tidak terbangun mendengar panggilan Dirga. Keesokan harinya dan hingga kini tidak ada lagi sosok Mama seperti dulu. Yang ada hanya sebuah foto berpigura yang diletakkan Papa di samping tempat tidur Dirga. Setelah dewasa, baru Dirga mengerti. Mama pergi karena kanker leher rahim yang terus menggerogoti kesehatannya. Mama sudah tak sanggup lagi bertahan dan akhirnya menyerah.

    Dirga membalikkan badan menatap langit-langit kamar. Kini Mama boleh berbangga hati. Putra tunggalnya telah tumbuh menjadi pemuda tampan yang cerdas. Lihat saja, Dirga Naraya Poernomo lulus dengan IP tertinggi dan sekarang menjadi konsultan Asia Care Center. Mama juga pasti bisa melihat wajah Dirga yang mewarisi alis tebal dan mata indah Mama. Lesung Pipi serta tubuh tinggi dan kecerdasan dari Papa. Ya, si kecil kesayangan Mama dan Papa telah menjadi konsultan di Asian Care Center.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Hari masih pagi dengan cuaca cerah yang segar. Jam pun baru menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit. Dirga masuk ke kantor sembari melempar senyum ke beberapa orang yang ditemuinya. Ia selalu merasa suasana kantor ini terasa lebih akrab dan menyenangkan dibandingkan kantornya dulu. Mungkin karena jenis perusahaannya yang berbeda. Asian Care Center adalah organisasi nonprofit yang mendapat dana dari Pemerintah Jepang dan negara maju Asia lainnya untuk menangani program mengenai isu HIV/AIDS di beberapa negara berkembang di Asia, termasuk Indonesia. Daerah jangkauannya adalah beberapa kota termasuk Merauke, tempat Dirga bergabung sebagai konsultan.

    Meski pekerjaan-pekerjaan sebelumnya selalu berkecimpung di bidang pelatihan dan pengembangan, baru kali ini Dirga terlibat lebih dekat dalam masalah HIV/AIDS. Bukan karena dia putra tunggal dokter spesialis kandungan terkenal di Papua, tapi insting yang selalu ingin menerima tantangan membuat Dirga menerima pekerjaan ini. Yah, tentu saja selain paket gaji yang menggiurkan.

    “ Halo Dirga!! Sudah sarapan belum Ga?? “ sapa Gulid sambil menenteng bungkusan kecil.

    Dirga mengangguk

    “ Kalau gitu, temeni aku ke pantry yuk!! “ ajaknya sembari mengerling.

    Dirga tertawa. Buru-buru diletakkannya tas kerja di ruangan sebelum mengikuti langkah Gulid menuju pantry.

    “ Kau beli apa Abang Gulid?? “ Dirga iseng bertanya.

    “ Nasi uduk merauke,, heheheh,, untung banget depan kantor kita ada jualan seperti ini,,”

    Gulid membuka bungkusan makanannya. Seketika aroma nasi uduk menyeruak di dalam ruangan yang kecil itu. Dirga meringis melihar cara makan Gulid yang begitu lahap.

    “ Kau tinggal dimana sih Ga?? “

    “ Daerah Jalan Gak,,”

    “ Jauh ya dari sini?? “ tanya Gulid.

    “ Nggak terlalu sih. Kantor kita kan di tengah kota, jadi bisa diakses dari mana saja,,”

    Gulid manggut-manggut. Sejenak ia berdiri dan mengambil cangkir untuk membuat teh panas.

    “ Abang sudah berapa lama di merauke?? “ Dirga balik bertanya.

    “ Baru aja. Dulu aku kerja di Jakarta. Terus saat ada lowongan untuk posisi ini, aku coba kirim lamaran. Eh, ternyata lolos. Yah, sekalian merasakan suasana Merauke. Aku belum pernah kemari. Makannya masih asing dengan kota ini,,”

    “ Abang tinggal dimana sekarang?? “

    “ Aku kos dibelakang kantor ini. Kebetulan ada temanku yang tinggal di Merauke juga,,”

    Dirga bangkit dan membuat secangkir teh juga.

    “ Enakkah Bang tinggal disini?? “

    “ Lumayanlah, Namanya juga ngekos. Memang Kamu tinggal dengan siapa Ga?? “

    “ Dengan Papaku,,”

    “ Adik?? Kakak?? “

    “ Aku anak tunggal. Mamaku sudah meninggal saat aku masih SD,,”

    Gulid melongo. Raut mukanya mendadak berubah,,

    “ Ups!! Maaf Ga...”

    “ Nggak apa-apa. Kejadiannya kan sudah lama,,”

    Gulid membuang bungkusan makanannya ke tempat sampah sebelum berbalik ke arah Dirga.

    “ Aku juga tinggal sendiri sejak beberapa tahun lalu. Jadi keadaan kita sama ya,,”

    Dirga tersenyum. Gulid ternyata sangat menyenangkan, pikirnya.

    “ Hei, sudah jam berapa nih?? Ngobrol terus dari tadi!!” Pekik Dirga kaget saat melihat jam.

    “ Tenang aja. Bos kita lagi nggak ada ini!! “

    Dirga menarik tangan Gulid keluar dari pantry,, “ Iya sih, tapi kan kita anak baru, nggak enak sama yang lain,,,”

    “ Mereka semua juga baru kali Ga. Proyek ini kan baru dibuka di Merauke, jadi semua karyawannya baru. Yah, kecuali bos kita dan orang-orang yang mewawancari kita dulu,,”

    “ Eh, aku ko nggak melihat mereka kemarin?? “

    “ Mereka semua dari kantor pusat. Mungkin sudah balik ke Jakarta. Kata Luna kedatangan si Bos dipercepat Lho!! “ bisik Gulid.

    “ Oh ya?? Memang, siapi sih nama bos kita?? “

    “Bagraswara Egriano Riviansyah”

    “ Namanya keren!! “ celetuk Dirga.

    “ Yeah, sekeren tampangnya,,”

    “ Kok tau Abang?? “

    “ Luna yang cerita. Bos itu sendiri yang mewawancari Luna,,”

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Hari kedua di Asian Care Center belum terlalu melelahkan buat Dirga. Mungkin karena pekerjaan yang belum banyak atau suasana kantor yang selalu terasa menyenangkan. Bisa juga karena ruangan kantornya yang lebih luas dibandingkan kantornya yang lama. Kali ini Dirga mendapatkan ruangan yang besar dan diberi partisi rendah sebagai pembatas antara mejanya dan meja Gulid. Itu khusus ruang konsultan. Berdampingan dengan ruang mereka adalah ruangan Bagraswara Egriano Riviansyah. Di luar ruangan itu terdapat area terbuka yang cukup luas sebagai ruang kerja Luna. Sedangkan tim program dan admin mendapat sebuah ruangan yang cukup besar untuk memudahkan mereka berkoordinasi satu sama lain.

    Dirga sesekali melirik Gulid yang serius menatap layar laptopnya sambil bersenandung. Ia tersenyum geli melihat keceriaan teman barunya itu. Ia mengambil selembar kertas, dibentuk menjadi bulatan dan dilemparkannya ke meja Gulid.

    “ Tumben serius, Siapa yang tadi ngomong mumpung bos nggak ada?? “ ejek Dirga.

    Gulid menyeringai. “ Emang kau kira aku lagi ngapain?? Lagi chatting nih!! “

    “ WHAT?! “ Dirga mendelik sebelum tawanya meledak.

    Gulid buru-buru menghambur ke arah Dirga dan membekap mulut temannya,,” HUSH!! JANGAN RIBUT!! “

    Setelah tawa Dirga mereda, baru Gulid melepaskan tangannya.

    “ Dasar nekat....” bisik Dirga tertahan.

    “ Itu kan biasa. Sekedar peleoas stres dan mengusir rasa bosan,,” Gulid terkekeh.

    Dirga geleng-geleng kepala.

    “ Kamu gak pernah chatting ya?? “ Gulid menatap curiga.

    “ Kalau dikantor sih nggak pernah!! “

    “ Kalo main games?? “

    “ Nggak juga!! “

    “ Gimana kalau tidur di kantor?? Atau kabur dari kantor?? Kejat Gulid penasaran.

    Dirga tertawa,, “ Ngapain juga aku tidur di kantor?? Abang ini ada-ada saja,,”

    “ Astaga!! Kamu ini contoh karyawan teladan ya?? Tapi kamu bukan orang yang suka melaporkan kebiasan rekan kerjamu ke bos supaya mendapat pujiankan ?? “ Gulid menatap curiga.

    Dirga memutar bola matanya dengan jenaka,, “ Hmmm......belum tahu juga sih..... tergantung negosiasi!! “

    Gulid menjerit gemas “ DIRGA “

    Dirga tak dapat menahan tawanya lagi,,,
  • edited January 2014
    DUA

    Gulid membuka pintu kamar kosnya, diletakkannya tas dan bungkusan makan malam ke atas meja yang terletak di dekat pintu. Mukanya terlihat lebih lelah dan capek, setelah menutup pintu dan menguncinya, ia merebahkan tubuh ke kasur. Sengaja ia tidak membeli tempat tidur karena hanya akan membuat kamar itu lebih sempit. Entah sudah berapa lama ia memejamkan mata hingga nyaris tertidur. Ketika ponselnya berbunyi. Tanpa melihat caller ID, ia sudah tahu siapa yang meneleponya. Selama beberapa tahun terakhir ini ia sudah terlalu hafal dengan panggilan-panggilan rutin dua kali setiap hari. Terkadang membosankan. Tapi mau tak mau harus dijalaninya juga.

    “ Halo.... “

    “ Lid,, sudah tidur ya?? Jangan lupa ya !! “ sebuah suara hangat dan ramah terdengar.

    “ Oke,, “

    Sambungan telepon terputus. Gulid menghela napas. Setengah memaksa tubuhnya untuk bangkit, ia mengeluarkan sebuah bungkusan dari tas. Diambilnya beberapa butir pil dengan warna berbeda dan dimasukannya ke mulut. Dengan sekali tegukan besar air, semua pil tadi sudah hilang ke dalam kerongkongannya. Kemudian ia kembali merebahkan yubuhnya ke kasur. Segala kerutinan ini terkadang membuatnya jemu dan lelah. Kadang ia nyaris berpikir untuk menghentikan semuanya saja. Tapi dukungan teman-teman yang begitu besar selalu mampu membuatnya mengurungkan niat itu. Yah, hanya dukungan dari teman-teman.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dirga melangkah menuju ruang kecil di samping kamarnya yang telah disulap menjadi perpustakaan mini. Ia belum mengantuk dan memutuskan untuk membaca sebentar atau browsing internet. Rumahnya terasa sepi pada jam-jam seperti ini. Papa masih praktek dikliniknya. Biasanya sampai jam sepuluh malam, Belum termasuk kalau ada persalinan pada malam hari. Apalagi klinik Papa adalah salah satu klinik dokter kandungan yang memiliki banyak pasien di Mereauke bahkan di kota/kabupaten tetangga. Selain Dirga dan Papa, ada Bu Isah yang sudah bekerja dengan keluarga Dirga sejak Dirga masih Balita. Juga ada Fani anak Bu Isah.

    Tatapan Dirga menyusuri buku-buku tebal kedokteran milik Papanya. Ia ingin membaca sesuatu tapi tidak terlalu yakin buku apa yang ingin dibaca. Sebenarnya banyak panduan pelatihan yang harus dipelajarinya, tapi ia benar-benar bingung bidang pekerjaannya kali ini benar-benar baru. Belum lagi topik HIV/AIDS yang rasanya masih terdengar asing di telinga Dirga. Bagaimana ia bisa menjadi konsultan yang baik, kalau masih awam dengan bidang tersebut.

    Kadang Dirga bingung juga mengapa terpilih untuk pekerjaan ini. Mungkin karena pengalaman sebagai trainer di perusahaannya sebelumnya?? Entahlah. Yang jelas, banyak hal yang harus dipelajarinya. Dan ia tidak punya banyak waktu. Setidaknya ia sudah harus menguasai pekerjaannya sebelum manajernya datang ke Merauke. Itu berarti kurang dari seminggu. Terbayang dikepala Dirga tumpukan modul dan petunjuk yang tersusun rapi di tangannya. Hm.. untunglah Gulid partner kerjanya cukup menyenangkan. Gulid tersenyum geli mengingat teman barunya yang periang dan easy-going itu. Dengan gaji tinggi dan suasana kerja yang menyenangkan, Dirga pasti akan betah bekerja di Asian Care Center.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Pagi yang cerah. Aroma pengharum ruangan yang mulai terasa familier di hidung Dirga menyambutnya ketika baru melangkah masuk ke dalam gedung perkantoran. Satpam yang berdiri di dekat pintu langsung membuka pintu.

    “ Pagi Pak,,” sapa Dirga hangat.

    Dirga melangkah menyusuri koridor-koridor. Sesekali dia menebarkan senyum dan sapaan setiap ada yang menegurnya. Ketika mendekati ruanganya, dilihatnya Gulid sedang berbisik-bisik dengan Luna. Ketika mereka melihat Dirga, Gulid segera melambaikan tangan memanggil.

    “ Ada apa. Pagi-pagi sudah pada nggosip!! “ seru Dirga

    Luna dan Gulid tersenyum nakal.

    “ Lagi ngomongin si ganteng yang mau datang nih!! “ celetuk Luna sembari terkikik.

    Sesaat kening Dirga berkerut bingung.

    “ Itu lho Ga, Pak Bos kita dari Jakarta!! “ Gulid tersenyum lebar. Bibir Dirga membentuk bulatan kecil.

    “ Katanya sih masih single, Kak Dirga!! “

    “ Terus kenapa?? “

    Luna jadi serba salah mendengar respons Dirga.

    “ Wah Lun, berarti berkurang satu orang sainganmu nih, Dirga nggak tertarik tuh,,!! “ Ujar Gulid sambil menepuk pundak Luna.

    “ ABANG GULID aku kan cowo, ngapain juga harus suka dengan bos kita,,” Dirga berkata,, “ Ah,, jadi kamu naksir bos kita ya Lun?? “ ledek Dirga sembari memainkan kedua bola matanya.

    Luna tersipu dengan muka memerah. Dirga dan Gulid tertawa.

    “ Kapan dia datang Lun?? “ Dirga penasaran juga.

    “ Hari Jumat ini. Kemarin dia masih harus menghadiri beberapa meeting dengan direktur Asian Care Center untuk Indonesia dan Malaysia..” jelas Luna.

    “ Ya sudah jangan lupa dijemput lho Lun, ntar dia tersesat kayak anak ayam kehilangan induk,,” ledek Dirga lagi.

    Gulid tertawa melihat muka Luna yang memerah.

    “ Iya, nanti aku menjemput. Kak Dirga dan Abang Gulid mau ikut?? “

    Dirga dan Gulid berpandangan penuh arti.

    “ Nggak deh Lun. Kamu aja. Jam berapa dia sampai dari Jakarta?? Ajak makan saja, sekalian PDKT “ usul Gulid yang diikuti anggukan serius Dirga.

    Luna menjerit gemas mendengar ledekan kedua konsultan Asian Care Center itu. Dirga dan Gulid tertawa sembari melangkah menuju ruangan mereka.

    “ Ga, kau sudah punya pacar?? “ bisik Gulid

    Dirga menggeleng. “ Kalau abang?? “ Dirga balik bertanya.

    “ Hmm, panjang ceritanya. Kapan-kapan kita cerita deh!! “ Janji Gulid sebelum mereka berpisah menuju meja masing-masing.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dirga sedang tenggelam dalam pekerjaannya ketika terdengar bunyi ponsel dari meja Gulid. Ia mengangkat tubuhnya sedikit untuk melihat ke dalam cubicle temannya. Kosong. Mungkin Gulid sedang ke toilet. Bunyi ponsel masih terdengar nyaring. Dirga melirik jam. Keningnya berkerut. Baru beberapa hari berbagi ruangan dengan Gulid, Dirga sudah mulai hafal dengan teman seruangannya ini. Setiap pagi pada jam yang sama ponsel Gulid pasti berbunyi. Dan biasanya percakapannya sangat singkat. Tidak lebih dari lima kalimat. Seperti mengingatkan untuk melakukan sesuatu atau sekedar mengucapkan sesuatu. Apa mungkin telepon dari pacar Gulid yang sekedar ingin mengucapkan “ Selamat Pagi “ atau “ sudah makan?? “ Dirga menebak-nebak dalam hati.

    Gulid masuk keruangan dengan membawa segelas air besar, Dirga menoleh.

    “ Ponsel Abang bunyi dari tadi,,” Ujar Dirga

    Gulid mengangguk dengan cemberut.

    “ Iya, aku tahu,,”

    Dirga heran melihat reaksi temannya itu. Tapi ia memilih duduk kembali menekuni pekerjaannya yang tertunda.

    Terdengar suaru Gulid lirih,, “ Iya...iya... Oke...” kemudian suara flip ponsel yang ditutup dengan keras.

    Dirga mengerutkan kening. Apakah Gulid sedang berteman dengan pacarnya?? Tapi dugaan Dirga hanya sampai di situ. Ia tidak ingin mencampuri urusan teman barunya ini.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dr. Poernomo sedang menyiapkan perlengkapannya sebelum pergi ke tempat praktik ketika terdengar suara mobil memasuki halaman rumah. Tak berapa lama terdengar suara putra tunggalnya.

    “ Papa, I’m home “

    Seraut wajah milik Dirga muncul di depan pintu kamar, kemudian diikuti seluruh tubuhnya yang segera mendekat dan mencium kedua pipi Dr Poernomo. Lelaki setengah baya itu tersenyum.

    “ Wah, wah, wah.... hari-harimu sangat sibuk akhir-akhir ini ya?? Selalu pulang diatas mahgrib,,” cetus lelaki ini.

    Dirga tersenyum manja.

    “ Papa sudah mau pergi?? “ tanyanya sedikit kecewa.

    Dr, Poernomo melirik jam sejenak, kemudian tersenyum ke arah putranya.

    “ Kalau untuk ngobrol sejenak ditemani teh hangat, pasien Papa pasti bisa menunggu,,”

    Dirga tersenyum lega sambil buru-buru ke dapur meminta Bu Isah membuatkan teh manis hangat. Tak lama kemudian Fani datang dengan sepoci kecil teh, dua buah cangkir dan sepiring pisang goreng.

    “ Eh, ko ada pisang goreng ?? “ Dirga heran.

    “ Tadi si Fani yang buat. Enak kok!! “ sahut Dr Poernomo

    Dirga melahap pisang tersebut dengan gigitan besar. Benar juga, rasanya nggak kalah dengan pisang goreng yang biasa dibelinya di dekat kantor. Ternyata sedikit demi sedikit semuah keahlian masak Bu Isah diturunkan ke Fani, pikir Dirga.

    “ Gimana kantor mu nak?? Sudah mulai sibuk?? “

    Dirga mengangguk dengan mulut penuh pisang goreng.

    “ Pantas saja setiap Papa pergi ke klinik, kamu belum pulang!! “

    Raut muka Dirga terlihat cape dan kuyu.

    “ Belum sibuk sih Pa. Tapi banyak banget buku panduan yang harus kupelajari. Belum lagi tentang HIV/AIDS yang masih asing buatku,,’ Suara Dirga setengah mengeluh.

    Dr Poernomo manggut-manggut.

    “ Di antara buku-buku Papa, ada beberapa buku seputar HIV/AIDS. Baca dan pelajari saja. Kau pasti bisa memahaminya dengan cepat “

    “ Yah..., papa. Panduan dari Asian Care Center aja sudah terlalu banyak. Mana bukunya setebal bantal!! “ gerutu Dirga.

    Dr. Poernomo tersenyum, “ itu kan tantangan buatmu. Oh ya, project manager-mu sudah datang?? “

    “ Belum, katanya sih besok. Luna sekretarisnya , mengajak kami menjemput ke airport, tapi aku dan Gulid malas!! “

    “ Kenapa?? “

    “ Nggak papa sih. Cuma ingin kasih Luna kesempatan PDKT ke bos, kayanya dia naksir Pa!! “

    Dr, Poernomo tertawa,,, “ Wah, solidaritas ya?? Dan kamu sendiri belum ada yang ditaksir nih?? “

    Dirga mencibir,,,” Belum ada yang sesuai dengan kriteria Pa...”

    “ Lho, memangnya kamu mau seperti apa?? Jangan=jangan kamu mematok standar yang terlalu tinggi,,” Dr Poernomo tampak khawatir.

    Dirga menjerit kecil. “ Nggak lah, Pa. Yang jelas, harus sama pintarnya dengan Papa, tapi lebih ganteng,,hahahaha,,”

    “ Loh kamu itu ditanya bercanda melulu,,” Dr. Poernomo bergerutu.

    “ Hahahahahaha,, Papa gitu aja marah,,tenang aja Pa. Tapi kalau ada yang ganteng kenapa nggak ?? “

    “ Ya sudah terserah kamu saja. Papa sudah ditunggu pasien ini,,ngobrol sama kamu tentang jodoh memang susah,,”

    Dr, Poernomo bangkit dari sofa dan melengkah ke garasi. Dirga berlari kecil menyusul papanya dan memberikan ciuman kecil di pipi.

    “ Hati-hati pa!! “

    Setelah mobilnya berlalu dari rumah, Dirga membolak-balik buku panduan yang sengaja dibawanya dari kantor. Malam hampir larut tapi Dirga masih berkutat dengan semua informasi dasar mengenai HIV/AIDS. Terlalu banyak dan membingungkan.

    Oke, coba diulang lagi, come on Dirga. You can do it!! Sudut hatinya menguatkan sementara mulutnya menguap untuk kesekian kali. Ia memaksa matanya memelototi baris demi baris kalimat yang terdapat di depan matanya. HIV atau Human Immunodeficiency Virus ialah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, dengan memperlemah ketahanan tubuh terhadap penyakit. HIV menjadikan tubuh rentan terhadap infeksi yang berpotensi mengancam jiwa. HIV bersifat menular, jika tidak mendapati perawatan HIV akan terus mengerogoti sistem kekebalan tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh menjadi rentan terhadap penyakit yang dapat mengancam jiwa, yang secara normal tidak berakibat serius pada orang yang sehat. Tahap infeksi HIV ini disebut AIDS atau Acquired Immuno Deficiency Syndrome yang berarti kumpulan berbagai gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan virus HIV.

    Dirga manggut-manggut mencoba memahami perbedaan kedua istilah tersebut.

    Perilaku yang beresiko terinfeksi virus HIV adalah bergantian memakai jarum suntik dan berganti pasangan seks tanpa memakai kondom.

    Tak sengaja Dirga bergedik ngeri. Hm.. pantas saja mereka ini bisa tertular HIV. Salah sendiri punya kelakuan “ minus “. Kecamnya. Coba kalau tidak macam-macam dan jadi orang baik-baik, pasti tidak akn terinfeksi. Pantas saja penyakit ini juga disebut sebagai penyakit kutukan. Toh penyebabnya juga kelakuan terkutuk seperti itu, pikirnya sambil membalik halaman berikutnya. Tak sadar Dirga kembali menguap. Kali ini lebih lebar dan lebih lama. Kedua matanya pun sudah nyaris terpejam. Dengan malas ditutupnya buku panduan dan bangkit dari kursi. Besok masih bisa dilanjutkannya lagi, pikirnya/ Lagipula HIV/AIDS ini kan soal sepele, Tinggal mengeumpulkan semua ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) ke sebuah pulau dan mengarantina mereka. Habis perkara.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Bandara Mopah, Merauke

    Gulid dan Dirga bolak-balik melirik jam mereka dengan muka lecek dan cemberut.

    “ Pesawatnya jam berapa sih Lun?? “ tanya Dirga tak sabar.

    “ Seharusnya sudah sampai, Ka. Tapi kayanya delay ya?? “ Luna merasa bersalah melihat kedua konsultan itu kegerahan.

    Dirga melirik ke kiri dan kanan hingga menemukan tempat duduk. Tidak ragu Dirga menggamit tangan Gulid. Dirga menyeruak puluhan orang yang berjalan di depan ruang kedatangan.

    “ nungguin di sana aja yuk!! “

    Gulid mengangguk

    “ Lun...” tanya Dirga pada si sekretaris.

    “ Nanti kususul, itu pesawatnya baru mendarat kok!! “ tolak Luna sembari memerhatikan monitor kedatangan.

    Dirga dan Gulid melangkah ke tempat duduk. Dirga memesan dua botol teh dingin.

    “ Seharusnya kita menunggu dikantor aja ya Ga. Ngapain juga ngikutin si Luna!! “ gerutu Gulid sambil menyeruput minumannya.

    Dirga tersenyum. “ Mungkin dia grogi menghadapi bos barunya,,”

    “ Eh ini kan bos kita juga. Kok aku tidak merasa grogi. Kamu?? “

    “ Nggak juga. Tapi Luna beda. Dia kan naksir berat!! “

    Gulid manggut-manggut. Sambil minum mereka memerhatikan satu demi satu penumpang yang masuk ke ruang kedatangan. Tapi belum ada tanda-tanda orang yang sesuai dengan ciri-ciri yang digambarkan Luna. Dirga sedang menyeruput teh terakhirnya ketika tiba-tiba Gulid menowel lengannya.

    “ Lihat tuh!! Kalau itu bos kita, aku pun rela menunggu di bandara berjam-jam!! “ bisik Gulid.

    Dirga kaget dengan bisikan Gulid, namun matanya mengikuti arah tatapan Gulid dan seketika melongo.

    “ Abang, gimana sih, masa cowo rela nunggu cowo,,”

    “ Ya, kan gak salah kalau hanya sekedar menunggu,,”

    Seorang lelaki bertubuh tegap dengan rambut hitam melangkah perlahan. Matanya menyapu sekeliling, mencari-cari seseorang. Raut mukannya yang jantan dan memesona menarik perhatian semua orang diruangan itu.

    “ Hmm,,, saingan si Luna nambah dua orang nih,,” bisik Gulid.

    “ ABANG,,,, dari tadi aneh nih,, apa jangan-jangan Abang tertarik dengan laki-laki ya?? “

    “ Kalau Iya, memang kenapa Ga,, hehehehehe,,”

  • edited January 2014
    TIGA

    Hari ini merupakan hari terakhir Rivi berada di Jakarta sebelum ia mulai tugas di Merauke, setelah selesai rapat dengan Direktur Asian Care Center untuk wilayah Indonesia dan Malaysia, ia segera menuju sebuah rumah di selatan Jakarta untuk bertemu dengan Yoga dan Boggi. Tak terasa setelah tiga tahun hidup bersama dengan Dhio, sekarang mereka berempat menjadi sahabat baik.

    Didepan halaman rumah terlihat Yoga sedang asyik bermain dengan Rara. Rivi segera melangkahkan kakinya masuk ke perkarangan rumah.

    “ Halo Rara cantik,,” Yoga tersenyum mengetahui kehadiran Rivi,,dan Rivi langsung menggendong Rara.

    “ Apa kabar Pak Konsultan HIV?? Sudah lama tidak main ke rumah?? Tutur Yoga dengan senyuman.

    “ Baik Ga,,Rara tambah gendut aja nih,,”

    “ Iya, lagi doyan makan Rara,, Ayo masuk dulu Vi,,”

    Perbincangan pun diteruskan di dalam rumah.

    “ Boggi belum pulang ga?? “

    “ Dalam perjalanan pulang ko,,kamu jadi ke Merauke?? “

    “ Jadi lah ga,, gimana kamu tertarik bekerjasama disana?? “

    “ Sebenarnya cukup menantang bekerja di Merauke, tapi buat sekarang belum bisa Vi,, masih banyak yang harus diselesaikan disini,,”

    Tak berapa lama, terdengar mobil Boggi parkir di garasi rumah, Boggi sudah menjadi dokter spesialis penyakit dalam yang fokus dengan HIV/AIDS. Dalam project di Merauke sebenarnya Rivi mengajak Dhio, Boggi dan Yoga untuk bergabung, namun Dhio tidak bisa, karena jumlah dokter yang masih kurang di Bukittinggi. Sementara Yoga dan Boggi sudah tentu sangat sulit mengajak mereka dengan kesibukannya di Jakarta. Kedatangan Rivi sebenarnya hanya untuk bersilaturahmi dan mengunjungi sahabatnya.

    “ Eh ada Om ganteng datang ya,,” tawa Boggi menyambut Rivi.

    “ Ganteng apanya?? “ sambut Rivi.

    “ Hahahahahahaha,,Rara itu manggil kamu Om Ganteng Vi,,aku kan hanya mengikuti apa kata anakku,,”

    Sore menjelang malam diisi oleh candaan mereka berempat.

    “ Sudah malam, aku pamit ya,, besok aku pesawat pagi ke Papua ” Pamit Rivi.

    “ Jaga diri kamu Vi, jangan lupa kasih kabar ke kami,,” Kata Yoga.

    “ Iya jangan lupa kabari kami perkembangan HIV/AIDS di sana juga, kalau kami ke Papua kami akan mampir ketempat mu,, Jaga kesehatan Vi,, ARV jangan lupa diminum tepat waktu, sekarang kamu punya tiga orang yang sayang dengan dirimu, tiga orang yang selalu mengingatkan mu untuk tepat waktu minum ARV,, Aku, Yoga dan Dhio,,” ucap Boggi.

    “ Iya sayang Boggi,, hahahahaha,,salam buat Ayah dan Bunda,,Rara sayang cium om ganteng dulu,,,”

    Rara mencium dua pipi Rivi dan Rivi pun berlalu meninggalkan rumah Boggi dan Yoga.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Penerbangan Jakarta – Merauke sangat melelahkan,, Dari Jakarta menuju Jayapura Penerbangan memakan waktu 6 jam dengan satu kali transit di Makkasar, pukul 12 waktu Papua pesawat Garuda Indonesia mendarat di Bandara Sentani Jayapura. Penerbangan Jayapura – Merauke di tempuh dengan Merpati dalam waktu lima puluh menit. Terdengar suara pilot yang memberitahukan bahwa pesawat akan segera mendarat diikuti perintah untuk mengenakan sabuk pengaman dan menegakkan sandaran kursi. Beberapa menit kemudian roda pesawat keluar dan perlahan-lahan pesawat Merpati itu mendarat mulus di Bandara Mopah Merauke. Masih ada beberapa menit sebelum pesawat berhenti dengan sempurna dan pintu pesawat dibuka.

    Rivi berdiri sejenak di ambang pintu pesawat untuk melihat sekeliling. Matahari yang bersinar terik membuatnya meringis seketika. Mirip cuaca di Jakarta, namun disini udaranya lebih segar. Rivi segera menuju ke ruangan kedatangan. Diperhatikannya dengan saksama gerombolan orang yang menunggu di luar. Siapa yang akan menjemputnya?? Seharusnya sekretarisnya yang datang. Rivi kembali memerhatikan sebelum matanya menangkap sosok yang pernah ditemuinya saat wawancara dulu. Luna, sekretarisnya. Bergegas Rivi menuju pintu keluar sambil menenteng tas laptop dan sebuah koper besar.

    “ Halo Pak,,”

    Rivi tersenyum mendengar cara Luna memanggilnya.

    “ Panggil saya Rivi saja, Tidak usah Pak!! “

    Luna tersenyum. Sejenak ia menoleh ke arah kanan seperti mencari-cari. Rivi menunggu dengan bingung.

    “ Menunggu siapa?? Saya hanya datang sendiri!! “ sahutnya sambil mengikuti arah mata Luna. Dan saat itu ia melihat dua pria yang terlihat lebih menarik ketimbang Luna. Apakah mereka karyawan Asian Care Center juga??

    “ Pak,, eh,, Rivi,, kenalkan ini konsultan kita,,” Luna menunjuk dua orang pria yang berdiri tak jauh dari situ.

    Konsultan?? Dirga dan Gulid?? Tebak Rivi dalam hati.

    “ Dirga. Selamat datang di Merauke!! “ Salah seorang dari dua pria itu maju dan menggenggam tangan Rivi mantap, Rivi tersenyum.

    “ Gulid,,’ ujar yang seorang lagi.

    Setelah selesai acara perkenalan, mereka mampir sejenak di sebuah rumah makan sebelum kembali ke kantor. Sepanjang hari itu diisi dengan perkenalan dan beberapa rapat koordinasi kecil. Sore harinya. Kijang Krista yang dikendarai sopir Asian Care Center mengantar Rivi memasuki pelataran Swiss-Belhotel Merauke dan berhenti di depan pintu lobi. Sang sopir bergegas turun dan membuka pintu belakang untuk menurunkan sebuah koper besar. Dari pintu depan Rivi turun dengan tas kerjanya.

    “ besok jemput saya jam tujuh pagi, ok!! “ perintah Rivi.

    Pak Yoel, Si sopir, manggut-manggut.

    Rivi masuk ke lobi hotel. Luna tadi sudah memastikan reservasi kamarnya di hotel ini. Rivi masih merasa asing dengan kota ini. Kelihatannya Merauke kota kecil, tapi tetap saja Rivi bingung dengan kota ini. Kota ini cukup bersih dan tertata rapi. Tapi Rivi tidak terlalu yakin dengan kondisi keamanan di kota ini. Setelah urusan administrasi hotel selesai, Rivi menuju lift. Tas besarnya ditinggalkan di bawah dan akan dibawakan oleh bellboy. Setelah membuka pintu kamar, dahi Rivi mengernyit heran saat melihat keadaan di dalam. Ruangan itu cukup luas. Pantry-nya cukup mewah. Kamar mandinya juga luas. Apa Luna tidak salah booking kamar?? Rivi merasa cukup jelas mengatakan keinginannya. A clean and decent room. Comfortable. Tapi Rivi tidak meminta president suite atau suite bulan madu seperti ini.

    Rivi menghela napas dengan gemas. Tampaknya banyak hal yang harus dipelajarinya dari Luna. Salah satunya adalah ia harus lebih detail dalam meminta apapun. Tapi kedua konsultan itu kelihatannya cukup responsif dan cepat mengerti. Rivi tersenyum mengingat kedua pria tadi. Ia tidak menyangkan kantor Asian Care Center di Merauke ternyata menyimpan karyawan yang ganteng – ganteng. Getaran dari kantong celana membuyarkan lamunan Rivi, tangannya merogoh kantong dan mengeluarkan ponsel. SMS dari Dhio.

    “ Hey, arrived safety, dear?? How’s Merauke?? “

    Rivi tersenyum. Dhio selalu saja khawatir. Tangan Rivi bergerak di ponsel untuk membalas SMS itu.

    “ Many other things to worry, dear. I’ll be fine..”

    Rivi meletakkan ponsel diatas meja. Sebuah ketukan di pintu dan ternyata bellboy yang mengantarkan tas. Setelah memberi tip, Rivi membuka koper dan mengeluarkan sepasang baju bersih. Setelah mandi, ia harus segera bekerja di depan laptopnya lagi. Proyek ini tidak akan lama. Hanya dua tahun dengan hasil output yang harus tercapai. I’ll be damn busy, but I,ll be fine, ujar Rivi dalam hati.

    Rivi tidak punya alasan untuk khawatir.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Suasana kantor pagi ini terdengar berbisik. Seperti suara lebah berdengung. Dahi Rivi mengernyit heran. Ia tidak tahu apakah setiap hari selalu ribut seperti ini. Ketika mendekati ruangannya, dilihatnya dua konsultannya sedang diskusi serius dengan sekretarisnya. Rivi sempat melemparkan senyuman terbaiknya sebelum masuk ke ruangan. Ketiga karyawan tersebut membalas senyuman sebelum melanjutkan diskusi mereka. Samar – samar kuping Rivi mendengar kata-kata seperti “ Dermott Mulroney “ dan “ Luke Wilson “. Kening Rivi spontan berkerut. Mereka diskusi masalah pekerjaan atau menggosip?? Pikirnya curiga. Kakinya melangkah mundur ke ambang pintu. Ketiga karyawan itu masih berkumpul di meja Luna.

    “ Luna!! “

    “ Eh, ya. Pak. I mean, yes,, Rivi!! “

    “ What are you talking about?? “ tanya Rivi dengan tatapan menyelidik.

    Ketiga karyawan itu spontan salah tingkah. Rivi semakin curiga, pasti mereka diskusi soal kerjaan.

    “ Ini, ng..... ng.... Dirga sedang bertanya dengan saya,,,” Luna gelagapan

    Kedua konsultan itu bergegas masuk ke ruangan mereka kembali setelah melempar senyum sekilas.

    “ Ya...?? Terus?? “ Rivi masih menunggu jawaban Luna. Entah kenapa ia suka melihat sekretarisnya serbasalah seperti itu.

    “ Dirga tanya apakah ada rapat hari ini,,” Jawab Luna akhirnya dengan wajah tersenyum lega. Seketika sudut bibir Rivi berkedut keatas.

    “ Ada meeting. Tapi sudah pasti Dermott Mulroney atau Luke Wilson tidak ikut!! “tandas Rivi galak sambil membalikkan tubuh masuk ke ruangannya. Masih sempat dilihatnya ekspresi lega Luna berubah jadi pucat pasi.

    Dirga dan Gulid tertawa ngakak mendengar cerita Luna. Mereka sengaja menculik Luna dan membawanya makan siang bersama di warung sop iga di belakang kantor.

    “ Ko dia bisa tahu obrolan kita ya?? “ Luna masih misuh-misuh tak percaya.

    “ Kayanya dia tidak tahu Lun. Mungkin dia hanya dengar waktu kau sebut namanya si Mulroney itu !! “ ucap Dirga

    “ Habis dia mirip banget Dermott Mulroney!! “

    Gulid terkekeh,, “ coba kalo kau sebut nama artis Korea, pasti dia nggak ngeh!! “

    “ Idih, mana ada artis korea seganteng dia?? “ cibir Luna.

    Dirga mengerutkan dahi sejenak sambil berpikir. “ Menurut ku, si Rivi itu sebenarnya nggak ganteng-ganteng amat. Tapi ada sesuatu yang menarik didalam dirinya, tapi entah apa.....”

    “ Masa segitu nggak ganteng sih?? “ protes Luna.

    Gulid memandang Dirga, berusaha memahami maksud temannya.

    “ Menurutku. Tom Cruise itu ganteng. Luke Wilson ganteng, tapi George Clooney itu seksi,,” Dirga berusaha menjelaskan.

    Dalam hati sebenarnya Gulid bertanya-tanya mengapa Dirga begitu paham dengan pria, apakah Dirga sebenarnya sama dengan dirinya?? Dari cara berbicara Dirga mengatakan bahwa dirinya memang seperti diriku, suatu saat aku akan membuat dirinya mengaku dengan orientasi seksualnya.

    “ Maksudmu....?? “ tanya Luna

    “ Rivi itu seksi...” sambar Gulid

    Luna terkikik

    Luna menggeleng,,, “ Rivi merupakan paduan sempurna antara keseksian seorang lelaki, kecerdasan, sekaligus daya tarik pribadi yang kuat,,” jelas Dirga lamat-lamat.

    Luna dan Gulid terdiam takjub.

    “ Wah jangan-jangan kau juga naksir Ga!! “ celetuk Gulid.

    Bibir Dirga berkedut,,, “ Tidak lah Abang, aku masih normal ko,, lagian kalau soal asmara berhubungan dengan bos juga malas,,”

    Luna mendesah Lega,,” Pffiuuuuhhh!! Kukira kaka Dirga juga naksir laki-laki, bakal nambah saingan kalau benar,,”

    Dirga tertawa. “ Sekaran sainganmu sudah banyak Lun. Kudengar bagian program dan administrasi bertaruh siapa yang berhasil merebut hati bosmu itu,,”

    “ Nggak masalah. Aku cukup pede kok!! “ cibir Luna.

    Dirga dan Gulid tertawa sambil mengedipkan mata.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Jam menunjukan pukul 13.20 ketika mereka tiba di kantor. Dirga dan Luna sedang tertawa geli mendengar lelucon yang diceritakan Gulid, ketika mata Luna menangkap sosol Rivi yang berjalan gelisah di depan pintu ruang konsultan. Buru-buru digamitnya lengan Dirga dan Gulid. Pada saat itu Rivi menangkap sosok yang dicarinya.

    “ Dirga!! Where the bell have you been?? My office, now!! “ bentaknya dengan suara keras.

    Dirga terperanjat kaget mendengar suara yang cukup keras hingga terdengar sampai ke pintu utama. Spontan mukanya cemberut kesal.

    “ Ada apa sih?? “ bisik Gulid.

    “ Mana kutahu?? Teriak-teriak kayak orang gila!! “ geram Dirga sebal.

    Dengan langkah lebar Dirga mendatangi ruangan Rivi diikuti tatapan mata seisi kantor. Rivi sedang memelototi tumpukan kertas.

    “ Tutup Pintu!! “ perintah Rivi ketika Dirga baru saja melewati ambang pintu.

    Masih memendam kesal, Dirga menuruti perintah itu.

    “ Dirga modul apa yang kaubuat ini?? Rubbish?? “ teriak Rivi sembari mencampakkan tumpukan kertas yang dibaca tadi.

    Selintas saja Dirga tahu itu modul yang dibuatnya untuk training minggu depan. Ia sudah menghabiskan waktu seminggu terakhir ini untuk mengerjakan modul itu hingga lewat tengah malam. Masih kurang apalagi coba??

    “ Do you really know what you’re talking about, huh?? Have you learned anything about this issue, Dirga?? “ Rivi menuntut penjelasan.

    “ Tentu saja, saya sudah mempelajari semua hal tentang HIV/AIDS sejak hari pertama bekerja disini,,” Dirga bertahan.

    “ Berarti kamu seharusnya tahu bahwa virus HIV tidak mudah menular. Kenapa membuat modul yang menyesatkan seperti ini?? “

    Dirga terdiam. Bingung. Apanya yang menyesatkan??

    “ Modul ini harus diperbaiki lagi. Besok sebelum jam dua belas sudah harus dikirim ke e-mail saya. Training pertama kita Senin depan!! “

    Kalimat Rivi tadi berarti pengusiran. Dirga meraih modul yang dicampakkan tadi, dan segera kembali ke ruangannya. Kekesalan tergambar jelas di wajah Dirga. Sesampainya di ruangan, dibantingnya modul tadi keatas meja.

    “ Brengsek!! Capek-capek dikerjakan, masih saja salah!! “ Dirga membanting tubuhnya ke kursi. Pikirannya mendadak buntu.

    “ Kenapa Ga?? “ suara Gulid terdengar jelas. Dirga menoleh dan melihat temannya sudah berdiri di sampingnya.

    “ Rivi. Katanya modulku menyesatkan!! “

    “ Apanya yang menyesatkan?? “ tanya Gulid heran

    “ Mana kutahu?? Modul ini tidak sembarangan dibuat. Aku mengikuti panduan dan membaca beberapa buku sebagai referensi. Ko bisa-bisanya dia berpikir seperti itu?? “

    Gulid meraih modul itu dan membacanya dengan cepat. Beberapa menit berlalu dengan keheningan. Dirga menunggu Gulid selesai membaca untuk memberikan komentar. Setelah selesai, Gulid menatap Dirga beberapa saat.

    “ Kok diam?? Ngomong dong Bang!! “ Dirga tak sabar.

    “ Beberapa hal memang menyesatkan Dirga..........”

    Dirga ternganga tak percaya. Dibukanya kembali lembar demi lembar modul itu. Tapi ia masih tak mengerti kenapa modul ini disebut menyesatkan.

    “ Tolong jelaskan lebih detail lagi Bang. Aku masih nggak ngerti!! “

    Gulid membuka halaman tengah modul tersebut.

    “ Nih disini penjelasannya cukup detail tentang cara penularan HIV. Tapi dihalaman belakang, penjelasannya membuat orang menganggap virus ini menular semudah penularan panu,,”

    “ Maksudmu?? “

    “ Secara nggak langsung, modul ini juga membuat orang percaya bahwa mereka yang terkena HIV adalah orang yang tidak bermoral,,”

    Dirga menatap Gulid. “ Lho, bukannya memang seperti itu?? “

    Gulid terenyak kaget. “ Astaga, jadi seperti itu pikiranmu terhadap ODHA?? “

    Dirga gelagapan dengan reaksi Gulid yang tak terduga.

    “ Sori Bang, aku......”

    “ Dirga, untuk apa kau bergabung di sini kalau cara berpikirmu masih seperti itu?? Bagaimana kamu bisa mencapai target akhir jika modul ini malah membawa hasil yang bertolak belakang?? “

    Dirga terdiam. Diambilnya modul tadi dari tangan Gulid dan dicampakkannya ke tempat sampah.

    “ Sudahlah. Nanti kuperbaiki!! “ ujarnya setengah mengusir Gulid dari mejanya.

    Sesaat Gulid melongo sebelum meninggalkan meja Dirga dengan raut muka kecewa.

    Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, kantor sudah sepi. Beberapa lampu sudah dimatikan. Hanya Dirga yang masih bertahan di mejanya. Sementara Gulid sudah pulang sejak jam enam sore tadi. Dirga mengusap-usap matanya yang mulai perih karena menatap layar laptop berjam-jam. Punggungnya mulai terasa mau patah. Tapi ia masih memaksakan diri. Sebesar apapun godaan untuk pulang dan berendam di dalam bak mandi berisi air hangat, tatapan galak Rivi selalu mampu mematahkan keinginannya. Kalau perlu Dirga bahkan akan menginap dikantor. Apa saja, asalkan modul ini bisa selesai sebelum jam dua belas siang besok.

    Dirga kembali berkonsentrasi. Tiba-tiba perutnya mulai berbunyi. Uh, sial!! Umpatnya kesal. Di mana aku harus mencari makanan?? Pikir Dirga sambil melirik jam tangan. Ini sudah waktunya makan malam. Sebenarnya di sebelah gedung ini ada masakan ikan bakar enak yang paling terkenal di Merauke. Mungkin pilihan restoran masakan ikan bakar dapat dijadikan pilihan. Tapi Dirga buru-buru menghapus pikiran itu kalau ia tidak mau berhadapan dengan kemarahan Rivi lagi. Kembali Dirga memaksa dirinya untuk konsentrasi. Lima menit, sepuluh menit, Lima belas menit. Di menit ke enam belas , Dirga meraih tasnya dan pergi meninggalkan kantor menuju restoran ikan bakar.
  • edited January 2014
    EMPAT

    “ Dirga!! This is rubbish!! “ Rivi mencampakkan modul ke atas meja.

    Dirga ternganga tak percaya. Apalagi sepulang dari rumah makan ikan bakar tadi malam, ia sudah begadang hingga jam tiga pagi untuk menyelesaikan modul itu. Bahkan Rivi tidak meluangkan waktu lebih dari sepuluh menit sebelum mencampakkan hasil kerja Dirga.

    Rivi menatap Dirga dengan gemas.

    “ Tell me, Dirga, kau sebenarnya punya pengalaman kerja di LSM atau NGO yang bergerak dibidang HIV/AIDS atau tidak?? “

    Dirga menggeleng lemah

    “ Pantas,,” dengus Rivi

    Dirga mengangkat dagunya dengan angkuh.

    “ Apa maksudmu?? “

    “ Maksudku, tidak seharusnya mereka memilih orang mentah sepertimu!! “ tandas Rivi pedas.

    Mata Dirga menyorot tajam.

    “ Apa maksud mu mentah?? Jika bos-bosmu memilihku, itu artinya aku memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini!! “

    “ Kalau begitu, tunjukkan keahlianmu itu!! Seminar pertama kita senin depan. Show me your goddamned skills, for godsake!! “ hardik Rivi berang sambil menggebrak meja.

    Sejenak Dirga terbelalak tak percaya. Tanpa menjawab, ia bangkit dan keluar dari ruangan itu. Hatinya betul-betul panas melihat respons Rivi yang kasar. Yang ada di kepala Dirga saat itu adalah mengundurkan diri!!

    Gulid diam-diam memerhatikan gerak-gerik temannya. Saat mendengar suara Rivi yang membentak-bentak Dirga dari ruangan sebelah, Gulid ikut geram melihat tingkah bos mereka. Jika modul Dirga memang banyak kekurangan, seharusnya Rivi bisa memberi arahan dengan lebih bijaksana, bukan dengan cara barbar seperti itu. Saat pintu ruangan dibuka dengan kasar oleh Dirga, Gulid tahu pasti Dirga tersinggung berat dengan cara Rivi menegurnya. Dirga langsung menuju mejanya dan membereskan beberapa barangnya.

    “ Dirga kau mau kemana?? “ tanya Gulid hati-hati. Sebenarnya ia tidak ingin bersuara, tapi melihat gelagat Dirga yang mencurigakan, mau tak mau ia bertanya juga.

    “ Aku mau pergi!! “

    “ Pergi kemana?? “ Gulid heran

    “ Aku mau resign Bang!! “

    “ Resign?? “ Gulid kaget. Tak sadar ia berdiri dari kursinya.

    “ Kenapa, Ga?? “ nada suara Gulid menjadi lemah. Meskipun baru beberapa minggu bersama-sama, ia merasa cocok bekerja sama dengan Dirga.

    “ Siapa yang mau bekerja dengan orang seperti dia?? Sok bossy, memangnya Cuma dia bos di muka bumi ini?? Hah!! “ gerutu Dirga. Hatinya benar-benar panas. Tangannya bergerak seperti robot, memasukkan semua barangnya ke tas.

    “ Masa semudah itu kamu menyerah?? Nanti dia malah merasa di atas angin dong “ rayu Gulid.

    Sesaat tangan Dirga berhenti. Keningnya berkerut. Gulid bersorak dalam hati.

    “ Maksudmu?? “ tanya Dirga

    “ Kalau gara-gara hal sepele ini kamu resign, berarti kamu mengakui bahwa kamu tidak mampu seperti tuduhan Rivi. Seharusnya kamu buktikan dong bahwa dia salah,,”

    “ Lho, kalau aku diterima kerja di sini, itu artinya aku memang mampu kan?? “ Dirga ngotot.

    “ Iya aku tahu. Tapi Rivi minta bukti. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan bekerja disini “ rayuan Gulid kembali menghanyutkan.

    Dirga tercenung. Tangannya mencengkeram tas erat-erat. Bingung untuk mengambil keputusan.

    Harap-harap cemas, Gulid berdiri menunggu respons Dirga.

    Dirga mengangkat dagunya menatap Gulid. “ Aku pulang dulu Bang. Bilang saja sama Luna, aku cuti mendadak. Mungkin beberapa hari. Mungkin juga selamanya!! “

    Gulid terkesiap kaget. Dikiranya Dirga akan membatalkan pengunduran dirinya. Ternyata tebakannya salah. Dirga mengancingkan tasnya dan melangkah pergi.

    “ Dirga, tunggu!! “

    Pintu ruangan menutup tepat di depan Gulid.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Dirga bergelung di balik selimut di kamar tidur. Mendengarkan lagu Kahitna tak mampu menghilangkan kerutan sebal di sudut bibirnya. Hatinya masih menggelegak setiap kali mengingat Rivi. Terlepas dari tampangnya yang memang lumayan, seharusnya lelaki itu bisa memarahi anak buahnya dengan cara yang lebih arif dan bijaksana. Bukan main bentak seenaknya. Memangnya dia kira ini masih zaman perbudakan?? Welcome to the millenium era, sir!!

    Dirga membenamkan wajah ke bantal. Hati dan kepalanya masih terasa panas. Andaikan si Fani meletakkan telur mentah di atas kepalanya, mungkin dalam waktu lima belas menit sudah menjadi telur rebus. Dirga menggertakan giginya gemas. Seumur hidup ia belum pernah mendapatkan bos yang menjengkelkan seperti ini. Ia malah belum pernah dimarahi separah tadi. Rivi itu memang sialan. Memperlakukannya seakan-akan ia tidak punya pengalaman kerja sama sekali. Padahal setelah menyelesaikan kuliah jurusan komunikasi di Universitas Negeri di Surabaya, Dirga pernah bekerja sebagai trainer di perusahaan cola selama satu tahun sebelum menjadi senior trainer untuk sebuah hotel berbintang di Merauke.

    Rasa penasaran untuk menjajal hal baru berikut paket gaji yang lebih tinggi membuat Dirga meninggalkan pekerjaan itu dan menerima tawaran Asian Care Center. Mana ia tahu ternyata pekerjaan barunya ini sangat menyebalkan. Hm,, sebenarnya pekerjaan ini cukup menarik. Dirga belajar banyak hal di sini dan bertemu dengan orang-orang baru yang menyenangkan seperti Gulid dan Luna. Tapi bos baru itu yang membuat semuanya jadi menyebalkan!!

    Lagi pula apa susahnya soal HIV/AIDS itu?? Rivi toh tidak perlu membesarkan kesalahannya seperti itu. Oke, Dirga mungkin memang membuat kesalahan kecil. Tapi kan bisa diperbaiki. Memangnya apa sih hebatnya isu HIV/AIDS?? Kenapa harus susah payah mengurusi mereka?? Lha, yang diurusi saja malah enak-enakan melakukan perbuatan terkutuk. Betul, kan?? Kalau tidak, mana mungkin mereka bisa tertular virus HIV??

    Ah biar saja!! Masih banyak lowongan kerja di tempat lain!!
    Hell with Asian Care Center!!!!

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Jam menunjukkan pukul sembilan malam ketika mobil Dr. Poernomo masuk ke garasi. Fani membukakan pintu.

    “ Mau makan lagi pak?? “ tanya Fani. Biasanya Pak dokter – demikian fani dan ibunya biasa memanggil majikan mereka - selalu makan sesuatu dulu setelah pulang dari praktik, sambil menonton TV atau membaca buku.

    “ Ada makanan apa Fan?? “ tanya Dr. Poernomo sambil melepaskan sepatu dan kaus kakinya. Sekilas keningnya berkerut melihat lampu kamar tidur Dirga masih menyala. Berarti anak itu belum tidur.

    “ sandwich dan teh hangar pak?? “ tawar Fani.

    “ Boleh, tapi tehnya tidak usah. Buatkan bandrek saja ya. Dirga belum tidur ya Fan?? “

    “ Belum Pak, tadi Ka Dirga pulang lebih awal, sekitar jam tiga. Terus masuk kamar dan tidak keluar sampai sekarang “ lapor Fani

    “ Lho, Dirga belum makan?? “

    Fani menggeleng

    “ Kalau begitu buatkan sandwich dan bandrek buat Dirga juga Fan,,”

    Fani mengangguk sebelum melangkah ke dapur, Dr Poernomo berpikir sejenak. Keningnya berkerut heran. Didekatinya kamar Dirga dan diketuknya pintu dua kali.

    “ Sudah tidur nak?? “

    Terdengar suara langkah kaki sebelum pintu terbuka dan seraut wajah cemberut muncul dibalik pintu.

    “ Kenapa Pa?? “ tanya Dirga malas.

    “ Temani Papa makan sandwich yuk, sambil minum bandrek susu kesukaanmu,,”

    Dirga mengerang.

    “ Ayolah!! “ bujuk Dr Poernomo sambil menarik lengan anaknya. Setengah terpaksa Dirga mengikuti langkah Papanya keruang keluarga.

    Sepiring sandwich dan dua gelas bandrek susu yang masih panas sudah terhidang diatas meja.

    “ Kata Fani, kamu pulang cepat hari ini “ pancing Dr Poernomo sambil melahap sandwich-nya

    Dirga mengangguk lesu. “ Aku mau resign Pa!! “

    Mata Dr Poernomo spontan mendelik kaget,, “ Lho, kenapa?? “

    “ Males, Pa. Bosku itu menjengkelkan. Keturunan preman!! “

    Sudut bibir lelaki itu terangkat membentuk senyuman,, “ Memangnya ada apa?? “

    Dengan menggebu-gebu Dirga menceritakan kemarahan Rivi di kantor kemarin dan tadi siang. Dr Poernomo manggut-manggut mendengarkan.

    “ Masa modul yang sudah kuperbaiki masinh dianggap salah sih?? Kalau masih belum puas, ya buat aja sendiri!! “

    Dr Poernomo memilih diam, menunggu hingga semua unek-unek Dirga keluar. Setelah selesai, baru lelaki itu berkata. “ Sebenarnya sumber kesalahanmu itu dimana?? “ tanya Dr Poernomo lembut.

    “ Maksud Papa?? “ kening Dirga mengernyit heran.

    “ Kamu kesal karena modulmu yang salah, atau kesal karena caranya memarahimu itu?? “

    Dirga tercenung. “ Dua-duanya sih,,”

    Dr. Poernomo tersenyum. “ Sebenarnya wajar dia marah. Pekerjaanmu ini kan proyek yang selesai dalam masa tertentu dan harus mengikuti indikator-indikator tertentu untuk mengukur keberhasilannya. Kalau sempat tertunda hanya karena ketidakmampuan stafnya, wajar saja dia panik,,”

    “ Tapi Pa....”

    “ Dengar dulu!! “ Dr Poernomo memotong protes anaknya,,, “ Di lain pihak, wajar juga kamu masih belum menguasai masalah HIV/AIDS. Selama ini HIV/AIDS masih dianggap tabu, sehingga tidak semua orang merasa harus mengetahuinya. Tapi karena pekerjaanmu sekarang di bidang tersebut, mau tidak mau kamu harus berusaha mengerti permasalahan itu!! “

    Dirga diam. Keraguan membayangi matanya. “ Tapi Pa, aku sudah terpikir untuk resign!! “

    “ Kan baru terpikir, belum terlaksanakan,,” seloroh Papanya.

    Dirga tersenyum canggung.

    “ Makanya kamu lain kali juga harus lebih arif menyikapi setiap situasi. Coba pahami permasalahannya dulu sebelum bereaksi,,”

    Dirga mengangguk patuh sambil menyeruput bandrek yang terasa hangat dan segar di kerongkongannya. Benaknya mulai sibuk mereka-reka cara terbaik untuk masuk kerja dan menghadapi Rivi tanpa harus membuatnya kehilangan muka.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Beberapa hari berlalu, tapi Dirga belum juga muncul di kantor, Gulid mulai curiga. Jangan-jangan ancaman Dirga untuk mengundurkan diri benar-benar serius. Kalau itu terjadi, Gulid pasti akan merasa kehilangan. Beberapa hari saja tidak melihat Dirga, suasana kantor jadi terasa lengang dan membosankan. Makan siang hanya berdua dengan Luna. Meeting khusus materi training hanya berdua dengan Rivi. Belum lagi omelan Rivi yang semakin mirip nenek lampir. Kalau begini terus-terusan, mana mungkin Gulid bisa betah?? Padahal pekerjaan di sini jauh lebih menarik dan gajinya juga lumayan besar.

    Akhirnya sore ini Gulid memutuskan pulang kantor lebih awal dan langsung memanggil ojek dari depan kantor, ini pertama kalinya Gulid datang ke rumah Dirga. Semoga saja tukang ojek itu tidak membawanya lari, doa Gulid dalam hati. Ketika ojek mulai memasuki daerah kompleks dengan deretan rumah yang besar dan megah, Gulid mulai menggigit bibir. Ia khawatir. Apakah Dirga memang tinggal di daerah sini?? Atau si tukang ojek ini mau menjualnya?? Motor itu berhenti di sebuah rumah besar bercat terakota dengan papan nama Prof. DR. dr. Poernomo, SpOG. Hm,,,kayaknya tidak mungkin salah. Nama Dirga kan Dirga Naraya Poernomo.

    Gulid segera turun dari ojek. Pintu pagar terbuka dan seorang gadis remaja sedang menyiram bunga di halaman.

    “ Permisi. Ini rumah Dirga, Dik?? “ tanya Gulid.

    Gadis remaja itu menoleh,, “ Iya. Dari mana ya?? “ tanyanya curiga. Sesekali ia melirik ojek yang sedang bersiap-siap pergi.

    Sialan!! Apa tamu yang naik ojek tidak diperbolehkan bertamu?? Runtuk Gulid kesal.

    “ Saya Gulid, teman sekantor Dirga,,”

    Raut muka gadis itu berubah ramah,, “ Oh, sebentar ya Kak!! “ Gadis itu segera melesat ke dalam. Tak lama kemudian pintu depan terbuka dan Dirga keluar.

    “ Lho, Gulid?? Ngapain kemari?? “ Dirga terbelalak kaget melihat tamunya.

    Gulid meringis,, “ Duh Dirga, aku bela-belain naik ojek jauh begini, masa sih responsmu begitu?? Nggak nyuruh masuk nih?? Atau sekedar nawarin minum kek!! “ gerutu Gulid kesal.

    Dirga tersenyum geli,, “ sory,, sory. Aku Cuma kaget. Ayo masuk!! “

    Gulid mengikuti langkah Dirga ke dalam rumah. Sejenak ia ternganga melihat rumah Dirga yang besar dan megah, nyaman pula.

    “ Rumah mu besar ya!! “ celetuk Gulid

    Dirga tersenyum,,” Rumah lama kok,,”

    Diruang keluarga sudah ada dua gelas minuman dingin dengan sepiring risol. Gulid berdecak kagum.

    “ Wah, servis dirumahmu jauh lebih cepat dan efisien dibandingkan di restoran Ga,,!! “

    Dirga melotot, Gulid terkekeh sambil menenggak minumannya hingga nyaris tandas.

    “ Gimana kabar kantor Abang?? “ tanya Dirga pelan

    Gulid melirik sekilas,,” Sepi!! Aku nggak ada teman Ga,,”

    Dirga menatap Gulid sambil mencibir,, “ Kan ada Luna?? “

    “ Luna sibuk dengan kerjaannya “

    “ Rivi?? “ ejek Dirga

    Gulid melemparkan bantal kursi,, “ sialan!! Dia makin menjengkelkan saja!! Ganteng tapi kok judes ya?? “ omel Gulid

    Dirga tertawa

    “ Ga serius nih. Kamu gak benar-benar mau resign kan?? “ tanya Gulid serius

    Dirga terdian,, “ Aku.......”

    “ please dong, Ga. Masa hanya karena masalah sepele kamu resign......”

    Dirga menghela nafas,, “ Habis, punya bos kok menjengkelkan begitu!! “ gerutu Dirga.

    “ Tapi kamu juga perlu introspeksi diri Ga, mungkin kritakan Rivi tidak semuanya salah,,” lirih Gulid berkata.

    Dirga terdiam. Mukanya sedikit cemberut. “ Iya sih. Tapi seharusnya dia kan tau bahwa bbidang ini sama sekali baru buat ku. Masih butuh waktu untuk belajar,,” Dirga sedikit ngeyel.

    Gulid diam. Dirga menunggu tapi Gulid masih bertahan diam. Dirga merasa serba salah.

    “ Sori deh, Abang. Aku tahu aku salah . Banyak hal yang masih harus kupelajari lagi,,” Ujar Dirga akhirnya.

    Dirga tersenyum. “ Berarti mulai besok kamu harus masuk kantor lagi ya?? “

    Dirga gelagapan. Senyum Gulid mulai bercampur aura kemenangan.

    “ Kok gitu?? “

    “ Iya dong. Satu-satunya cara untuk belajar ya di kantor!! “ tandas Gulid tak bisa ditawar lagi.

    Dirga menghela napas pasrah. Gulid nyengir puas.

    ^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

    Meski tak terkatakan, aura gencatan senjata antara Rivi dan Dirga dapat tercium oleh semua orang di kantor itu. Sejak Dirga tiba-tiba muncul setelah menghilang beberapa hari, semua orang mulai berbisik-bisik. Apalagi Dirga menghilang tepat setelah bertengkar dengan Rivi, yang mengkukuhkan posisi lelaki itu sebagai bos yang menyebalkan. Kini setelah Dirga muncul lagi, semua orang kembali berbisik-bisik, menduga-duga apa sebabnya Dirga tidak jadi mengundurkan diri. Tapi tidak seorang pun mendapatkan jawabannya. Tidak juga Rivi.

    Sejak menyadari kehadiran Dirga tadi pagi, perasaan Rivi mulai tak menentu. Sebenarnya sejak pertengkaran mereka kemarin, Rivi sudah memendam rasa bersalah karena terlalu keras terhadap Dirga. Mungkin belum saatnya ia menerapkan pola kerja dan disiplin tinggi seperti di Kantor Pusat Asian Care Center di Tokyo. Ritme kerja di Indonesia cenderung lebih lambat dan santai. Begitu juga orang-orangnya. Rasanya tidak fair memaksakan hal yang sama dalam waktu secepat ini. Apalagi Rivi baru tahu ternyata Dirga belum pernah berkecimpung dalam LSM atau organisasi internasional sejenis Asian Care Center, apalagi yang bergerak dalam bidang HIV/AIDS.

    Pintu kantor Rivi terbuka Dirga muncul dari balik pintu.

    “ Kemarin saya cuti. Maaf, karena tanpa pemberitahuan sebelumnya.............” suara Dirga tersendat.

    Rivi mengangguk mengerti.

    “ It’s okay, kamu tanya saja segala perkembangan yang telah terjadi pada Gulid. Besok kita meeting mingguan seperti biasa. Tolong persiapkan dirimu,,” sahut Rivi.

    Dirga mengangguk sebelum menghilang di balik pintu yang ditutup dari luar.

    Rivi mendengus sambil meraih laptopnya. Tangannya mulai mengetik

    Halo Dhio
    Dia sudah masuk kerja lagi
    Selebihnya, tidak ada hal yang baru
    -Rivi-

    Setengah jam kemudian sebuah e-mail balasan sampai.

    My Dear Rivi
    So, Worry no more now. Tampaknya pria itu, disengaja atau tidak, telah berhasil menemukan tombol “ peduli “ di hatimu.
    So glad..........(but i’m jealous)
    Dhio


    Rivi mendengus kaku. Tombol peduli?? Ah. Dhio ada-ada saja.
Sign In or Register to comment.