It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@zhar12 makasi bro saranya. gw pasti lebih okeh lagi nulisnya. sering sering mampir yah. moga aja update an ntr makin gg membosankan
@erickhidayat gw pertama. perdana. ma alber nih. ahahahha itu pun kita full of affection #asiik no lust dr gw.
buat dia terbuai akan pesona mu,,,
#lho #kibas2rambut wkwkwkwkwkwk
bingung mau summom siapa, hahahahhaha ^^ ceritanya masih membosankan.
bro/jeung @andhi90 @greenbubles @darrenhat @erickhidayat @shuda2001 @zhar12 @b_hyun dan teman teman lain yang udah nyempetin baca disini,
iya pengen ucapin makasih lagi buat bro/ jeung @totalfreak nih, hahaha, udah ngasih tips menulis kmaren di e-mail, baru bisa ngucapin disini sekarang.
______________________________________________________________________________
”___"
" Hai Rant jangan melamun" seorang pria menepuk punggungku.
"Gak mas" jawab ku tersenyum.
Selasa. 1.30 pm
Sudah 2 hari aku kepikiran ucapan Alber. "Aku menyukaimu" arrgh makin kesini makin tidak habis pikir. Apa dia menyukai laki-laki? Kenapa harus aku. Apa aku harus menjauhinya. Kenapa aku memikirkanya. Arrrgh aku mengacak ngacak rambut.
Bzzz. Bzzz
Aku mengambil handphone di meja kerja. 6 massage from 3 contact
Naira : "lagi sibuk?"
Me : " iya di kantor nih ney"
Alber : "lagi dimana Rant. Udah makan?"
Alber : "udah jam break nih"
Alber : "jangan lupa yah"
"Hmmm apa aku harus membalasnya.
Nanti saja lah
Dion : "Rant. Help me..
Apalagi anak ini.
Me : " kenapa Yon"
Dion : " ke kampus. Urgent please
Secepatnya aku izin dari kantor dan datang ke kampus Dion. Sebelumnya Ibnu sudah kuhubungi untuk memastikan masalah Dion. Jadi kuminta Ibnu datang duluan.
Me : " Nu dimana?" Menelfon Ibnu dari parkiran kampus
Ibnu : " di ruangan PD3. Masi ingat"
Me : "Iya. Aku kesana Nu."
Aku bergegas ke ruang Pembantu Dekan 3. Dari luar sudah kulihat wajah Dion yang tertunduk dan Ibnu yang sepertinya kesal ke Dion. Pak Said Pembantu Rektor 3 bidang kemahasiswaan sengsaja memanggil Dion ke ruanganya, sepertinya Dion sudah berkelahi lagi dengan mahasiwa lagi. Dion memang terkadang tempramen tapi dia tidak akan berkelahi jika tidak ada masalah yang serius.
Syukurnya masalah ini bisa di selesaikan melalui PD3 tanpa perlu ke PD1 atau kantor polisi. Dion dan lawan berkelahinya hanya menandatangani surat perjanjian tidak akan berkelahi lagi di lingkungan kampus.
2.30 pm taman kampus
"please jangan kasi tau ayah ibu ku Rant. Kamu juga Nu. Aku gak mau mereka khawatir" rengek Dion
"sini mukamu" kataku membersihkan wajah Dion dari bekas memar
"kamu yah Yon. Kapan dewasanya. Kalau kamu gak mau orang tua mu khawatir. Jangan bertingkah bodoh" bentak Ibnu dengan nada tinggi
"Nu. Dion gak sepenuhnya salah Nu. Dia hanya membela diri saja" timpal ku
"kamu juga Rant. Dia ini manja. Harusnya lebih tegas. Orang tua nya mempercayakan kita untuk menjaga Dion"
" iya. Maaf Nu. Maaf Rant"
" jangan di ulangi" kata Dion dengan nada yang sedikit melemah.
Ibnu membawa Dion pulang kerumahnya. Dan aku kembali ke kantor. Hari ini tidak begitu sibuk. Sebagian pekerjaan kantor sudah ku selesaikan bersama teman ku. Jadi bisa pulang lebih awal. Saat di kantor aku tidak menyadari ada beberapa panggilan tidak terjawab dan pesan dari Alber.
Alber : " lagi apa? (2.32pm)
Alber : " Rant (2.46 pm)
Alber : " Rant? (2.50 pm)
Alber : " ganggu ya (2.55 pm)
Me : " maaf ber td lagi di luar. ada yang perlu aku urus"
5.20 pm
Alber : "maaf baru balas juga, kamu dimana?"
Me : "kantor. Bentar lagi pulang
Alber : "barengan aku jemput di kantor kamu yah.
Alber mau menjemput? Apa dia benar benar ingin mendekatiku. Nah Stop thinking to hard Rant. Kalau pun dia seperti ini dirimu straight nothing bad will happen" fikirku sembari beranjank keluar menyusuri lahan parkir di basement kantor ku. Beberapa kali aku meliahat jam tangan pemberian Alber, sebuah jam digital berwarna hitam menunjukan pukul
5.30 pm
"Rant" suara Alber dari kejauhan
Begitu mendengar suaranya. Aku melajukan motor ku kearahnya.
"Hey" kata ku singkat
"Kamu udah makan ber
"Belum. Kamu?"
"Makan di rumah ku saja gimana, tadi aku baru di telp tante ku dia mengirimkan makanan. Kurasa makananya sudah ada di rumah".
Matanya membesar dan dia tersenyum. Ada apa denganya kenapa dia terlihat sesenang ini. Apa karena ajakan ku makan. Atau aku mungkin telah memberikanya kesempatan untuk mendekatiku. Arrgh. Aku memikirkanya berlebihan. Lagi pula ini bukan pertama kalinya ada pria yang makan di rumahku. Ibnu dan Dion malah tidak terhitung berapa kali makan dengan ku, bertiga atau berdua. Jadi memang tidak ada salahnya jika aku mengajak nya makan malam.
Sebelum ke rumah, kami mampir ke supermarket terlebih dahulu untuk membeli minuman. Kata ku kali ini aku yang traktir jadi biar aku yang membeli minuman atau snack, dia hanya mengangguk menyatakan setuju.
"Ada yang aneh dengan mu!"
"Apanya ?" kataku heran.
"Kamu pakai kacamata juga"
"Ah iya"
"Habis ini kita ke optic sebelah ya"
"Buat apa?" aku semakin heran dengan tingkah lakunya
"Kita cek mata. Mata siapa yang paling minus dia yang menang. Yang kalah harus ngelakuin satu hal buat pemenang gimana?"
"taruhan?" tanyaku heran.
Alber menarik ku keluar dari mini market setelah membayar bill di kasir. Dia membawaku di sebuah ruko yang letak nya tidak berjauhan dari mini market itu "mandiri optical" terlihat bermacam merk kacamata berjejer di etalase ruko tersebut.
"Ayo masuk" katanya memaksaku.
Alber memeriksakan matanya terlebih dahulu. "Minus 1" kata penjaga toko optic tersebut. Aku buka tipe pengguna kacamata aktif, pernah aku membaca di suatu artikel kacamata itu hanya membantu penglihatan saja tidak mengobati. Tapi ada juga yang menyebutkan kacamata juga bersifat seperti obat jika digunakan rutin. Entahlah mana pernyataan yang benar. Yang jelas aku hanya menggunakan kacamata di saat bekerja di depan monitor, bekerja atau membaca saja. "Mata anda silinder. Yang kanan minus 1, sedangkan yang kiri 1,5"
"Hmm berarti aku yang menang nih" senyumku jahil kearah Alber.
Aku menikmati kemenanganku dari Alber malam ini. Setelah makan malam di rumah aku meminta Alber untuk membereskan piring dan mencucinya. "Anggap saja ini bayaran kemenanganku ber" itu kataku saat di mengmbil tumpukan piring. Alber menikmati hukumanya saat dia di dapur aku mendengar siulanya dari ruang tengah.
"Disuruh cuci piring kok senang kamu ber"
"Kan kamu yang minta" jawabnya tersenyum, sembari keluar dari arah dapur ke ruang tengah.
"Kalo aku minta sekarang kamu lari keliling komplek malam-malam gini gimana?"
"Mau, asal bareng kamu" lagi lagi alber mengedipkan matanya kearahku.
Tersenyum. Ya aku tersenyum melihatnya . Saat aku menyentil dahinya. Alber tersenyum menjulurkan lidahnya. Tidak banyak obrolan malam ini. Mungkin karena sudah malam dan besok pagi kami memang harus bekerja.
Saat dia mengatakan "malam ini aku sukses mendekatimu, dan aku rasa kau tidak menolak ku" aku tidak menolak atau menyangkal nya tapi aku juga tidak menerimanya. Sekarang aku mencoba memposisikan Alber sebagai salah seorang sahabat. Semoga tidak lebih.
Kamis 2.45 pm
"Kamu tidak apa-apa farant" tanya salah satu rekan kerja di kantor.
"Lebih baik kamu izin saja hari ini. Nanti biar saya yang bilang ke bagian personalia"
________________________________________________________
Hari ini kondisi ku tidak begitu baik, sedari pagi suhu tubuhku sedikit panas wajahkupun wedikir pucat. Aku hanya perlu istirahat untuk ini yah, hanya itu yang perlu aku lakukan atau jika memang perlu meminum obat aku akan meminumnya. Mungkin ini titik puncak kondisi tubuhku. Mengeksplotasi tubuh juga tidak baik. Dua pekerjaan dalam satu hari memang menguras energi dan fikiran. Ditambah ada beberapa hal yang mengganggu fikiran ku beberapa hari ini.
Di dalam rumah ternyata ada Dion yang sedang bermain game, aku memintanya untuk sedikit tenang dan sepertinya mau mengerti akan kondisiku yang butuh istirahat. Dion sempat mengatakan akan pulang lebih awal, tapi aku melarangnya.
"Jangan pulang Yon siapa tau kondisi aku bakal parah kalo sendiri dan mungkin akan mati sendirian disini".
"Jangan ngomong yang tidak tidak Rant" terlihat dia sedikit kesal dengan candaanku.
Dion membopongku ke kamar, disituasi seperti ini aku memang bisa menyebalkan, aku tidak suka sendiri saat sakit.
"Aku hubungin Ibnu yah. Skalian biar dia hubungin dokter"
"Gak usah lah Yon. Kan uda sering gini. Kadar gula ku saja yang mungikin turun"
Dion menyentuh dahiku. Dan kemudian menyentuh dahinya juga bersamaan untuk memeriksa suhu tubuhku. "Kamu demam" itu katanya. Dion tau seluk beluk rumah. Jadi tidak heran ketia dia kembali membawa tumpukan obat ditanganya dari kotak p3k yang berada di dapur.
"Obat yang mana Rant" katanya bingung.
"Yang plastik biru"
Dion kembali ke dapur mengambilkan segelas air putih. " ini minum" katanya. Aku sendiri tidak mengerti diagnosis atau sakit apa aku sekarang. Paling hanya kecapean atau demam. Jadi ketika Dion membawa obat. Aku menujuk obat tidur saja. Ya aku hanya perlu istirahat dan terlelap tidur.
7.30 pm
Sudah jam berapa ini. Aku terbangun dan melihat jam tangan ku
"Ahh. Kepalaku berat" sepertinya obat tidur tidak cukup ampuh. Aku melihat melihat sekeliling kamar dan mencoba bangkit dari kasur.
"Kau sudah bangun Rant" Ibnu beranjak dari depan tv dan memegang dahi ku. Masi panas katanya. Ibnu membawa ku kembali ke kamar.
"Saat kamu tidur tadi Naira datang. Dia bawa bubur. Setelah ini kamu makan yah"
"Kok dia pulang Nu. Apa dia tidak mengatakan apa apa"
"Hmmm" Ibnu mengerutkan dahi nya
"Banyak hal yang dia katakan Rant. Saat kamu tertidur"
"Saat aku tertidur?"
"Yah. Perasaan yang dia pemdam selama ini"
Aku tidak menyadari kedatangan Naira apalagi mendengar dia mengutarakan isi hatinya saat aku tertidur. Aku bertanya kepada Ibnu. Aku yakin Ibnu mendengar apa yang dia katakan. Tapi dia tidak ingin mengatakanya padaku, menurutnya lebih etis jika Naira mengatakanya langsung.
"Brakk" suara pintu kamar terbuka karna di tendang Dion.
"DION!" bentak Ibnu
"Sorry sorry. Ini bubur dari Naira" Dion meletakan ke hadapan ku.
"Ini apa" tanya ku tidak puas melihat penyajian bubur.
Hal yang pasti jangan serahkan urusan dapur ke Dion, makanan yang layak pun akan jadi berbahaya ditanganya. Bubur yang dibuat Naira menurutku berubah jadi obat pencahar ampuh, taburan bubuk merica hampir menutupi warna putih bubur dari aromanya saja sudah menusuk hidung. Hanya suiran ayam yang layak untuk dimakan.
"Dion apa aku bisa memakan ini" aku mengerutkan dahi.
"Iya. Biar kamu berkeringat dan cepat sembuh" mata Dion berbinar dan dia tersenyum.
Apa dia tidak mencicipinya.
"Awww" Dion mengusap belakang kepalanya.
"Sakit Nu" protes Dion
"Kau mau membunuh farant" Ibnu kembali memukul belakang kepala Dion.
"Seharusnya aku tidak membiarkan mu menyentuh apapun selain playstation mu"
"Sudah lah Nu. Aku masi bisa makan ayam nya"
Aku tersenyum melihat kelakuan mereka. Apa hari ini aku hanya makan suiran ayam. "Huuft" aku menarik nafas panjang. Sebenarnya ada beberapa bahan mentah di kulkas aku bisa saja bangkit dan masak masakan sederhana. Tapi dengan kondisi ku seperti ini aku hanya akan di seret Ibnu kembali ke kamar dan membiarkan mereka menyentuh dapurku. Tidak. Aku hanya akan memakan masakan hasil eksperimen mereka. Aku bisa saja menemui ajal ku di makanan yang mereka buat. Seandainya Naira ada disini. Aku menarik nafas panjang dan menunduk. "Kenapa aku harus sakit"
Ting tong
"Dia datang. Bukain Yon" Dion berlari kearah pintu depan.
"Naira yah" kataku penuh harap.
"Bukan"
"Delivery"
"Bukan"
Harapan ku pupus, bukan Naira atau delivery.
"Hey" sosok yang kukenal sekarang berasa di depan ku. Kemeja polos dan celana dasar khas pegawai kantoran. Ternyata Alber dia mengangkat tangan kananya. Bungkusan plastik hitam yang sepertinya makanan
"kau menyelamatkanku ber" kataku penuh haru.
"Biar aku siapkan deh" Dion menawarkan diri
"Jangan" Ibnu dan aku meneriakan hal yang sama kepada Dion.
Ibnu dengan cepat mengambil bungkusan ditangan Dion. Kalau hanya menyiapkan makanan ini tetap bia dimakan katanya sembari tersenyum.
"Ini apa" Alber menunjuk ke arah bubur yang belum beranjak dari samping kasur ku.
"Anugrah tuhan yang sekrang berubah menjadi obat pecahar" aku menatap tajam ke wajah Dion. Dion hanya bersiul kecil dan memalingkan wajahnya.
"Boleh aku coba"
"Ya. Kalo kamu mau bolak balik wc"
Alber mengambil sesendok bubur. Dia mencium aroma bubur tersebut. Aku rasa dia tidak menyukainya terlihat jelas dia memalingkan wajahnya dari sendok berisi bubur merica itu.
"Cobain ber" celetuk Dion sambil tertawa kecil.
"Turunkan sendok mu ber. Kau kan tidak bisa makan yang pedas"
"Kita taruhan" katanya semangat
"Kalo aku bisa memakan sesendokbubur ini. Kamu harus melakukan permintaan ku"
"Satu sendok. Ayolah itu terlalu mudah"
"Aku akan menghabiskanya" jawabnya optimis.
"5 sendok. Cukup 5 sedok"
Aku cukup khawatir jika dia menghabiskan bubur itu, perutnya lemah itu yang aku ketahui karenanya dia tidak bisa terlalu makan makanan yang pedas. Suapan pertama terlihat dia sudah kepedasan. Meski pedasnya tidak terlalu membakar layaknya cabai, namun merica termasuk ke dalam bahan pemicu rasa panas di mulut dan tenggorokan.
Terlihat Alber sudah membuka 2 kancing atas kemejanya. Mata dan wajahnya memerah dan dia selalu menyentuh tenggorokanya menandakan tenggorokanya sakit karna panas dari merica.
"Ini" aku menawarkan air putuh untuknya
"Masi 2 sendok lagi" katanya lirih sembari menyapu keringat yang bercucuran di sekitar dahi nya.
"Kau menang"
"Dion ambilkan air untuk Alber dan aku yah"
Alber menghabiskan air yang telah kuberikan. Sekarng dia hanya duduk menyandar berhadapan dengan ku. Sesekali dia mengatur nafasnya. Rasa pedas dan panas sepertinya masih berbekas di sekitar mulut dan tenggorokanya, keringatnya masih berbekas di dahi dan lehernya, rambutnya pun terlihat mengkilap karna keringat.
"Apa benar sepedas itu"
"So. Apa yang kamu inginkan ber?"
"Kencan"
"Hey" aq protes
"Apa kamu bercanda" aku menaikan alis ku
"Aku kan lagi pdkt sama kamu"
"Jangan bercanda"
"Aku sedang tidak bercanda"
Aku mengacak rambutku. Apa dia serius dengan ucapanya? Bagaimana jika Dion atau Ibnu mendengar nya, mereka akan salah paham
"Ayolah Rant. Setidaknya beri aku kesempatan"
"Aku tidak seperti yang kau fikirkan"
Sudah bisa kupastikan Alber bukan seperti laki-laki lainya. Kurasa tidak akan ada laki-laki normal yang memperlakukan teman laki-lakinya seperti ini. Mengajak ku kencan bukan satu satunya parameter ku menyimpulkan kalo Alber berbeda. Alber memperlakukan ku layaknya aku memperlakukan Naira atau wanita lain yang pernah dekat dengan ku. Belum lagi tatapanya kepadaku. Jika orang mengatakan mata adalah jendela hati. Maka aku harus setuju. Yah. Aku merasa berbeda ketika mata kami beradu pandang.
"Aku menang taruhan ini. Kamu harus melakukan sesuatu untuk ku"
"Jangan ada kata kencan"
"Jadi kau menolak ku?"
"Ayolah" sekarang dia mulai merengek nada bicara jadi lebih rendah dari sebelumnya.
"Yang lain ber. Yang lain"
"Sebuah pelukan" kini dia mulai berani membentangkan tanganya seperti mengatakan peluk aku.
"Alber" nada ku sudah sedikit meninggi
"Baiklah. Akan ku pikirkan hal lainya setelah kamu sembuh, tapi mungkin aku akan tetap memintaku kencan denganku" kini dia mengedipkan mata sebelah kanan nya.
Aku hanya menggelengkan kepala, tidak ada penolakan atau aku mengiyakan permintaanya.
____________________________________________________________________________________
C U guys, di part berikutnya, mungkin masih sangat membosankan yah, tp ini benar pernah terjadi. makasih udah nyempetin baca ^^
@b_hyun. okkook bro, ane mensyen ^^
@erickhidayat iya tu anak salut gw. godain gw ampe beneran suka ama dy. updetan berikutnya smoga gg membosankan. hihi
@adinu ho oh bro. romance kami dipenuhi sama taruhan aja nih. smoga gg bosenin yah
@shuda2001 gw emang sering kmakan jurus dy nih. iq doi lebih tinggi dr gw kyknya