BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA EDISI CERPEN

edited November 2014 in BoyzStories
Cerita ini adalah cerita kedua dariku. Cerita ini sebenarnya merupakan cerita dari sahabat ku yang seorang dokter yang bernama dr. Maria Silvia Merry. Namun dari cerita beliau banyak yang menjadi inspirasi saya untuk mengekspresikan sesuatu yang berbeda dalam cerita ini. Cerita ini untuk semua yang mempunyai semangat pita merah, Untuk semua yang masih menganggap ODHA itu ‘sesuatu‘ dan bukan ‘seseorang’ ,, Selamat Menikmati,,


@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@Monic
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet


SUMPAH HIPOCRATES

Demi Tuhan Yang Maha Esa saya bersumpah.
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan harkat dan martabat saya sebagai dokter.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran.
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya.
Saya tidak akan mempergunakan pengetahuan dokter saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusian, sekalipun diancam.
Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari pembuahan.
Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.
Saya akan berikhtiar secara sungguh – sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial, dan jenis penyakit dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien.
Saya akan memberi kepada guru – guru saya penghormatan dan pernyataan terimakasih yang selayaknya.
Saya akan memperlakukan teman sejawat saya seperti saudara sekandung.
Saya akan menaati dan mengamalkan kode etik kedokteran Indonesia.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh – sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
«13456730

Comments

  • PROLOG

    Kesibukan Rumah Sakit Fatmawati pagi ini dimulai, seperti hari – hari kemarin. Cleaning service mulai menyapu lorong antarbangsal, beberapa diantara mereka membereskan sampah medisdi ruang UGD dan tiap – tiap bangsal, memasukkan ke dalam kantung plsatik berwarna merah tahan sobek dengan tulisan ‘ potential hazard ‘ . Petugas gizi mulai sibuk di dapur, mendata menu diet masing – masing pasien bangsal dan membawakan kudapan pagi untuk konferensi dokter serta jatah sarapan untuk dokter dan perawat jaga tadi malam. Beberapa diantara mereka menyiapkan troli besar untuk mengedarkan sarapan pagi pada pasien. Petugas apotek mulai sibuk menata obat dan mengecek persedian display obat di apotek.

    “ Han, ciprofloksasin tablet habis, tolong ambil di gudang ya,,” Komando ibu Tika, kepala Apotek pada Hana, asisten apoteknya.

    “ Baik bu,,,” Jawab Hana dan bergegas menuju gudang depan apotek, lalu dengan culunnya berbalik ke ruang obat. “ Eh,,,berapa dos bu ?? “

    Bu Tika geleng – geleng kepala,, “ Kamu itu asal iya aja,,” Hana terkekeh,,, “ Ambil lima dos, yang 500 miligram,,” lanjut Bu Tika.

    “,,,siap Maamm,,,” Hana segera berlari ke gudang obat di depan apotek, mengambil obat yang diminta Bu Tika. Tampak kepayahan sekali dia membawa lima dos yang bertumpuk – tumpuk, penghelitan ke depan jadi terhalang dan tiba – tiba...........................................................................

    GUBRAK !!

    “ Ouch,, !! Aduh Hana, aku gak liat kamu, aku buru – buru ini, terlambat pula datang konferensi, Maaf ya!! Nanti kutraktir makan di kantin sebagai permintaan maaf ku yaaaaa,,,” Igo yang sempat limbung segera mengambil tas dan jas putihnya yang jatuh dan bergegas menyusuri lorong menuju ruang konferensi, meninggalkan Hana yang jatuh terduduk dengan dos obat berserakan di sekitarnya.

    “ Dasar dokter Igo Andrarano Lingga !! Untung ganteng, coba nggak. Nggak kumaafkan,, “ rutuk Hana jengkel. Bu Tika keluar dari apotek demi mendengar keributan itu. Melihat Hana duduk di lantai, ia menggeleng – geleng kesal.

    “ Hana....... kau malah duduk ?? itu dos obat dibuang-buang lagi,,, “ Hana kaget mendengar teguran Bu Tika.

    “ Eeee,, bukan salah saya Bu,, itu tadi dokter Igo lewat nyamber saya,,, “ terangnya gagap sambil menunjuk arah perginya Igo, sayangnya Igo sudah hilang dari pandangan. Bu Tika Kesal.

    “ Sudah, tidak usah banyak alasan, ayo bangun !! Dibereskan itu obat !! Sebentar lagi kita briefing pagi !! “ ujarnya lalu membalikkan badan. Hana menjulurkan lidah di balik punggung Bu Tika, jengkel pada Bu Tika dan dokter Igo, lalu bergegas bangkit untuk membereskan obat – obat yang berserakan.

    Igo sampai di depan runga konferensi, bersamaan dengan petugas instalasi gizi yang mau masuk mengantarkan kudapan pagi untuk para dokter. Igo mengedap-edap, mengintip di sela – sela gorden biru yang menutup ruang konferensi. Dari dalam terdengar suara Boggi, teman sejawatnya sesama dokter umum yang sedang mempresentasikan kasus sulit selama dia dinas UGD tadi malam. Rupanya tentang appendisitis akut (radang usus buntu akut) yang dioperasi cito (segera) di UGD. Diliriknya jam tangan yang melingkar di tangannya. Ups.. Igo sudah terlambat setengah jam. Konferensi pagi dimulai setengah tujuh dan sekarang sudah jam tujuh. Igo garuk – garuk kepala, bakal kena marah Profesor Dahlan lagi Igo, seperti kemarin – kemarin. Profesor Dahlan memang terkenal disiplin, beliau Kepala Instalasi Unit Gawat Darurat, dokter spesialis bedah senior.

    “ Dok, tidak masuk ?? “ tegur Ina, petugas gizi dengan sopan. Di tangannya ada nampan mug dan seteko teh hangat untuk peserta konferensi di dalam. Di Troli masih ada setalam bolu kukus dan tisu. Melihat itu, Igo mendapat ide cemerlang.

    “ Ehmm,,, mbak Ina, aku bantu membawa piring kue ke dalam ya,, “ dengan cekatan Igo mengambil talam bolu dari atas troli. Kemudian, seperti lupa sesuatu, segera diletakkannya lagi. Lalu Igo memakai jas dokternya, menyisir rambutnya yang berantakan, dan mengambil talam bolu itu lagi. Ina hanya memandangnya, ternganga, lalu tersadar.

    “ Lhoo,,ehhh,,lhoh,, ndak usah dokter Igo,, biar saya yang bawa ke dalam wira-wiri, itu sudah tugas saya ko,,” cegahnya dengan logat jawa yang kental. Ina memang berasal dari Wonogiri. Igo mengelakkan talam bolu yang hendak diambil Ina.

    “ Eh,, enggak,, enggak,, enggak biar aku bantu, kasihan mbak Ina bolak – balik hanya ambil bolu. Sudah,, sudah biar aku bantu,, Ayo masuk,,,,” ujar Igo membujuk. Ina masih memandangnya ragu – ragu.

    “ Masuk,,,,, ayo masukkkkk,, “ bisik Igo setengah memaksa, ujung dagunya menunjuk pintu. Dengan masih ragu – ragu, Ina membuka pintu ruang konferensi dan masuk membawa nampan mug. Igo membuntut di belakangnya, membawa talam bolu.

    “..........., jadi anak perempuan usia empat tahun itu awalnya datang dengan keluhan nyeri perut yang tidak khas. Mengapa dokter langsung berkeputusan untuk konsul dokter Doni spesialis bedah ?? Diagnosis banding apa saja yang saat itu dokter pikirkan ?? “ Profesor Dahlan sedang mengajukan pertanyaan kepada Boggi. Untunglah.... batin Igo lega. Itu berarti perhatiannya sedang tertuju ke depan. Perlahan Igo meletakkan talam bolu di meja snack, lalu menyelinap duduk di kursi belakang. Igo mengelus dada lega, dan mulutnya mengucapkan terimakasih tanpa suara pada Ina. Ina hanya menatap bingung, lalu bergegas keluar ruangan. Tanpa sepengtahuannya, Profesor Dahlan melirik Igo dari ekor matanya.

    “ Seseorang anak dengan nyeri perut tidak khas, demam sebelumnya, tanpa disertai adanya keluhan diare, ada beberapa diagnosis banding yang saya pikirkan. Yang pertama adalah appendicitis akut, gejala awal thypoid, hiperasiditas (asam lambung berlebihan), dan gejala awal ileus (gangguan gerakan usus). Pada anak ini, nyeri dirasakan sejak sepuluh jam lalu, dengan lokasi awal nyeri di sekitar umbilikus (pusar), ada rasa mual, dan diperberat saat anak jalan atau batuk. Pada pemeriksaan saya temui adanya nyeri tekan dan spasme (tegang) ringan. Saya menganggap ini adalah kasus bedah, karena itu saya konsulkan kepada dokter bedah, bukan dokter anak, “ ,,, Boggi menerangkan dengan detail, sesekali ia mengusap rambutnya yang gondrong. Profesor Dahlan mengangguk – angguk.

    “ Lalu waktu konsul via telepon semalam, Anda mensugesti saya untuk melakukan laparotami (operasi membuka rongga perut) cito, apa alasannya ?? “ dokter Doni spesialis bedah yang jaga malam itu gantian mengajukan pertanyaan, Boggi tersenyum.

    “ Sepengetahuan saya dok, mohon diralat jika salah,, appendicitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan dan tidak dapat diprediksi progresivitas atau perburukan keadaannya. Apalagi pada anak – anak, perforasi (kebocoran) biasanya terjadi pada 12 jam pertama karena dinding appendiksnya yang tipis. Jika terjadi perforasi, eksplorasi (pembersihan) akan semakin sulit dan komplikasinya besar. Karena itu saya sugesti untuk laparotomi cito,,” terang Boggi. Lalu dia menambahkan dengan senyum jahil tersungging di bibirnya,, “ Tapikan itu hanya sugesti dok, jika diterima syukur... kalau tidak, saya juga tidak marah kok,,,” Candanya,,seisi ruang konferensi tergelak.

    Boggi memang top, batin Igo. Bukan hanya tampan dia juga smart, pinter presentasi, dan ramah. Tidak heran banyak dokter umum wanita teman sejawat mereka yang menaruh hati padanya. Sampai – sampai dokter spesialis muda yang cantik yang baru saja masuk gosipnya juga naksir Boggi. Sayangnya sebentar Lagi Boggi menikah,, Hmm.. tapi hanya aku disini yang tahu kalau Boggi akan menikah dengan pasangan prianya yang sudah sejak empat tahun ia pacaran,, beruntung sekali laki – laki itu yang akan jadi pendamping hidupnya, batin Igo ngelantur. Tepuk tangan terdengar, presentasi kasus pagi ini selesai. Igo tersadar dari lamunannya dan ikut bertepuk tangan. Tampak Boggi menyalami Profesor Dahlan yang tampak puas, ia mendengar pujian Profesor Dahlan dari kursinya.

    “ Saya senang kalau dokter umum yang jaga UGD itu semua analitis seperti kamu. Bukan hanya tahu batuk pliek diare saja, tapi memikirkan suatu kasus secara luas dan bisa memberi alternatif tatalaksananya,, “ Boggi tersipu, pipinya yang putih merona menjadi merah. Dari sini, sosok mereka nampak seperti paman dan keponakannya. Prof Dahlan dengan badan tinggi besar ditambah jambang dan rambutnya yang sudah mulai memutih, Boggi anak muda dengan badan yang begitu jantan dan menggairahkan bagi wanita – wanita bahkan laki – laki di dunia ini.

    “ Belum ko Prof, saya masih belajar,, “ ujarnya merendah. Igo geleng – geleng kepala, tambah lagi,,Boggi itu rendah hati, ganteng luar dalam.

    Ruang konferensi riuh rendah dengan gumaman dan obrolan antar dokter sambil mengudap bolu dan minum teh hangat. Sebelum acara ditutup, profesor Dahlan mengambil mike dan mengumumkan pada semua peserta konferensi.

    “ Terimakasih atas kehadirannya di presentasi kasus jaga pagi ini. Untuk semua dokter umum jaga, sebagi lini pertama, silakan mencontoh pemikiran analitis seperti sejawat kita dokter Boggi. Silakan memulai hari ini dengan meneruskan jaga, Siapa dokter umum yang jaga pagi ini ?? “ Pandangan hadirin terarah pada barisan kursi dokter umum, dokter Igo dan dokter Rahma menunjukkan tangan. Prof Dahlan berdehem,,, “ Saya ganti, yang jaga pagi ini adalah dokter Ira dengan dokter Julian, untuk dokter Igo, pagi ini hingga siang ini silakan piket di instalasi gizi, karena saya lihat dia punya ketertarikan di bidang itu. Buktinya pagi ini dia nyambi di instalasi gizi samapi terlambat datang presentasi kasus,,” hadirin tergelak, dan dokter Igo pun serta merta tersedak.



    “ Jangan ketawa kau, Boggi,,,,” Gio merengut sambil mengipasi bagian depan hemnya yang bernoda teh, Boggi memegang perutnya yang keras karena terbahak – bahak. Mereka berjalan beriringan menuju ruang jaga dokter UGD, Boggi hendak mengambil tasnya dan Igo hendak menyimpan bukunya di loker.

    “ Habis loe,, dapat darimana sih ide membawakan piring bolu itu ?? Dasar geblek,, “ Boggi masih tertawa sambil menepuk – nepuk pundak Igo hangat. Mereka berdua satu angkatan, satu almamater dan satu kos saat dulu menuntut ilmu dan mengambil Profesi dokter di Fakultas kedokteran ternama di Semarang, mereka lulus Profesi dokter satu tahun yang lalu dan sama – sama diterima sebagai dokter jaga di rumah sakit ini. Boggi Giannitra Boma adalah anak terakhir di keluarganya, saat semester awal Boggi sudah bercerita tentang perbedaannya yaitu seorang gay, saat itu orang tuanya tidak tahu tentang orientasinya, hingga suatu saat ia memutuskan berterus terang kepada kelurganya ketika mendaptkan seseorang yang Ia cintai Bagraswara Egriano Riviansyah yang biasa dipanggil Rivi oleh ku. Hingga saat ini hubungan mereka berdua sudah direstui oleh keluarga besar mereka berdua. Igo memonyongkan binirnya.

    “ namanya juga terpaksa. Sial........ jadi seharian ini aku harus nongkrong kayak orang bego di dapur. Siallllll,,, !! “ omelnya. Boggi terkikik, membayangkan Igo dengan celemek dan tutup kepala putih. Lalu setelah tawanya mereda, Boggi teringat sesuatu.

    “ Hmm,, oiya,, loe bantuan gw aja go... Nanti aku yang meminta izin kepada Prof Dahlan ,,, “ Igo melirik Boggi malas. Membantu Boggi ?? Tugas – tugasnya itu sulit. Mengingat dia pintar, banyak dokter spesialis yang minta bantuannya. Misalnya, menerjemahkan jurnal kedokteran, membantu penelitian, meringkas rekam medis pasien untuk presentasi kasus.. Tapi daripada seharian melompong di dapur dan mengupas bawang merah, memabtu tugas Boggi sepertinya lebih mendingan.

    “ Apaan ?? tanya Igo. Boggi mengigit bibir atasnya, berpikir sebentar.

    “ Bantu aku untuk visite (kunjungan pasien) dan meringkas lapaoran kemajuan kondisi pasien bangsal Bougenvile A1 ya,, “ ujar Boggi, Igo mengerutkan kening.

    “ Bougenvile A1 ?? Bangsal penyakit dalam kan ?? dan....... bangsal penyakit menularkan ?? Apa pasien kau ?? “ selidik dokter Igo, Boggi menghembuskan nafas kesal. Menggigit-gigit bibir bawahnya.

    “Tuberkolosis dengan HIV positif, pasien titipan dokter Shani. Seminggu ini beliau seminar di Bali, “ terang Boggi dengan malas, dokter Shani adalah dokter spesialis penyakit dalam yang konsen di bidang HIV/AIDS. Kebetulan rumah sakit tempat Boggi dan Igo bekerja ini merupakan salah satu Rumah Sakit Negeri yang dicanangkan sebagai Rumah Sakit rujukan untuk penderita HIV dan AIDS.

    “ Tumben, biasanya kau sangat semangat kalau urusan visite pasien,, “ Ujar Igo, Boggi mengangkat alisnya.

    “ Hmm,, tergantung pasiennya,, “ jawab Boggi

    “ Tergantung pasiennya gimana ?? Kenapa dengan pasien mu ini ?? “

    “ Pasienku ini..........” Boggi berpikir,,, “ Emh,, kali ini gw males aja , gw sudah cukup sibuk, daripada ngurusin mereka para Odha (Orang dengan HIV/AIDS) gw lebih mending mengerjakan pasienku yang lain. Ngurusin lima orang gangren diabetes (pembusukan bagian ujung kaki pada orang dengan diabetes) boleh dah , paling nggak mereka gak menular,,,,” Igo terkekeh....

    “ Beneran ?? berarti kita tukeran pasien ya !! Aku punya dua pasien ganren diabetes yang harus dinekrotomi (membersihkan jaringan kulit mati supaya merangsang pertumbuhan jaringan kulit baru) tiap hari di bangsal cempaka “,, Bangsal cempaka adalah bangsal bedah, Boggi memonyongkan bibirnya.

    “ Yee,, enak aja,,” mereka berdua tergelak.

    “ Jadi,, deal kan ?? “ tanya Boggi.

    Igo berpikir sejenak. Bayangan dia mengupas bawang dan kentang seharian membuatnya merinding. Tangan kanannya terjulur tak berapa lama, bertemu dengan Boggi yang dari tadi teracung ke Igo.

    “ Oke deal !! “ mereka berjabat tangan seperti acara kuis di televisi dengan mimik sama – sama puas.
  • edited September 2013
    wah cerita baru. tapi berasa pernah baca, lupa dimana
  • SATU

    Boggi sampai dirumah pukul sebelas siang, memarkir mobilnya di garasi dan masuk ke ruang tengah yang langsung berhubungan dengan garasi.

    “ Asalamualaikum, Bun......” sapanya ceria. Bunda yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah sambil memilih bahan batik, mengangkat wajahnya.

    “ Walaikumsalam anak lanang Bunda, capak ?? banyak pasiennya ?? “. Senyum Bunda yang teduh mengurangi keletihan Boggi, Boggi memeluk Bundanya dengan sayang.

    “ Biasa deh Bun,, namanya juga jaga unit gawat darurat, dibilang capek tapi enggak terlalu cape, mau bilang enggak cape tapi ko ternyata cape juga,, Tdi malam ada operasi usus buntu dari jam sepuluh malam hingga jam dua belas, Boggi jadi asisten operasi. Terus ada beberapa pasien kecelakaan yang harus Boggi jahit jidadnya,, terus.. lainya kasus biasa sih Bun, batuk, pilek, demam aja,, “ Cerita Boggi, Bunda mengelus – ngelus rambut Boggi.

    Boggi Giannitra Boma memang anak terakhir dari empat bersaudara , makanya Boggi terlihat begitu manja dengan Bundanya. Ketiga kakaknya dua laki – laki dan satu perempuan sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Dimas Giannitra Saphiro Kakak tertua Boggi tinggal di Yogyakarta, Ryan Giannitra Anandyargio anak ke dua berada di Surabaya dan Gladiol Giannitra Nandhira satu – satunya anak perempuan keluarga Giannitra Prawiro Yang sudah menikah dan sekarang menetap di Bintaro. Karena itulah Boggi memilih untuk bekerja di Rumah Sakit Fatmawati agar bisa menemani Bunda dan Bapaknya yang sudah sepuh. Dari empat bersaudara kakak keduanya Ryan lah yang paling sulit menerima bahwa adiknya berbeda dengan yang lain, butuh waktu lama untuk Ryan bisa menerima keputusan adik kecilnya tersebut. Ryan sampai tidak mau berbicara dengan adiknya selama dua tahun lebih, namun selama itu pula Ryan tidak menceritakan apa yang terjadi dengan adiknya dengan Bunda dan Bapaknya. Ryan baru bisa menerima ketika semua keluarga besar sudah bisa menerima perbedaan itu, Bunda dan Mas Dimas lah yang membuat Ryan sadar akan perbedaan saudara kandungnya itu.

    Mas Dimas adalah orang pertama yang mengetahui adik kecilnya seorang gay, memang Boggi sangat dekat dengan Mas Dimas, saat pertama kali tahu Mas Dimas langsung menghajar adiknya dengan pukulan di muka, perut dan kepala, namun sehabis emosinya normal kembali Mas Dimas langsung memeluk Boggi dan menangis. Sejak saat itulah Mas Dimas selalu mendukung setiap keputusan yang diambil adik kecilnya, berbeda dengan Kakak perempuannya yang langsung tersenyum dan memeluk adiknya saat tahu Boggi adalah seorang gay, Gladiol yang biasa disapa Glad sudah mengetahui bahwa adiknya berbeda dengan laki – laki lain cukup lama, namun ia hanya menyimpannya sendiri dan menunggu sang adik bercerita langsung kepada kakak perempuannya itu.

    Setelah ketiga kakaknya sudah mengetahui orientasi Boggi sebagai gay dan saat itu ia juga sudah dua tahun berpacaran dengan Bagraswara Egriano Riviansyah (Rivi) seorang Atlet Taekwondo Nasional asal Semarang yang merupakan Teman satu kampusnya namun berbeda jurusan ini, baru lah Boggi dengan dukungan Glad dan Dimas menceritakan kepada orang tuanya, Bundanya saat itu menangis histeris, sementara Bapaknya langsung bermain fisik dengan menghajar Boggi, namun Boggi hanya diam dan menerima semua pukulan Bapaknya hingga Bapaknya menangis, Boggi berlutut mencium kaki Bapaknya meminta maaf, dan esok paginya saat sarapan pagi Bapak dan Bunda baru bisa menerima kenyataan itu dengan ikhlas, namun tidak dengan Ryan yang langsung membanting piring sarapan paginya lalau pergi. Setelah satu bulan peristiwa tersebut barulah kehidupan keluarga Giannitra Prawiro normal kembali, Ryan bisa menerima perbedaan yang dialami adiknya, bahkan hingga saat ini justru Ryan lah yang lebih protek terhadap adiknya.

    “ Wah......kayaknya capek juga ya,, terus jam segini sudah boleh pulang ?? kemarin pamitnya hari ini pulang jam dua siang, makanya Bunda memeilih sendiri bahan batik untuk pernikahan kamu yang aneh ini,,,” Ujar Bunda sambil tertawa dan mengangkat koleksi bahan batik dengan kedua tangannya. Boggi mengangkat alisnya dan menegakkan duduknya.

    “ Iya rencananya memang begitu Bunda, hari ini Boggi pulang siang, karena ada pasien titipan dokter Shani, dokter spesialis penyakit dalam Boggi. Tapi sudah Boggi titipkan ke Igo kok, jadi tugas Boggi hari ini selesai sudah,, “ terang Boggi.

    “ Eh Bun,, bagus yang warna apa ?? “ tanya Boggi mengalihkan perhatian. Boggi tidak mau Bunda bertanya mengapa dia menitipkan pasiennya ke Igo. Boggi tidak mau harus menerangkan keengganannya menangani pasien HIV, dan kalau pembicaraan ini diteruskan, Boggi tahu ujung-ujungnya Bunda berpesan ‘ jadi dokter jangan membeda-bedakan Boggi ‘ karena itu Boggi memaksa diri pura – pura tertarik pada hamparan contoh bahan batik beranekan motif dan warna. Rencana pernikahannya enam bulan lagi di Belanda dan Bunda sudah mulai sibuk ini itu, terutama mengurus pemberangkatan keluarga besar kami ke Belanda. Perhatian Bunda teralih pada warna – warna dan motif – motif batik di depannya, Boggi pun menghembuskan nafas lega sembunyi – sembunyi.

    “ Kalau warna merah marun gimana ?? Mbak mu dan Bunda kan kulitnya terang – terang, pasti Bunda cantik banget. Nanti pinggirannya kita bordir emas, Hmm... atau perak ya ?? Bagus yang mana ?? Mas mu dan Bapak mu pakai motif ini pasti ganteng dan terlihat gagah semua tuh ........ “,, Boggi hanya mengangguk-angguk menyetujuinya, namun matanya sudah mulai berat, kepalanya nyandar di pundak ibunya lagi.

    “ terus nang ,, ini mau satu motif apa beda motif ya buat laki – laki dan perempuan ?? “ Boggi sudah sayup – sayup mendengar suara Bunda, Boggi senang Bunda bersemangat untuk acaranya ini, namun Boggi terlihat keletihan membuatnya tertidur di pundak ibunya.

    “ Nang,, nang enaknya gimana ?? Nang,, Walah cah lanang ku malah ketiduran, ayo sayang pindah kamar sana biar enak tidurnya,, “ Bunda menggoyang bahu meletakkan kepalanya di pangkuan Bunda, lalu meneruskan dengkurannya. Bunda hanya tertawa geli sambil menggeleng – gelengkan kepalanya. Sayang benar Bunda pada anak terkahirnya ini. Paling tampan, penurut, pintar, walaupun berat hatinya harus menerima bahwa Ia adalah seorang gay. Bunda ingat awalnya Boggi tidak ada niat menjadi dokter, tapi Bunda selalu mengatakan kepada Boggi....

    “ Bunda pengen lho, satu saja anak Bunda ada yang jadi dokter, meneruskan si-eyang mu,, “ Eyang adalah seorang mantri ternama waktu zaman penjajahan Belanda dulu. Boggi diam saja. Waktu itu Boggi sudah mengisi formulir UMPTN-nya dengan dua pilihannya sendiri, Teknik Lingkungan dan Astronomi. Bunda sebenarnya tahu itu. pada ketiga anaknya yang lain pun, sudah mengatakan keinginannya. Namun, mereka lebih memilih fakultas favoritnya. Dimas masuk Teknik Elektro ITB, Ryan masuk Teknik Nuklir UGM, dan Glad masuk ke Sosiologi UI. Sekarang tinggal Boggi dan Bunda berharap Boggi menjawab keinginan hatinya. Waktu itu Boggi diam saja, tidak menganggukkan kepala atau menggeleng. Sampai saat formulir dikumpulkan pun saat Boggi menjalani tes, Bunda tidak tahu akhirnya fakultas apa yang dipilih Putra bungsunya itu. Namun waktu pengumuman, lalu duduk di depan Bunda dan Bapak.

    “ Boggi diterima di Fakulats Kedokteran, tapi di Semarang, Boggi minta doa restu ya Bun,, Pak,, “ Bunda masih ingat luapan rasa gembira pagi itu, sampai menangis terharu. Saat Boggi diterima di salah satu kampus ternama di Semarang, Ryan di tahun yang sama juga menyelesaikan kuliahnya di Yogyakarta, pergi satu dan kembali satu, Sementara Dimas sudah bekerja, dan Glad baru saja memasuki semester Enam. Setelah Boggi diterima di Kedokteran Bundu justru khawatir jangan-jangan Boggi akan menjalani masa kuliahnya dengan terpaksa, namun kekhawatiran Bunda tidak terbukti. Boggi bersemangat sekali menempuh pendidikan dokter, mengambil profesi dan lulus cumlaude. Lalu sekarang Boggi bekerja di Rumah Sakit Negeri di Jakarta. Hanya satu yang membuat Bunda dan Bapak terpukul saat Boggi mengakui bahwa dirinya gay, rasanya sebuah tamparan keras malam itu. Namun lama kelamaan Bunda dan Bapak mengikhlaskan pilihan hidup Boggi, ketika Boggi memutuskan ingin menikah, Bapak dan Bunda cukup kaget, karena mereka masih berharap Boggi akan berubah. Pernikahan itu tinggal enam bulan lagi, dan calonnya seorang laki – laki yang juga tidak sembarangan.

    Bunda menatap wajah polos Boggi yang tertidur kelelahan di pangkuannya. Tersenyum lembut dan mengusap pipi anak lanang ragil nya.

    “ Akhirnya kumenemukanmu,, saat hati ini mulai meragu. Kuberharap engkaulah, jawaban segala risau hatiku, dan biarlah diriku mencintaimu hingga ujung usiaku.. “,, Ponsel Boggi berbunyi. Dengan mata setengah terpejam, tangannya meraba – raba tidak terarah, mencari sumber suara yang merupakan ringtone khusus jika yang menelepon kekasihnya Rivi.

    “ Halo sayang,,, “ Boggi menyapa dengan suara serak bangun tidur, matanya melirik malas ke arah jam weker ayam disamping tempat tidurnya. Sudah jam lima. Ini pagi atau sore ya ? Batin Boggi bingung sambil mengumpulkan jiwanya yang masih tercerai berai.

    “ Halo jelek, sudah melek belum ?? “ Boggi tersenyum malas.

    “ Setengah... sayang ini pagi atau sore ya ?? “ tanya Boggi bloon. Rivi di ujung sana tertawa.

    “ Subuh sayang,,,” Canda Rivi. Setelah tidak ada jawaban dari seberang , baru ia melanjutkan “ Hahahahaha... bercanda, ini sore sayang, kamu tidur dari siang jelek, aku telepon rumah yang angkat Bunda. Kecapekan habis jaga UGD ya ?? jadi dinner gak kita ?? Atau kamu mau meneruskan tidur ?? “ Boggi hampir memilih alternatif kedua tapi perutnya tiba – tiba berbunyi. Ternyata, saking lelapnya tidur Boggi melewatkan jam makan siang. Padahal pagi tadi Boggi hanya sarapan bolu kukus dua biji dan tiga belas teh manis.

    “ Jadi aja deh. Aku starving,,”

    “ Oke jelek, tuh rambut di potong sayang,, oh ya pakai kemeja yang kemarin aku belikan kemarin valentine itu, aku sudah reservasi tempat resto hotel,, “ Boggi menjawab dengan menggumam.

    “ Ok,,, ok,,see you,, love you,,, mmmuuuahhhh,, “ mereka mengakhiri percakapan telepon.

    Selepas menerima telepon Rivi, Boggi kembali tergoda untuk memeluk guling. Tapi satu jam lagi Rivi menjemput, dan Rivi tidak suka menunggu Boggi yang belum selesai bersiap – siap, dulu mereka sering bertengkar karena hal itu.

    “ Kamu kan tahu jam berapa aku mau menjemput, kenapa tidak diperkirakan berapa menit mandi, berapa menit siap – siap yang lainnya, ini tidur terus si jelek,,,,, kalau kamu sering begini berarti kamu tidak menghargai aku Jelek,, “ Boggi masih ingat perkataan keras Rivi saat marah dulu. Karena itu Boggi terpaksa mengurungkan niatnya untuk memeluk agung dan memaksa diri untuk bangun dan mandi. Boggi merenggangkan tubuh,, Kretek,,, Uughh nikamat sekali.

    Boggi membuka lemarinya, mencari kemeja yang dipesan Rivi untuk dipakainya malam ini. Boggi mencari di gantungan. Gantungan bajunya hampir seluruhnya berisi baju yang sangat simpel tidak neko – neko dan dipastikan 90 persen adalah hadiah dari Rivi. Senang sekali Rivi membelikan baju untuk Boggi, sudah sering Boggi menolak bahkan sempat marah, namun Rivi selalu bisa merayu, membujuk, dan bahkan seringkali setengah memaksa.

    “ Celana panjang ini manis sekali sayang,, motifnya cocok sekali dengan dirimu,, mau ya kubelikan untukmu ?? “ Kalau Boggi keras kepala menggeleng, maka Rivi akan memasang muka sedih.

    “ Aku Cuma ingin jelekku ini tampil menawan, tidak boleh ya ?? “ Rivi akan bertahan dengan muka sedihnya sampai Boggi merasa bersalah sendiri dan mengalah untuk mau dibelikan celana yang sebenarnya tidak disukai. Lalu jika Boggi sudah mau maka konsekuensinya adalah Ia harus memakainya pada setiap makan malam yang mereka lalui di banyak tempat. Awalnya Boggi jengah, keluarganya adalah keluarga yang sederhana. Bapak dan Bunda adalah pensiunan dosen Universitas Negeri dengan gaji cukupan. Untungnya mereka mempunyai satu rumah kos-kosan di samping rumah induk yang berisi dua puluh kamar, sehingga Bunda dan Bapak bisa membiayai uang kuliah mereka berempat sampai selesai. Perekonomian mereka cukup, tidak kurang dan tidak berlebihan. Mereka terbiasa makan bersama di rumah dengan pakaian santai, makan di rumah makan ayam goreng atau pemancingan dengan baju kasual yang nyaman.

    Berjalan bersama Rivi selama empat tahun ini cukup mengubah kebiasaan itu. Bagraswara Egriano Riviansyah adalah anak keluarga multi usaha, Ayahnya adalah pemilik saham beberapa hotel berbintang di Jakarta, Yogyakarta, Bali, Bandung dan Semarang. Ibunya mengelola supermarket yang cabangnya sudah belasan di indonesia. Singkatnya Rivi anak gedongan, orang kaya, dengan gaya hidup yang serba highclass. Rivi selalu mengajak makan di tempat – tempat yang berkelas, yang sekali makan bisa menghabiskan setengah gaji Bapak sebagai pensiunan dosen. Padahal, hanya makan, misalnya dua porsi steak dan dua gelas punch. Awalnya Boggi jengah dengan gaya hidup Rivi, tapi lama kelamaan ia membiasakan diri. Membiasakan diri karena Boggi mencintai Rivi.

    Boggi masih mencari kemeja di lemari, kemeja mana yang dimaksud Rivi ?? Valentine tahun ini atau tahun lalu ?? Ugh, terlalu banyak pilihannya. Karena jam terus berdetak, Boggi menjatuhkan pilihan pada kemeja warna cokelat. Boggi bergegas mandi, dalam sepuluh menit Boggi sudah selesai, menyemprotkan parfum oleh – oleh dari Rivi dan akhirnya siaplah Boggi berangkat.

    “ Wah,, tampan sekali anak Bunda ini,,’ Bunda berdecak kagum saat Boggi keluar kamar. Boggi tersenyum simpul ke Bunda yang sedang menyiapkan makan malam untuk Bapak.

    “ Iya Bun, mau makan malam dengan Rivi. Oiya Bun tadi Rivi telepon ya ?? “ Boggi duduk di kursi makan, menunggui Bunda yang sedang mengatur tomat di pinggiran piring saji. Menu malam ini bihun goreng ala Bunda, dengan irisan bakso ikan dan cumi, tumis kangkung dan ayam goreng. Sebenarnya Boggi tergoda untuk makan, tapi nanti acara makan diluar akan mubazir. Jadi Boggi hanya mencomot satu potong ayam dan Bunda hanya geleng – geleng melihat ulah Boggi.

    “ Iya tadi siang, Nak Rivi mengabari semua semua masalah perizinan untuk pergi ke Belanda sudah selesai semua, dan sambil menanyakan kamu ada tidak. Tapi kan kamu tidur, jadi ya tidak Bunda bangunkan. Nyuruh kamu pindah kamar aja tadi sebenarnya Bunda tidak tega. Tapi biar tidurnya lebih enak dan kaki Bunda juga semutan , ya sudah terpaksa bangunin kamu sebentar, dan itu aja kamu langsung teler lagi..” Boggi terkekeh sambil mengunyah ayam goreng krispi yang lezat itu. Apalagi perutnya keroncongan. Ingin rasanya Boggi mencomot satu potong lagi. Tapi demi amannya, sekarang Boggi mencomot potongan tomat.

    “ Ohh gitu,, Emhh,, apa mengurus perizinan di Belanda tidak terlalu cepat ya Bun ?? kan masih enam bulan lagi. Siapa tahu ada apa – apa gitu ...... “ ujar Boggi. Bunda mengangkat wajahnya menatap Putranya.

    “ Ada apa-apa gimana ?? apa kamu berubah haluan ?? kalau itu terjadi Bunda Ikhlas membatalkannya,,,” Tanya Bunda penuh selidik, Boggi mengangkat bahu, tangannya mencomot potongan tomat kedua.

    “ Ya apapun kita kan tidak ada yang tahu Bun apa yang akan terjadi enam bulan yang akan datang,, misalnya ape kek,,, emmhh misalnya nggak jadi deh,,,,” Bunda menjatuhkan sendok yang dipegangnya saking kaget. Boggi jadi ikutan kaget, dia mengelus dada.

    “ Bunda nie,, bikin kaget aja,,,” Bunda melotot gemas.

    “ Justru kamu itu yang bikin Bunda kaget, ngomong kok begitu. Hati-hati nang, di setiap kata itu ada jiwanya, siapa tahu omongan mu itu diamanin malaikat, gimana hayo ?? Kamu mau memangnya ini semua batal ?? “

    “ Ya gak sih Bun, Kan Boggi bilangnya ‘ misal ‘, only heaven knows kan, apa yang terjadi enam bula lagi ?? jangankan enam bulan, satu detik lagi apa yang akan terjadi aja kita tidak tahu kok, contohnya sendok jatuh itu, mana tahu Boggi kalau sedikit lagi Bunda menjatuhkan sendok ?? Kalau tahu kan Boggi tidak bakal kaget, “ Boggi berdiplomasi dan membela diri. Bunda menghembuskan nafas panjang. Sudah hafal kebiasaan Boggi ngeles.

    “ Iya Bunda tahu itu, kehendak Tuhan siapa yang tahu, tapi kan manusia ihtiar yang terbaik, sambil selalu berpikir positif, makannya Bunda tidak mau kamu mengucapkan kata – kata yang bernada negatif,, “ ujar Bunda, Boggi mengangguk-angguk.

    “ Iya Bunda,, maaf,, tidak lagi aku lakukan.. “ Kata Boggi sambil nyengir.
  • @the_rainbow - Dimana ayo mas ingat2,, hahahahaha,,
  • entah disini entah di mana, keingetan pas kejadian bawa makanan pas briefing
  • @the_rainbow lah terus ceritanya tentang ODHA bukan ?? ayo inget2,,
  • seinget gue sih iya, baru bawa awal ceritanya aja. ga dilanjutin sampe tamat
  • hahahahahaha,, ya aku tamatin dah ntar,, seperti yang kubilang diatas,, cerita ini sebenarnya cerita teman ku dr. Maria Silvia Merry,, seorang dokter yang aktif tentang HIV dan AIDS,,
  • Rendesyah wrote: »
    seperti yang kubilang diatas,, cerita ini sebenarnya cerita teman ku dr. Maria Silvia Merry,, seorang dokter yang aktif tentang HIV dan AIDS,,

    yg ini feelnya terasa beda dg cerita 'kehidupan cinta'.
  • @adinu ,, pasti beda mas,, orang bukan kisah pribadi,, heheheehe,,ini cerita orang lain,,
  • :) semangat ya mas.
  • @Rendesyah, cerita baru lagi. Wah, produktif sekali nih. Oke lanjut. Kalo boleh ku minta kurangi dikit aja istilah kedokterannya, sby baca nya gitu loh...xi xi xi
  • DUA

    Saat sedang mengobrol dengan Bunda, terdengar ketukan pintu.

    “ Eh ,, Rivi sudah datang Bun. Boggi siap-siap ya,, “ Rivi bergegas mengambil sepatu di rak belakang.

    “ Selamat malam Om, Tante, mau ajak Boggi makan malam diluar,, “ sapa Rivi ramah di ruang tengah. Saat itu Rivi sudah selesai mengikat sepatunya.

    “ Silakan Nak Rivi, hati-hati di jalan ya,,” pesan Bapak.

    “ Aku sudah bilang belum ya, kamu ganteng sekali malam ini jelek,,” Puji Rivi sambil mengelus pipi Boggi. Mereka duduk di tepi kolam renang. Di meja mereka hanya diterangi lilin wangi berbentuk bunga yang mengapung dan setangkai mawar segar. Kolam renang nampak eksotis dengan permainan cahaya lampu di tepian kolam. Pilihan tempat ini khas Rivi. Classy, romantic, and..expensive. Tapi ini hotel rekanan Papa Rivi, jadi Rivi mendapat kehormatan untuk mendapat tempat di sudut hotel manapun. Boggi tersenyum.

    “ Belum limapuluh kali sayang,, baru empat puluh sembilan kali,,,” godanya. Rivi tergelak.

    “ Kalau gitu aku genapi,, kamu ganteng sekali,,, “ Boggi menutup bibir Rivi dengan jarinya.

    “...Sshhh,, sudah dong. Aku jadi malu, nih,,” dan Boggi tidak bohong pipinya sudah bersemu merah karena pujian dan tatapan memuja dari kekasihnya, calon pasangan hidupnya. Rivi nyengir, mengambil jari Boggi dan mencium punggung tangannya.

    Rivi memang sangat romantis dan sangat tampan sekaligus. Malam ini Rivi memakai hem warna cokelat krem yang disterika licin, dan lengan yang digulung sampai di bawah siku, rapi. Rambutnya ditata wet look dengan beberapa poni yang jatuh. Wajah aristrokat dengan hidung mancung dan tulang pipi yang bagus itu tampak serasi dengan model rambutnya yang rapi namun tampak sedikit berantakan. Beberapa wanita dan pria yang makan malam saat itu sempat mencuri pandang ke Rivi. Boggi menghitung setidaknya sudah ada empat pasang mata wanita dan dua pasanga lelaki yang memandang takjub pada Rivi, plus memandang iri kepadanya. perpaduan antara ketampanan alami, kekayaan, dan rasa percaya diri seorang laki – laki adalah pemikat alami semua wanita atau bahkan Pria. Aku sungguh-sungguh beruntung bahwa Rivi memilihku diantara banyak laki-laki atau gadis, ujar Boggi dalam hati.

    “ Apa lagi yang bisa aku bilang sayang ?? kamu itu menakjubkan, tampan, pinter, dokter lagi. Setiap hari aku melihatmu, aku tidak pernah bosen. Kamu selalu segar,,” Boggi mengejapkan matanya. Ganteng ?? Kadang Boggi bingung sendiri, apa yang membuat Rivi menyimpulkan bahwa Boggi Ganteng ? Boggi memang memiliki tubuh yang ideal dengan berat badan 76 Kg dan tinggi 178 cm, rambut Boggi yang acak-acak an dan gondrong, Kulit Boggi untuk ukuran pria memang putih dan mulus, urat-urat di lengan yang terlihat menambah Jantan. Selebihnya Boggi merasa biasa – biasa saja. Bibirnya tidak seksi, tapi bibir Boggi begitu merah, hidungnya juga tidak semancung Rivi, tapi cukuplah. Hmm,, oke tulang pipinya memang sedikit tinggi sehingga wajahnya kelihatan panjang. Tapi lainnya, standar saja menurut dirinya. Apa ini karena Rivi mencintainya jadi apapun kelihatannya indah ??

    “ Oke stop,, aku jadi grogi,, “ Boggi tertawa keci,, “ Ceritakan harimu saja, bagaimana hari ini sayang ?? “ tanya Boggi, Rivi mengangkat bahu.

    “ Seperti biasa, aku mengurusi manajeman resort Papa yang ada di Pulau Seribu itu. Kami rencananya mau membuka area diving dan pertangkaran ikan laut disana tapi ada saja penduduk di sekitar yang mempermasalahkannya, jadi hari ini aku sibuk membujuk penduduk agar bisa menerima itu,,” Boggi mengangguk-angguk mencoba paham. Terbayang dikepalanya, resort keluarga Rivi yang luas dan mewah. Boggi pernah kesana satu kali.

    “ Hmm,, nanti resort itu dan semua yang dimiliki keluargaku juga akan menjadi milik kamu jelek,,” Rivi mencium punggung tangan Boggi, Boggi tersenyum kecil, mengangkat alisnya,, Wow....

    “ Bagi wanita atau laki-laki lain, kata-kata Rivi mungkin begitu menggiurkan. Aset milyaran rupiah itu akan menjamin tujuh turunan mereka tidak perlu susah payah bekerja. Tapi bagi Boggi, hal itu tidaklah terlalu membahagiakan. Boggi di didik sederhana dari kecil. Semoga Rivi tidak memintaku mengelola aset dan uangnya saja, batin Boggi.

    “Oh iya,, aku sudah melunasi semua biaya perizinan untuk ke Belanda sayang, keburu nanti tambah banyak yang diurus,,” tambah Rivi. Rivi mengingat percakapannya dengan Bunda di meja makan tadi dan menahan lidahnya supaya tidak berkomentar, hal itu terlalu cepat mengingat waktu pernikahan yang masih enam bulan lagi. Karena itu, Boggi memilih untuk tampak setuju.

    “ Bagus sayang, semakin cepat semakin baik bukan,, “ Ujar Boggi,, ‘ Oh iya tadi malam waktu aku jaga UGD, ada pasien anak yang aku duga usus buntu. Untungnya feeling-ku tepat ketika mengusulkan operasi sesegera mung.....kin,,” Boggi bercerita dengan penuh semangat urung melanjutkan. Boggi melihat wajah Rivi berubah, senyumannya mengurang dan melepaskan tangan Boggi.

    “ Jangan cerita itu ah jelek, merusak selera makan nanti. Kita pesan makanan sekarang aja ya,,” Rivi mengangkat tangannya dan seorang waiter datang mendatangi meja. Boggi terpaksa menelan kekecewaannya . Boggi ingin membagikan perasaannya, betapa senang hatinya ketika Prof Dahlan memujinya, suatu dorongan positif dan penghargaan terhadap kinerjanya, mengingat prof adalah seorang yang pelit pujian. Tapi karena waiter sudah menunggu pesanan mereka , Boggi terpaksa mengalah.

    “ Aku fetuccini sea food dan salad buah. Minumnya orange juice,,” Ujar Boggi, sedikit malas. Hilang sudah selera makannya. Namun nampaknya selera makan Rivi tidak terpengaruh.

    “ Kalau saya nasi goreng seafood spesial, dimsum steamboat, sarsaparilla punch hmmm... dikasih wine sedikit ya, puding karamel, vanila ice cream,,,”

    Boggi menghembuskan nafas berat. Terjadi lagi seperti ini. Perbicangan yang tidak imbang dan tidak memuaskan.

    Boggi teringat pertemuan pertama dengan Rivi enam tahun lalu, saat itu Boggi diajak Dhio, teman sejawat saat mengambil pendidikan Profesi untuk menemani ke kafe. Saat itu Boggi baru saja menyelesaikan ujian praktek di kampusnya, dan Boggi juga baru kenal dengan Dhio yang sama – sama masih dalam tahap menanggung beban menjalani Pendidikan Profesi dokter.

    “ Gi, ayolah temenin gua buang sebel. Gua gak punya teman jalan nie,,,” bujuk Dhio, Dhio menyelesaikan program Sarjana Kedokterannya di Yogyakarta, dan lebih tua dua tahun dari Boggi.

    “ Buang sebel ke mana, mas ?? mall ?? Boleh. Yuk aku temani,,aku juga mau ke toko buku,, “ sambut Rivi sopan, dan Dhio mencibir.

    “ Mall ?? Mall di Semarang mah tidak ada yang menghibur, Gi. Temenin gw clubbing ya,, “ Boggi mengerutkan keningnya. Makanan apa pula itu ?? Seumur hidup Boggi hanya pernah melihat clubbing di film. Orang ramai, asap rokok, orang dancing dan remang – remang. Dan menurutnya, itu bukan tempat yang baik dan menyenangkan untuk dikunjungi. Dhio menanti keputusannya dengan muka memohon.

    “ Aku tidak suka begituan mas. Aku gak pernah,dan aku tidang punya keinginan untuk pergi,,” tandas Boggi. Menurutnya, wine, dancing, smoking, baju seksi, wanita centil, pria centil itu memuakkan, absurd, hedon, dan tidak bersesuaian dengan budaya orang Jawa dan perintah Agama. Dan Boggi dididik secara sejak kecil sebagai orang yang taat aturan sosial dan Agama. Maka baginya semua hal di luar ketentuan adalah dosa dan tidak patut dihargai. Dhio membelalakkan mata.

    “ What ?? loe konservatif banget sih Gi, kuno,,” Boggi memasang tampang datar. Biar aja dibilang kuno, Boggi tahu itu, dia memang skeptis. Tapi Boggi menyukai persepsinya itu. That’s all. Paling tidak, pandangan skeptisnya itu membuatnya tetap ada di jalan lurus sampai usianya yang ke-23, ketika mungkin laki – laki seusianya sudah mulai mencoba merokok, alkohol, freesex, drug, atau apapun. Sedangkan Boggi ciuman pun belum pernah. Never been kissed. And still virgin of course.

    Dhio berdehem, mencoba menawar lagi,, “ Ehm,, sori,, sori,, kalau loe gak mau masuk, temenin gua di luar aja. Lo tunggu di mobil, gua masuk. Gak lama kok, paling dua jam aja .. ya..ya..ya.. please... “ Dhio memohon. Boggi mendecakkan bibirnya. Sial,, Dhio selalu tidak tega melihat temannya memohon seperti itu, walaupun mereka berdua baru saja saling kenal. Boggi menimbang – nimbang. Ke kafe...... Boggi tidak masuk dan sedang menolong orang yang kesusahan. Win-win solution, isn’t it ??

    “ Hmm,, oke deh, tapi jamdua belas malam aku sudah ada di kosan lagi ,, dan...aku tidak ikut masuk,,” Dhio terbelalak senang dan memeluk Boggi.

    “ Oke !! kau adalah malaikat ku Gi,, hehehehe,, Gua belum punya teman di Semarang ini, belum tahu Semarang juga,, Thanks a bunch yah,,,”

    Dalam hatinya Boggi berkata ini pertama dan terakhirnya. Saat dihalam parkir kafe itulah dia bertemu dengan Rivi. Pertemuan yang sederhana dan simpel. Boggi duduk di dalam mobil sambil menikmati alunan Michael Buble menunggu Dhio yang sedang melakukan entahlah didalam sana, Rivi dan teman-temannya lewat. Mereka melihat ada seorang laki-laki sendirian di mobil, lalu menghampirinya. Dan karena Rivi adalah bos mereka, dan sekarang Boggi tahu mengapa ia berani berkenalan dengan laki-laki yang sedang sendirian di dalam mobil, dan mengapa pada saat Itu Rivi terlebih dahulu yang menyapa Boggi. Mungkin bila saat itu Rivi bukan Gay tidak mungkin ia mau menyapa laki-laki yang sedang sendirian di dalam mobil. Pertemuan pertama itu cukup mengesankan, Rivi tampan. Waktu itu Rivi memakai kaos polo kasual, jins dan sepatu santai. Diapun sopan dan tampak smart.

    “ Hai nunggu seseorang ya ?? “ Boggi mendongak, kaget. Siapa pria ini ?? Boggi menengok sebelumnya, jelas hanya Boggi yang berada di dalam mobilnya, dan pandangan pria itu tertuju ke dalam mobil. Berarti pria itu berbicara padaku, batin Boggi. Boggi sudah berpikir akan membalas dengan ketus, tapi senyuman yang tersungging di bibir pria itu membuatnya terpana. Tanpa sadar Boggi membalas senyuman itu.

    “ Iya, teman clubbing,,,” Jawabnya lalu merasa bodoh. Ya iyalah. Jelas-jelas dia sekarang di parkiran kafe. Yang ke situ berarti mau clubbing, bukan main sepak bola.

    “ Tidak ikut masuk ?? “ masih dengan senyum. Boggi menggeleng.

    “ Tidak suka, mending tunggu di sini aja,,”

    “ Sekolah di mana ?? “ tanya pria itu lagi, masih dengan sopan. Boggi menjawab kalau di sedang mengambil Pendidikan Profesi dokter.

    “ Dimana ?? “

    “ Ehm,,, di Diponegoro,,” Kening pria tampan itu berkerut.

    “ Wah jadi Anda calon dokter ya ?? “ tanya Pria tampan itu. Boggi hanya tersenyum dan mengangguk.

    Bibir pria itu membentuk ‘ oh ‘ tanpa suara dan mengkode teman-temannya. Mereka pergi meninggalkan Boggi dan pria asing itu ditempat parkir, lalu masuk ke kafe.

    “ Lho , tidak ikut masuk ?? “ tanya Boggi heran. Pria yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Rivi itu mengangkat alisnya tebalnya, tersenyum dan berkata,

    “ Menemani calon dokter yang sendirian di tempat parkir sepertinya lebih menyenangkan,,” Boggi mulai berdebar-debar senang, selama ini hanya Igo teman kampusnya yang tahu tentang orientasi Boggi, dan sekarang seperti mimpi bisa berkenalan dan sedekat pria tampan. Sampai Dhio selesai membuang sebal di dalam, Rivi menemaninya ngobrol dari luar mobil. Rivi tidak memaksanya masuk atau meminta Boggi turun. Dengan santainya Rivi menyeret kursi penjaga parkir ke sebelah mobil Dhio dan mereka mengobrol lewat jendela yang terbuka. Malam itu, untuk pertama kalinya, Boggi merasa nersyukur dan berterimakasih pada Dhio yang mengajaknya pergi ke kafe walay hanya diluar saja.

    Setelah pertemuan pertama itu, mereka saling bertukar nomor telepon, mulai saling berkirim pesan, telepon dan janjian ketemuan lagi. Dua tahun untuk meyakinkan seorang Boggi bahwa Rivi benar – benar sayang kepada dirinya, aturan-aturan agama dan adat menjadi pertimbangan saat itu, namun akhirnya mereka jadian juga. Hmmm apa yang membuat seorang Boggi jatuh cinta pada Rivi ?? Rivi tampan, baik, romantis, dan sopan. Selama enam tahun dan empat tahu jadian Rivi tidak pernah meminta hal – hal yang aneh pada Boggi. Itu alasan lebih dari cukup, dan empat tahun kemudian, Rivi melamarnya. Mengapa tidak mau ?? Rivi calon pendamping hidup yang idela walaupun kita berbeda dengan pasangan lainnya. Dengan perjuangan yang cukup melelahkan orang tua Boggi dan keluarga besarnya menyetujui pilihan hidup Boggi. Sampai disini urusan selesai.

    Boggi menghela nafas panjang,,,

    Hanya satu yang disembunyikannya dari Bunda dan Bapak, yaitu di mana mereka bertemu pertama kali. Jika ditanya Boggi selalu menjawab di kampus, dia temannya temanku. Pertemuan mereka dihalaman kafe sepertinya tidak akan mengesankan bagi Bunda dan Bapak, walaupun sudah melukai Ibu dan Bapak karena pilihannya, sampai saat ini Boggi dan Rivi dinilai sebagai anak yang baik. Selama enam tahun, sepengetahuan Boggi, Rivi tidak pernah lagi ke kafe setelah Rivi tahu betapa skeptisnya Boggi tentang kehidupan malam.

    Hindangan datang. Rivi mengajak makan sambil membicarakan rencana pernikahan sejenis mereka,,, malam itu Boggi terlihat berupaya mengimbangi antusiasme Rivi sambil menekan perasaan tidak puas yang tiba – tiba menyesak. Rivi calon pendamping hidup yang ideal. Hal lain,, misalnya komunikasi yang kurang dalam dan memuaskan,,.......bisa menyesuaikan. Boggi mencoba melapangkan hatinya dan menikmati fetuccini-nya.
  • wah keren ni critanya ! Kalo dah update lgi mention yak.
  • mention gue ea low updeat
Sign In or Register to comment.